Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-binaanak/544 |
|
e-BinaAnak edisi 544 (27-7-2011)
|
|
___e-BinaAnak (Milis Publikasi Elektronik untuk Para Pembina Anak)____ DAFTAR ISI BAHAN MENGAJAR: MISIONARI KECIL MUTIARA GURU Shalom, Pelayanan penginjilan merupakan jenis pelayanan yang sering menghadapi banyak rintangan. Namun, Kabar Baik harus tetap diberitakan kepada semua orang. Mendidik anak menjadi seorang misionaris kecil bertujuan untuk membentuk hati mereka, supaya terbeban dalam memenangkan jiwa bagi Tuhan. Bagaimana cara melakukannya? Temukan jawabannya dalam e-BinaAnak edisi kali ini. Selamat melayani, Tuhan Yesus memberkati. Pimpinan Redaksi e-BinaAnak, Fitri Nurhana < fitri(at)in-christ.net > < http://pepak.sabda.org/ > BAHAN MENGAJAR: MISIONARI KECIL Tujuan cerita: Tuhan memakai anak untuk menyampaikan Kabar Baik kepada orang lain. Hasil akhir yang ingin dicapai: Anak-anak mau menyampaikan Kabar Baik dengan cara mereka sendiri. Cerita: Dia seorang anak laki-laki, berusia sekitar 9 tahun. Joko dan ibunya yang sudah janda, serta dua saudaranya yang lebih tua, tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Tiap pagi Joko berangkat sekolah bersama anak-anak tetangga yang juga teman sekolahnya. Seperti anak-anak sebayanya, mereka suka bermain bersama, terutama pada hari Minggu. Di kampung itu terdapat lapangan yang tiap sore dipenuhi anak-anak, termasuk Joko dan saudara-saudaranya. Joko paling suka sepak bola karena di kampung itu Joko termasuk yang paling kecil, dia sering ditugasi mengambil bola yang keluar dari arena permainan. Tugas itu dilakukannya dengan senang hati, sebab dia memang suka bergerak -- berlarian. Ini hari Minggu. Berbeda dengan minggu-minggu sebelumnya, kali ini Joko tidak main bola. Ia pergi ke sekolah minggu. Bertiga dengan Sapto dan Umar, mereka diantar Mbak Sari, sebab gereja cukup jauh dari rumah mereka. Orang tua Joko bukan Kristen, tapi tidak keberatan anaknya pergi ke sekolah minggu. "Saya senang Joko bisa memiliki pergaulan yang luas, tidak hanya dengan teman sekolah dan anak-anak di kampung ini," tutur Ibu Rakhmat, ibu Joko. Alasan lain yang tidak disampaikannya adalah, Bu Rakhmat bisa istirahat di Minggu pagi, lepas dari Joko yang suka bertanya ini-itu. Kadang-kadang pertanyaan Joko yang cerdas melelahkan pikiran Bu Rakhmat yang sederhana. Sekolah minggu sangat menggembirakan bagi Joko. Ia bercerita kepada ibunya, "Anak-anak di sana tidak sombong, Bu. Aku belajar banyak lagu baru. Ibu gurunya juga pandai. Kami tidak ada yang ribut. Semua mendengarkan." "Ya, ya, ya!" jawab ibunya. "Syukurlah kamu senang." Bu Rakhmat mendengarkan laporan putra bungsunya dengan setengah hati. Bagaimanapun, kalau begitu kejadiannya, dia harus hati-hati dengan ajaran baru ini. Tetapi dia tidak mau menyakiti hati Joko. "Minggu depan aku ikut lagi, ya Bu?" pinta Joko. "Kita lihat nanti," jawab Bu Rakhmat singkat. Ternyata semakin lama Joko semakin senang sekolah minggu. Ada-ada saja acara di sana yang menarik hatinya. Semua itu diceritakannya kepada Bu Rakhmat. Kadang-kadang juga, Joko meminta ibunya menemaninya ke gereja. "Sekali-kali, Bu, kita ke gereja berdua. Seperti Sapto itu, bergandengan bersama bapak-ibunya," ajaknya di suatu hari Minggu pagi. "Ibu malu, Jok," jawab Bu Rakhmat mengelak. "Mereka yang ke gereja itu bajunya bagus-bagus." "Ah, percaya saja, Bu. Di sana tidak akan ada yang perhatikan baju Ibu. Tuhan Yesus saja tidak pernah menolak orang yang datang pada-Nya." Walaupun berkali-kali didesak anaknya, Bu Rakhmat belum mau ke gereja, sampai akhirnya Joko tidak pernah lagi mengajak ibunya. Tapi tanpa setahu Bu Rakhmat, tiap malam Joko mendoakan ibunya supaya mau ke gereja bersamanya. "Ibu," kata Joko pada suatu hari Minggu malam. "Ibu lebih suka lewat jalan yang sempit atau yang lebar?" Bu Rakhmat yang sedang menemani Joko tidur, tidak siap menjawab pertanyaan anaknya. "Ya, suka jalan yang lebar pasti. Tidak desak-desakan, tidak takut ditabrak mobil," jawabnya. "Mmh... kalau aku lebih suka lewat jalan yang sempit," kata Joko, "soalnya jalan yang sempit itu jalan hidup berglori." "Apa artinya hidup berglori?" tanya Bu Rakhmat tidak mengerti. "Itu artinya hidup kekal di surga, jawab Joko." Joko Kemudian bercerita. Tadi di sekolah minggu, Ibu guru mengajarkan lagu baru. Aku nyanyi ya, Bu. "Di dalam dunia ada dua jalan. Lebar dan sempit, mana kau pilih? Yang lebar api, jiwamu mati. Tapi yang sempit, hidup berglori." Lagunya bagus, ya Bu. Bu Rakhmat tidak menjawab. Sambil tersenyum diselimutinya Joko. "Tidur ya, Jok. Besok kamu masuk sekolah," katanya. Kedua anaknya yang lain sudah dari tadi tidur di kamar sebelah. Bu Rakhmat memandang Joko dekat-dekat. Di antara ketiga anaknya, Jokolah yang paling mirip mendiang suaminya. Walaupun sudah cukup besar, Joko masih tidur bersama ibunya. Mungkin karena Joko tidak sempat menikmati kasih sayang ayah, ia agak manja pada ibunya. Pak Rakhmat dipanggil Tuhan waktu Joko masih berumur setahun. Pikiran Bu Rakhmat menerawang, teringat pada masa-masa bahagia bersama suaminya dulu. Di mana Pak Rakhmat sekarang? Ke mana jiwa manusia setelah meninggal? Mau tak mau Bu Rakhmat teringat kata-kata Joko baru saja. Jalan yang lebar, yang gampang, yang banyak dilalui manusia, ternyata berakhir pada kematian. Sedangkan jalan yang sempit, yang sulit dilewati, membuat hidup berglori. Ah, apa itu artinya? Kepada siapa Bu Rakhmat bisa bertanya tentang dunia setelah hidup ini selesai? Bu Rakhmat juga memerhatikan kelakuan Joko akhir-akhir ini. Kelihatannya dia makin mengerti ibunya. Dia tidak banyak membantah. Tugas-tugasnya dilakukan dengan riang. Hasil pelajarannya juga membaik. Nampaknya, kemajuan Joko ini terjadi sesudah anaknya mengikuti sekolah minggu. Apakah ke gereja dapat mengubah sifat seseorang? Bu Rakhmat bertanya-tanya. Besoknya, Joko pulang lebih cepat. Guru-guru memulangkan anak-anak lebih awal, sebab harus memeriksa hasil ulangan umum. Seperti biasa Joko, Sapto, dan Umar langsung ke lapangan. Di sana sudah ada saudara- saudaranya dan beberapa anak yang lebih besar dari mereka sedang bermain bola. Saat itu giliran Hadi menendang bola. Kelihatannya dia bermaksud langsung memasukkan bola ke dalam gawang, tapi gagal. Bola terbentur tiang dan keluar lapangan. "Jok! Jok! Tolong ambilkan bola itu!" teriak Yanto, kakaknya. Tanpa berpikir panjang Joko berlari menjemput bola. Dia tidak melihat sebuah lubang besar tempat pembuangan sampah, menghadang jalannya. "Hati-hati!" teriak Yanto lagi, tapi terlambat. Joko sudah terlempar ke lubang sedalam dua meter itu. Semua tertegun. Permainan terhenti. Sapto yang tiba paling awal di tepi lubang, berteriak memanggil anak-anak lain, "Hei, kemari! Bantu Joko, yuk!" Saat itu musim kemarau, jadi tempat pembuangan sampah itu tidak berair. Hanya ada sampah kering setinggi dada Joko. Dari atas, anak- anak melihat Joko tergeletak, tapi mereka tidak berani masuk ke lubang itu. Kebetulan Pak Guru Soni lewat. Beliau dari sekolah dan sedang dalam perjalanan pulang. Melihat anak-anak berkerumun, Pak Soni mendekat. "Pak, tolong Joko, Pak. Dia jatuh," Sapto menunjuk Joko terbaring tak bergerak di lubang sampah itu. Pak Soni cepat bertindak. Dia menyuruh Umar meminjam tangga ke rumah Pak Didik. Pak Soni sendiri turun untuk melihat kondisi Joko. Joko mulai bergerak-gerak. Sesekali dia merintih, "Aduh ... aduh." Pak Soni memeriksa seluruh tubuh Joko. Kakinya memar, kelihatannya terkilir. Mungkin kepalanya juga terbentur sesuatu. Tangannya lecet- lecet di sana-sini, bajunya robek sedikit. Umar datang dengan tangga dan Pak Didik. "Bagaimana keadaannya?" tanya Pak Didik. Beliau turun lewat tangga dan membantu Pak Soni mengangkat Joko. "Kita baru tahu setelah dibawa ke Puskesmas," jawab Pak Soni. Dibopongnya Joko dengan satu tangan. Dengan tangan yang satu Pak Soni memanjat tangga. Pak Didik menahan tangga dan menerima Joko dari atas. Mereka langsung membawanya ke Puskesmas dengan becak. Joko tidak pingsan. Setelah luka-lukanya diobati dia dibolehkan pulang. Joko dan kakak-kakaknya sepakat tidak mencerita<input type="password" >kan hal itu pada ibunya. Mereka tidak ingin membuat Bu Rakhmat gelisah. Bu Rakhmat juga tidak tahu peristiwa itu sampai suatu ketika -- beberapa minggu setelah itu, tiba-tiba Joko pingsan di sekolah. Pak Guru Soni dan beberapa teman Joko mengantarnya pulang. "Ada apa, Pak Guru? Mengapa anak saya? Apa yang terjadi?" tanya Bu Rakhmat. Mereka tidak menjawab. Mereka langsung memapah Joko ke kamarnya. "Begini, Bu Rakhmat, tadi waktu sedang olahraga, tiba-tiba Joko terjatuh dan pingsan. Setelah siuman, Joko kami bawa pulang. Mungkin dia perlu istirahat," Pak Soni menjelaskan. "Oh, syukurlah," jawab Bu Rakhmat, "Saya betul-betul cemas." "Bu jangan khawatir," kata Pak Soni menenangkan. Bu Rakhmat mengangguk-angguk. "Saya takut ada apa-apa, Pak," Bu Rakhmat menjawab sambil terisak. "Anak itu sudah tidak punya bapak, jangan sampai saya kehilangan dia juga." "Oh ya," ujar Pak Soni setelah terdiam beberapa saat, "saya ingat, beberapa waktu lalu Joko terjatuh dalam lubang sampah yang cukup dalam. Kebetulan saya lewat di situ, jadi saya menolongnya. Joko kami bawa ke Puskesmas. Pak Mantri berkata tidak apa-apa. Apakah Joko dan Yanto tidak memberitahu ibu?" "Mmm ... tidak," jawab Bu Rakhmat, "mungkin mereka tidak ingin menyusahkan saya. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa." "Ya, mudah-mudahan. Baiklah, Bu. Kami permisi dulu," Pak Soni pamitan. "Semoga Joko lekas sembuh." "Terima kasih, Pak Guru sudah mengantar Joko pulang," jawab Bu Rakhmat. Pak Soni dan murid-muridnya pergi diiringi tatapan lesu Bu Rakhmat. "Oh, Tuhan! Cobaan apa lagi yang Kau berikan pada hamba-Mu ini?" Ratap Bu Rakhmat dalam hati. Setelah peristiwa itu, beberapa kali Joko jatuh sakit dan pingsan di sekolah. Setiap kali Bu Rakhmat membawanya ke Puskesmas dan mereka pulang dengan pesan "Joko tidak apa-apa" dari dokter Puskesmas. Tetapi dia makin kurus, lemah, dan tidak mau makan. Akhirnya, atas inisiatif guru-guru sekolah minggunya, Joko di bawa ke rumah sakit. Di sana Joko diperiksa dengan saksama. Dia tidak diizinkan pulang. Maka Bu Rakhmat menunggui anak bungsunya siang malam. Setelah dua hari, dokter bertemu dengan Bu Rakhmat dan Bu Retno, guru sekolah minggu Joko. "Begini, Bu," ujar dokter Budi dengan hati-hati. "Apakah Joko pernah jatuh atau terbentur di kepala?" Bu Rakhmat menggeleng. Wajahnya berubah pucat. "Anak saya kenapa, dokter?" tanyanya lirih. "Joko menderita pembengkakan di pembuluh darah otak." jawab dokter Budi. "Oh Tuhan! Apa itu berarti Joko akan mati?" jerit Bu Rakhmat. Bu Retno memegang tangan ibu Joko, "Bu, dokter akan berusaha sedapat mungkin menolong Joko. Kita dengarkan dokter dulu." "Tolong dokter. Saya sudah kehilangan suami saya. Saya tidak mau kehilangan Joko juga. Tolong, dokter," kata Bu Rakhmat mengiba-iba. "Kita serahkan semua kepada Tuhan, Bu," kata dokter. "Tuhan pasti akan memilihkan yang terbaik untuk kita. Kalau Dia mau menyembuhkan Joko, pasti mudah sekali karena Dia Mahakuasa. Tapi kita juga mesti siap jika Tuhan menghendaki yang lain." Bu Rakhmat mengangguk-angguk. Sesekali dia menghapus air matanya. "Joko, Joko anakku," rintihnya, "mengapa bukan ibu saja yang sakit, Nak?" Dokter memutuskan untuk memeriksa keadaan Joko lebih detail. Dia memang tidak berharap banyak, sebab pembengkakan sudah berlangsung beberapa minggu. Seandainya dulu langsung diketahui mungkin masih bisa ditolong. Tapi dokter tidak tega mengatakan terus-terang pada ibu Joko. Makin lama keadaan Joko melemah. Setelah tiga hari Joko pingsan lagi. Sesudah sadar, dia berkata pada ibunya, "Bu, Joko akan pergi ke surga "Joko, jangan berkata begitu, nak. Jangan tinggalkan ibu," tangis Bu Rakhmat. Dipeluknya Joko, diciuminya wajah kesayangannya itu. "Jangan menangis, Bu. Joko akan sembuh. Tuhan Yesus akan menyembuhkan Joko. Tidak lama lagi Joko akan bersama-Nya di surga," kata Joko dengan suaranya yang lemah. Dipegangnya tangan ibunya. "Joko ingin bertemu ibu di surga nanti," pintanya. "Ibu ke gereja ya. Bu Retno pasti mau menemani. Ajak Mas Yanto dan Mbak Dian. Mari, kita lewati jalan sempit itu, Bu. Maka kita akan berglori di surga." Bu Rakhmat menganggukkan kepalanya. "Iya, Jok. Sembuhlah, Nak. Nanti kita ke gereja bersama-sama," ucapnya berkali-kali sambil membelai kepala Joko. Malam itu Joko tertidur dan tidak bangun lagi. Dia pergi dengan tenang dan dimakamkan di samping makam ayahnya yang tidak pernah dia kenal. Bedanya, di makam Joko terpancang tanda salib. Itu permintaan terakhirnya. Bu Rakhmat tidak bisa menangis lagi. Air matanya sudah habis. Anaknya sudah pergi. Tapi dia tidak dapat melupakan keinginan Joko untuk bertemu ibunya di surga kelak. Bu Rakhmat mulai ke gereja, juga Yanto dan Dian. Setahun setelah Joko dipanggil Tuhan, ibu dan dua saudaranya dibaptis. Misionari Cilik itu sudah menghadap Tuhannya, meninggalkan tugasnya yang sudah genap di bumi. Diambil dan disunting seperlunya dari: Judul buku: Mendisiplin Anak dengan Cerita Judul bab: Beberapa Cerita Lain Judul artikel: Misionari Cilik Penulis: Roswitha Ndraha Penerbit: Layanan Konseling Keluarga dan Karir (LK3), 2008 Halaman: 114 -- 125 MUTIARA GURU Sistem pendidikan tidak banyak berarti, jika hanya mengajarkan anak muda bagaimana mencari nafkah dan tidak mengajarkan mereka bagaimana untuk hidup. (Linda Conway) Kontak: < binaanak(at)sabda.org > Redaksi: Fitri Nurhana, Melina Martha, dan Truly Almendo Pasaribu (c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org > Rekening: BCA Pasar Legi Solo; No. 0790266579 a.n. Yulia Oeniyati < http://blog.sabda.org/ > < http://fb.sabda.org/binaanak > Berlangganan: < subscribe-i-kan-BinaAnak(at)hub.xc.org > Berhenti: < unsubscribe-i-kan-BinaAnak(at)hub.xc.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |