|
Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
https://sabda.org/https://sabda.org/publikasi/bio-kristi/136 |
|
Bio-Kristi edisi 136 (10-7-2014)
|
|
Buletin Elektronik
BIO-KRISTI (Biografi Kristiani)
________________________disi 136/Juli 2014__________________________
Bio-Kristi -- Helen Roseveare
Edisi 136/Juli 2014
Di tengah pelayanan yang sudah kita geluti selama bertahun-tahun,
kadang kita bertanya, "Sebandingkah semua usaha ini dengan apa yang
akan aku dapat?" Sebenarnya, pertanyaan seperti ini justru akan
mempertanyakan kembali motivasi kita dalam menjalani panggilan hidup
kita. Bagaimana jika setelah semua yang kita kerjakan, tidak ada hasil
yang seolah dapat kita nikmati? Apakah kita akan terus maju? Kita
perlu belajar dari Helen Roseveare tentang memurnikan motivasi
pelayanan kita kepada Tuhan. Semoga kisah hidup Helen ini akan
menguatkan kita semua, terutama yang sedang "jenuh" dengan pelayanan
yang dilakukannya. Tuhan memberkati.
--karena hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan--
Pemimpin Redaksi Bio-Kristi,
Berlin B.
< berlin(at)in-christ.net >
< http://biokristi.sabda.org/ >
RIWAYAT: HELEN ROSEVEARE
(1925 -- sekarang) Dokter Pemberani di Kongo, Misionaris
Diringkas oleh: Berlin B.
Dalam sebuah pertemuan misionaris di Inggris Utara, Helen Roseveare
yang masih mahasiswa menyatakan di depan umum, "Saya akan pergi ke
mana pun yang Allah inginkan, apa pun risikonya." Helen mengingat:
Setelah itu, aku pergi ke pegunungan dan berkata kepada Tuhan,
"Baiklah Tuhan, hari ini aku bersungguh-sungguh. Silakan, utuslah aku
dan buatlah aku menjadi semakin seperti Yesus, apa pun risikonya.
Namun, tolong, ketika aku merasa tidak dapat bertahan lagi dan
berteriak, `Berhenti!`, abaikan kata-kataku itu, tetapi ingatlah bahwa
hari ini, aku telah berkata `Silakan`."
Gelisah dan sangat ingin dikagumi.
Helen dibesarkan dalam keluarga Inggris yang berkecukupan. Dalam
bukunya, "Give Me This Mountain", wanita kelahiran 1925 ini mengakui
bahwa sebagai seorang anak, ia "aktif tanpa henti, gelisah dengan jiwa
liarnya, selalu berada dalam kenakalan dengan dorongan untuk selalu
unggul, ingin diperhatikan, ingin menjadi yang utama dalam kelompok,
perasaan ingin dikagumi". Suatu hari di Sekolah Minggu, seorang guru
berbicara kepada murid-muridnya tentang India. Diam-diam, Helen
bertekad bahwa suatu hari, ia akan menjadi seorang misionaris. Tekad
seorang anak yang tidak pernah pudar.
Setelah dewasa, Helen merasa tertarik dengan bidang kedokteran. Ia
mendaftar di Universitas Cambridge dan berpartisipasi dalam Persatuan
Mahasiswa Kristen Universitas Cambridge melalui seorang wanita bernama
Dorothy. Helen menghadiri pertemuan doa harian, studi Alkitab,
eksposisi Alkitab mingguan, dan upaya-upaya penginjilan. Ia membangun
persahabatan, membaca Perjanjian Baru untuk pertama kalinya, dan mulai
memahami kekristenan, tetapi ia masih merasa ada sesuatu yang kurang.
Dalam retret mahasiswa, ia membuka hatinya kepada Tuhan dan mengalami
pengampunan-Nya secara pribadi. Ketika ia memberikan kesaksian pada
malam terakhir retret, Dr. Graham Scroggie, seorang guru Alkitab
kawakan, menuliskan Filipi 3:10 di Alkitab baru Helen, dan berkata
kepadanya,
"Ini hanya permulaan, masih ada perjalanan panjang ke depan. Doa saya,
kiranya Anda akan melanjutkan ayat tersebut untuk mengetahui `kuasa
kebangkitan-Nya` dan juga, dengan kehendak Allah, mungkin suatu hari
nanti akan, `bersekutu dalam penderitaan-Nya, untuk menjadi selaras
dengan kematian-Nya`".
Pada saat itu, ketertarikannya pada misi telah matang dan menjadi
sebuah perasaan akan panggilan Allah. Setelah lulus, Helen mendaftar
ke World Evangelization Crusade (WEC) untuk melayani di Afrika.
Setelah berbulan-bulan menjalani masa orientasi dan pelatihan,
akhirnya ia menjalani keinginannya untuk menjadi misionaris pada usia
28 tahun.
Ia ditugaskan di wilayah timur laut Kongo (yang kemudian disebut
Zaire). Ia menjadi satu-satunya dokter bagi 2,5 juta orang di sana.
Suatu hari, atasannya berbicara kepadanya, "Jika kamu berpikir bahwa
kamu datang ke ladang misi karena kamu sedikit lebih baik daripada
yang lain, sebagai pemanis gerejamu, atau karena gelar doktermu, atau
untuk layanan yang dapat kamu berikan kepada gereja Afrika, atau
bahkan bagi jiwa-jiwa yang kamu pandang dapat diselamatkan, kamu akan
gagal. Ingat, pada akhirnya Tuhan hanya memiliki satu tujuan bagi kita
masing-masing: membuat kita menjadi seperti Yesus. Ia hanya tertarik
pada hubunganmu dengan diri-Nya. Biarkan Dia membawa dan membentukmu
seperti yang Dia kehendaki; yang lainnya akan tertata dengan benar
dengan sendirinya."
Pekerjaannya dimulai di sebuah rumah sakit sementara yang terbuat dari
tanah liat dan atap jerami. Dengan bantuan pekerja lokal, lulusan
Cambridge ini membuat dan membakar batu batanya sendiri dan membangun
bangunan yang mereka butuhkan. Tangannya yang robek dan berdarah
akibat bekerja di tempat pembakaran itulah yang membuat orang-orang
Afrika terkesan, bahwa ia bukan sekadar wanita berkulit putih yang
profesional, tetapi ia juga bersedia membayar risiko demi menyamakan
dirinya dengan kondisi mereka.
Mereka mengajari Helen menggunakan kapak, memilih pohon yang tepat,
yang tahan terhadap rayap dan pembusukan; memilih rumput bersih yang
baik dan serat yang tahan lama untuk membuat atap dari jerami. Ia
belajar bagaimana merencanakan tata letak bangunan terkait dengan arah
angin dan kemiringan atap untuk menahan hujan tropis. Ia berjuang
untuk belajar bahasa Swahili, bahasa lokal di sana.
Tekanan dalam perintisan pelayanan medis.
Dalam waktu 11 tahun, sebuah wilayah seluas 14 hektar berubah menjadi
100 tempat tidur rumah sakit dan alat-alat persalinan yang kompleks
dengan semua bangunan dan layanan yang diperlukan. Puluhan ribu orang
sakit dirawat, banyak di antaranya sudah pasti mati jika tanpa bantuan
rumah sakit. Semua pasien mendengar Injil melalui pelayanan para
pendeta rumah sakit. Selain itu, ia mendirikan 48 klinik kesehatan
pedesaan sebagai bentuk pertolongan pertama.
Namun, selama tahun-tahun itu, berbagai ketegangan dan tekanan
meningkat. Lembaga Misi menugaskan Dr. John Harris ke rumah sakit itu
dan menempatkan dia sebagai penanggung jawab. Helen terluka karena
perubahan ini. Ia menjadi marah dan kesal, serta kelelahan karena
terlalu banyak pekerjaan. Ia terlibat konflik dengan rekan-rekan
Afrikanya. Waktunya bersama Tuhan menjadi sangat terabaikan, dan ia
menjadi semakin kurang berminat dalam berdoa dan belajar Alkitab.
Pendeta nasional yang peka melihat gejala itu dan mengundang Helen
untuk berdoa puasa selama seminggu di rumahnya. Setelah beberapa hari,
Tuhan menegurnya. Helen menulis:
"Aku bergabung dengan Pendeta dan istrinya di sekitar perapian. Ketika
mereka sungguh-sungguh berdoa, Roh Allah menyentuh hatiku dan
meruntuhkan penghalang berupa kebanggaan, perasaan dingin, dan
mengungkapkan diriku yang sebenarnya. Ia membantuku mencurahkan isi
hati, mengungkapkan semua kebusukan dan perasaan gagal, ketakutan dan
kritik, kebanggaan dan egoisme. Lalu, secara lembut dan tenang, Pastor
Ndugu membawa saya berpaling jauh dari diri sendiri kepada Kristus di
Kalvari. Ia berurusan dengan kebutuhan akan penggantian pada titik-
titik tertentu, kebutuhan untuk memaafkan dan meminta maaf kepada
orang-orang tertentu, lalu keteduhan datang."
Persekutuan dan penderitaan-Nya.
Lima tahun setelah tiba di Afrika, Helen mengambil cuti dua tahun, dan
mengikuti pelatihan medis lebih lanjut di Inggris. Saat merenungkan
kesendiriannya di Afrika, ia menjadi sangat ingin menikah; memiliki
hubungan dengan seorang pria, yang dengannya ia dapat berbagi beban
atau pelayanan. Tuhan berkata kepadanya, "Serahkan itu kepada-Ku; Aku
bisa membawanya. Bersandarlah kepadaku; Aku dapat mendukungmu.
Cintailah Aku dan biarkan aku menjadi seorang suami bagimu." Akan
tetapi, kemudian ia berkata, "Bukan suami `spiritual` yang aku
inginkan: Aku ingin seorang suami dengan dua tangan! Aku merasa Tuhan
tidak mengerti maksudku."
Helen berteman dengan sesama mahasiswa, seorang dokter Kristen yang
menarik. Ia berusaha mendapatkan cinta pria itu dan berharap dapat
menikah dengannya. Ia membeli baju baru, memperbaiki rambutnya, dan
bahkan mengundurkan diri dari misi. Namun, seiring waktu, ia menyadari
bahwa sikapnya merupakan pemberontakan terhadap Allah dan tujuan-Nya
bagi hidupnya. Tuhan berulang kali menegurnya, menunjukkan bahwa
keinginannya yang besar untuk menikah telah menjadi berhala. Dan,
Allah membawanya dalam pertobatan dan ketaatan.
Ia mendaftar kembali ke misi, dan dikirim kembali ke Kongo. Namun,
perubahan sudah menanti. Kongo telah mendeklarasikan kemerdekaannya
dari Belgia. Ada pemberontakan di dalam angkatan bersenjata, dan
perang saudara pun pecah.
Meski sebagian besar misionaris meninggalkan negara itu, Helen memilih
tinggal. Saat itu, para pemberontak (Simbas) mengambil alih komponen-
komponen rumah sakit, dan Helen menjadi tawanan selama 5 bulan. Ia
menjadi saksi pencurahan kebencian orang-orang Afrika terhadap
kegagalan laki-laki kulit putih: ketidakadilan, kekejaman, kesulitan,
tenaga kerja murah, kekerasan terhadap perempuan, dll.. Ia menerima
beban kebencian mereka. Ia dipukuli dan diperkosa. Syukurlah, akhirnya
tentara nasional berhasil mengalahkan para pemberontak dan Helen
diselamatkan. Ia diterbangkan kembali ke Inggris. Namun, saat
mengisahkan masa-masa suram itu, Helen tidak berbicara tentang
kemarahan atau mengasihani diri. Sebaliknya, ia menyampaikan bagaimana
Roh telah memampukannya untuk bersyukur kepada-Nya karena telah
memercayakan dirinya dengan pengalaman itu, bahkan jika penjelasan
"Mengapa?" tidak pernah datang.
Membangun pusat pendidikan pelatihan.
Saat kembali ke Afrika, setelah cuti selama satu tahun, Helen melayani
selama 7 tahun dalam sebuah proyek medis antarmisi di Pusat Pengobatan
Medis Injili di Nyankunde, untuk mendirikan sebuah rumah sakit dengan
250 tempat tidur/tempat bersalin dan pusat perawatan kusta. Ia
mendirikan sebuah pusat pendidikan dan pelatihan bagi mantri kesehatan
nasional, termasuk program studi kebidanan bagi para perempuan muda.
Ia mendirikan beberapa rumah sakit dan apotek di daerah, sebuah
pelayanan dokter dengan menggunakan pesawat, melalui Misionaris
Aviation Fellowship; dan sebuah pusat penyedia obat-obatan dan
peralatan medis.
Seiring dengan sukacita penggunaan talentanya dan melihat hasil yang
nyata selama bertahun-tahun, Helen terus membayar harga dalam melayani
Tuhan. Harga yang harus dibayarnya adalah perjalanan yang panjang,
membosankan, dan tampak tak ada habisnya ke kantor-kantor di banyak
ibu kota provinsi dan negara. Ketekunan, kesabaran, dan keunggulan
karyanya akhirnya terbayar. Sekolah pelatihannya tidak hanya diberikan
pengakuan resmi, tetapi juga mencapai skor tertinggi.
Setelah itu, Helen merasa waktunya sudah akan segera berakhir. Lembaga
Misi telah menunjuk pasangan dokter baru, yang sedang dalam perjalanan
ke situ. Helen merasa sudah saatnya untuk menyerahkan semua itu ke
pemimpin yang lebih muda. Ia merencanakan sebuah acara untuk
melaksanakan upacara wisuda, pesta penyambutan untuk para dokter baru,
dan perpisahan untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, sebelum perayaan
dilaksanakan, ia dipaksa mengundurkan diri.
Pemerintah mulai menganggarkan subsidi untuk pendidikan siswa, selain
untuk membayar sebagian gaji tenaga medis. Helen dan rekan-rekannya
telah bermurah hati untuk memberikan 20% dari subsidi ini secara
langsung kepada siswa untuk pengeluaran pribadi, persentase yang lebih
tinggi daripada yang diberikan oleh lembaga lain. Namun, para siswa
merasa bahwa mereka seharusnya menerima lebih banyak. Mereka
menuduhnya mencuri dana perguruan tinggi, berbohong, bermuka dua, dan
memalsukan rekening dan lembar laporan yang dikirim ke pemerintah.
Akhirnya, untuk memecahkan kebuntuan, ia mengajukan pengunduran
dirinya.
"Tidak ada satu pun yang datang untuk mengucapkan selamat tinggal atau
untuk sekadar berjabat tangan. Tidak ada foto dari kelas yang
berkualitas ini, tidak akan ada hari wisuda. Semua perayaan di bulan
Agustus itu harus dibatalkan, termasuk paduan suara, meskipun telah
berlatih keras selama lima bulan, dan tidak ada rekaman untuk dibawa
pulang; kebanggaanku benar-benar diletakkan dalam debu dan diinjak-
injak. Apakah itu benar-benar sepadan?"
Hanya Yesus.
Saat ia merenungkan pertanyaan ini, Tuhan mulai menegurnya. Ia datang
ke Afrika untuk melayani Yesus. Namun, ia sadar bahwa ia juga
menginginkan lebih: kehormatan, popularitas, pendapat orang banyak,
kesuksesan, dan kebanggaan.
Dia ingin para misionaris lain menjadi khawatir tentang bagaimana
mereka akan dapat melakukannya tanpa dia. Tetapi, Tuhan berkata
kepadanya, "Tidak, engkau tidak bisa memilikinya. Harus salah satu,
`hanya Yesus` atau engkau akan mendapati bahwa engkau tidak memiliki
Yesus." Sebuah keheningan panjang diikuti oleh keheningan batin selama
beberapa hari. "Akhirnya, aku berhasil mengatakan kepada-Nya bahwa
dengan sepenuh hati aku menginginkan `hanya Yesus`."
Sebelum pergi, masyarakat mengadakan pesta perpisahan untuknya. Selama
dua jam, beberapa orang menyampaikan apresiasi dan cinta mereka
untuknya. Bahkan, sekelompok kecil mahasiswa yang menyanyikan sebuah
lagu setempat memintanya untuk mengingat mereka sebagai anak-anaknya
yang mencintainya dan membiarkan Allah menghapuskan dari ingatannya
sakitnya, luka yang telah mereka coba torehkan pada dirinya dalam
kebodohan mereka. Lalu, tiba waktunya untuk pergi.
Namun, tetap ada pertanyaan: Apakah itu semua sebanding dengan
meninggalkan rumah, hidup melajang, kerja keras, harga yang harus
dibayar untuk menderita? Berbicara tentang dipukuli selama masa
pemberontakan itu, Helen mengingat:
"Aku tidak berdoa. Aku jauh dari berdoa. Seseorang di rumah belakang
berdoa dengan sungguh-sungguh untukku. Jika aku pernah menaikkan doa,
itu adalah, `Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan aku?`
Dan, tiba-tiba, Allah hadir. Aku tidak mendapat penglihatan, aku tidak
mendengar suara, aku hanya tahu bahwa dalam setiap ons keberadaanku,
sesungguhnya Tuhan benar-benar ada di sana. Tuhan dalam segala
keagungan dan kekuasaan-Nya. Ia mengulurkan tangan-Nya untukku. Ia
mengelilingiku dengan cinta, dan tampaknya, Ia berbisik kepadaku, "Dua
puluh tahun lalu, kamu meminta kepada-Ku hak istimewa untuk menjadi
seorang misionaris. Itulah yang terjadi. Bukankah kamu
menginginkannya?"
"Fantastis, hak istimewa untuk menjadi identik dengan Juru Selamat
kita. Hal-hal itu bukanlah penderitaanmu. Semuanya itu tidak
mengalahkanmu. Itu adalah penderitaan-Ku. Yang Kuminta darimu adalah
meminjam tubuhmu."
"Satu kata menjadi jelas secara luar biasa, dan kata itu adalah hak
istimewa. Ia tidak mengambil rasa sakit, kekejaman, atau penghinaan.
Tidak! Semua itu ada, tetapi sekarang semua itu menjadi sama sekali
berbeda. Semua itu bersama dengan Dia, untuk Dia, di dalam Dia.
Sesungguhnya, Ia menawariku keistimewaan tak ternilai untuk berbagi
beberapa hal kecil di ujung persekutuan penderitaan-Nya."
Seseorang telah mencoba untuk "menghitung harga", tetapi aku menemukan
semuanya ditelan dalam "hak istimewa". "Harga" tiba-tiba tampak sangat
kecil dan hanya sementara saja, di dalam kebesaran dan keabadian hak
istimewa. (t/N. Risanti)
Diterjemahkan dan diringkas dari:
Nama situs: Urbana
Alamat URL: https://urbana.org/go-and-do/missionary-biographies/courageous-doctor-congo
Judul asli artikel: Helen Roseveare: Courageous Doctor in the Congo
Penulis artikel: Jack Voelkel
Tanggal akses: 17 April 2014
Kontak: biografi(at)sabda.org
Redaksi: Berlin B., N. Risanti, dan S. Setyawati.
Berlangganan: subscribe-i-kan-bio-kristi(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-bio-kristi(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/Bio-Kristi/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2014 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
|
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |