Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/40hari/7 |
|
Doa 40 Hari 2016 edisi 7 (2-6-2016)
|
|
40 HARI MENGASIHI BANGSA DALAM DOA -- KAMIS, 2 JUNI 2016 SUKU KAUR Dirangkum oleh: Ayub Profil Suku Kaur Suku ini terletak di provinsi Bengkulu, tepatnya di pinggir pantai Samudra Indonesia di kota Bintuan, kecamatan Kaur Selatan, kabupaten Bengkulu Selatan. Kini, mereka juga banyak bermukim di kecamatan Kaur Utara. Sebenarnya, suku Kaur berasal dari dataran tinggi Perbukitan Barisan yang merupakan wilayah yang juga dihuni oleh orang Rejang dan Pasemah dari wilayah Palembang, orang Lampung, dan orang Minangkabau. Suku Kaur tersebar di beberapa daerah di Bintuhan kecamatan Kaur Selatan, Tanjungiman kecamatan Kaur Tengah, Padangguci kecamatan Kaur Utara, dan di pesisir pantai sebelah barat Sumatera. Masyarakat suku Kaur secara umum mendiami wilayah teritorial kabupaten Kaur. Kemasyarakatan Suku Kaur Masyarakat suku Kaur hidup berkelompok mendiami wilayah batas kekuasaan teritorial tertentu yang kemudian membentuk kelompok masyarakat adat. Kelompok-kelompok tersebut adalah masyarakat adat suku Semende Nasal, Semende Ulu Nasal, Semende Banding Agung, Semende Muara Sahung, Semende Kaur Tanjung Agung, Marga Sambat, dan suku Kaur Nasal. Bahasa dalam keseharian mereka adalah bahasa Mulak yang termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayu Tengah. Pada umumnya, masyrakat suku Kaur bermata pencaharian sebagai peladang, peternak, dan petani. Sang laki-laki bekerja di luar rumah, sedangkan sang wanita mengurusi pekerjaan rumah. Dalam kelompok besar orang-orang Kaur, masyarakat hidup secara komunal dan sangat dekat dengan kehidupan yang rukun dan gotong royong. Suku Kaur memiliki tradisi adat yang unik, misalnya tidak memperbolehkan orang suku Kaur menikah dengan orang dari suku lain. Hal ini merupakan pantangan bagi mereka. Akan tetapi, diperbolehkan menikah dengan orang suku Kaur dari desa lain. Proses Pernikahan hanya boleh dilakukan setelah perayaan Panen Padi. Biasanya, laki-laki akan menikah pada usia 20 tahun dan perempuan pada usia 15 tahun. Setelah menikah, jika pihak laki-laki ingin mempelai perempuannya tinggal bersama keluarga laki-laki, dia harus membayar kepada keluarga mempelai perempuan sebesar 50 ribu rupiah. Akan tetapi, jika sebaliknya, orangtua mempelai perempuan hanya memberikan kenang-kenangan kepada pihak laki-laki. Sampai saat ini, masyarakat tradisional ini masih hidup dengan berpegang teguh pada adat istiadat yang berlaku. Seluruh aspek kebudayaan dan kearifan yang tumbuh dalam suku Kaur adalah kekayaan budaya dari beragamnya masyarakat Indonesia yang patut dipertahankan. Oleh karena itu, keberadaan masyarakat suku Kaur juga patut mendapat perhatian khusus selayaknya masyarakat tradisional lainnya. Kepercayaan Dalam masyarakat Kaur, mereka telah memercayai adanya Tuhan yang esa karena sebagian besar dari orang Kaur menganut agama Islam. Sampai saat ini, belum ada catatan tentang orang Kaur yang telah menjadi Kristen. Bahkan, ada sumber yang menyebutkan 100% orang Kaur adalah penganut agama Islam. Di setiap desa terdapat satu atau dua masjid.
Secara ekonomi, mereka adalah masyarakat yang sudah cukup maju. Mereka juga memiliki mata pencaharian dan hasil bumi yang baik. Kebutuhan mereka yang paling besar dan harus sesegera mungkin adalah kebutuhan akan Injil. Suku ini masih dibelenggu Iblis. Kemungkinan besar, belum satu orang pun yang menjadi ciptaan baru Yesus Kristus. Mereka memerlukan orang-orang dari suku lain untuk memberitakan Injil kepada mereka. Alkitab berbahasa Mulak sangat diperlukan karena mereka sangat memiliki kebanggaan akan bahasa daerah mereka. Pokok Doa:
Dirangkum dari:
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |