Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/40hari/3 |
|
Doa 40 Hari 2014 edisi 3 (20-6-2014)
|
|
40 HARI MENGASIHI BANGSA DALAM DOA -- JUMAT, 20 JUNI 2014 SUKU SUMBAWA Suku Sumbawa atau Tau Samawa adalah suku yang mendiami bagian barat pulau Sumbawa di provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia, yang luas wilayahnya adalah 8.493 km2. Sebagian besar wilayahnya terdiri atas perbukitan dan pegunungan. Suku Sumbawa tersebar di kabupaten Sumbawa dan kabupaten Sumbawa Barat, yang meliputi kecamatan Empang hingga kecamatan Taliwang dan Sekongkang, termasuk 38 pulau kecil di sekitarnya. Batas Utara kedua daerah kabupaten ini Laut Flores, batas Selatan adalah Samudra Indonesia, batas Barat adalah Selat Alas, dan batas Timur adalah kabupaten Dompu. Populasi suku Sumbawa adalah sebesar 500.000 orang. Seiring berjalannya waktu, suku Sumbawa mengalami percampuran dengan etnis dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, China, dan Arab. Suku Sumbawa yang telah bercampur dengan etnis lain biasanya bermukim di dataran rendah dan daerah-daerah pesisir, sedangkan suku Sumbawa asli menempati dataran tinggi pegunungan seperti Tepal, Dodo, dan Labangkar. Suku Sumbawa pada umumnya bertani, mencari ikan, berburu, meramu hasil hutan untuk dijadikan bahan makanan, dan beternak. Beberapa produk andalan yang menjadi maskot bagi Sumbawa adalah madu lebah, mutiara, dan kekayaan flora-fauna berupa kayu gaharu, kuda, dan rusa yang mulai terancam punah akibat perburuan liar. Suku Sumbawa berbicara dalam bahasa Sumbawa yang menjadi bahasa persatuan atau bahasa pengantar percakapan sehari-hari. Namun, suku Sumbawa memiliki beberapa dialek, seperti dialek Taliwang-Jereweh-Tongo, dialek Samawa, Baturotok (Batulante), dialek Taliwang, Jereweh, dialek Tongo, dll.. Bukti-bukti arkeologis di Sumbawa yang berupa sarkofagus, nekara, dan menhir mengindikasikan bahwa Sumbawa Purba telah memiliki kepercayaan dan bentuk-bentuk ritual penyembahan kepada arwah nenek moyang mereka. Konsep-konsep tentang kosmologi dan perlunya menjaga keseimbangan antara dirinya dan makrokosmos terus diwariskan lintas generasi hingga masuknya kebudayaan Hindu-Buddha dan Islam di Sumbawa. Diperkirakan, agama Hindu-Buddha berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil Sumbawa sekitar dua ratus tahun sebelum masuknya kerajaan Majapahit ke wilayah Sumbawa. Saat ini, suku Sumbawa mayoritas memeluk agama Islam. Sebagian kecil masyarakat suku Sumbawa menganut aliran Islam Wetu Telu. Aliran Islam Wetu Telu ini agak berbeda dengan agama Islam pada umumnya. Menurut Zolinger, agama Islam masuk ke pulau Sumbawa antara tahun 1450 -- 1540 yang dibawa oleh para pedagang Islam dari Jawa dan Melayu, khususnya Palembang. Setelah kerajaan Majapahit runtuh, proses pengenalan ajaran Islam oleh para mubaligh pada tahun-tahun awal abad ke-16 semakin mudah. Penaklukan Karaeng Moroangang dari Gowa-Sulawesi tahun 1618 atas kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan), sebagai kerajaan terakhir yang bersedia memeluk Islam, menghasilkan sumpah "adat dan rapang Samawa" (contoh-contoh kebaikan), yaitu mereka tidak akan diganggu gugat sepanjang raja dan rakyatnya menjalankan syariat Islam. Meski sudah menjalankan agama mayoritas, dalam praktik keseharian mereka masih percaya pada makhluk-makhluk halus yang dianggap bisa mendatangkan musibah bencana dan penyakit. Mereka percaya adanya baki atau makhluk halus yang tinggal di hutan dan di pohon-pohon besar, kono atau makhluk halus yang sering berkeliaran di tempat-tempat sepi di siang hari, dan leak atau orang jahat yang bisa berubah menjadi binatang dan gemar memakan ketuban serta minum darah bayi yang baru dilahirkan. Sistem kekerabatan dan keturunan suku Sumbawa adalah bilateral, yaitu sistem penarikan garis keturunan berdasarkan garis silsilah nenek moyang laki-laki dan perempuan. Dalam sistem kekerabatan suku Sumbawa, ada dua istilah: Tata cara perkawinan dalam masyarakat Sumbawa diselenggarakan dengan upacara adat yang kompleks, mirip dengan prosesi perkawinan adat Bugis-Makassar yang diawali dengan bakatoan (bajajak), basaputis, nyorong, dan upacara barodak pada malam hari menjelang kedua calon pengantin dinikahkan. Upacara barodak ini mengandung unsur-unsur kombinasi ritual midodareni dan ruwatan dalam tradisi Jawa. Untuk menjangkau suku Sumbawa, bahan-bahan berikut ini kiranya dapat kita gunakan sebagai referensi:
POKOK DOA
Dirangkum dari:
Kontak: doa(at)sabda.org
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |