Drama di Dalam Kelas


Jenis Bahan PEPAK: Artikel

Beberapa orang mengatakan bahwa drama mengajarkan tentang kehidupan kepada kita dengan cara yang lebih jelas dan lebih gamblang daripada yang kita alami sebenarnya. Drama cenderung mengelompokkan masalah-masalah kompleks dalam hidup manusia, bukan dengan penyederhanaan, namun melalui seleksi. Drama dapat membuat cerita dan gagasan menjadi lebih hidup, dan karena sifat dasarnya yang pokok dan kreatif, drama sering menjadi teknik pendidikan yang penting.

Ketika kita memikirkan tentang konteks pendidikan di gereja dan sekolah minggu, kita cenderung hanya memikirkan "drama religi" dan lebih khusus lagi "drama Kristen". Kaye Baxter mendefinisikan drama religi sebagai hal yang berkaitan dengan tema kehidupan yang penting dan pokok. Drama "menampilkan karakter dalam tindakan -- dalam situasi ketika iman dan kepercayaan diuji."[1]

Ingatlah, yang sedang kita pikirkan di sini adalah metode yang efektif untuk mengomunikasikan pesan kebenaran. Seseorang seharusnya tidak diombang-ambingkan oleh karena sekelompok orang yang mengatakan bahwa karena drama digunakan dengan tidak tepat untuk menyatakan kesalahan dan dosa, metode tersebut [menggunakan drama] tidak baik dan harus dihindari. Drama sebagai teknik adalah amoral (tidak lagi memiliki ciri khas yang baik atau jahat). Cara kita menggunakannyalah yang membuat perbedaan.

Perjanjian Lama menyediakan cukup banyak contoh untuk pengajaran macam ini. Perhatikanlah nabi Yehezkiel yang mendesain contoh kota Yerusalem dan kemudian mengepungnya atas perintah Allah. Atau reaksi Elia di Gunung Karmel seperti yang dicatat dalam 1 Raja-Raja 18. Sebenarnya tidak perlu bagi Elia untuk menambahi air yang berbuyung-buyung itu atau mengejek nabi-nabi Baal tentang allah mereka yang sedang bepergian. Tetapi semua tindakannya itu mencapai puncaknya ketika Elia memperlihatkan kekuatan Allahyang luar biasa. Demonstrasi dramatis dari para nabi menjadi format pengajaran dasar pada saat itu.

Kita jangan menyalahartikan drama dengan permainan peran. Permainan peran dapat dipertunjukkan dalam waktu kurang dari setengah jam tanpa persiapan apa pun dari masing-masing pemeran. Hal itu jarang terjadi pada drama. Di sini kita sedang membahas tentang metode yang mungkin bisa kita laksanakan hanya sekali atau dua kali setahun. Jam latihan yang lama, kostum, tata panggung, dan persiapan-persiapan lain cenderung membuat kita merasa bahwa drama adalah metode pengajaran benar-benar "tidak sebanding dengan usahanya". Namun kita tidak perlu terlalu tergesa-gesa menyalahkan metode pengajaran mana pun, setidaknya sampai kita mencobanya. Pengaruh yang dihasilkan oleh drama pada hidup para pemain dan penontonnya mungkin sepadan dengan waktu yang diinvestasikan.

Nilai-Nilai Kegunaan Drama

Drama bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk menunjukkan solusi yang tepat atas masalah-masalah yang dihadapi oleh orang-orang dalam kehidupan nyata. Keterlibatan emosi adalah pengalaman yang biasa terjadi ketika seseorang menyaksikan drama yang efektif. Penonton tersebut mungkin melihat dirinya direfleksikan dalam salah satu tokoh dan mengakui bahwa solusi yang sama yang dieksplorasi dalam drama itu bisa juga diterapkan dalam hidup dan masalahnya.

Drama juga bisa digunakan untuk meningkatkan pengalaman penyembahan. James Warren mengingatkan kita, "Drama selalu dikaitkan erat dengan penyembahan di gereja. Sebagai contoh, pembacaan lisan, paduan suara, pertunjukan seni, tarian dramatis, dekorasi yang menawan, dan tata lampu adalah sebagian dari teknik yang bisa membawa jemaat kepada semangat penyembahan. Drama bukan hanya bisa ditemukan dalam teknik-teknik di atas, tapi juga bisa ditemukan di dalam liturgi (misalnya, ketika sebuah kebaktian penyembahan lambat laun menuju kepada tindakan pemujaan dan komitmen)."[2]

Saya tidak akan pernah melupakan pengalaman yang saya alami dalam kebaktian Jumat Agung beberapa tahun yang lalu. Sebagai ganti puji-pujian paduan suara dan khotbah biasa, gereja saya memakai film tentang Penyaliban. Pengaruh drama tersebut terhadap hidup saya pada saat itu jauh lebih berarti daripada ibadah-ibadah lain yang saya ikuti pada tahun-tahun sebelumnya.

Fitur dari drama yang lain yang juga berguna adalah kemampuannya menstimulasi pikiran mengenai masalah-masalah penting. Dalam hal ini, drama bisa digunakan sebagai katalisator dalam diskusi kelompok. Untuk hal ini, kita tidak perlu direpotkan dengan masalah kostum dan latihan karena kita menginginkan drama yang cukup singkat dalam pementasannya sehingga setelah pertunjukan waktu dapat digunakan untuk diskusi yang efektif.

Sebagai contoh, sekelas anak-anak SMP yang sedang mempelajari kisah perjalanan penginjilan Paulus dalam kitab Kisah Para Rasul bisa mempersiapkan drama tentang Paulus dan Silas di penjara Filipi. Dua atau tiga kali latihan dengan penggunaan kostum yang terbatas bisa menghasilkan pertunjukan yang bermanfaat dalam waktu 15 atau 20 menit yang kemudian bisa diikuti oleh diskusi kelompok menyeluruh.

Drama bisa membantu menyingkapkan pemahaman karakter dan kepribadian seseorang yang digambarkan dalam drama. Bayangkan dampak yang dapat ditimbulkan oleh drama yang direncanakan dengan matang yang mempelajari perilaku Ayub selama masa kesusahannya.

Drama bisa membantu gereja dalam penginjilan. Orangtua non-Kristen yang mungkin tidak pernah datang ke kebaktian gereja mungkin akan merespons dengan antusias undangan yang meminta mereka datang dan menyaksikan drama yang diikuti oleh anak-anak mereka. Pengaruh pesan sebuah drama bisa diarahkan pada penyampaian Injil yang jelas. Jika kita melihat penerimaan yang besar oleh masyarakat terhadap pelayanan film dari Billy Graham Evangelistic Association, maka hal itu sudah merupakan suatu pembenaran yang cukup terhadap peran drama dalam penginjilan.

Jika gereja menggunakan media televisi dalam skala yang besar, mungkin sangat baik mengetahui (seperti yang telah ditunjukkan beberapa denominasi besar kepada kita melalui pelayanan televisi mereka) bahwa drama Kristen merupakan teknik yang lebih efektif dalam mengomunikasikan Injil melalui televisi dibanding dengan pendekatan tradisional lainnya.

Satu hal lagi yang perlu dibahas adalah penggunaan drama kreatif dengan anak-anak. Eleanor Morrison dan Virgil Foster menyediakan satu bab khusus untuk masalah ini dalam buku mereka dan menunjukkan bagaimana drama bisa menjadi efektif sekalipun tanpa latihan yang lama dan kostum yang mahal. "Drama kreatif adalah kegiatan favorit anak-anak karena mereka mengarang penulisan drama mereka sendiri. Materi yang digunakan mungkin asli atau mungkin berdasarkan pada kisah yang sedang dipelajari dalam kelompok. Gambar latar, kostum, dan peralatan hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Dialognya -- karena drama tersebut muncul dari interaksi spontan -- bervariasi setiap kali dipentaskan. Penekanannya adalah pada partisipasi yang spontan dan bebas dari anak-anak alih-alih akting yang hebat. Pemeran mungkin bisa berganti-ganti setiap berganti adegan karena semua anak harus dilibatkan."[3]

Hal-Hal Penting Sebelum Melakukan Pertunjukan Drama

Dalam upaya memutuskan untuk menggunakan drama, saya sudah menyebutkan sebagian besar dari masalah-masalah utamanya. Kemungkinan latihan berminggu-minggu atau berbulan-bulan yang menyebalkan, ditambah lagi dengan biaya kostum dan panggung, dan semuanya cukup menarik guru untuk kembali ke metode mengajar melalui khotbah!

Salah satu murid saya, yang menulis sebuah karangan mengenai kegunaan drama, menyarankan sebuah model untuk memperkenalkan drama sebagai teknik pengajaran di gereja. Dia menuliskan tujuh langkah yang harus dilakukan.

1. Pelajaran -- bahan yang diajarkan di kelas-kelas.

2. Diskusi -- pembahasan tentang bagaimana seorang tokoh berpikir, atau bagaimana seseorang seharusnya merespons apa yang dibicarakan.

3. Diskusi lanjutan -- pembahasan drama religi dan bagaimana drama tersebut bisa membantu menjelaskan situasi dalam kehidupan orang Kristen.

4. Permainan peran -- setiap pemain berpura-pura memerankan seorang tokoh dan beradu akting dengan pemain yang lain.

5. Improvisasi -- naskah pendek untuk menggambarkan beberapa ide atau memerankan beberapa tokoh.

6. Adegan pendek -- naskah yang lebih panjang dan mulai memikirkan masalah kostum.

7. Drama tunggal -- naskah lengkap dan dengan latihan-latihan sebelum drama dipentaskan untuk penonton.

Hasil akhir dari delapan langkah ini adalah sebuah drama lengkap dan penggunaan drama sebagai media reguler dalam program pendidikan gereja.

Prinsip-Prinsip Penggunaan Drama yang Efektif

Bersabarlah dengan pemain yang belum berpengalaman. Bersabarlah dengan orang-orang dewasa di gereja yang sedikit curiga dengan metode tersebut. Bersabarlah untuk melihat hasil akhir drama sebagai teknik pengajaran.

Perhatikanlah dengan cermat drama yang akan ditampilkan. Pastikan drama tersebut tidak terlalu sulit bagi kelompok usia tertentu dan sehingga pesan pentingnya dapat tersampaikan dengan tepat.

Pilihlah seorang sutradara yang bisa membimbing dengan baik dalam pengembangan drama. Jika Anda harus menyutradarainya sendiri, pelajarilah beberapa sumber buku yang membantu untuk meningkatkan keefektifan kepemimpinan Anda. (t/Setya)

Referensi:

[1] "Contemporary Theater and the Christian Faith", Abingdon, Nashville, TN

[2] "Art in the church," Religius Education, Marvin J. Taylor, ed., Abingdon, Nashville, TN

[3] "Creative Teaching in the Church", Eleanor Morrison and Virgil Foster, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, NJ

Diterjemahkan dan disunting dari:

Kategori Bahan PEPAK: Pelayanan Sekolah Minggu

Sumber
Judul Artikel: 
Drama in the Classroom
Judul Buku: 
24 Ways to Improve Your Teaching
Pengarang: 
Kenneth O. Gangel
Halaman: 
112 -- 117
Penerbit: 
SP Publication Inc,
Kota: 
Amerika Serikat
Tahun: 
1974

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK

Komentar