Penghiburan yang Kekal

Berita meninggalnya Elga sebenarnya tidak begitu mengejutkan kami, kaum kerabatnya. Tetapi tewasnya Lia, adiknya tepat 24 jam kemudian, bagaikan halilintar menyambar kami di siang hari.

Betapa tidak. Lia bersama ayah mertuanya tewas akibat taksi yang mereka tumpangi menuju Bandung untuk menghadiri pemakaman Elga, menghantam sebuah truk yang di parkir di pinggir jalan. Di jalanan yang gelap gulita itu, Lia tewas seketika. Mungkin tak sempat lagi ia mengenang bujukan anaknya. "Jangan berangkat sekarang, mama. Besok saja bersama papa dan kami, anak-anak." Panggilan untuk pulang ke rumah Allah Bapa, ternyata sudah tak dapat dielakkan.

Selama kebaktian yang diadakan mendahului upaca pemakaman, hatiku serasa hancur luluh menyaksikan kedua keluarga yang kini mesing-masing kehilangan ibu dan istri mereka. Anak Elga yang tertua baru berusia tiga tahun. Ia belum mengerti sepenuhnya akan makna ramainya orang-orang bermata merah dan bengkak, hilir mudik di rumah itu. Tetapi ia sudah merasakan suatu kehilangan dan ia pun merengek tak hentinya ... mencari ibunya.

Dan anak-anak Lia yang masing-masing 6 dan 10 tahun, keduanya begitu diam. Begitu hampa pandangan mata mereka, namun sekaligus juga terpancar kebingungan: siapa sekarang yang akan mengurusi dan mengasihi mereka?

Hanya ini kata-kata penghiburan bagi kita bahwa kelak kita akan berkumpul bersama orang-orang yang kita kasihi sekalipun sekarang ini kita tak bisa mengerti mengapa musibah ini harus terjadi. Tuhan memang sudah mengatakan, "Pikiran-Ku bukan piiranmu, dan cara-cara-Ku bukanlah cara-caramu..."

Tetapi bagiku yang menyaksikan air mata kedua keluarga itu, meleleh seperti air mataku, timbul kemelut dalam hati, "Benarkah kata-kata itu mengandung penghiburan? Terlebih lagi suami Lia yang juga harus sekaligus kehilangan ayahnya. Oh, Tuhan betapa tak masuk akal bahwa Eangkau yang sudah mengambil, kini cuma bisa memberikan kata-kata penghiburan saja. Ampunilah Tuhan, tapi...."

Di tanah pemakaman kemelut hatiku belum mereda. Bahkan aku tambah jengkel melihat orang-orang di kiri kananku ngobrol seenaknya. Seakan-akan ini cuma suatu piknik! Sulit rasanya memusatkan pikiran untuk menangkap kata-kata perpisahan yang disampaikan pendeta saat kedua peti jenazah diturunkan.

Tapi tiba-tiba terdengar suatu senandung, mengalun makin lama semakin jelas. Orang-orang terdiam. Juga mulut-mulut bawel disekitarku. Agaknya semua ingin tahu dari mana datangnya senandung itu. Rupa-rupanya ada paduan suara. Tapi, mengapa mereka cuma bersenandung? Oh, tidak ... dengarlah:

Hampirilah malam, marilah Tuhan
Serta hamba, bri perhentian
Kar'na kuharap hanya pada-Mu
Yesus penolong tinggal sertaku
... Almasih ada, habislah sudah
Air mata pun dan takut lenyaplah
Hai maut dan kubur, mana sengatmu
Jikalau Tuhan tinggal sertaku?

Ah ... sejuknya suara-suara itu. Sejenak kurasakan suatu keharuan menyelinap di hatiku -- suara-suara yang mengalun itu begitu lembut, penuh belaian kasih sanyang.

Ketika kulayangkan mata ke langit kelabu kedamaian telah kembali bertahta di hatiku. Jikalau Tuhan begitu mengasihi diriku sehingga mendatangkan penghiburan melalui suara-suara itu, betapa lebih besar lagi kasih sanyang dan penghiburan-Nya bagi keluarga yang ditinggalkan.

Bagaimana mungkin aku melupakan bahwa Dialah penghibur yang kekal, yang berkuasa mendatangkan penghiburan dalam bentuk apapun, di manapun, kapanpun. Melintasi segala lembah kedukaan, melampaui segala ketidakpahaman kita akan cara-cara-Nya, menuju pagi pertemuan yang cerah dan penuh kemenangan!

Diambil dari:

Judul buku : Untaian Mutiara
Penulis : Betsy T
Penerbit : Gandum Mas, Malang
Halaman : 7 -- 9

Comments

Test

Tinggalkan Komentar