Orang Keempat Dalam Dapur Perapian

Sajid Masih, penginjil yang berusia 27 tahun, naik ke sebuah bis yang akan membawa ke tempat pelayanan misi. Ia menuju ke wilayah yang didominasi oleh orang-orang "agama lain" garis keras.

Ketika bis membawanya menuju bahaya dan masa depan yang tidak menentu, Sajid kembali membayangkan sebuah penglihatan yang ia alami sewaktu ia masih bersekolah Alkitab. Dalam penglihatan itu, ia melihat salah satu kota besar di Pakistan pada masa depan, dengan pintu besar kota yang terbuka. Sajid mengatakan ia percaya bahwa penglihatan itu adalah cara Tuhan memberikan tanda padanya, bahwa Dia akan memimpinnya ke arah yang baru dan membuka pintu-pintu baru untuknya dalam mengabarkan Injil di kota-kota besar Pakistan.

Dalam sepuluh tahun mengikuti petunjuk penglihatan itu, Sajid telah membawa banyak orang Pakistan kepada Kristus. Sebagian besar orang yang ia temui terbuka pada Injil, dan bahkan beberapa dari mereka mengalami mukjizat kesembuhan melalui pelayanannya.

Sekarang, ketika ia berjalan ke arah petualangan yang baru, Sajid mulai bersahabat dengan beberapa penumpang yang duduk di dekatnya dan mulai menceritakan kepada mereka tentang Yesus. Mereka tertarik untuk mendengar lebih banyak, tetapi seorang pria berjenggot yang duduk di belakang Sajid mulai berdebat dengannya.

"Kamu orang Kristen tidak pernah menganggap nabi kami, jadi mengapa kami harus mendengarkan kamu berbicara tentang Alkitab?" teriak pria ini.

"Tenang Pak, kata Sajid, di Alkitab kami tidak ada satu ayat pun yang mengatakan tentang nabi Bapak."

"Nabi kami tercatat di Alkitabmu," kata pria ini bersikeras, "Tetapi kalian orang-orang Kristen tidak mau menerimanya, jadi kalian mengubah isi kitab kalian sesuka hati." Sajid tidak membalas ucapan pria ini lagi. Ia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan orang yang sedang marah.

Perjalanan panjang dalam bis akhirnya berakhir tidak lama setelah matahari terbenam. Setelah Sajid turun dari bis, sekitar dua belas orang sudah mengepungnya. Mereka mengeroyok Sajid, menutup kedua matanya dengan kain hitam dan melemparnya ke dalam kursi belakang sebuah mobil. Dua puluh lima menit kemudian, mereka tiba di sebuah rumah tertutup. Mereka membawanya masuk ke sebuah kamar untuk ditanyai.

"Kamu siapa?" tanya mereka dengan kasarnya. "Apakah kamu seorang penginjil? Apakah kamu membuat orang-orang "agama lain" murtad? Dari organisasi mana kamu diutus?"

Sajid terdiam dalam ketakutan, tetapi orang yang menganiayanya mengancam akan membunuhnya jika ia tidak menjawab pertanyaan mereka. "Aku katakan sejujurnya," kata Sajid, "Aku adalah utusan Tuhan." "Jika kamu masih sayang dengan nyawamu, kamu harus menyangkal imanmu dan menjadi agama lain," kata orang-orang ini. "Jika kamu tidak menurut pada kami, kami akan menyiksamu dan dalam 30 menit keinginan besarmu dalam penginjilan akan hilang."

"Aku sudah siap menerima apa pun yang kamu ingin lakukan padaku," jawab Sajid. "Aku siap mati untuk Yesus dan hasratku untuk melayani Dia tidak akan luntur, apa pun yang terjadi padaku."

Para penculik Sajid membawanya keluar, mengikat tangan Sajid ke belakang, dan memaksanya berdiri di atas balok es dengan tubuh yang bersandar pada sebuah pohon. Mereka mengikat tubuhnya ke pohon supaya dia tidak bisa melarikan diri. Setelah empat jam berdiri di atas balok es, kaki Sajid mulai mengalami kebekuan yang menusuk. Ia tidak dapat bertahan lagi dan berseru kepada Tuhan Yesus meminta pertolongan. "Tiba-tiba, aku mendapatkan penglihatan seorang malaikat yang bercahaya terang muncul di depanku," kata Sajid. Sakit yang menusuk makin mereda dan dia dikuatkan. Dalam keadaan seperti itu, Sajid memutuskan untuk menyanyikan beberapa lagu pujian, walaupun ada kemungkinan orang-orang yang menculiknya makin marah mendengar dia bernyanyi. Kemudian, Sajid jatuh pingsan. Ketika terbangun pada pukul 03.00 pagi, Sajid menyadari bahwa ia dibuang di dalam selokan di pinggir jalan. Dompet dan sebuah buku berbahasa Ibrani yang selalu dibawanya tercecer di sampingnya.

Seorang pejalan kaki membawa Sajid ke sebuah hotel setempat, tempat ia tinggal selama tiga hari di sana. Di hotel itu, ia bisa beristirahat lebih lama dan mendapatkan perawatan medis.

Ia mengatakan bahwa walaupun pencobaan yang dialaminya sulit, ia merasakan bahwa Yesus sangat dekat dengannya. "Ketika kita menderita dan menghadapi masalah, Yesus datang sangat dekat dengan kita," katanya. Sama seperti ketika "orang keempat" muncul bersama Sadrakh, Mesakh, dan Abednego di dalam dapur perapian, Yesus juga hadir bersama Sajid di tengah-tengah penderitaannya.

Ketika Sadrakh, Mesakh, dan Abednego dibebaskan dari dapur perapian, Raja Nebukadnezar berkata, "Terpujilah Allahnya Sadrakh, Mesakh dan Abednego, Ia telah mengutus malaikat-Nya melepaskan hamba-hamba-Nya, yang telah menaruh percaya kepada-Nya, dan melanggar titah raja dan menyerahkan tubuh mereka, karena mereka tidak mau memuja dan menyembah allah mana pun kecuali Allah mereka." (Daniel 3:28)

Seperti tiga orang dalam Daniel pasal 3, Kazim, Nadia, dan Sajid menyerahkan tubuh mereka, dengan rela menghadapi siksaan fisik dan perasaan supaya mereka tidak menyembah allah lain kecuali Tuhan mereka. Kesaksian dan keberanian mereka menginspirasi kita. Kami bersyukur atas kebebasan mereka dari dapur perapian Pakistan. Berdoalah supaya Tuhan terus memakai mereka lebih hebat lagi.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Nama buletin : Kasih Dalam Perbuatan, Edisi November - Desember 2012
Penulis : Tidak dicantumkan
Penerbit : Yayasan Kasih Dalam Perbuatan (KDP), Surabaya 2012
Halaman : 6 -- 7

"Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga." (Matius 10:32-33)

Kategori: 

Tinggalkan Komentar