Hidup Saya Sebagai Orang Farisi

Gambar: KISAH_orang_farisi.jpg

Sebagai orang yang tumbuh di gereja, saya selalu menyamakan diri saya dengan kisah dalam Alkitab tentang "orang-orang baik" -- rendah hati, jujur, berkepribadian kuat -- yang dinyatakan dalam firman Tuhan. Kisah perempuan yang membasuh kaki Yesus dengan rambutnya juga termasuk di dalamnya. Saya tahu bahwa saya seorang pendosa yang telah diselamatkan karena kasih karunia. Dan tentu saja, saya mengasihi dan menyembah Yesus sama banyaknya dengan perempuan itu. Saya tidak seperti orang Farisi yang tidak memahami bahwa ia memerlukan pengampunan Yesus. Tepat sebelum ulang tahun saya yang kesembilan belas, saya digerakkan untuk masuk ke sekolah Alkitab. Semuanya karena komentar orang mengenai hubungan saya dengan Allah. Saya sangat percaya diri terhadap respek mereka, tapi saya mendapati bahwa saya masuk ke dalam perangkap "kesan baik". Saya dibesarkan dan diasuh oleh orang tua Kristen, dan terus bertumbuh dengan mendengarkan nasihat ayah yang penuh hikmat. Hal tersebut memberikan manfaat yang sangat baik. Lagipula, saya adalah orang yang membawa damai, memiliki rasa humor, dan tidak mudah marah. Orang-orang cenderung menyukai saya, dan saya menyukai mereka karena mereka juga menyukai saya.

Sekalipun demikian, saya ragu bagaimana selama semester kedua kuliah saya, orang-orang sering datang ke kamar saya. Mereka meminta nasihat dan dukungan. Teman sekamar saya mengejek dan mengancam akan memasang tanda "Konselor PERGI". Sementara orang banyak meminta pertolongan, saya mulai dijangkiti dengan "merasa penting". Perasaan itu mulai berada di luar kendali dan menggeser fokus saya kepada Allah. Saya semakin pintar untuk berbangga diri. Itu sama sekali tidak dapat diterima dan sungguh-sungguh merusak kerendahan hati. Namun, hati saya tidak dapat meyakini bahwa Allah seharusnya disenangkan karena saya ada di dalam tim kerja-Nya.

Yesus berjanji bahwa kebenaran-Nya akan bersinar lebih terang dalam hidup saya.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Mengundang Yesus Menjadi Tamu Saya

Sementara saya merasa bahwa respek orang lain semakin membanggakan diri saya, ego saya pun tumbuh semakin kuat. Jauh di dalam hati, saya tahu bahwa semua itu tidak baik. Saya seperti berada di sebuah kereta api yang melaju cepat dan saya tidak yakin mampu menghentikannya, bahkan jika saya menginginkannya. Namun kenyataannya, saya tidak menginginkannya. Saya menikmatinya dan berharap hal itu akan berlanjut. Saya ingin Yesus hadir dalam hidup saya. Namun, saya tidak siap untuk kehilangan "pelayanan" saya yang sedang tumbuh dengan cara mengizinkan Dia mengatasi kesombongan saya. Saya berdoa supaya Dia memberi saya hikmat dan petunjuk yang saya perlukan untuk membantu orang lain, tetapi saya tidak mengakui betapa dalamnya kebutuhan dan kekosongan yang saya rasakan dalam seluruh popularitas yang saya dapatkan.

Seperti Simon, saya ingin Yesus hadir di pesta saya, tetapi saya ingin Dia ada di sana sesuai keinginan saya. Sesungguhnya, dengan Yesus ada di dalam pesta saya, semuanya akan berlangsung dengan baik. Dia memberkati saya dengan kehadiran-Nya, dan sebagaimana Ia melakukannya, saya akan menjadi alat untuk menciptakan hubungan yang lebih baik antara Dia dengan orang lain. Citra diri saya akan tetap utuh, orang lain akan mengenal Dia dengan lebih baik, dan Dia akan memiliki kesempatan untuk memakai saya berbicara kepada orang banyak. Sungguh suatu rancangan yang sangat indah! Saya dapat melihat masa depan pertumbuhan rohani bagi orang-orang di sekitar saya. Sejauh ini pesta itu sungguh sukses. Tetapi, ia tersandung sebuah batu besar.

Pesta Selesai: Dari Orang Farisi Sampai pada Kegagalan

Semua orang Farisi yang penuh dengan kebanggaan diri harus dipatahkan, tetapi hanya beberapa yang akan bangkit. Mereka yang bangkit inilah yang beruntung. Saya akan senantiasa bersyukur kepada Yesus karena telah berjuang keras untuk bangkit (oleh karena kasih karunia). Kejatuhan saya telah membutakan saya. Hal itu menyakitkan dan menghancurkan kesombongan saya. Tidak banyak orang yang tahu kejatuhan saya, dan saya yakin kasih karunia Allahlah yang telah menutupi rasa malu saya. Saya tahu telah jatuh, dan saya melihat hal itu terjadi dengan jelas.

Peristiwa itu datang diam-diam. Saya merasa kian kesepian dan beberapa tempat kosong di dalam relung hati saya yang telah lama terabaikan, berteriak menuntut perhatian, dan hubungan secara fisik pun mulai di luar kendali. Saya terlibat dalam hubungan tak bermoral yang saya sendiri tak pernah percaya hal itu dapat terjadi. Saya tiba-tiba merasa seolah-olah orang lain -- pribadi yang saya tidak tahu bahwa itu ada -- mengendalikan tindakan saya. Saya melihat kegagalan saya dengan rasa ngeri. Dan, ketika saya menjadi diri saya (bersama Allah), saya dikendalikan oleh rasa malu dan kesepian yang lebih parah daripada sebelumnya.

Masa lalu saya seperti satu momen dalam hidup saya, momen perubahan. Hal itu berlangsung selama beberapa bulan dan sangat sulit. Pada momen itulah saya berubah dari orang Farisi yang merasa diri penting, yang perlu mencari kasih dan pengampunan Yesus, menjadi merindukan pertolongan dan simpati-Nva. Akibat dosa, saya menjadi begitu terpuruk, dan pada masa itu saya berteriak kepada Yesus agar menolong saya. Dalam respons-Nya, Dia dengan sangat baik (dan ajaib) membuat saya tidak dapat melanjutkan kuliah lagi. Tiba-tiba saja kebijakan finansial universitas berubah, dan saya tidak dapat memenuhi kewajiban saya. Hal ini menjadi masalah dan saya terpaksa pulang ke rumah.

Citra diri saya yang salah telah dihancurkan, dan di rumah, saya berdiri dalam kenyataan diri bahwa saya berdosa. Itulah yang memenuhi pikiran saya. Saya terus-menerus dicekam rasa malu dan saya merindukan penerimaan dan pengampunan dari orang terdekat. Keinginan itu mendorong saya untuk menceritakan kepada ayah sesuatu yang telah terjadi dalam hidup saya. Dia meyakinkan bahwa ia masih mengasihi saya, tetapi saya merasakan kekecewaannya yang begitu dalam terhadap saya. Saya pun menghindar untuk membicarakannya bahkan dengan cara yang lebih tercela. Saya tahu bahwa Yesus mengampuni orang lain. Akan tetapi, saat rasa sedih muncul, saya memaksa diri untuk tidur. Saya tidak dapat tidur, saya ragu apakah Dia sungguh-sungguh dapat mengasihi dan mengampuni saya.

Mengikuti dari Jauh

Saya merasa tidak layak untuk mencoba suatu hubungan yang dekat dengan Yesus -- hubungan yang saya nikmati sebelum saya "jatuh". Saya malah mengawasi Dia dari kejauhan, berharap dapat mendekati-Nya, tetapi saya tidak berani. Saya meluangkan waktu untuk membaca Alkitab, kisah demi kisah, pengalaman demi pengalaman, serta mencermati perkataan dan respons Yesus. Saya tidak akan membaca jika ada orang lain di dekat saya, karena saya tidak dapat menahan isak tangis kapan saja saya membaca kisah Yesus bersikap begitu lembut kepada seseorang. Juga saat saya membaca, untuk pertama kalinya dalam hidup saya, mengenali respons orang Farisi yang juga ada dalam diri saya, yakni sikap hati yang sombong dan meninggikan diri.

Rasa malu terhadap kegagalan dan rasa muak terhadap kesombongan diri telah menyulut pertobatan dalam hati saya. Akan tetapi, saya tidak dapat mendekati Yesus dengan dukacita. Pada saat itu, saya mulai bekerja di bagian perakitan sebuah perusahaan elektronik. Beberapa orang di bagian itu bersikap sangat kasar. Mereka berbicara terang-terangan dengan tanpa malu menceritakan gaya hidup mereka yang penuh dosa. Saya tidak pernah lari atau bersembunyi dari kondisi seperti itu. Daripada memandang rendah rekan kerja saya, saya merenungkan kebutuhan mereka sambil berharap dapat membawa mereka kepada Yesus. Bahkan diam-diam dari dasar hati, saya mengasihi mereka. Sementara saya memikirkan para rekan kerja, saya pun menyadari keyakinan saya yang kukuh bahwa Yesus ingin mengasihi dan mengampuni mereka. Kemudian, dengan cara-Nya yang tenang, Roh Kudus membuat saya memahami bahwa saya seperti rekan kerja saya, dan Yesus ingin mengasihi dan mengampuni saya juga. Yesus memahami dukacita hatimu, Christine. Saya pun merasakan Ia berbicara kepada saya. Bawalah dukacita itu kepada Yesus.

Botol Perasaan Sedih dan Berdosa Saya

Atas dorongan Roh Kudus, saya mulai mencurahkan isi hati yang penuh dukacita kepada Yesus. Saya tidak mengingat kembali bagian yang sangat indah, pengalaman laksana air mata dan minyak wangi di kaki Yesus. Akan tetapi, saya ingat saat berdiri di mesin pencuci PCB tempat saya memasukkan papan sirkuit komputer ke dalam alat pembawa barang. Sementara saya secara mekanis mengerjakan tugas, saya menangis saat merasakan simpati Yesus menyentuh jiwa saya, memberi tahu bahwa Dia mengasihi dan mengampuni saya.

Itu hanya salah satu dari banyak peristiwa yang sama selama masa itu, dan kedalaman cinta saya kepada Yesus lebih besar ketimbang yang pernah saya alami sebelumnya. Saya tidak dapat berhenti mengucap syukur kepada-Nya dan memuji Dia. Saya ingin melakukan apa pun yang Dia inginkan. Saya ingin mengikut Dia ke mana pun Dia pergi. Botol dukacita dan perasaan berdosa saya, sekali dituangkan, menjadi senyum kasih yang begitu manis -- kasih saya kepada Yesus dan kasih-Nya kepada saya. Saya berharap tidak pernah lagi meninggalkan Dia ataupun menjauh dari-Nya. Selama hidup, saya tidak pernah ingin mendukakan hati-Nya lagi. Tentu saja, sejak saat itu, saya pernah mengecewakan Dia berkali-kali. Namun, saya kembali pada pengalaman masa lalu, terutama masa terburuk saya untuk mengingatkan diri bahwa jika pertobatan saya tulus, saya dapat menuangkannya di kaki Yesus, dan Dia akan menyambutnya. Tidak peduli kata orang atau apa yang mereka pikirkan tentang diri saya bahwa saya "kotor". Yang penting adalah saya diterima dan diampuni. Itu adalah kenyataan, dan tidak ada seorang pun yang dapat mengambilnya dari saya.

Harapan dan Masa Depan

Entah terluka karena kejatuhan yang tiba-tiba atau karena perilaku buruk yang terjadi selama bertahun-tahun, hati kita dapat memerlukan waktu yang lama -- bahkan sepanjang hidup -- untuk sembuh. Namun, semakin saya menyadari Yesus mengasihi saya dan memahami betapa hati saya rindu untuk dibebaskan dari dosa, saya semakin percaya bahwa hati-Nya yang penuh pengampunan itu bersimpati kepada saya, dan saya juga dapat merasakan sebuah harapan yang baru akan masa depan. Itulah masa depan di mana saya dimerdekakan dari beban menjaga citra diri. Yesus ikut campur dalam proses untuk membentuk saya kembali ke dalam citra Allah. Itulah masa depan di mana reputasi dosa saya dihapuskan. Yesus berjanji bahwa kebenaran-Nya akan bersinar lebih terang dalam hidup saya.

Download Audio

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku : Bagaimana Saya Tahu Jika Yesus Mengasihi Saya?
Judul asli buku : If Jesus Loves Me, How Do I Know?
Penulis : Christine A. Dallman dan J. Isamu Yamamoto
Penerjemah : Dwi Prabantini
Penerbit : Yayasan ANDI, Yogyakarta 2003
Halaman : 19 -- 24
Kategori: 

Tinggalkan Komentar