Hanya Karena Kasih Karunia-Nya

Malam ini tidak ada kebaktian, jadi aku bisa bersantai. Baru saja aku dan anak-anak menyanyi, berdoa, dan bermaksud masuk ke kamar tidur, istriku berkata, "Su, air ketubannya pecah, kemungkinan anak kita akan segera lahir!" Waktu menunjukkan pukul 21.30 ketika aku mencoba untuk menghubungi dokter Kim. Bersyukur, waktu aku menghubungi dokter Kim, beliau bersedia membantu proses persalinan. Kebetulan kakak perempuanku dan suaminya tidak memunyai kesibukan lain, sehingga dapat menjaga Gai Song anak pertamaku.

Sesampainya di rumah sakit, waktu menunjukkan pukul 23.00 dan suster sedang membantu istriku mempersiapkan diri menjelang kelahiran anak kedua. Aku mondar-mandir di luar tanpa tahu apa yang harus kuperbuat. Dalam hati aku amat gelisah dan takut, bagaimana jika anak yang dilahirkan itu cacat? Tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggil namaku. Ternyata dokter Wu. Mungkin ia mengira bahwa istriku telah melahirkan, sehingga ia khusus datang untuk memeriksa bayi kami. Kira-kira 7 bulan lalu, kami baru sadar bahwa istriku belum diimunisasi Campak Jerman. Aku khawatir, jika ia terkena penyakit itu, maka akan membahayakan janin yang dikandungnya. Dari keterangan medis, jika seorang ibu sedang mengandung dan terkena penyakit tersebut, kemungkinan akan memengaruhi anak yang dikandungnya. Kemungkinan anak tersebut akan lahir dengan keadaan cacat (terkena penyakit jantung, otaknya terganggu, buta, bisu, dan tuli).

Mengapa kami sangat memerhatikan wabah Campak Jerman ini? Ketika kami di Amerika, istriku sedang mengandung anak pertama yang baru berusia 2 minggu. Pada suatu hari, ia bermain-main dengan seorang anak yang kemudian baru kami ketahui bahwa anak tersebut menderita penyakit Campak Jerman. Kami sangat ketakutan dan tidak berani memikirkan apa yang akan terjadi, jika istriku tertular penyakit tersebut. Sebab itu aku buru-buru mengantar istriku untuk memeriksakan diri. Meskipun kemudian, aku tahu istriku tidak terkena penyakit itu, tapi hasil pemeriksaan yang memakan waktu 2 minggu, membuat kami melewati hari-hari dengan perasaan gelisah dan takut. Setelah pengalaman pahit ini, aku bermaksud setelah melahirkan, langsung saja diimunisasi. Tapi karena masih menyusui dan dibarengi dengan kesibukan lainnya, sampai mengandung anak yang kedua, maksud tersebut belum terlaksana.

Campak Jerman tersebut seperti mengejar kami. Bulan Maret atau April, Hongkong terjangkit wabah Campak Jerman. Beberapa murid di mana istriku mengajar, ternyata terkena wabah tersebut. Hal ini sangat mengkhawatirkan kami, karena pada waktu itu istriku sedang mengandung 9 minggu. Menurut keterangan dokter, janin yang berusia di bawah umur 12 minggu sangat mudah dijangkiti wabah tersebut. Dalam kebingungan, istriku meminta izin cuti selama 2 minggu. Aku memboyong istriku ke rumah mertua, dengan pertimbangan di tempat itu agak sepi dan jarang ada orang berlalu-lalang, sehingga kemungkinan tertular oleh wabah tersebut sangat kecil. Tapi siapa sangka, seusai cuti, tiba-tiba sekujur tubuh istriku muncul bintik-bintik merah yang mengandung cairan dan suhu tubuhnya tinggi. Hasil pemeriksaan dokter, ternyata istriku positif terkena wabah Campak Jerman yang sangat berbahaya, khususnya bagi janin yang belum berusia 12 minggu. Berita ini bagaikan halilintar di siang bolong. Kami tidak tahu harus berbuat apa! Kami saling berpandangan, sambil menangis.

Sepertinya Allah bergurau denganku. Baru minggu lalu aku bersama saudara seiman membahas Matius 6:24-34 tentang "mengatasi kecemasan". Masih segar dalam ingatan, aku berkata bahwa di antara yang hadir, aku yang paling tidak layak untuk membahas tema ini, karena dalam seminggu ini, hatiku dipenuhi oleh kekhawatiran dan kecemasan, tapi aku tetap percaya pada Tuhan, agar aku di dalam kekhawatiran dan kelemahan dapat membagi-bagikan penghiburan yang aku peroleh dari Tuhan kepada orang lain. Dalam kelemahan dan cemas, aku tetap yakin bahwa Allah itu ada. Setiap kali kami memikirkan kesehatan bayi yang masih di dalam kandungan, perasaan takut menyelimuti jiwa kami. Aku sungguh tidak berdaya untuk menghibur dan membantu istriku yang selalu sedih dan menangis. Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan selama 6 bulan -- hari yang cukup panjang dalam menunggu dan menyambut kelahiran bayi yang kesehatannya sangat mencemaskan. Tetapi tatkala memikirkan kesetiaan dan perjanjian yang tak ternilai dari Allah, maka hati kami kembali merasakan damai sejahtera.

Pada suatu ketika, istriku mendapat telepon dari seseorang. Dengan sedih, ia mengatakan bahwa orang yang di telepon menasihatkan dan menganjurkan agar janin di kandungannya digugurkan saja. Dengan suara pilu, istriku memberi penjelasan pada orang tersebut bahwa orang Kristen tidak boleh takut direpotkan dengan adanya anak cacat, lalu membunuh dengan cara digugurkan. Dalam hati, aku mengaminkan apa yang dikatakan istriku. Karena kami percaya bahwa Allah akan mengaruniakan anak yang sehat. Jika ternyata anak yang dilahirkan cacat, kami pun dengan senang hati menerimanya sebagai karunia Allah yang baik bagi kami.

Beberapa minggu ini, banyak orang yang menasihati dan menganjurkan agar kandungan tersebut digugurkan saja. Pada mulanya kami sangat gusar terhadap mereka, karena mereka bukan saja tidak menguatkan kami di hadapan Allah, melainkan mengguncang iman keyakinan kami terhadap kehendak Allah. Sebenarnya kami tidak boleh marah terhadap mereka, karena apa yang dilakukan semata-mata menyatakan perhatian terhadap kami. Jika dipikir, nasihat dan anjuran mereka ada benarnya juga. Dengan menggugurkan kandungan, kami terlepas dari perasaan cemas dan khawatir mendapat bayi cacat dan juga menghindari kemungkinan memelihara anak cacat yang pasti akan menyusahkan kami. Pada waktu kami berpikir demikian, aku berkata pada Tuhan, "Tuhan, ampunilah pemikiran kami yang tidak benar ini. Dan tolong agar kami yakin bahwa Allah sebagai penjaga dan pemberi akan memelihara dan memberi yang terbaik bagi orang yang mengasihi-Nya."

Allah yang hidup mengetahui penderitaan kami, maka Ia menggerakkan teman-teman yang berada di tempat jauh, melalui surat, menghibur dan menguatkan kami. Di antaranya adalah dokter C.E. Koop. Ia adalah dokter ahli bedah yang berhasil memisahkan bayi kembar siam, sehingga namanya dikenal di Amerika. Dia adalah penatua di gereja yang sering kami kunjungi sewaktu berada di Amerika. Dalam suratnya ia mengatakan, "Melalui Mrs. Ie, saya mengetahui keadaan dan pergumulan kalian. Saya sangat bangga untuk keputusan kalian tidak menggugurkan kandungan. Kiranya Tuhan memberi kekuatan untuk mempertahankan keputusan tersebut. Perkenankan saya melalui surat ini, mengisahkan pengalaman kami. Menantu saya bekerja di sebuah laboratorium. Pada waktu ia mengandung, ia banyak bergaul dengan berbagai kuman, di antaranya dengan Campak Jerman. Saya menyuruhnya untuk segera memeriksakan diri. Sebelum mendapatkan hasil, saya sudah memutuskan agar janin tersebut digugurkan. Tapi anak saya mengatakan, 'Ayah, kami tidak percaya bahwa Allah akan mengaruniakan anak yang cacat pada kami, tetapi jika Allah menghendaki demikian, kami akan menerimanya, kami akan berusaha memelihara anak tersebut, karena anak tersebut adalah pemberian Allah.' Setelah mendengar kata-kata anakku dan melihat bahwa bayi yang dilahirkan tidak kekurangan suatu apa pun, maka untuk selanjutnya sebagai seorang dokter, aku paling menentang, dengan alasan apa pun untuk menggugurkan kandungan. Pemikiran ini aku tuangkan dalam bentuk tulisan yang berjudul 'The Right to Live, The Right to Die'."

Lebih lanjut, ia mengatakan dalam suratnya, "Aku tidak mengharapkan anak yang kalian peroleh cacat, tapi aku bangga untuk keputusan kalian. Biarlah kita berharap dan bersandar pada-Nya. Jika kalian memerlukan sesuatu, hubungi aku." Surat lainnya datang dari Cheng Lie, salah seorang sahabat kami di Amerika. Setelah mengetahui keadaan kami, ia langsung melayangkan sepucuk surat dengan mengatakan, "Saya sangat memahami apa yang kalian alami, mudah-mudahan dengan surat ini, kalian mendapat penghiburan dan kekuatan. Pada waktu saya berusia 11 minggu di kandungan, ibuku terkena virus Campak Jerman, sehingga mata kiriku agak terganggu dan tidak dapat membedakan jarak jauh maupun dekat. Saya sangat berterima kasih untuk ibu yang sangat berani mengambil keputusan untuk mempertahankan janin yang ada di kandungannya. Saya percaya bahwa Tuhan pasti memelihara orang-orang yang mengasihinya."

Dokter Kim yang membantu persalinan, segera memeriksa kesehatan bayi kami. Ternyata semuanya normal. Hati kami dipenuhi keharuan dan tanpa terasa air mata menetes keluar. Sungguh besar kasih sayang Allah kepada kami. Anak perempuan ini kuberi nama Charissa, yang berarti anugerah. Jika bukan rahmat Allah, aku tidak tahu di mana anak ini berada sekarang. Setiap kali anak ini berada di dalam pelukanku, aku sungguh merasakan kasih Allah yang demikian besar. Keberadaan Charissa bukan saja membuktikan kemahakuasaan-Nya, tapi juga kesetiaan-Nya. Dan orang yang bersandar pada-Nya, takkan dipermalukan. Di telinga yang kecil aku berbisik, "Charissa, hendaklah kamu dengan hidupmu, membalas kebaikan Allah dan jangan lupa akan segala rahmat pemberian-Nya."

Kehidupan orang Kristen bukan serba lancar, melainkan penuh dengan pergumulan. Tetapi dalam pergumulan itu, kita belajar bagaimana bersandar pada Tuhan untuk melewati hari-hari kita di dunia. Setiap persoalan yang terjadi dalam hidup ini, membawa kita lebih mengenal kemahakuasaan-Nya dan mengalami rahmat dan kasih karunia Allah yang berlimpah-limpah.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buku : Jalan Tuhan Terindah
Penulis : Pdt.Paulus Daun, M.Div., Th. M.
Penerbit : Yayasan Daun Family, Manado 1996
Halaman : 53 -- 60

Tinggalkan Komentar