Suara Jemaat

Penulis : Sari, berdasarkan laporan Eman, Bowo, Fanny, Sonny, Joko dan Wawan

Nampaknya, masalah kesenjangan kesejahteraan antara pendeta yang kaya dan miskin, tidak luput dari perhatian jemaat. Berikut ini komentar beberapa jemaat di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya yang berhasil dihimpun BAHANA.

[block:views=similarterms-block_1]

Idealnya Seperti Paulus
Menurut Wanwan, panggilan akrab Chandrawati, kesenjangan kesejahteraan antara pendeta di gereja besar dan gereja kecil memang tidak dapat dihindarkan. Karena kesejahteraan pendeta tidak dapat dilepaskan dari kondisi jemaatnya. “Kalau jemaatnya banyak yang kekurangan, tentu saja mereka tidak bisa memberi apaapa, ujarnya. Namun, tak hanya berhenti disitu. Pemilik toko buku “Syalom ini berpendapat, kesejahteraan pendeta itu juga disebabkan oleh tiga faktor yaitu berkat Tuhan, didukung jemaat dan harus memiliki talenta khusus dalam memimpin jemaat. Alumnus Universitas Trisakti ini memiliki gambaran hamba Tuhan yang ideal yaitu seperti Paulus, yang tidak menggantungkan kehidupan pribadinya pada jemaat. Sebaliknya, dengan hasil kerjanya sebagai pembuat tenda, ia malah bisa mem­bangun jemaatnya secara ekonomi. Dengan kata lain, ia mengidealkan hamba Tuhan memiliki pekerjaan lain yang bisa menopang kehidupan ekonominya namun dapat tetap melayani jemaat sepenuh hati. “Kalau untuk di desa, ia bisa garap tanah toh tidak setiap hari ia harus menangani jemaatnya sedangkan kalau yang tinggal di kota bisa mempercayakan bisnisnya kepada orang lain, katanya.

(Chandrawati, pemilik toko buku “Syalom, jemaat Abbalove Jakarta)

Banyak yang Sudah Bergeser Orientasinya
Menurut pengamatan Andi, saat ini banyak pendeta yang sudah bergeser orientasinya. Mereka sepertinya sudah lupa dengan panggilan awalnya sebagai hamba Tuhan sehingga lebih senang bermobil mewah dan tinggal di gedung megah. Andi mengaku sangat menghormati hamba Tuhan namun sekaligus prihatin melihat perilakunya. “Saya sedih mendengar ada hamba Tuhan yang pilihpilih dalam melayani. Jika yang mengundang orang biasa, ia punya seribu alasan untuk tidak bisa. Namun jika yang mengundang konglomerat, ia cepatcepat seakan rintangan semua hilang, kata Andi yang enggan identitasnya disebutkan lengkap. Andi memiliki gambaran ideal seorang hamba Tuhan, yang menurutnya tidak terlalu tinggi. Intinya, hamba Tuhan itu harus mau hidup bersama jemaatnya dalam segala situasi dan mampu membangkitkan semangat jemaat yang loyo. Dan, yang lebih penting ia punya hati untuk semua umatnya. “Saya ngomong begini karena mencintai gereja, para hamba Tuhan dan Tuhan Yesus, katanya menutup obrolan dengan BAHANA.

(Andi, aktivis sebuah LSM, jemaat Gereja Bethany, Jakarta)

Miskin, Tak Berarti Tidak Diberkati
Perempuan cantik ini melihat kesejahteraan pendeta sangat ditentukan oleh kondisi jemaatnya. Karena itu, wajar saja jika kesejahteraan pendeta yang melayani di jemaat besar yang jumlah persembahannya hingga ratuasan juta rupiah akan sangat berbeda dibandingkan dengan jemaat kecil yang jumlah persembahannya hanya puluhan ribu rupiah saja. Namun, ia sangat tidak setuju dengan ang­gapan, pendeta miskin berarti tidak diberkati. Baginya, hidup sejahtera tidak disebabkan karena kaya atau miskin. “Justru yang berada di daerah minus tapi tetap setia melayani, itulah pelayanan yang murni. Kalau ada yang mengatakan begitu, saya bertanya balik apa­kah dia diberkati Tuhan atau tidak,“ tegas perempuan yang merasa prihatin melihat gaya hidup beberapa hamba Tuhan yang cenderung ekslusif ini. Untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi, ibu tiga orang anak ini berpendapat sebaik­nya pendeta yang hidupnya berkelimpahan harus mau berbagi dengan pendeta yang berkekurangan tanpa melihat denominasi. Sama seperti Chandrawati, Vivien juga menyebut Paulus sebagai profil hamba Tuhan yang ideal. “Sederhana tapi setia me­layani. Tidak usah harus miskin juga. Karena kalau miskin dia mudah sakit bagaimana dia bisa melayani? Hiduplah sesuai de­ngan amanat melayani. Jangan berpikir bahwa dia akan mendapat imbalan dari jemaat walaupun memang seorang yang bekerja berhak mendapat upahnya,“ kata istri seorang ahli bedah ini bijak.

(Vivien Limengka, pemilik album “Kuberbahagia, jemaat GKI Kemang Pratama, Jakarta)

Tidak Perlu Dicemburui
Menurut Bob, ketimpangan yang terjadi bukan merupakan sesuatu yang perlu dicemburui, karena masingmasing memiliki talenta dan karunia yang berbeda. “Tetapi dalam memandang kesejahteraan, jangan hanya dilihat dari segi materi tetapi juga sukacita. Jika ada pendeta yang karena talenta hidupnya menjadi lebih dari cukup itu berarti berkat Tuhan atasnya berlaku, dan tentu saja berkat itu datang karena tanta­ngan, ujian dan cobaan yang berat dan besar mampu dilewa­tinya ber­sama Kristus, kata direk­tur utama PT Citra Ayu Samudera Biru. “Tuhan tidak menjanjikan kaya, tetapi menghendaki kita hidup berkecukupan, tambah Ekel. Se­dangkan untuk mengatasi ke­tim­pangan terse­but, terutama terhadap pendeta di pedesaan, Ekel menyarankan perlunya organisasi gereja melalui depar­temen penginjilan dan diakonia memaksimalkan peran dan aktifvitasnya. “Keberadaan organisasi gereja kan salah satunya untuk me­ngatasi kesulitan kehidupan pendeta yang dikategorikan kecil. Dengan itu berkat yang ada di gerejagereja besar dapat tersalurkan dengan rapi dan teratur. Bagaimanapun juga kita tidak dapat menghindar dalam urusan keuangan, di gereja ada juga korupsi dan kebohongan, katanya.

(Bob Albert Ekel, direktur utama PT Citra Ayu Samudera Biru, jemaat Gereja Tiberias Indonesia (GTI) Kelapa Gading, Jakarta)

Diperlukan Program Pembapaan
Menurut pengamatan Paulus, kesejahteraan hamba Tuhan sekarang ini memang belum merata. Mereka yang tinggal di kota cenderung lebih terjamin ketimbang yang di desa. Realita ini membawa dampak bagi motivasi dan cara pelayanan mereka. “Tidak jarang, hamba Tuhan dari desa, sering dianggap melulu membawa proposal atau list sumbangan atau dengan kata lain dicap mata duitan. Ini yang menjadi keprihatinan kita bersama, kata Paulus. Senada dengan Daniel, Paulus melihat hal ini dapat terjadi karena pendeta dituntut menjadi seorang hamba di dalam arti hidup dan pasrah dengan keadaannya. Ia tidak boleh terlalu menuntut sebab Tuhan sendiri yang akan menjadi penjamin mereka. Untuk mengatasi ketimpangan ini, Paulus mengusulkan, “Gereja perlu mengadakan program diakonia yang konstan khusus untuk hambahamba Tuhan yang kesejahteraannya kurang dengan melakukan program pembapaan. Gereja besar membimbing atau membapai gereja kecil dengan membantu mulai dari maintenance, manajemen hingga keuangan sampai gereja itu mandiri, ujarnya.

(Paulus W. Wijaya, Jemaat GPdI Mahanaim, Semarang)

Ubah Konsep Hamba
Daniel berpendapat, penilaian kesejahteraan hamba Tuhan tidak bisa distandarkan karena itu bergantung pada pandangan setiap gereja di dalam menyejahterakan pendetanya. “Gerejagereja yang beranggapan bahwa hamba Tuhan adalah hamba umumnya memperlakukan pendetanya sebagai hamba. Artinya, apa pun yang diberikan dari denominasi harus diterima secara pasrah, berapa pun besarnya,“ jelas Daniel. Perlakuan yang berbeda akan diterapkan oleh gereja yang sudah menempatkan hamba Tuhan sebagai seorang wakil Tuhan di dunia yang punya tugas dan tanggungjawab besar di dalam membangun kerajaan Allah didunia. “Mereka lebih dan sangat mengutamakan kesejahteraan pendetanya. Dalam konsep mereka, hamba Tuhan adalah seorang yang perlu dihargai baik secara martabat maupun di dalam kesejahteraannya, tambahnya. Untuk mengatasi ini, hal utama yang perlu dilakukan adalah mengubah konsep tentang hamba. Menurut Daniel, melayani Tuhan sebagai seorang hamba di dalam pengertian yang sebenarnya sudah tidak tepat dalam konteks yang sekarang ini. “Jemaat atau denominasi perlu menghargai hamba Tuhannya dan menjamin kesejahteraan atau kebutuhannya. Tidak perlu dibiarkan hidup sebagai hamba! ujar Daniel tegas.

(Daniel Djoko Hadi Rahardja, Jemaat JKI Injil Kerajaan, Semarang)

Ada Standar Gaji
Menurut ibu dua putri ini, kesenjangan kesejahteraan pendeta jelas ada karena kemampuan gereja yang berbedabeda. “Pendapatan pendeta kan disesuaikan dengan jemaat masingmasing, tutur ketua Komisi Wanita GKIN Torsina, Surabaya ini. Artinya, pendeta yang melayani di jemaat besar tentu akan lebih sejahtera dibanding jemaat kecil. Untuk mengatasi kesenjangan ini, ia punya saran, “Mungkin dengan ada aturan dari sinode gereja secara keseluruhan, jadi bukan satu sinode saja, di Indonesia ini. Saya bayangkan, alangkah enaknya, jika semua gaji hamba Tuhan sama. Tapi standarnya jangan pada standar gaji pendeta di gereja besar. Jadi hamba Tuhan gereja kecil pun makin terpacu dalam pelayanan,“ kata Ashye, panggilan akrabnya. Menurut Ashye, bagaimanapun pendeta itu sudah memberikan hidup bagi jemaatnya maka jemaat wajib “mengisinya karena mereka juga memiliki keluarga yang membutuhkan biaya untuk hi­dup.

(Marsefio Sevyone Luhukay, S. Sos, Dosen FIKOM, Universitas Kristen Petra Surabaya, jemaat GKIN Torsina, Surabaya)

Yang Besar Mengayomi Yang Kecil
Kennedi sangat prihatin melihat kenyataan masih banyak pendeta yang jauh dari kesejahteraan. Penghasilan mereka tidak memadai saat dihadapkan pada situasi sekarang, harga barang terus naik. “Akhirnya keadaan ini membuat pendeta mencari tambahan penghasilan sehingga konsentrasi terhadap tugas pelayanannya sering terganggu, katanya prihatin. Keprihatinannya makin mendalam saat melihat kesenjangan yang terjadi. “Pendeta kota melayani dengan dasi yang mahal dan pakaian bermerk di gedung yang serba lux, sementara pendeta desa harus mengelus dada karena atap gereja yang bocor dan berpikir tentang persembahan jemaat yang kecil,“ tambahnya. Untuk mengatasi ini, Ia menyarankan, “Pendeta yang berkecukupan jangan melalaikan kekurangan rekan sekerjanya yang kekurangan. Tanpa memandang denominasi, gereja besar bisa mengayomi gereja yang kecil, entah di desa atau di kota. Mungkin Galatia 6:10 bisa kita jadikan dasar untuk mengingat “kawankawan kita seiman.

(Kennedi S, jemaat Gereja Sidang Jemaat Allah, Bandung)

Saling Melengkapi dan Berbagi
Andri melihat realita kesenjangan kesejahteraan antara pendeta kota dan kota merupakan sesuatu yang tidak dapat disembunyikan. Dan, itu seringkali mempengaruhi keputusan seseorang untuk lebih memilih melayani di kota daripada di desa. Kunci untuk membuatnya seimbang adalah saling berbagi dan melengkapi. “Pendeta dari gereja yang berkelebihan harus membantu pendeta yang berkekurangan. Dari segi materi, pendeta desa memang tidak bisa memberi kecukupan materi kepada pendeta kota. Tetapi mungkin bisa dengan bentuk pelayanan lain, misalnya doa. Jika masingmasing sadar, nama Tuhanlah yang ditinggikan,“ ujarnya bijak.

(Andri Aditya Prasepto, jemaat GBI Jemaat “Istana Regency, Bandung)

Lebih Peduli

Pinkan juga melihat kesejahteraan pendeta saat ini tidak merata, ada yang sudah berkelimpahan tapi ada pula pendeta yang paspasan. “Mereka mengalami kesulitan untuk membiayai pendidikan anakanaknya, karena penghasilan mereka hanya cukup untuk kebutuhan seharihari saja, katanya. Supaya seimbang, ia mengharapkan, “Pendeta kota yang mendapat lebih banyak berkat harus lebih peduli dan menyalurkannya bagi hambahamba Tuhan di desa. Mungkin tidak hanya memberi uang saja tetapi juga berpikir ke depan, bagaimana membangun daerah, sarana dan prasarana serta SDM sehingga pendeta desa tidak lagi kesulitan, tambahnya.

(Pinkan M. Indira, jemaat GBI Jemaat “Hotel Mutiara, Bandung)

Perlu Bantuan dari Pusat

Saat dimintai tanggapan tentang kesejahteraan pendeta, dengan tegas putri pendeta GPdI Gunung Kidul ini menjawab, “Kehidupan pendeta itu sejahtera karena mereka mencari donatur ke luar kota un­tuk membangun gereja dan kesejahteraan mereka. Itulah sebabnya me­reka bisa membangun gereja yang megah, Senada dengan yang lain, ia juga berpendapat jika jemaatnya sejahtera maka pendetanya ju­ga ikut sejahtera. Ia melihat kesejahteraan jemaat di desa cenderung kurang dibandingkan dengan yang di kota karena jumlah orang kaya di desa jauh lebih sedikit ketimbang kota. “Meskipun begitu, Majelis Daerah atau Pusat tidak pernah memberikan bantuan, tapi puji Tuhan, selalu saja ada orang yang tergerak hati untuk membantu kami, katanya penuh ucapan syukur. Ia lalu mengharapkan, “Sebaiknya Majelis Pusat lebih memperhatikan pendetapendeta yang ada di de­sa.

(Rut Dianawati, jemaat GPdI di Gunungkidul, Yogyakarta)

Optimalkan Peran PGI

Menurut master alumni Cleveland State University ini, penyebab utama terjadinya kesenjangan adalah kurangnya interaksi dan komunikasi antargereja. Untuk meminimalkan kesenjangan itu, dibutuhkan persekutuan gereja lintas denominasi. Persekutuan semacam itu sudah lama tumbuh di Cleveland, Ohio, Amerika Serikat. “Ketika sekolah di Cleveland, saya melihat gereja di sana kompak. Hubungan antara satu gereja dengan gereja lainnya sangat guyub, yang kuat mendukung yang lemah, kata pria yang sedang melanjutkan studi doktornya di UGM ini. Untuk dapat menciptakan itu memang harus ada yang memulai. “Jika di Indonesia, dibutuhkan lembaga netral seperti PGI untuk menyatukan gerejagereja. Tidak perlu seluruh kota, tetapi dapat dimulai dari wilayah yang lingkupnya kecil dulu, usul ayah satu putra ini. Jika persekutuan ini sudah terbentuk diharapkan gereja menjadi tahu kondisi “saudaranya yang sebenarnya sehingga mereka tidak ragu lagi untuk membantu. “Selama ini jika mereka tidak saling membantu, itu disebabkan mereka tidak mengenal dengan baik satu sama lain, kata dosen yang memiliki hobi surfing di internet ini.

(Wisnu Prajogo, MBA, dosen STIE YKPN, majelis jemaat GKI Gejayan, Yogyakarta)

Sumber: http://www.bahanamagazine.com/nov2003/laput02.htm