Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/misi/2013/20

e-JEMMi edisi No. 20 Vol. 16/2013 (9-7-2013)

Menggunakan Firman Allah dalam Penginjilan kepada "Saudara Sepupu"

Juli 2013, Vol.16, No.20
______________________________  e-JEMMi  _____________________________
                   (Jurnal Elektronik Mingguan Misi)
______________________________________________________________________

e-JEMMi -- Menggunakan Firman Allah dalam Penginjilan kepada "Saudara Sepupu"
No. 20, Vol. 16, Juli 2013

Shalom,

Apa kabar pembaca setia e-JEMMi? Bulan ini adalah bulan suci bagi 
"saudara sepupu" kita, dan karena itulah tema e-JEMMi pada bulan ini 
adalah seputar pelayanan terhadap mereka. Pada edisi kali ini, kami 
membawa ke hadapan Anda sebuah artikel yang adalah bab pendahuluan 
dari sebuah buku yang ditulis oleh John Gilchrist tentang penginjilan 
kepada "saudara sepupu" kita. Semoga apa yang kami sajikan ini dapat 
menolong Anda untuk semakin peduli pada bidang pelayanan misi ini. 
Selamat membaca, Tuhan Yesus memberkati kita sekalian.

Pemimpin Redaksi e-JEMMi,
Yudo
< yudo(at)in-christ.net>
< http://misi.sabda.org/ >


      ARTIKEL MISI: MENGGUNAKAN FIRMAN ALLAH DALAM PENGINJILAN 
                      KEPADA "SAUDARA SEPUPU"

Penginjilan kepada "saudara sepupu" merupakan salah satu ladang 
pelayanan kesaksian Kristen yang tersulit. Selama dua abad terakhir, 
umat Kristen telah mencari berbagai cara untuk dapat membawa "saudara 
sepupu" kita kepada Kristus. Akan tetapi, pada akhirnya, mereka 
menyadari bahwa meyakinkan "saudara-saudara sepupu" untuk menjadikan 
Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat bukanlah sebuah perkara 
yang mudah. Dalam pelayanan misi masa kini, agen-agen misi dan para 
penginjil Kristen telah mengajukan beberapa metode yang menjamin 
kelangsungan penginjilan terhadap "saudara sepupu", sekaligus memberi 
hasil sesuai dengan yang diharapkan. Metode-metode itu meliputi 
penginjilan persahabatan (friendship evangelism), penginjilan relasi 
(relational evangelism), kontekstualisasi (contextualisation), dan 
pendekatan pemenuhan kebutuhan (felt-needs approaches) -- semua metode 
tersebut adalah sebagian metode yang terdapat dalam katalog metode 
pelayanan misi, yang diajukan sebagai cara terbaik untuk menjangkau 
"saudara sepupu" bagi Kristus. Perintisan jemaat di tengah-tengah 
komunitas "saudara sepupu" juga menjadi bahan studi, diskusi, dan 
dipersiapkan dalam berbagai bidang sebelum penginjilan dalam bentuk 
apa pun dijalankan. Hasil penginjilan menjadi tujuan utama, dan jika 
dimungkinkan, jumlah jiwa yang cukup untuk mendirikan jemaat baru dari 
"saudara-saudara sepupu" yang bertobat.

Metode-metode penginjilan yang beragam hanyalah satu hal, mengangkat 
metode itu menjadi satu-satunya cara untuk menjangkau "saudara sepupu" 
adalah hal yang lain. Di sampul belakang bukunya yang berjudul "Waging 
Peace on Islam", Christine Mallouhi menulis, "Ketika `saudara sepupu` 
merasa ragu terhadap iman kita, dibingungkan oleh pesan yang kita 
bawa, dan terluka oleh perlengkapan perang kita, maka satu-satunya 
saksi yang dapat dipercaya adalah hidup kita sendiri. `Saudara sepupu` 
perlu melihat Yesus, dan cara paling umum supaya mereka dapat melihat 
Dia adalah melalui kehidupan kita." Bill dan Jane, sepasang misionaris 
yang melayani di lingkungan "saudara sepupu" menyatakan dalam buku 
Phil Parshall yang berjudul "Last Great Frontier", "Jika ingin 
mengubah status quo, [kita] harus menemukan cara lain agar `saudara-
saudara sepupu` dapat mendapati Kristus di dalam konteks budaya dan 
komunitas mereka sendiri." (hlm. 178)

Penolakan sengit yang dilakukan para "saudara sepupu" terhadap Injil 
telah membuat banyak orang Kristen mencari cara alternatif untuk 
menjangkau mereka demi Kristus, cara-cara yang tampaknya akan 
memberikan hasil yang diinginkan. Akibatnya, beragam metode yang 
muncul memiliki embel-embel dogmatis seperti, "Inilah satu-satunya 
cara!" atau sebaliknya, "Kita membutuhkan cara yang baru!" Namun, 
pekabaran Injil dengan cara sederhana yang telah memenangkan berjuta-
juta penganut agama Hindu dan Buddha kepada Kristus tetap tidak 
efektif ketika diperhadapkan dengan "saudara sepupu". Dengan demikian, 
pencarian metode-metode baru tampaknya lebih menjamin hasil akhir yang 
diinginkan.

Baru-baru ini, saya mendengar sebuah khotbah ibadah Minggu di gereja 
rumah saya. Pengkhotbah ini menyampaikan khotbahnya dengan sederhana, 
"Anda tidak dapat membangun Kerajaan Allah. Hanya Allah yang dapat 
melakukannya. Anda hanya dapat mencerminkan Kerajaan itu melalui 
kesaksian dan kehidupan Anda." Pernyataan itu meringkas segalanya! 
Sama seperti yang diungkapkan oleh pemazmur dengan begitu gamblang:

"Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang 
membangunnya." (Mazmur 127:1)

Dalam titik ini, situasi ladang pelayanan misi terhadap "saudara 
sepupu" betul-betul menguji para pelayan Kristen. Apakah mereka akan 
memercayakan karya pembaruan yang memanggil anak-anak Ismail menuju 
iman kepada Yesus Kristus? Ataukah mereka akan memaksakan Kabar Baik 
itu dengan mencari-cari cara menurut hikmat manusia agar dapat 
membujuk "saudara sepupu" menjadi orang percaya (yang sering kali, 
dengan menurunkan harga pemuridan yang sejati)? Rasul Paulus sangat 
sadar akan kenyataan bahwa hanya Tuhanlah, melalui Roh-Nya, yang dapat 
menarik siapa pun kepada-Nya sehingga ia berkata kepada orang-orang 
percaya di Korintus,

"Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan." 
(1 Korintus 3:6)

Yesus Kristus sendiri menyampaikan perumpamaan yang menyatakan hal 
yang sama ketika ia dikelilingi kedua belas murid-Nya dan orang-orang 
lain yang mendengarkan pengajaran-Nya:

"Beginilah hal Kerajaan Allah itu: seumpama orang yang menaburkan 
benih di tanah, lalu pada malam hari ia tidur dan pada siang hari ia 
bangun, dan benih itu mengeluarkan tunas dan tunas itu makin tinggi, 
bagaimana terjadinya tidak diketahui orang itu. Bumi dengan sendirinya 
mengeluarkan buah, mula-mula tangkainya, lalu bulirnya, kemudian 
butir-butir yang penuh isinya dalam bulir itu. Apabila buah itu sudah 
cukup masak, orang itu segera menyabit, sebab musim menuai sudah 
tiba." (Markus 4:26-29)

Allah sendirilah yang menyediakan pertumbuhan. Dia jugalah satu-
satunya yang dapat mendirikan rumah. Manusia yang menanam, menyiram, 
dan menuai tidak tahu-menahu tentang bagaimana benih yang 
ditaburkannya itu bertunas dan bertumbuh. Hanya Allah sendiri yang 
tahu. Penginjilan terhadap "saudara sepupu" harus kembali kepada 
kesaksian Injil yang sederhana, percakapan satu-satu yang membagikan 
kebenaran agung tentang kabar baik keselamatan melalui Yesus Kristus, 
lalu menyerahkan hasil pelayanan itu ke dalam tangan Allah.

Hampir selama 20 tahun, sepanjang tahun 70-an sampai 80-an, saya 
mendapat kehormatan untuk menjadi salah satu bagian dari sekelompok 
pemuda Kristen yang mengabarkan Injil kepada "saudara sepupu" di 
Afrika Selatan, di sebuah provinsi bernama Transvaal. Provinsi itu 
kini tak ada lagi di peta Afrika Selatan sebab negara itu telah 
berubah secara dramatis selama 10 tahun terakhir. Meski demikian, 
daerah itu masih ada; terletak di provinsi paling Utara, di antara 
Botswana, Zimbabwe, dan Mozambik. Daerah perbatasan itu didiami oleh 
50.000 "saudara sepupu", dan kami mengunjungi setiap rumah mereka, 
satu per satu di tiap-tiap kota. Kami benar-benar mendatangi setiap 
rumah "saudara sepupu" di provinsi itu, kecuali yang berada di Kota 
Lenasia, yang terletak di dekat Johannesburg, kawasan komunitas 
"saudara sepupu" terbesar; kami hanya menginjili setengah dari kota 
itu.

Kami memperoleh hasil, tetapi bukan itu intinya. Kami menggunakan 
firman Tuhan secara efektif dalam menjangkau "saudara sepupu"; itulah 
inti yang sebenarnya. Selama bertahun-tahun, kami bersaksi kepada 
"saudara sepupu" menggunakan setiap halaman dari Kitab Suci, firman 
Allah yang kudus, dan sumber utama yang digunakan oleh Roh Kudus untuk 
menarik setiap manusia kepada Injil. Nilai firman Tuhan demi tujuan 
kami terangkum dalam ayat ini:

"Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang 
bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan 
roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan 
pikiran hati kita." (Ibrani 4:12)

Tidak hanya itu, kami juga belajar dari Kitab Suci sendiri bahwa 
keuntungan menggunakan Alkitab sebagai dasar kesaksian untuk 
menginjili "saudara sepupu" adalah karena kita memiliki banyak 
kesamaan dengan mereka sehingga kita bisa membangun dasar Injil yang 
kokoh di atas kesamaan-kesamaan itu. Kita akan melihat hal ini lebih 
dalam lagi.

Contoh Paulus dari Catatan Kisah Para Rasul

Ketika Paulus mengunjungi sinagoge-sinagoge Yahudi yang tersebar di 
seluruh wilayah Yunani dan Asia Kecil, ia dapat dengan bebas bertukar 
pikiran dengan semua yang hadir di sana. Ia juga dapat menjelaskan dan 
membuktikan dari Kitab Suci bahwa Yesus adalah Mesias yang lama 
dinantikan itu. Akan tetapi, ketika ia sampai di Athena dan mengamati 
kota itu, ia menyadari bahwa ia berada di lingkungan yang amat 
berbeda. Kota itu penuh dengan berhala dan pasarnya sering kali 
dikunjungi oleh golongan Epikurean, Stoa, dan filsuf-filsuf lainnya. 
Kini, Paulus tidak lagi berada di "kandangnya" sendiri. Bagaimana ia 
menginjili orang-orang yang berasal dari bangsa, budaya, dan warisan 
religi yang sama sekali berbeda darinya? Akan tetapi, ketika ia 
berdiri di sidang Aeropagus dan ditantang untuk menyampaikan ajarannya 
kepada penduduk kota itu, yang menganggapnya telah menyebarkan ajaran 
baru yang aneh, ia memulai perkataannya dengan:

"Hai orang-orang Atena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat 
beribadah kepada dewa-dewa. Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu 
dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah 
mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu 
sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu." (Kisah 
Para Rasul 17:22-23)

Ada 2 pelajaran penting yang dapat ditarik dari kedua ayat tersebut. 
Yang pertama, Paulus mendekatkan dirinya dengan kepercayaan orang-
orang yang hendak diinjilinya. Cara terbaik untuk mendapatkan dampak 
dari prinsip ini adalah dengan menekankan beberapa kata tertentu dalam 
kalimat pertamanya: "Aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat 
beribadah kepada dewa-dewa (religius). Sebab ketika aku berjalan-jalan 
di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga 
sebuah mezbah dengan tulisan ...." Paulus mengambil waktu untuk 
membiasakan dirinya dengan latar belakang orang-orang yang akan 
dijangkaunya. Ia mengamati sembari berjalan-jalan di kota itu dan 
ketika ia melakukannya, ia pun menemukan altar itu.

Dalam menginjili "saudara sepupu", orang-orang Kristen harus 
mempelajari sebanyak mungkin tentang kepercayaan dan kebiasaan orang-
orang yang ingin dijangkaunya. Mempelajari Alquran dan bagian-bagian 
penting dari hadis akan sangat menolong sebab hanya dengan begitulah 
seorang Kristen dapat berkomunikasi dengan lebih sensitif, efektif, 
dan cerdas dengan "saudara sepupu".

Pelajaran kedua yang muncul dari pelajaran yang pertama adalah 
perlunya mencari kesamaan titik awal, terutama dengan ajaran-ajaran 
yang `sejalan` dengan keyakinan dasar kita dan ajaran Kitab Suci. Saat 
Anda dapat membangun titik awal yang sama, maka Anda akan dapat 
mendengar dengan lebih baik dan juga menyatakan kebenaran Injil yang 
berbeda dari apa yang sebelumnya mereka percayai tentang Injil. Paulus 
melakukan hal ini, dan ketika Anda melakukan hal yang sama, Anda juga 
dapat mengabarkan Injil dengan lebih berdampak. Dengan demikian, Anda 
dapat berkata seperti Paulus, "Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, 
itulah yang kuberitakan kepada kamu."

Sebuah contoh yang sangat baik tentang bagaimana Yesus memakai 
pendekatan ini adalah di dalam sebuah percakapan dengan seorang 
perempuan Samaria. Setiap hari, perempuan itu datang dari Kota Sikhar 
ke Sumur Yakub, yang jaraknya cukup jauh dari tempat itu. Sama seperti 
semua penduduk di wilayah itu, perempuan tersebut tidak memiliki 
pilihan lain. Samaria adalah sebuah wilayah semi gurun, dan sumur itu 
adalah urat nadi kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. 
Ketika Yesus berbicara kepada perempuan itu tentang kuasa-Nya untuk 
memberi hidup, Ia berkata,

"Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa 
minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk 
selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan 
menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai 
kepada hidup yang kekal." (Yohanes 4:13-14)

Perkataan Yesus langsung menyentuh dasar keberadaan perempuan itu. 
Sebab, setiap hari perempuan itu datang ke sumur Yakub untuk menimba 
air (dari kebiasaannya ini, terbukti bahwa air yang diambilnya dari 
sumur itu terbatas), tetapi Yesus membawanya ke sebuah sumur yang 
tidak terbatas airnya, yaitu sebuah mata air yang akan memberinya 
kehidupan kekal. Dalam konteks ini, Anda dapat melihat bagaimana Injil 
dapat disampaikan untuk melawan apa yang sudah dipercayai, baik oleh 
"saudara sepupu" maupun penganut kepercayaan lain, tentang Injil.

Selain dua pelajaran itu, ada pelajaran ketiga yang dapat diambil dari 
pengalaman Paulus, kali ini dalam perdebatannya dengan orang-orang 
Yahudi di sinagoge-sinagoge. Di sana, Paulus berdebat dengan memakai 
dasar dari Kitab Suci (Kisah Para Rasul 17:2). Ketika berdebat di 
sana, Paulus tidak menggunakan ilustrasi, percakapan teologis maupun 
hikmat manusia meskipun hal-hal itu sering kali dipakai dalam 
perdebatan umum. Paulus mendasarkan pesan yang dibawanya di atas 
firman Allah yang, seperti sudah kita lihat, adalah dasar terbaik 
untuk bersaksi. Firman Allah adalah pedang Roh, firman itu hidup dan 
aktif, firman itu sanggup menusuk sampai ke dalam jiwa dan roh 
manusia, dan itulah alat Tuhan yang paling efektif untuk menarik 
orang-orang yang tidak percaya kepada Injil tentang Anak-Nya.

Paulus hanya menekankan sebagian kecil, jika ada, tentang penciptaan, 
budaya, atau kepekaan pendengarnya. Ia memulai tugas itu dengan 
kekuatan dari sumber yang tepat, yaitu firman Allah, dan Roh Kudus 
yang menjadi saksi atas berita yang dibawanya. Ia melakukan 
penginjilan dengan cara yang alkitabiah sebab Kitab Suci kita ini, 
menurut Surat Ibrani, mampu "menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa 
dan roh, sendi-sendi dan sumsum." Kesaksian kristiani bukanlah sebuah 
usaha untuk membujuk orang lain agar mau percaya terhadap kebenaran 
Injil, melainkan merupakan sebuah panggilan kepada setiap laki-laki 
dan perempuan di mana pun untuk diperdamaikan dengan Allah melalui 
iman dalam Yesus Kristus. Firman Allah adalah seperti sinar-x yang 
menyelidiki hati manusia, firman itu menganalisis emosi kita, 
menantang kegemaran-kegemaran yang mengalihkan perhatian kita, 
membentuk ulang hati dan pikiran kita serta berhadapan langsung dengan 
manusia rohani kita.

Sama seperti kita harus menghadapi keberdosaan kita dan bertobat 
darinya untuk menjadi murid Yesus yang sejati, begitu juga "saudara 
sepupu" kita juga harus datang kepada-Nya dalam pertobatan yang 
sejati. Hal itu tidak hanya sekadar beralih kesetiaan, dari Muhammad 
kepada Yesus, tetapi juga sebuah perjalanan dari kegelapan menuju 
terang, dari pementingan diri sendiri kepada pemusatan kepada Yesus, 
dan dari kematian rohani menuju kehidupan kekal. Sejak kejatuhan Adam, 
panggilan Allah kepada manusia adalah agar mereka mau diciptakan 
kembali, dan kesaksian alkitabiah yang sejatilah yang dapat 
mengungkapkan panggilan itu kepada hati dan pikiran "saudara sepupu" 
kita. Kesaksian yang sejati itulah yang juga akan mengarahkan 
pendengarnya kepada pengharapan yang hidup di dalam Juru Selamat yang 
datang dari Allah, yaitu Yesus Kristus, Anak-Nya.

Dengan kasih untuk "saudara sepupu" dan kuasa firman Allah di tangan 
Anda, maka Anda pun dapat menjadi pembawa pesan Allah yang mengarahkan 
banyak orang kepada keselamatan, anugerah keselamatan yang datang dari 
Allah, dan yang kita tahu hanya terdapat di dalam Yesus saja. (t/Yudo)

Catatan penerjemah: Artikel ini adalah sebuah pendahuluan dari buku 
John Gilchrist yang berjudul "Sharing the Gospel with Muslims: A 
Handbook for Bible-Based Muslim Evangelism".

Diterjemahkan dan disunting dari:
Nama situs: Answering Islam
Alamat URL: http://www.answering-islam.org/Gilchrist/Sharing/00intro.html
Judul asli artikel: Using the Word of God in Muslim Evangelism
Penulis: John Gilchrist
Tanggal akses: 3 Juni 2013


Kontak: jemmi(at)sabda.org
Redaksi: Yudo dan Yulia
Berlangganan: subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/misi/arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org