Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/misi/2012/10

e-JEMMi edisi No. 10 Vol. 15/2012 (6-3-2012)

Bukti Medis Kematian Yesus 1

______________________________  e-JEMMi  _____________________________
                   (Jurnal Elektronik Mingguan Misi)
______________________________________________________________________

SEKILAS ISI
ARTIKEL MISI: BUKTI MEDIS: APAKAH KEMATIAN YESUS PURA-PURA DAN
              KEBANGKITAN-NYA ADALAH CERITA BOHONG? 1
DOA BAGI MISI DUNIA: NIGERIA
DOA BAGI INDONESIA: GENG MOTOR TASIK

Shalom,

Kematian Tuhan Yesus yang mengerikan dan kebangkitan-Nya yang
menakjubkan, sering kali membuat banyak orang berasumsi bahwa Ia tidak
benar-benar mati di kayu salib. Salah satu teori yang menentang
kebangkitan Tuhan Yesus menyebutkan bahwa Ia hanya pingsan saja di
atas kayu salib dan tersadar setelah dibaringkan dalam kuburan Yusuf
Arimatea yang lembab. e-JEMMI akan membahas mengenai teori ini dan
kebenarannya dalam dua edisi -- 10 dan 11. Kiranya melalui artikel
ini, iman kita semakin diteguhkan dan semakin bersinar di
tengah-tengah dunia yang gelap ini. Selamat membaca, Tuhan Yesus
memberkati!

Staf Redaksi e-JEMMi
Yosua Setyo Yudo
< http://misi.sabda.org/ >

           ARTIKEL MISI: BUKTI MEDIS: APAKAH KEMATIAN YESUS
        PURA-PURA DAN KEBANGKITAN-NYA ADALAH CERITA BOHONG? 1

Saya berhenti untuk membaca plakat yang tergantung di ruang tunggu di
kantor dokter: "Biarlah percakapan berlalu. Biarlah tawa lenyap. Di
tempat inilah maut dengan senang hati menolong yang hidup."

Jelas, ini bukan dokter biasa. Saya sedang melakukan kunjungan ke Dr.
Robert J. Stein, salah satu ahli patologi forensik yang terkenal di
dunia, seorang detektif medis yang flamboyan, bersuara parau, dan
biasanya menyuguhi saya dengan kisah-kisah tentang petunjuk yang tidak
terduga, yang ditemukannya ketika memeriksa jenazah. Bagi dia, jenazah
benar-benar menceritakan kisah-kisah ­- kenyataannya, yang sering kali
akan membawa keadilan bagi orang yang hidup.

Stein bekerja sebagai penguji medis di Cook Country, Illinois dan
telah melakukan ribuan autopsi dengan teliti guna mencari pengetahuan
mengenai kematian korban. Matanya yang awas akan hal-hal detail,
pengetahuannya yang luas tentang anatomi manusia, dan intuisi
penyelidikannya yang luar biasa, menolong Stein merekonstruksi
kekerasan yang menyebabkan kematian korban.

Kadang-kadang hasil penelitiannya membersihkan nama orang-orang yang
tidak bersalah dan merupakan paku terakhir di peti terdakwa. Seperti
dalam kasus John Wayne Gacy, yang berhadapan dengan algojo, setelah
Stein menolong untuk mencari bukti atas tiga puluh tiga tindakan
pembunuhan mengerikan yang dilakukan John.

Begitulah, betapa bukti medis dapat menjadi penting sekali.
Bukti-bukti tersebut dapat menentukan apakah seorang anak meninggal
karena penyiksaan atau jatuh yang tidak disengaja. Bukti-bukti itu
dapat menentukan apakah seseorang meninggal karena sebab yang alami
atau dibunuh oleh seseorang yang membubuhi kopinya dengan arsenik.
Bukti-bukti medis juga dapat menunjukkan secara tepat waktu kematian
korban -- menggunakan sebuah prosedur sederhana, contohnya mengukur
kadar potasium di mata jenazah, sehingga dapat menguatkan atau
membongkar alibi terdakwa.

Bahkan dalam kasus seseorang yang secara brutal dihukum mati di atas
salib Romawi dua ribu tahun yang lalu, bukti medis masih bisa
memberikan sebuah kontribusi yang sangat penting: dapat menolong untuk
menentukan apakah kebangkitan Yesus ­- pertahanan tertinggi atas klaim
diri-Nya sebagai Tuhan -­ tidak lebih daripada sebuah cerita bohong
yang rumit. Stein telah membuat saya terkesan akan nilai
petunjuk-petunjuk forensik. Saya tahu inilah saatnya untuk mencari
seorang ahli medis yang telah menyelidiki sepenuhnya fakta-fakta
sejarah mengenai penyaliban dan telah berhasil memisahkan kebenaran
dari legenda.

Kebangkitan atau Kesadaran dari Pingsan?

Gagasan bahwa Yesus tidak pernah sungguh-sungguh mati di kayu salib
dapat ditemukan di Al-Quran, yang ditulis pada abad ke-7 ­- umat Islam
Ahmadiyah berpendapat bahwa Yesus sebenarnya melarikan diri ke India.
Sampai hari ini, ada sebuah tempat keramat yang diduga menjadi kuburan
Yesus yang sesungguhnya di Srinagar, Kashmir.

Ketika abad ke-19 menyingsing, Karl Bahrdt, Karl Venturini, dan yang
lainnya berusaha menjelaskan peristiwa kebangkitan, dengan memberi
kesan bahwa Yesus hanya jatuh pingsan dari kelelahan di kayu salib,
atau Dia telah diberi minuman yang membuat-Nya terlihat mati dan
kemudian Dia dibangkitkan oleh udara dingin yang lembab di dalam
kubur.

Para ahli teori konspirasi mendukung hipotesis ini, dengan menunjukkan
bahwa Yesus telah diberi minuman dengan sebatang buluh ketika di atas
salib (Markus 15:36), dan Pilatus terkejut dengan cepatnya Yesus mati
(Markus 15:44). Maka dari itu, mereka berkata, kemunculan ulang Yesus
bukanlah sebuah kebangkitan yang ajaib, namun hanya kembali sadar
secara kebetulan dan kubur-Nya kosong karena Dia terus hidup.

Sementara para ahli terkemuka tidak mengakui teori yang diberi sebutan
teori jatuh pingsan, namun teori ini berulang kali muncul dalam
literatur populer. Pada tahun 1929, D.H. Lawrence merangkai tema ini
ke dalam cerita pendek, di mana beliau memberi kesan bahwa Yesus
melarikan diri ke Mesir dan Ia jatuh cinta dengan pendeta wanita Isis.

Pada tahun 1965, dalam bukunya "The Passover Plot", Hugh Schonfield
mengatakan bahwa hanya tikaman pada Yesus yang tidak terhindarkan oleh
tentara Romawi saja yang menggagalkan skema rumit untuk lolos dari
salib hidup-hidup, meskipun Schonfield mengakui, "Kami tidak membuat
pengakuan di mana pun ... bahwa [buku] menuliskan apa yang sebenarnya
terjadi."

Hipotesis jatuh pingsan muncul kembali pada tahun 1972, melalui buku
"The Jesus Scroll" karangan Donovan Joyce tahun 1972. Menurut ahli
kebangkitan Gray Habermas, buku ini berisi rangkaian kemungkinan yang
lebih tidak masuk akal daripada milik Schonfield. Pada tahun 1982,
"Holy Blood, Holy Grail" menambahkan corak bahwa Pontius Pilatus telah
menyuap untuk membiarkan Yesus diturunkan dari kayu salib sebelum Dia
mati. Meskipun demikian, para penulis mengakui, "Kami tidak bisa ­-
dan masih tidak bisa ­- membuktikan keakuratan kesimpulan kami."

Pada tahun 1992, Barbara Thiering -- sarjana dari Australia, membuat
kegemparan dengan membangkitkan teori jatuh pingsan. Bukunya "Jesus
and the Riddle of the Dead Sea Scroll", diperkenalkan dengan terlalu
berlebihan oleh penerbit yang terhormat di Amerika Serikat. Tetapi
teorinya kemudian ditolak dan direndahkan oleh Luke Timothy Johnson,
seorang ahli dari Emory University, karena dianggap omong kosong
belaka, hasil imajinasi yang memuncak, dan bukan merupakan analisis
yang cermat.

Hari ini, teori jatuh pingsan terus berkembang. Saya mendengarnya
sepanjang waktu. Namun, apakah buktinya sungguh-sungguh ada? Apa yang
sesungguhnya terjadi saat Penyaliban? Apa yang menjadi penyebab
kematian Yesus? Apakah ada kemungkinan Dia bisa selamat dari siksaan
ini? Itu merupakan macam-macam pertanyaan yang saya harap dapat
diselesaikan melalui bukti-bukti medis. Maka saya terbang ke
California Selatan dan mengunjungi seorang dokter ternama, yang telah
mempelajari secara mendalam data sejarah, arkeologis, dan medis
mengenai kematian Yesus dari Nazaret ­- walaupun tampaknya berkenaan
dengan hilangnya jenazah Yesus secara misterius, tidak pernah
dilakukan autopsi terhadap-Nya.

Wawancara dengan Alexander Metherell, M.D., Ph.D.

Tempat yang mewah terasa sangat tidak cocok dengan topik yang sedang
kami bicarakan. Di sanalah kami duduk di ruang tamu Dr. Metherell yang
nyaman, di sore hari musim semi yang menyenangkan. Angin laut yang
hangat berbisik melalui jendela, selagi kami berbicara mengenai topik
tentang kebrutalan yang tidak terbayangkan: pemukulan yang begitu
biadab, sehingga mengguncang kesadaran dan bentuk hukuman mati yang
begitu kejam, sehingga menjadi kesaksian tentang kebiadaban manusia
kepada manusia lainnya.

Saya mencari Metherell karena saya mendengar beliau memiliki keahlian
medis dan ilmiah untuk menjelaskan tentang peristiwa penyaliban.
Namun, saya juga memunyai motivasi lain: saya diberi tahu bahwa beliau
dapat membicarakan topik tersebut dengan tenang dan akurat. Hal itu
penting bagi saya karena saya ingin fakta-fakta berbicara untuk diri
mereka sendiri, tanpa hiperbola, atau bahasa yang dipaksakan yang
mungkin dapat memanipulasi emosi.

Seperti yang Anda harapkan dari seseorang dengan gelar medis
(University of Miami di Florida) dan gelar doktor dalam bidang teknik
(University of Bristol di Inggris), Metherell berbicara dengan
ketelitian ilmiah. Beliau memiliki sertifikat dalam bidang diagnosis
yang dikeluarkan oleh American Board of Radiology, dan telah menjadi
konsultan bagi National Heart, Lung, dan Blood Institute di National
Institutes of Health of Bethesda, Maryland.

Sebagai seorang mantan ilmuwan penelitian yang telah mengajar di
University of California, Metherell adalah editor untuk lima buku
ilmiah dan ia telah menulis untuk beberapa penerbit, mulai dari
"Aerospace Medicine" sampai "Scientific American". Analisisnya yang
terampil tentang kontraksi otot diterbitkan di "The Physiologist and
Biophysics Journal". Beliau juga menjadi pengawas sebuah otoritas
medis terkemuka: beliau adalah seseorang yang terhormat, dengan rambut
putih dan sikap yang sopan tetapi formal.

Kadang-kadang saya membayangkan apa yang ada di dalam kepala Dr.
Metherell. Dengan segala pengetahuan ilmiahnya, ia berbicara dengan
pelan dan runtut. Beliau juga tidak memberikan petunjuk dari gejolak
batinnya ketika beliau menjabarkan rincian yang mengerikan tentang
kematian Yesus. Apa pun yang sedang terjadi di bawah permukaan itu,
apa pun kepedihan yang dirasakannya sebagai seorang Kristen ketika
berbicara tentang nasib yang mengerikan yang menimpa Yesus, beliau
mampu menutupinya dengan profesionalisme yang lahir dari puluhan tahun
penelitian di laboratorium. Beliau hanya memberi saya fakta-fakta ­-
dan bagaimanapun juga hanya itulah yang saya kejar.

Penyiksaan Sebelum Salib

Awalnya, saya ingin memperoleh dari Metherell penggambaran dasar dari
peristiwa-peristiwa menuju kematian Yesus. Jadi setelah percakapan
sosial, saya meletakkan es teh saya dan mengatur cara duduk saya
sedemikian rupa, sehingga saya menghadap tepat ke arah beliau.
"Bisakah Anda memberikan gambaran tentang apa yang terjadi pada
Yesus?" tanya saya.

Dia berdehem. "Peristiwa itu dimulai setelah Perjamuan Malam Terakhir,
katanya. Yesus pergi bersama murid-murid-Nya ke Bukit Zaitun -­
tepatnya ke Taman Getsemani dan di sana Dia berdoa sepanjang malam.
Selama proses itu, Yesus menantikan peristiwa yang akan terjadi di
hari berikutnya. Karena Dia tahu besarnya penderitaan yang harus
ditanggung-Nya, sudah sewajarnya Ia mengalami tekanan psikologis yang
sangat berat."

Saya mengangkat tangan saya untuk menghentikan beliau. "Whoa -­ di
sinilah orang-orang skeptis memiliki waktu untuk bersenang-senang,
kata saya kepadanya. Injil memberi tahu kita, Dia mulai berkeringat
darah pada saat ini. Sekarang, bukankah hal itu hanya hasil dari
beberapa imajinasi yang berlebihan? Bukankah hal itu menimbulkan
pertanyaan tentang keakuratan para penulis Injil?"

Tanpa terganggu, Metherell menggelengkan kepala. "Tidak sama sekali,
jawab beliau. Ini merupakan kondisi medis yang disebut `hematidrosis`.
Kondisi ini tidak terlalu umum, namun kondisi seperti ini memiliki
hubungan dengan tingkat tekanan psikologis yang tinggi. Yang terjadi
adalah ketakutan hebat, yang menyebabkan terlepasnya unsur kimiawi
yang memecahkan kapiler [pembuluh darah halus, Red.] di kelenjar
keringat. Akibatnya terjadi pendarahan di kelenjar tersebut, sehingga
keringat yang keluar berwarna darah. Kita tidak sedang berbicara
tentang banyak darah; hanya jumlah yang sangat, sangat sedikit."

Meskipun sedikit tertegur, saya terus menekan. "Apakah ini memiliki
efek lain pada tubuh?"

"Kondisi ini membuat kulit menjadi sangat rapuh, sehingga ketika Yesus
dicambuk oleh tentara Romawi keesokan harinya, kulit-Nya akan menjadi
sangat, sangat sensitif." Baiklah, mari kita mulai. Saya mempersiapkan
diri akan gambaran-gambaran mengerikan yang saya tahu akan memenuhi
pikiran saya. Sebagai seorang jurnalis, saya telah melihat banyak
jenazah -­ korban dari kecelakaan mobil, kebakaran, dan pembalasan
sindikat kejahatan -­ namun, ada sesuatu yang menimbulkan ketakutan
khusus ketika mendengar tentang seseorang yang diperlakukan secara
keji dengan sengaja oleh para algojo untuk menimbulkan penderitaan
yang paling menyakitkan.

"Ceritakan kepada saya, seperti apa pencambukan itu?" Mata Metherell
terus menatap saya.

"Hukuman cambuk Romawi terkenal karena kebrutalannya yang amat sangat.
Hukuman itu biasanya terdiri dari tiga puluh sembilan cambukan, namun
seringnya jauh lebih banyak daripada itu, tergantung dari suasana hati
tentara yang melakukan hukuman tersebut. Tentara itu akan menggunakan
sebuah cambuk terbuat dari tali kulit yang dikepang dengan bola-bola
logam yang diselipkan di dalam anyaman tali itu. Ketika cambuk itu
menyambar tubuh si terhukum, bola-bola ini akan menyebabkan luka-luka
memar yang dalam dan luka-luka itu akan hancur dengan pukulan-pukulan
yang selanjutnya. Pada cambuk itu juga terdapat serpihan-serpihan
tulang yang tajam, yang akan mencabik daging dengan parah. Punggung si
terhukum juga akan terparut sedemikian rupa, sehingga bagian dari
tulang belakang kadang-kadang dapat terlihat akibat luka yang sangat
dalam. Pencambukan dilakukan mulai dari bahu turun ke punggung,
pantat, dan bagian belakang kaki. Sungguh mengerikan."

Metherell berhenti. "Lanjutkan, kata saya."

"Seorang dokter yang pernah mempelajari cambukan Romawi berkata,
`Sementara cambukan itu berlangsung, tiap cabikan yang diakibatkan
oleh cambuk itu akan mengoyak sampai ke otot rangka yang ada di bawah
kulit, sehingga menghasilkan garis-garis daging yang berdarah.`
Sejarawan abad ke-3, Eusebius menggambarkan pencambukan ini dengan
mengatakan, `Pembuluh darah korban pencambukan akan terbuka dan otot,
urat dagingnya, serta isi perut korban dapat terlihat.` Kita tahu
banyak orang akan mati karena pukulan jenis ini, bahkan sebelum mereka
disalibkan. Sedikitnya, korban akan mengalami kesakitan yang amat
hebat dan mengalami syok `hypovolemic`."

Metherell mengajukan sebuah istilah medis yang saya tidak pahami. "Apa
artinya guncangan `hypovolemic?`" saya bertanya.

"`Hypo` artinya rendah, `vol` mengacu pada volume, dan `emic` berarti
darah. Jadi, syok `hypovolemic` artinya orang itu sedang menderita
efek dari hilangnya darah dalam jumlah yang banyak. Hal ini
menyebabkan empat hal. Pertama, jantung berdebar kencang untuk memompa
darah yang tidak ada di situ; kedua tekanan darah menurun, menyebabkan
ketidaksadaran atau pingsan; ketiga, ginjal berhenti memproduksi urin
untuk mempertahankan volume yang tersisa; dan keempat, orang itu
menjadi sangat haus karena tubuh sangat membutuhkan cairan untuk
menggantikan volume darah yang hilang."

"Apakah Anda melihat bukti ini dalam catatan Injil?"

"Ya, tentu saja," jawab beliau. Yesus sedang dalam syok "hypovolemic"
pada waktu Dia berjalan terhuyung-huyung ke tempat hukuman mati di
Kalvari, sambil memikul balok horisontal dari salib-Nya. Akhirnya,
Yesus roboh dan tentara Romawi menyuruh Simon untuk memanggul
salib-Nya. Nantinya kita membaca bahwa Yesus berkata, "Aku haus," di
titik di mana seisapan anggur asam ditawarkan kepada-Nya. Karena efek
mengerikan dari cambukan ini, tidak dipertanyakan lagi bahwa Yesus
sudah dalam kondisi serius menuju kritis, bahkan sebelum paku
ditancapkan menembus tangan dan kaki-Nya.

Penderitaan yang Sangat Menyakitkan di Salib

Sama pahitnya dengan peristiwa pencambukan itu, saya tahu bahwa akan
ada kesaksian yang lebih membuat saya mual lagi yang akan diberikan.
Hal itu karena sejarawan bersepakat bahwa Yesus selamat dari cambukan
hari itu dan naik ke kayu salib -- di mana masalah yang sebenarnya
terjadi. Zaman ini, ketika penjahat yang dihukum mati diikat dan
disuntik dengan racun, atau terkunci di kursi kayu dan disetrum dengan
gelombang listrik, situasi-situasinya sangat terkendali. Kematian
datang dengan cepat dan dapat diprediksi. Penyidik medis dengan cermat
mengesahkan meninggalnya korban. Dari dekat, para saksi memeriksa
dengan cermat segala sesuatunya dari awal hingga akhir. Namun, betapa
pastinya kematian melalui bentuk eksekusi yang kira-kira, perlahan,
dan agak tidak pasti yang disebut penyaliban ini? Sesungguhnya,
kebanyakan orang tidak yakin bagaimana salib membunuh para korbannya.
Tanpa penyidik medis yang terlatih untuk bukti resmi bahwa Yesus telah
mati, mungkinkah Dia lolos dari pengalaman brutal dan berdarah namun
tetap hidup?

Saya mulai membongkar masalah ini. "Apa yang terjadi ketika Dia tiba
di tempat penyaliban?" saya bertanya.

"Dia mungkin terbaring dan tangan-tangan-Nya telah dipakukan dengan
posisi terlentang di balok horisontal. Kayu lintang pada salib disebut
`patibulum` dan di tahap ini kayunya terpisah dari balok vertikal,
yang secara permanen tertancap di tanah."

Saya kesulitan membayangkan ini; saya memerlukan rincian yang lebih.
"Dipaku dengan apa?" saya bertanya. "Dipaku di mana?"

"Orang-orang Romawi menggunakan paku-paku yang panjangnya 5 sampai 7
inci dan meruncing ke ujung yang tajam. Paku-paku itu ditancapkan ke
pergelangan," kata Metherell, menunjukkan sekitar satu inci di bawah
telapak tangan beliau.

"Tahan," saya menginterupsi. "Saya pikir paku-paku ditembuskan ke
telapak tangan-Nya. Itu yang ditunjukkan semua lukisan. Bahkan,
menjadi sebuah simbol yang melambangkan penyaliban."

"Melewati pergelangan," Metherell mengulangi. "Ini merupakan posisi
yang kuat, yang akan mengunci tangan; jika paku ditancapkan ke telapak
tangan, berat badan-Nya akan menyebabkan kulit robek dan Dia akan
jatuh dari atas salib. Jadi paku-paku menembus pergelangan, meskipun
ini dianggap bagian dari tangan dalam bahasa zaman itu. Penting untuk
memahami bahwa pakunya akan menembus tempat di mana jalur saraf median
berada. Ini merupakan saraf terbesar yang menuju ke tangan dan saraf
ini akan hancur oleh paku yang dipukulkan ke dalamnya." (tJing Jing)

Diterjemahkan dari:
Judul buku: The Case for Easter
Judul asli artikel: The Medical Evidence: Was Jesus` Death a Sham and
                    His Resurrection a Hoax?
Penulis: Lee Strobel
Penerbit: Zondervan, Grand Rapids, Michigan 2003
Halaman: 9 -- 17

                      DOA BAGI MISI DUNIA: NIGERIA

Kelompok Boko Haram menyatakan bertanggung jawab atas serangan bom
bunuh diri yang terjadi di negara bagian Plateu, Nigeria.

Menurut laporan kepolisian, pelaku bom bunuh diri itu mengendarai
mobil menuju Gereja Kristus di Nigeria (Church of Chrita in
Nigeria/COCIN) di kota Jos, pada saat kebaktian penyembahan. Saksi
mata mengatakan bahwa sejumlah jemaat gereja terbunuh dan sedikitnya
38 orang mengalami luka-luka. Gereja tersebut adalah tempat beribadah
Gubernur Negara Bagian Plateu, Jonah Jang.

Sementara itu, usaha pemboman terhadap cabang lain dari COCIN di
negara bagian Bauchi berhasil digagalkan oleh pihak kepolisian. Pihak
berwenang menahan delapan orang yang terkait dengan usaha pemboman
tersebut, yang terjadi enam jam setelah serangan di kota Jos.

CDN melaporkan bahwa salah seorang dari pelaku ditembak mati dan
seorang lagi terluka oleh tembakan pihak militer yang bertugas menjaga
tempat tersebut, sebelum bom itu meledak dan membunuh penyerang kedua
itu.

Boko Haram -- yang jika diterjemahkan secara harafiah berarti
"Pendidikan barat adalah haram" -- sedang berusaha menerapkan sebuah
versi syariah yang sangat ketat di Nigeria.

Yang menjadi perhatian saat ini adalah bagaimana mengurangi ketegangan
antaragama di Nigeria, ketegangan yang sama juga melanda negara bagian
yang mempraktikkan hukum syariah di bagian utara Nigeria, yang sering
kali mengakibatkan terbunuhnya belasan orang dalam serangan balasan.

Pengamat hak asasi manusia memperkirakan sekitar 5 juta pemeluk agama
Kristen berada dalam tekanan yang sangat luar biasa karena iman
mereka. (t/Yudo)

Sumber: http://mnnonline.org/article/16877

Pokok doa:

1. Berdoalah demi pemulihan keluarga-keluarga Kristen yang mengalami
kesedihan dan penderitaan, yang diakibatkan serangan tanpa belas
kasihan.

2. Naikkanlah syukur karena gereja-gereja di Nigeria tetap bertumbuh,
sehingga orang-orang Kristen dapat mengekspresikan iman mereka dengan
leluasa di tengah tekanan yang besar.

3. Doakan juga presiden Goodluck Jonathan yang adalah seorang Kristen,
agar diberi hikmat untuk memimpin sebuah negara yang mayoritas
penduduknya beragama lain.

                 DOA BAGI INDONESIA: GENG MOTOR TASIK

Geng motor kembali melakukan penganiayaan dan kekerasan yang
mengakibatkan kematian di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, minggu (4/3)
dini hari. Geng motor yang beranggotakan pengguna sepeda motor,
berusia 16-19 tahun kerap meresahkan masyarakat -- sering melakukan
tindak kekerasan jalanan, meraung-raungkan motor, serta melukai
pejalan kaki dan pengendara motor lain.

Sumber: Kompas, Senin, 5 Maret 2012, Hal 23

Pokok Doa:

1. Doakan keluarga korban kekerasan yang dilakukan oleh geng motor di
Tasikmalaya, agar Tuhan memberi kekuatan dan penghiburan.

2. Doakan juga upaya pihak berwajib yang menangani kasus ini, agar
Tuhan memberi hikmat sehingga dapat menangani kasus ini dengan baik.

3. Doakan untuk para anggota geng motor di Tasikmalaya, agar mereka
sadar dan tidak mengulangi perbuatan mereka yang merugikan pihak lain.

4. Berdoa untuk pihak berwenang untuk turut campur sehingga masalah
ini tidak berlarut-larut dan keadaan menjadi terkendali.

Kontak: < jemmi(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti, Yosua Setyo Yudo
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/misi >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org