Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/misi/2012/51 |
|
e-JEMMi edisi No. 51 Vol. 15/2012 (18-12-2012)
|
|
______________________________ e-JEMMi _____________________________ (Jurnal Elektronik Mingguan Misi) ______________________________________________________________________ e-JEMMi -- Kebajikan Bukan Milik Kita No.51, Vol.15, Desember 2012 SEKILAS ISI RENUNGAN MISI: KEBAJIKAN BUKAN MILIK KITA (YOHANES 3:16) KESAKSIAN NATAL: KAMAR YANG KOSONG SUMBER MISI: YAYASAN MERCY INDONESIA Shalom, Adakalanya peristiwa dalam kehidupan membuat kita mengambil keputusan untuk "menutupi" cahaya yang kita miliki dari Kristus. Peristiwa- peristiwa yang menyisakan luka dalam hidup, sering kali mengaburkan pesan Allah untuk menjadi terang bagi dunia. Kita lebih memilih untuk menenggelamkan hidup dalam keterlukaan: menutup diri terhadap kebaikan orang lain dan juga tidak menyampaikan kebaikan kepada orang lain. Tetapi, tentu saja bukan demikian maksud ujian yang diizinkan Tuhan untuk kita hadapi. Mungkin kita pernah mengalami kepahitan hidup seperti yang terjadi pada tokoh dalam kesaksian berikut ini. Kiranya kesaksian ini dapat membuat kita mengambil keputusan yang benar, saat menghadapi masa-masa sulit dalam hidup kita. Selamat membaca. Redaksi Tamu e-JEMMi, Berlian Sri Marmadi < http://misi.sabda.org/ > RENUNGAN MISI: KEBAJIKAN BUKAN MILIK KITA (YOHANES 3:16) Dulu, saya adalah seorang tahanan dengan masa hukuman yang lama di suatu negara Komunis. Saya memunyai teman sesama tahanan, sejumlah besar mantan hakim dan jaksa penuntut, yang dihukum karena mereka pernah, suatu kali, mengadili orang-orang Komunis. Para hakim dan jaksa penuntut yang dulu menjatuhkan hukuman, sekarang mereka sendiri merasakan kerasnya kehidupan penjara. Mereka semua mengatakan bahwa seandainya mereka menjadi hakim lagi, mereka tidak akan pernah menjatuhkan hukuman berat yang mereka pernah jatuhkan sebelumnya. Mereka tidak pernah menyadari sebelumnya bahwa tertulis lima tahun hukuman penjara di atas kertas, tidaklah sama dengan lima tahun di balik terali besi. Tidak ada seorang pun yang mau menghabiskan lima tahun di dalam penjara. Tuhan membuat setiap hari dalam penjara berbeda dan setiap menit dari setiap hari memunyai penderitaannya sendiri. Pengalaman dalam menderita, mengubah pandangan seseorang atas pertanyaan akan penghukuman. Di balik Yesus dan penderitaan gereja-Nya, ada Bapa yang mengurbankan Putra satu-satunya bagi keselamatan kita. Apakah dibenarkan mengurbankan seseorang yang tidak bersalah demi keselamatan bagi para pelaku dosa? Berdasarkan standar manusia -- tidak! Kami tidak mau memikirkan seorang yang benar, yang berkuasa untuk mencegah, akan tetapi membiarkan putranya dicambuk, diludahi, dan disalibkan dengan tujuan untuk menyelamatkan para penjahat dari hukuman yang sangat layak mereka terima. Allah itu benar, tetapi Ia memunyai kebajikannya sendiri, yang mana kita serupa dengan-Nya oleh iman. Hanya dengan melakukan yang demikian, hanya dengan memikirkan Allah yang benar yang menurut standar kita, tidak boleh seperti itu, dapatkah kita menangkap bahwa Allah menganggap para pendosa dibenarkan, yang menurut standar dunia layak menerima penghukuman? Kita tidak dapat mengerti jalan Allah, tetapi kita tahu dari firman- Nya bahwa Ia melakukannya karena Kasih. Kasih membebaskan kita dari dosa. Kasih selalu berarti bebas. Di Macedo -- orang-orang Rumania, mereka tidak memiliki dalam bahasa mereka kata "mengasihi", mereka lebih menggunakan kata "memilih". Allah tidak hanya mengasihimu, Ia "memilih"mu dengan pilihan-Nya yang berkuasa. Ia memilih untuk memilikimu. Semua penolakanmu akan menjadi sia-sia. Ia mengasihimu dalam pengertian tertinggi dari kata "kasih", yang artinya adalah menginginkan seseorang, bahkan jika menginginkan seseorang itu berakibat pada kematian. Oleh karena itu, kasih-Nya tidak dapat diekspresikan dengan arti lainnya, selain kematian yang menyakitkan -- Golgota. Diambil dari: Judul buletin: Kasih Dalam Perbuatan, September-Oktober 2009 Penulis: Richard Wurmbrand Penerbit: Kasih Dalam Perbuatan, Surabaya Halaman: 2 KESAKSIAN NATAL: KAMAR YANG KOSONG Bagi kami, kamar itu merupakan kamar yang nyaman karena kami mengubahnya dari kamar yang pengap dan gelap, karena sebelum kami pindah ke daerah pertanian di lembah ini, kami belum pernah memiliki kamar khusus untuk menerima tamu. Suami saya dan saya senang menjamu tamu-tamu yang berkunjung. Kedua anak kami yang tertua sudah menikah dan pindah, tetapi ketiga anak perempuan asuh kami tetap membuat suasana rumah kami hidup dan gembira. Hari itu, tanggal 30 April, adalah hari yang indah. Warna-warna musim semi menyemarakkan suasana seluruh lembah. Pohon dogwood (pohon yang bunganya berwarna putih atau merah pada awal musim semi) dan redbud (pohon yang bunganya kecil berwarna merah muda) memperkaya aneka warna lereng gunung. Perasaan saya melimpah dengan kebahagiaan dan kepuasan, sewaktu mencium suami saya sebelum saya berangkat kerja ke kota. Dua jam kemudian, di meja saya di ruang pengadilan, mereka menyampaikan sebuah catatan: "Suami Anda mendapat serangan jantung yang dapat menyebabkan kematian." Betapa seringnya saya melihat musibah yang menimpa orang lain dan dengan sedikit bangga saya menghibur mereka. Namun, tidak ada lagi keindahan yang tersisa pada musim semi itu yang dapat menghibur saya. Perasaan sedih yang mendalam menguasai saya sampai beberapa minggu berikutnya. Kematian suami saya seakan-akan ikut melumpuhkan sebagian dari diri saya dan mengubah segalanya. Tanah pertanian yang semula begitu berarti bagi kami telah dijual setelah dilelang. Tidak ada yang tersisa, kecuali rumah tempat tinggal dan saya tahu rumah itu menjadi milik saya, hanya untuk sementara saja. Pada saat itulah, saya mulai merasa takut dan iman saya mulai goyah. Di luar, musim semi berganti dengan musim panas, tetapi dalam diri saya terdapat dinding es yang memisahkan saya dengan Tuhan dan teman- teman saya. Saya berusaha memulihkan hubungan saya dengan Tuhan, supaya saya memperoleh penghiburan dan kelegaan, tetapi sia-sia. Sekarang, setelah melihat ke belakang, saya tahu sebabnya; doa-doa saya selalu diakhiri dengan pernyataan, "Mengapa, Tuhan? Mengapa saya?" Pada saat-saat seperti itu, saya sama sekali tidak menginginkan penghiburan dari siapa pun. Saya hanya ingin menyendiri dan "menjilati luka saya". Karena itu, saya menolak kasih dan pertolongan yang ditawarkan teman-teman saya. Dan karena itu juga, saya menutup pintu yang menuju ke kamar khusus untuk tamu, yang merupakan hasil kerja keras Bob dan saya, sehingga kamar itu menjadi nyaman untuk dihuni. Kamar itu tetap tertutup sepanjang musim panas; sekarang tidak ada lagi tamu yang meramaikan rumah kami. Saya tidak dapat menghilangkan kesedihan yang saya rasakan. Saya mencoba mengatakan kepada Tuhan bahwa saya percaya Ia mengetahui yang terbaik. Tetapi, sebenarnya saya tidak bersungguh-sungguh mengatakannya -- saya sama sekali tidak dapat melihat apa yang terbaik dari semua pengalaman ini. Tanpa terasa bulan Desember sudah tiba. Biasanya, Natal merupakan masa liburan yang paling berarti bagi keluarga kami. Ada suatu kegembiraan tersendiri sewaktu menebang pohon cemara yang kami tanam, aroma kayu yang khas menyebar ke seluruh rumah. Kami memaksa, merencanakan, dan menyediakan segala keperluan untuk Natal, seperti yang biasa dilakukan orang-orang di daerah pegunungan. Tetapi, sekarang rasanya saya tidak sanggup memikirkan Natal. Bahkan, saya mengusulkan kepada ketiga anak perempuan asuh saya, supaya kami tidak menyiapkan pohon Natal tahun itu. Tetapi, usul saya menyebabkan mereka menangis dan mereka berjanji akan mempersiapkan semuanya, asalkan saya setuju. Jadi, akhirnya saya mengalah. Mereka juga minta ditemani ke perayaan Natal yang diadakan oleh komisi wanita gereja kami di rumah pendeta, dua mil di atas lembah. Meskipun enggan, saya memaksakan diri juga, demi mereka. Waktu salju mulai turun, saya berpura-pura mengatakan, "Apabila kalian memang harus pergi, saya rasa kita tinggal menyerahkan kepada Tuhan. Mungkin dengan persneling yang rendah, kita bisa sampai ke sana." Perjalanan kami lancar dan anak-anak sangat gembira di sana. Tetapi, kehangatan tersebut tidak berhasil mencairkan hati saya yang membeku. Pesta itu selesai lebih cepat karena salju turun semakin lebat. Ketika kami hendak pulang, terdengar ketukan yang keras di pintu. Ketika nyonya rumah membukanya, tampak seorang pria muda berperawakan tinggi, wajahnya muram, sebagian tertutup salju. "Mobil kami mogok sewaktu mendaki ke arah pegunungan," katanya, "Dan hanya cahaya lampu rumah ini yang kami lihat; jadi kami menyimpang ke sini." Pada waktu itulah, saya melihat seorang wanita muda di belakang pria itu, wajahnya pucat ketakutan. Setelah kami mengajak mereka masuk, menawarkan kopi dan makanan, saya baru tahu wanita itu sedang hamil tua. Pria itu baru pulang bertugas dari Vietnam dan sedang dalam perjalanan menuju posnya yang baru di California Utara, setelah menjemput istrinya di Minnesota. Berkali-kali ia mengatakan kepada kami bahwa semua barang yang mereka miliki ada di dalam mobil. Ia takut kalau- kalau terjadi sesuatu bila ditinggalkan begitu saja. Salah seorang wanita anggota gereja kami menelepon seorang pria yang tinggal di dekat gunung, yang memiliki truk pengangkut. Ia menceritakan keadaan pasangan muda itu, dan pria itu berjanji untuk mencoba menarik mobil mereka ke sebuah garasi, yang jaraknya kira-kira enam belas mil dari tempat itu. Ketika saya menuju dapur untuk menambah kopi, saya mendengar salah seorang wanita berkata, "Di mana mereka menginap malam ini?" Waktu wanita itu berbicara, ia menoleh dan memandang ke arah saya. Saya tidak pernah melupakan bagaimana ia memerhatikan wajah saya. Suasana tiba-tiba menjadi hening, tetapi apa yang disampaikannya begitu jelas dan nyata. Mereka tidak mengharapkan pertolongan dari saya. Bukankah saya sudah menutup diri, bahkan terhadap teman-teman terdekat saya selama berbulan-bulan? Mereka tahu mereka tidak bisa meminta saya untuk membantu. Padahal, saya adalah satu-satunya orang yang masih memunyai kamar kosong untuk pasangan muda itu -- kalau saja saya bersedia. Yang lainnya berkumpul bersama anak-anak atau teman-teman untuk merayakan Natal, dan rumah mereka memang tidak bisa lagi menampung pasangan muda itu. Tidak ada tempat, pikir saya. Lalu, pada saat itu juga, Tuhan berbicara kepada saya. Dan saya tahu, untuk pertama kalinya sejak suami saya meninggal, hubungan saya dengan Dia sudah pulih kembali. Malam ini, seperti malam yang terjadi beberapa abad yang lalu -- seorang pria muda dan istrinya yang akan melahirkan sangat memerlukan bantuan. Dan meskipun kota ini bukan Betlehem, bukankah saya sudah bertindak seperti penjaga penginapan yang menolak mereka dengan alasan "tidak ada tempat"? Padahal saya memunyai kamar untuk tamu. Memang kamar itu gelap dan sudah ditutup, tetapi sekarang hari Natal. Pasti Tuhan yang telah menuntun kedua tamu ini dari ancaman badai. Hati saya kembali bergairah menatap kehidupan ketika saya mengiringi mereka ke dalam mobil, dan ketika saya berpaling meneriakkan "Selamat Natal" kepada teman-teman saya. Lalu, kami pulang ke rumah menembus salju yang turun dengan lebat. Kami seakan-akan berjalan menembus ke dalam kartu Natal yang indah, sewaktu sinar lampu mobil menerangi deretan pohon cemara yang tertutup salju di sepanjang jalan sempit yang kami lalui. "Di mana-mana, malam ini adalah hari Natal, di mana-mana," kata-kata itu terus membahana dalam benak saya. Kegembiraan saya meluap-luap waktu membayangkan kamar yang siap menyambut kedua tamu kami, dan betapa senangnya kami memberi mereka tumpangan. Setelah kami sampai di rumah, saya segera membuka pintu yang menuju kamar tamu dan menyalakan lampunya. Saya melihat senyum pertama mulai merekah di wajah mereka, perasaan yang lega karena mereka memperoleh tempat yang aman, bebas dari badai, dan rasa cemas. Tetapi sebenarnya, sayalah yang mendapat berkat karena pada waktu yang sama, saya sudah membuka pintu yang lain, pintu hati saya. Sambil berjalan, saya menyalakan lampu setiap ruangan di rumah saya, seakan- akan hendak memindahkan sebagian cahaya kasih Allah yang membanjiri diri saya ke dalam ruangan-ruangan yang suram dan tidak terawat selama ini. Traktor salju sudah membersihkan jalan dari timbunan salju pada malam itu, sehingga mereka dapat segera melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Tetapi, suasana yang ramai dan ceria masih terus berlanjut di rumah kami setelah Natal. Pada bulan Januari, ada sepucuk surat dari kedua tamu itu. "Kami tidak akan pernah melupakan kebaikan Anda, dan juga kamar yang sangat nyaman dan menyenangkan itu. Ini foto bayi perempuan kami yang ada dalam rahim saya pada malam bersalju di gunung itu. Kami hanya dapat melihat secercah cahaya, tetapi cahaya itu telah mengantar kami kepada Anda." Sewaktu membaca surat itu, air mata saya menitik karena bahagia dan sambil menundukkan kepala saya berbisik, "Secercah cahaya bagi mereka, Tuhan Yesus, tetapi bagi saya seberkas cahaya yang terang, yang membuka hati saya supaya Engkau masuk dan menyembuhkan kesedihan saya." "Tolonglah Tuhan, supaya setiap Natal dapat mendatangkan berkat seperti Natal saat itu." Diambil dari: Judul buku: Kisah Nyata Seputar Natal Penulis: Betty Banner Penerbit: Yayasan Kalam Hidup, Bandung Halaman: 27 -- 31 SUMBER MISI: YAYASAN MERCY INDONESIA www.imercy.org Mercy Indonesia merupakan website dari Yayasan Mercy Indonesia. Awalnya, Yayasan ini didirikan oleh Paulus dan Marliesye Wiratno pada 10 Mei 2001, untuk menampung anak-anak yatim piatu korban kerusuhan di Timor Timur. Namun, seiring berjalannya waktu, yayasan ini terbuka untuk menampung anak-anak yatim piatu dari daerah lain juga. untuk melihat gambaran lebih jelas tentang yayasan ini, Pengunjung bisa mengaksesnya di menu Who We Are. Selain itu, ada pula halaman Children Sponsorships yang berisi informasi beasiswa sekolah, untuk anak-anak yang diasuh oleh Yayasan Mercy Indonesia. Di dalamnya terdapat alasan mengapa anak-anak ini memerlukan beasiswa, jumlah biaya yang dibutuhkan setiap anak, nomer rekening Bank. Pengunjung yang tergerak untuk menolong pun dapat memilih anak yang akan disponsori dalam situs ini. Panti asuhan yang dimiliki oleh Yayasan Mercy Indonesia tersebar di beberapa wilayah Indonesia seperti Atambua, Denpasar, Singaraja, Soe, Waikabubak, Teluk Dalam, Malinau, Medan, Sorong, Salatiga, dan Rote. Selain melayani anak-anak yatim piatu, ada pula pelayanan House of Mercy Development Center yang bertujuan untuk memberdayakan para perempuan, dengan cara memberikan pelatihan keterampilan dan bimbingan rohani. (YCN) "ONE REVEALED TRUTH FROM THE BIBLE IS WORTH MORE THEN ALL THE WISDOM OF MEN" Kontak: < jemmi(at)sabda.org > Redaksi: Novita Yuniarti dan Yosua Setyo Yudo Tim Editor: Davida Welni Dana, Berlian Sri Marmadi, dan Santi Titik Lestari (c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org > Rekening: BCA Pasar Legi Solo; No. 0790266579 a.n. Yulia Oeniyati < http://blog.sabda.org/ > < http://fb.sabda.org/misi > Berlangganan: < subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org > Berhenti: < unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |