Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/misi/2010/31

e-JEMMi edisi No. 31 Vol. 13/2010 (3-8-2010)

Dasar Alkitabiah Pelayanan Lintas Budaya

______________________________  e-JEMMi  _____________________________
                   (Jurnal Elektronik Mingguan Misi)
______________________________________________________________________
SEKILAS ISI

EDITORIAL
ARTIKEL MISI: Dasar Alkitabiah Pelayanan Lintas Budaya
SUMBER MISI: The 30-Days Prayer Network
DOA BAGI MISI DUNIA: India, Internasional
DOA BAGI INDONESIA: Gagal Berdiskusi, Lagi-Lagi Gereja Ditutup
______________________________________________________________________

       DEATH IS THE SINNER`S PENALTY BUT THE SAINT`S PROMOTION
______________________________________________________________________
EDITORIAL

  Shalom,

  "Dasar Alkitabiah Pelayanan Lintas Budaya" adalah judul artikel
  karangan Budiman yang kami sajikan pada Kolom Artikel Misi minggu
  ini, Melalui tulisan beliau ini kami berharap pembaca dapat belajar
  pentingnya pelaksanaan kontekstualisasi (baca: penyampaian Injil
  secara kontekstual), khususnya dengan melihat pemikiran kristologi
  Perjanjian Baru. Tersirat dalam tulisan itu tentang perlunya
  kebebasan setiap suku untuk mengungkapkan Injil dengan sarana
  kebudayaan mereka. Tujuannya cukup jelas yaitu memunculkan jemaat
  baru, yang "berakar di dalam Kristus dan erat berhubungan dengan
  kebudayaannya". Selamat menikmati sajian edisi kali ini. Tuhan
  memberkati.

  Redaksi tamu e-JEMMi,
  Wilfrid Johansen
  http://misi.sabda.org
  http://fb.sabda.org/misi
______________________________________________________________________
ARTIKEL MISI

                DASAR ALKITABIAH PELAYANAN LINTAS BUDAYA

  Penjelmaan Yesus Kristus dan Kontekstualisasi

  Penjelmaan atau inkarnasi Yesus Kristus merupakan puncak penyataan
  Allah kepada manusia. Dalam Perjanjian Lama "Allah berulang kali dan
  dalam pelbagai cara berbicara kepada ... kita dengan perantaraan
  nabi-nabi" (Ibrani 1:1). Zaman dahulu Allah bersabda kepada umat-Nya
  melalui nabi-nabi-Nya. Namun, "... pada zaman akhir ini Ia telah
  berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, ...." (Ibrani
  1:2). Yesus Kristus, Anak Allah dan Firman yang kekal itu "... telah
  menjadi manusia dan diam di antara kita...." (Yohanes 1:14)

  Dalam inkarnasi Yesus, Allah melintasi jurang pemisah antara surga
  dan dunia ini. Ia menjembatani kesenjangan antara alam gaib dan alam
  semesta ini. Ia melakukan semua ini untuk menyatakan diri-Nya kepada
  kita. Seperti tertulis dalam Yohanes 1:18 "Tidak seorangpun yang
  pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, ... Dialah yang
  menyatakan-Nya." Kata "menyatakan-Nya" secara harfiah berarti
  "menafsirkan" atau "meriwayatkan". Yesus Kristus adalah penafsir
  Allah yang sempurna.

  Di sini kita melihat cara Allah sendiri untuk mengontekstualisasikan
  firman-Nya. Yang Mahamulia, yang Mahaagung, dan yang Mahasuci
  menjadi sama dengan kita. Pribadi kedua dari Tritunggal mengambil
  rupa manusia bagi diri-Nya sendiri, mengambil segala sesuatu
  berhubungan dengan kemanusiaan yang sempurna, sehakikat dengan kita
  sebagai manusia (Ibrani 2:14). Ia menyesuaikan diri dengan kita
  supaya kita dapat memahami siapa Allah itu sebenarnya. Allah kita
  adalah Allah yang rindu menampakkan diri-Nya kepada kita dengan cara
  yang relevan.

  Meskipun demikian, sebagai manusia Ia hidup tanpa dosa. "Ia telah
  dicobai, hanya tidak berbuat dosa" (Ibrani 4:15b), sebab "di dalam
  Dia tidak ada dosa" (1 Yohanes 3:5). Oleh karena itu, kita melihat
  bahwa penyataan Allah dalam inkarnasi itu relevan dan tetap murni.
  Puncak kerinduan Allah untuk berkomunikasi dengan manusia diwujudkan
  dalam kehadiran-Nya sendiri di antara manusia. Ia yang Mahasuci
  bersedia memasukkan diri-Nya ke dalam kebudayaan manusia. Ia bahkan
  menjadi manusia sejati yang berkomunikasi dengan masyarakat
  lindungan-Nya sesuai dengan bahasa dan kebudayaan mereka.

  Sebenarnya tujuan kontekstualisasi sama dengan tujuan inkarnasi
  Yesus. Sama seperti Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui
  kebudayaan Yahudi, demikian juga kita ingin menyatakan Allah kepada
  suku-suku yang belum mengenal Yesus melalui kebudayaan mereka. Oleh
  karena itu, kontekstualisasi merupakan suatu prinsip ilahi yang
  diwujudkan dalam penjelmaan Yesus. Inkarnasi Yesus tidak hanya
  memberi teladan kepada kita, tetapi juga memerintahkan kita untuk
  mengikuti teladan-Nya: "Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian Aku
  mengutus kamu!" (Yohanes 20:21)

  Sidang di Yerusalem dan Kontekstualisasi

  Persoalan yang terjadi pada sidang jemaat di Yerusalem dalam Kisah
  Para Rasul 15 mengungkapkan persoalan-persoalan yang biasanya muncul
  dalam pelayanan lintas budaya: hubungan antara kebudayaan dan Injil.
  Dan keputusan yang diambil oleh jemaat yang mula-mula merupakan
  suatu dasar yang kokoh untuk pelaksanaan kontekstualisasi.

  Hal yang dibahas dalam sidang di Yerusalem merupakan arti Injil yang
  sebenarnya. Mereka menggumuli syarat-syarat untuk keselamatan:
  "Beberapa orang datang dari Yudea ke Antiokhia dan mengajarkan
  kepada saudara-saudara di situ, `Jikalau kamu tidak disunat menurut
  adat-istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat
  diselamatkan.`... `Orang-orang yang bukan Yahudi harus disunat dan
  diwajibkan untuk menuruti hukum Musa`" (Kisah Para Rasul 15:1,5).
  Oleh karena itu, menurut golongan orang-orang Yahudi:
  Injil + Sunat = Keselamatan.

  Mereka merasa bahwa tidaklah cukup kalau orang Yunani hanya percaya
  kepada Yesus saja; mereka juga harus mengikuti adat-istiadat orang
  Yahudi. Namun Paulus dan Barnabas tidak setuju dengan rumusan ini:
  "Tetapi Paulus dan Barnabas dengan keras melawan dan membantah
  pendapat mereka itu." (Kisah Para Rasul 15:2a) Menurut golongan
  Paulus: Injil + 0 = Keselamatan

  Kenyataan yang sebenarnya ialah bahwa kita diselamatkan oleh iman
  karena kasih karunia Allah (Kisah Para Rasul 15:7,9,11,14). Sidang
  di Yerusalem meneguhkan pendapat Paulus dan Barnabas bahwa kita
  diselamatkan oleh Injil dan hanya Injil saja. Orang Yunani tidak
  harus menjadi seperti orang Yahudi atau mengikuti adat-istiadat
  Yahudi untuk memperoleh keselamatan. Persoalan yang dibahas pada
  sidang di Yerusalem dapat digambarkan sebagai berikut. Golongan
  orang Yahudi percaya bahwa orang Yunani harus menjadi seperti orang
  Yahudi untuk memperoleh keselamatan.

  Golongan Paulus percaya bahwa baik orang Yahudi maupun orang Yunani
  diselamatkan hanya oleh iman. Mereka tidak usah meninggalkan
  kebudayaan atau adat-istiadat mereka untuk diselamatkan, asalkan
  mereka mau bertobat dan percaya kepada Yesus. Tersirat dalam
  keputusan ini ialah suatu kebebasan yang diberikan kepada setiap
  suku untuk mengungkapkan Injil itu dalam sarana kebudayaannya
  sendiri. Kita tidak hanya diselamatkan tanpa mengikuti adat-istiadat
  asing, tetapi juga boleh beribadah tanpa mengikuti adat-istiadat
  asing.

  Jadi, bagaimana orang dari latar belakang Kristen diselamatkan? Apa
  yang harus dilakukannya kalau ia ingin diselamatkan? Ia harus
  bertobat dan percaya kepada Yesus. Bagaimana dengan orang dari latar
  belakang bukan Kristen? Apakah orang dari agama lain harus mengikuti
  adat kekristenan tradisional untuk diselamatkan? Tidak. Semua orang
  diselamatkan hanya oleh iman. Renungkan implikasinya. Apakah orang
  Sunda harus mengikuti adat dan tradisi Batak kalau ia ingin
  diselamatkan? Tidak! Apakah orang Jawa harus mengikuti adat dan
  tradisi Tionghoa kalau ia ingin diselamatkan? Tidak! Namun, tanpa
  disadari justru itulah yang terjadi, dan setiap gereja di Indonesia
  dipengaruhi oleh adat Barat (karena kekristenan dibawa ke Indonesia
  oleh penginjil yang memasukkan adat mereka sendiri), selain oleh
  adat suku mayoritas anggota.

  Kalau demikian halnya bagaimana caranya supaya orang dari latar
  belakang bukan Kristen dengan adat/tradisinya dapat percaya tanpa
  mengikuti adat atau tradisi suku lain? Kita harus mendirikan
  jemaat-jemaat baru. Kita harus membentuk dan mengembangkan adat dan
  tradisi yang alkitabiah, tetapi sesuai dengan adat serta tradisi
  petobat baru. Sesuai dengan keputusan sidang di Yerusalem dan agar
  kita dapat menjangkau sebanyak mungkin orang di Indonesia, kita
  harus berusaha mendirikan jemaat-jemaat baru, jemaat-jemaat yang
  "berakar di dalam Kristus dan erat berhubungan dengan
  kebudayaannya."

  Paulus di Athena: Penyampaian Injil yang Kontekstual

  Dalam Kisah Para Rasul 17:22-34 ada suatu pemaparan yang menerangkan
  penyampaian Injil yang kontekstual. Pada waktu itu Rasul Paulus
  menginjili orang-orang terpelajar di kota Athena. Pada waktu itu,
  kota Athena merupakan pusat para sarjana, cendekiawan, ilmuwan, dan
  filsuf, sehingga kota ini terkenal sebagai kota untuk orang
  berpendidikan tinggi dan pola berpikir maju. Rasul Paulus mulai
  menginjili orang Athena di rumah ibadat Yahudi serta di pasar dengan
  cara bertukar pikiran dan bersoal jawab dengan siapa saja yang
  bersikap terbuka. Akhirnya Paulus diundang ke Areopagus, badan
  cendekiawan yang berfungsi seperti Majelis Ulama Indonesia (Kisah
  Para Rasul 17:16-21).

  Paulus mulai memberitakan Injil dengan cara memuji mereka atas
  kesungguhan mereka dalam beribadah: "Hai orang-orang Athena, aku
  lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada
  dewa-dewa." (ayat 22b) Ia mulai mendekati mereka dengan cara yang
  sepositif mungkin dan berusaha menghindari konfrontasi. Setelah
  memuji mereka, ia menemukan suatu jembatan supaya pesan yang
  disampaikan dapat mencapai sasaran dan sekaligus relevan bagi para
  pendengarnya: "Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan
  melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah
  mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang
  kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu."
  (ayat 23)

  Perhatikan bahwa Paulus menjadikan sebuah mezbah -- bukan sebuah
  patung berhala -- sebagai titik tolak. Rupanya, Allah yang berdaulat
  sudah mempersiapkan orang Athena untuk menerima Injil melalui mezbah
  ini. Paulus kemudian menyatakan bahwa tugas dan tujuannya ialah
  memperkenalkan Allah yang tidak dikenal oleh mereka. Setelah itu,
  Paulus menerangkan tentang Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara
  manusia (ayat 24-27). Kemudian dalam ayat 28 ia memakai jembatan
  lain. Ia mengutip syair mereka: "Sebab di dalam Dia kita hidup, kita
  bergerak, kita ada seperti yang telah juga dikatakan oleh
  pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga."

  Kelihatannya Paulus percaya bahwa setiap kebudayaan atau agama
  memunyai unsur-unsur kebenaran sehingga ia berani mengutip puisi
  orang-orang Yunani yang disejajarkan dengan firman Allah. Ia
  mengutip supaya berita yang disampaikan itu dapat diterima dan
  dipahami sehingga Injil yang disampaikan menjadi relevan. Namun
  pendekatan kontekstual ini bukan saja dimaksudkan untuk menyesuaikan
  diri saja, melainkan juga untuk hidup di bawah hukum Kristus, yaitu
  menantang hal-hal yang tidak sesuai dengan firman Allah supaya Injil
  tetap murni. Akhirnya Paulus mengakhiri penyampaian ini dengan
  tantangan tentang pertobatan, penghakiman yang akan datang, dan
  kebangkitan Yesus (ayat 30-31). Respons terhadap pemberitaan Paulus
  ini bermacam-macam. Ada yang mengejeknya, ada yang ingin mendengar
  lagi, serta ada beberapa yang percaya (ayat 32-34).

  Ada satu hal lain yang menonjol dan harus ditekankan di sini.
  Penyampaian kontekstual ini berpusatkan kepada Allah dan bukan
  kepada Anak Allah. Paulus tidak keberatan kalau langkah awal dari
  pendekatannya berpusat kepada Allah. Ia merasa tidak perlu langsung
  menyinggung soal Yesus atau Anak Allah. Ia ingin memaparkan Injil
  langkah demi langkah dan penekanannya selalu sesuai dengan
  konteksnya. Misalnya, di Indonesia adalah lebih tepat kalau kita
  lebih berpusat kepada Allah dalam pemberitaan Injil kita. Walaupun
  pada akhirnya kita harus berani menantang semua orang supaya
  bertobat dan percaya kepada Yesus, namun adalah lebih bijaksana dan
  alkitabiah kalau penginjilan kita berpusat kepada Allah.

  Ada ayat-ayat lain yang menunjang pendekatan yang berpusat kepada
  Allah. Kadang-kadang Injil disebut sebagai Injil Allah (2 Korintus
  11:7; 1 Tesalonika 2:2,8,9), jemaat disebutkan sebagai jemaat Allah
  (1 Tesalonika 2:14, Kisah Para Rasul 20:28), dan Allah disebutkan
  sebagai Juru Selamat kita (1 Timotius 1:1, Titus 1:3, 2:10, 3:4).
  Marilah kita mulai lebih bersikap kontekstual dalam pemberitaan
  kita. Marilah kita berusaha meniru teladan Rasul Paulus yang rajin
  mencari dan menemukan jembatan-jembatan baru untuk penginjilan.
  Marilah kita dengan penuh semangat menyampaikan Injil yang relevan
  dan tetap murni.

  Kristologi dan Kontekstualisasi

  Persoalan yang paling penting dalam teologi, pelayanan, dan
  penginjilan ialah jawaban terhadap pertanyaan ini: "Siapakah
  sebenarnya Yesus Kristus itu?" Cara yang paling tepat untuk
  menjawabnya ialah dengan mengerti dan merenungkan nama-nama sebutan
  Yesus. Yesus digelari macam-macam sebutan, misalnya Nabi, Mesias
  (Almasih), Firman, Imam, Guru, Juru Selamat dan lain-lain. Mengapa
  demikian? Ada dua alasan.

  Pertama, alasan teologis, yaitu pengertian tentang Yesus begitu kaya
  dan mendalam sehingga satu atau dua sebutan saja tidak cukup. Yesus
  ialah satu oknum atau pribadi yang luar biasa, yang tidak dapat
  dipahami dari satu segi. Sebagai Nabi, Ia bersabda kepada kita;
  sebagai Gembala, Ia membimbing kita; sebagai Juru Selamat, Ia
  menyelamatkan kita; dan sebagai Raja, Ia memerintah dalam kehidupan
  kita. Paulus menggarisbawahi alasan teologis dengan melukiskan Injil
  yang disampaikannya sebagai "kekayaan Kristus yang tidak terduga"
  (Efesus 3:8).

  Kedua, alasan misiologis, yaitu para rasul dan penginjil yang
  mula-mula memakai banyak nama sebutan supaya berita yang disampaikan
  relevan dan dapat dipahami. Misalnya, sebutan "Imam Besar" hanya
  dipergunakan dalam kitab Ibrani saja untuk melukiskan Yesus sebab
  kitab Ibrani dikarang khusus bagi orang Yahudi. Dan menurut pola
  berpikir orang Yahudi konsep "Imam" begitu bermakna sehingga sebutan
  "Imam Besar" benar-benar membantu orang-orang Yahudi mengerti
  siapakah Yesus sebenarnya.

  Pengakuan pertama dalam Injil juga menggambarkan alasan misiologis
  ini. Pengakuan dan pemberitaan bahwa "Yesus adalah Mesias" (atau
  Kristus; Markus 8:29; Lukas 9:20; Kisah Para Rasul 5:42, 9:22, 17:2-3, 18:5, 28; 1 Yohanes 2:22) muncul dalam konteks Yahudi karena
  mereka memiliki harapan agugn dalam Mesias. Selama berabad-abad
  orang-orang Yahudi telah menantikan dan merindukan Mesias yang akan
  datang sehingga penyampaian Yesus sebagai Mesias begitu relevan dan
  menyentuh hati orang Yahudi.

  Meskipun demikian, pemberitaan Yesus sebagai Mesias tidak begitu
  berarti bagi orang Yunani. Sebaliknya, pengakuan kristologis, "Yesus
  adalah Tuhan" (Kisah Para Rasul 10:36, 11:20; Roma 10:9; Filipi
  2:11; 2 Korintus 12:3; 2 Korintus 4:5) begitu relevan dan bermakna
  bagi orang Yunani sehingga lebih sering dipakai dalam konteks
  Yunani. Pengakuan ini "menjadi jembatan bagi kekristenan untuk
  memasuki dunia yang berbahasa Yunani, memasuki dunia orang kafir,
  dan memasuki dunia proselit (orang-orang bukan Yahudi penganut agama
  Yahudi).

  Dr. V.H. Neufeld menyimpulkan penelitiannya tentang
  pengakuan-pengakuan orang Kristen yang mula-mula sebagai berikut:
  "`Kristus-homologia` [pengakuan bahwa Yesus adalah Kristus] lebih
  relevan bagi orang Yahudi ... Kyrios-homologia (pengakuan bahwa
  Yesus adalah Tuhan) lebih berarti terutama bagi orang Yunani."
  Ada lebih banyak bukti lagi tentang kristologi dan kontekstualisasi.
  Misalnya, Injil Yohanes pasal satu sangat kaya kristologinya. Dalam
  pasal ini Yesus sedikitnya dilukiskan dalam 13 nama sebutan: Firman,
  Allah	(ayat 1); Terang (ayat 4); Manusia, Anak Tunggal Bapa (ayat
  14); Yesus Kristus (ayat 17); Anak Domba Allah (ayat 29); Anak Allah
  (ayat 34); Rabi/Guru (ayat 38); Mesias/Kristus (ayat 41); Anak Yusuf
  (ayat 45); Raja Orang Israel (ayat 49); Anak Manusia (ayat 51)

  Mengapa demikian? Nama-nama sebutan ini menyampaikan "kekayaan
  Kristus yang tidak terduga". Perhatikan bahwa Yohanes tidak terpaku
  kepada satu nama sebutan saja ketika menceritakan tentang Yesus.
  Demikian juga dalam pemberitaan Petrus. Waktu Petrus menginjili
  orang Yahudi ia memakai nama-nama sebutan yang paling relevan, yang
  tidak bertentangan dengan pola berpikir orang Yahudi. Dalam Kisah
  Para Rasul 3:11-20 Ia melukiskan Yesus sebagai: Hamba	(ayat 13),
  Yesus	(ayat 13), Yang Kudus dan Benar	(ayat 14), Pemimpin kepada
  hidup (ayat 15), Mesias (ayat 18).

  Kita dapat mengambil hikmat juga dari percakapan Yesus dengan
  perempuan Samaria. Walaupun percakapan ini dilakukan dalam waktu
  yang singkat, hal itu masih merupakan satu ilustrasi yang praktis
  tentang penginjilan dan proses pengertian si penerima. Pada mulanya
  perempuan ini mengakui bahwa Yesus adalah "nabi" (Yohanes 4:19).
  Lalu, setelah mendengarkan Yesus lebih lama ia sadar bahwa Yesus
  adalah "Mesias" (Yohanes 4:25-26, 29). Kemudian, sesudah Yesus
  mengajar selama dua hari di situ, orang-orang Samaria mengakui bahwa
  Yesus adalah "Juru Selamat Dunia" (Yohanes 4:39-42).

  Jelas dalam cerita ini pengertian perempuan Samaria tentang Yesus
  makin lama makin jelas. Gelar "Mesias" lebih kaya dan berarti
  daripada gelar "nabi", sedangkan gelar "Juru Selamat Dunia" lebih
  luas dan mendalam lagi. Demikianlah proses kontekstualisasi itu!
  Begitu banyak nama sebutan Yesus dipakai dalam Perjanjian Baru.
  Mengapa gereja-gereja kita cenderung memakai hanya beberapa nama
  sebutan saja? Nama-nama sebutan Yesus Kristus, Tuhan Yesus, dan Anak
  Allah ialah sebutan yang paling disenangi umat Kristen di Indonesia.
  Padahal, justru gelar-gelar tersebut bertentangan dengan ajaran
  agama orang bukan Kristen yang ada di sekitarnya.

  Meskipun akhirnya kita harus memberitakan "seluruh maksud Allah"
  (Kisah Para Rasul 20:27), namun adalah lebih bijaksana, lebih
  berhasil, dan lebih alkitabiah kalau kita memulai penyampaian Injil
  kita dengan mengetengahkan nama-nama sebutan yang paling relevan dan
  mudah dipahami. Misalnya, gelar "Nabi" dan "Mesias" merupakan dua
  gelar yang dapat berfungsi sebagai jembatan untuk menjangkau orang
  luar. Agama mayoritas di Indonesia mengakui bahwa Yesus (dalam
  bahasa Arab, Isa) adalah nabi. Juga dalam Kitab Suci mereka, Isa
  digelari "Almasih", (Mesias dalam bahasa Arab). Kebanyakan pemeluk
  agama mayoritas di Indonesia belum mengerti apa artinya sebenarnya
  dari "Almasih". Walaupun demikian, karena nama sebutan ini terdapat
  dalam Kitab Suci mereka, maka lebih baik kalau kita memulai dengan
  nama sebutan yang ada dan menjelaskan artinya kepada mereka. Inilah
  cara yang dipakai dalam Perjanjian Baru.

  Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa kristologi dalam
  Perjanjian Baru begitu meneguhkan pentingnya pelaksanaan
  kontekstualisasi.

  Diambil dan disunting seperlunya dari:
  Judul buku: Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi
  Penulis: Budiman R.L.
  Penerbit: Tidak dicantumkan
  Halaman: 14 -- 29
______________________________________________________________________
SUMBER MISI

THE 30-DAYS PRAYER NETWORK
==> http://www.30-days.net

  The 30-Days Prayer Network merupakan situs doa internasional. Situs
  ini berisi panduan doa, sekaligus ajakan bagi umat Kristiani untuk
  mendoakan semua orang di seluruh dunia yang menjalankan ibadah puasa
  (30 hari sebelum Hari Lebaran). Jaringan doa internasional ini
  dimulai dari sekelompok pemimpin Kristen yang berdoa dalam pertemuan
  di Timur Tengah pada April 1992. Tuhan menaruh kerinduan di hati
  setiap orang berdoa bagi sebanyak mungkin kaum sepupu untuk
  diselamatkan dan mendapatkan panggilan mengikuti Yesus. Komunitas
  ini memutuskan untuk berpartisipasi secara aktif memberikan
  penegasan tentang kebenaran dan kasih karunia: Kristus menuju
  hubungan dengan kaum sepupu. Anda dapat berlangganan buklet yang
  sudah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa, (termasuk bahasa Indonesia)
  atau mengunduh langsung buklet PDF gratis. Selain itu, Anda juga
  dapat memberikan dukungan baik berupa doa, daya, dan dana. Selamat
  berkunjung. (DW)
______________________________________________________________________
DOA BAGI MISI DUNIA

I N D I A
  Sebelumnya, kami telah memberitakan kisah mengenai delapan pekerja
  misi yang ditangkap ketika menghadiri pelatihan untuk Year-Long
  Children`s Bible Clubs. Akan tetapi, penangkapan dan perpanjangan
  persidangan seperti ini tidak menjadi hambatan untuk melatih
  pemimpin yang lebih banyak lagi.

  DS dari Mission India yang berbasis di Grand Rapids, Michigan
  mengatakan bahwa klub-klub Alkitab tersebut telah menyebar ke
  seluruh India dan membuat kebangunan rohani: "Staf-staf kami di
  India melatih orang-orang di setiap wilayah India -- baik utara
  maupun selatan. Ada gerakan besar kepada Tuhan di sini dan tampaknya
  terjadi di mana-mana secara bersamaan."

  Anak-anak bisa mendengar tentang Kristus di klub yang berlangsung
  setelah sekolah ini. Banyak yang menyerahkan hidup mereka kepada-Nya
  dan menuntun keluarga mereka kepada Kristus: "Kami tidak menolong
  pemimpin-pemimpin India masa depan: kami menolong pemimpin-pemimpin
  India saat ini. Pemimpin adalah orang yang memunyai pengaruh. Nah,
  anak-anak memunyai pengaruh dalam keluarga mereka." DS mengatakan
  keluarga-keluarga ini mengubah seluruh komunitasnya: "Ratusan kuil
  ditutup, dan ratusan gereja dibangun." (t/Uly)

  Sumber: Mission News, Juni 2010
  [Selengkapnya: http://www.mnnonline.org/article/14421]

  Pokok doa:
  * Mengucap syukur untuk pelatihan Children`s Bible Clubs yang telah
    membawa banyak anak untuk mengenal Kristus. Doakan agar pelatihan
    serupa juga bisa dilaksanakan di negara-negara lainnya.
  * Berdoa bagi anak-anak yang telah mengikuti pelatihan Children`s
    Bible Clubs, agar bisa menjadi berkat bagi orang-orang yang ada di
    rumah mereka.

I N T E R N A S I O N A L
  Southerm Babtist Convention (SBC) mulai menerapkan sistem yang
  menolong para pendeta mengadopsi anak. Bethany Christian Services
  (BCS) juga turut terlibat dengan menawarkan bantuan yang diperlukan.
  Anak-anak yatim piatu membutuhkan orang tua asuh untuk membimbing
  mereka. Oleh karena itu, orang percaya dapat ambil bagian untuk
  menolong dengan cara mengadopsi mereka. Inisiatif dari SBC maupun
  BCS ini diharapkan dapat mendorong dan melunakkan hati jemaat untuk
  mengadopsi anak yatim piatu. (t/Uly)

  Sumber: Mission News, Juni 2010
  [Selengkapnya: http://www.mnnonline.org/article/14399 ]

  Pokok doa:
  * Doakan agar Tuhan menggerakkan lebih banyak orang percaya untuk
    bersedia mengadopsi dan membimbing anak-anak yatim piatu.
  * Doakan juga agar anak-anak yang diadopsi bisa mendapatkan orang
    tua angkat yang mengasihi Tuhan.
______________________________________________________________________
DOA BAGI INDONESIA

              GAGAL BERDISKUSI, LAGI-LAGI GEREJA DITUTUP

  Setelah perundingan antara pemerintah Indonesia dan perwakilan
  sebuah gereja di daerah Bekasi gagal, pemerintah resmi menutup rumah
  yang berfungsi sebagai tempat jemaat bersekutu tersebut.

  Pada tanggal 20 Juni, pemerintah Bekasi menyegel tempat itu. Seorang
  pejabat pemerintahan kota mengakui bahwa tindakan tersebut diambil
  karena tekanan dari organisasi-organisasi tertentu yang marah atas
  meluasnya pengaruh Kristen. Pemerintah menutupnya dengan meletakkan
  tanda di depan bangunan yang menyatakan bahwa daerah tersebut
  melanggar ketetapan daerah, izin, serta peraturan-peraturan
  konstruksi bangunan.

  [Selengkapnya: http://www.compassdirect.org/english/country/indonesia/22451]

  POKOK DOA:

  1. Doakan agar pemerintah daerah dan pusat, segera mengambil
     tindakan yang bijaksana untuk menyelesaikan kasus penutupan
     gereja di kota Bekasi ini.

  2. Doakan agar Tuhan menjaga hati jemaat setempat agar tidak mudah
     terpancing emosi, karena gereja mereka yang ditutup.

  3. Doakan agar Tuhan menjamah hati aparat pemerintah yang bertugas
     dalam perizinan pembangunan tempat ibadah, supaya mereka lebih
     teliti dan tegas sehingga tidak lagi terjadi kasus yang serupa.

  4. Berdoa agar kasus penutupan gereja tidak menjadi isu yang merebak
     dan menggelisahkan masyarakat beragama minoritas.

  5. Berdoa agar Tuhan memberi hikmat kepada masyarakat Indonesia agar
     tidak mudah diprovokasi oleh pihak-pihak tertentu yang ingin
     mengambil keuntungan pribadi/kelompok.
______________________________________________________________________
Anda diizinkan menyalin/memperbanyak semua/sebagian bahan dari e-JEMMi
(untuk warta gereja/bahan pelayanan lain) dengan syarat: tidak
untuk tujuan komersial dan harus mencantumkan SUMBER ASLI bahan
yang diambil dan nama e-JEMMi sebagai penerbit elektroniknya.
______________________________________________________________________
Staf Redaksi: Novita Yuniarti dan Yulia Oeniyati
Kontak Redaksi: < jemmi(at)sabda.org >
Kontributor: Wilfrid Johansen dan Dewi
Untuk berlangganan: < subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >
Untuk berhenti: < unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org >
Untuk pertanyaan/saran/bahan: < owner-i-kan-misi(at)hub.xc.org >
______________________________________________________________________
Situs e-MISI dan e-JEMMi: http://misi.sabda.org
Arsip e-JEMMi: http://www.sabda.org/publikasi/misi
Facebook MISI: http://fb.sabda.org/misi
______________________________________________________________________
Bahan-bahan dalam e-JEMMi disadur dengan izin dari berbagai pihak.
Copyright(c) e-JEMMi/e-MISI 2010 / YLSA -- http://www.ylsa.org
SABDA Katalog: http://katalog.sabda.org
Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org