Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/misi/2013/25 |
|
e-JEMMi edisi No. 25 Vol. 16/2013 (24-9-2013)
|
|
September 2013, Vol.16, No.25 ______________________________ e-JEMMi _____________________________ (Jurnal Elektronik Mingguan Misi) ______________________________________________________________________ e-JEMMi -- Kaum Perempuan dalam Ladang Misi (II) No. 25, Vol. 16, September 2013 Shalom, Membahas kaum perempuan dalam pelayanan misi memang selalu menarik. Meski sering dianggap sebagai kaum yang lebih lemah dalam masyarakat, tak terkecuali dalam masyarakat Kristen, kaum perempuan justru memberi kejutan di ladang misi yang sulit. Pada edisi e-JEMMi kali ini, sekali lagi kami ingin mengajak Pembaca sekalian untuk kembali merenungkan peran kaum perempuan dalam ladang misi. Dan, memandang Amanat Agung sebagai suatu tugas bersama yang membutuhkan kerja sama putra-putri Allah. Selamat membaca edisi e-JEMMi ini, dan teruslah berkobar- kobar dalam melayani Tuhan kita. Soli Deo Gloria! Pemimpin Redaksi e-JEMMi, Yudo < yudo(at)in-christ.net > < http://misi.sabda.org/ > RENUNGAN MISI: KAUM PEREMPUAN DI LADANG MISI Kisah Para Rasul mencatat tentang Priskila, seorang perempuan yang dipakai Allah untuk menjangkau setidaknya tiga bangsa yang berbeda: Roma, Yunani, dan Asia Kecil. Sebagai seorang yang berasal dari kawasan Asia Kecil, perempuan yang menganut agama Yahudi ini tinggal di Roma bersama suaminya sampai pemerintah Roma mengusir semua orang Yahudi dari kota itu. Ketika keduanya bertemu dengan Paulus, mereka telah menjadi orang percaya. Mereka menerima Paulus di rumah mereka, memimpin gereja rumah, dan dipercaya oleh Paulus untuk mengajarkan jalan Allah dengan lebih teliti kepada Apolos -- seorang Yahudi Mesir yang amat fasih dalam berkata-kata (Kisah Para Rasul 18:26). Paulus mengenali dan menghormati bakat pasangan ini sehingga mereka berdua pun mengikuti Paulus untuk melayani di Efesus. Karena nama Priskila selalu berada dalam urutan pertama setiap kali pasangan itu disebutkan, tafsiran Jamieson, Fausset, dan Brown, memberi indikasi bahwa "sang istri dianggap lebih menonjol dan lebih menolong bagi jemaat". Lebih menarik lagi, peran Priskila dalam pelayanan lintas budaya, kepemimpinan, dan pengajaran dianggap sebagai sesuatu yang lumrah sehingga tidak membutuhkan penjelasan dari penulis kitab Kisah Para Rasul ini! Tampaknya, peran Priskila diterima dan diharapkan oleh jemaat, serta tidak dianggap kontroversial atau sebagai sesuatu yang luar biasa. DALAM GERAKAN MISI MULA-MULA Pada awal perkembangan pelayanan misi Protestan, kebanyakan perempuan yang pergi ke ladang misi adalah para istri misionaris. Pria-pria yang cerdas menyadari bahwa mereka tidak mungkin melakukan kontak dengan perempuan di negara-negara non-Barat. Karena itu, mereka membutuhkan istri mereka untuk mengambil tanggung jawab ini. Namun demikian, perempuan-perempuan ini jarang menerima pengakuan atas beban yang mereka pikul, baik atas upaya mengurus rumah tangga dan anak-anak mereka sendiri maupun atas usaha mereka mengembangkan program bagi para perempuan di ladang pelayanan. Dulu, seorang misionaris perempuan pergi ke ladang misi hanya untuk mengurus anak-anak pelayan misi yang lain atau melayani bersama sebuah keluarga misionaris. Namun, lama-kelamaan, kesempatan mulai terbuka bagi mereka. R. Pierce Beaver menyebutkan hasil pelayanan Cynthia Farrar di India, Elizabeth Agnew di Ceylon (Sri Lanka, red.) dan para perempuan lajang lainnya yang mulai menjadi penyelia bagi sekolah-sekolah untuk perempuan. Secara diam-diam, mereka melayani di zenana-zenana dan harem-harem. Namun, tetap saja pelayanan yang efektif itu jarang mendapat publisitas. Namun, para pemimpin seperti D. L. Moody, A. B. Simpson, dan A. J. Gordon percaya akan pentingnya mengasah bakat para perempuan untuk mengerjakan pelayanan umum. Baik J. Hudson Taylor, sang pendiri China Inland Mission/CHM (sekarang OMF International, red.) maupun Fredrik Franson, pendiri TEAM (The Evangelical Alliance Mission), memandang perlunya perekrutan dan pengutusan para pelayan perempuan untuk melayani secara lintas budaya. Pada tahun 1888, Taylor menulis, "Kami mengisi pos-pos kami dengan para perempuan." Semenjak awal pelayanannya, Taylor mengharapkan para perempuan, baik lajang maupun yang telah menikah, untuk mengerjakan setiap tugas pelayanan, termasuk berkhotbah dan mengajar. Dalam studinya terhadap korespondensi dan artikel-artikel yang diterbitkan oleh kaum perempuan di ladang pelayanan, Jane Hunter menemukan bahwa "mayoritas misionaris perempuan lebih termotivasi oleh komitmen yang dalam kepada Tuhan, daripada terhadap keinginan untuk diakui dalam organisasi". Laporan itu juga mencakup kualitas kaum perempuan yang melayani di gereja pengutus misionaris. Para penggerak seperti Annie Armstrong dan Helen Baret Montgomery mendedikasikan diri mereka untuk mengembangkan kelompok-kelompok doa pendukung misionaris, menggalang dana, dan menggerakkan orang-orang Kristen lainnya dalam mendukung berbagai jenis pelayanan. CARA MENGUTUS YANG BARU Perang Sipil Amerika menjadi katalis dalam perubahan cara mengutus kaum perempuan ke ladang misi. Penyebabnya adalah begitu banyak laki-laki yang meninggal sehingga banyak perempuan yang menjanda atau tidak jadi menikah. "Hal ini memaksa kaum perempuan untuk memikul tanggung jawab yang baru seperti mengelola usaha, bank, lahan pertanian, mendirikan sekolah-sekolah sehingga dalam 50 tahun kemudian, mereka pun mewariskan peran yang lebih besar daripada kaum laki-laki dalam pergerakan misi." Akan tetapi, karena kebanyakan lembaga misi menolak mengutus kaum perempuan ke ladang misi, kaum perempuan pun mendirikan lembaga misi mereka sendiri. Lembaga misi perempuan yang pertama adalah Women`s Union Missionary Society. Dalam tahun-tahun selanjutnya, lembaga-lembaga sejenis pun bermunculan di AS. Lembaga- lembaga ini mendirikan tempat-tempat pendidikan khusus perempuan, terutama untuk melatih kaum perempuan ke ladang misi. Selain mendorong kaum perempuan untuk melayani di luar negeri, lebih dari 100.000 gereja mengembangkan kelompok- kelompok misi kaum perempuan, hal ini menjadikan gereja-gereja tersebut sebagai pusat doa dan dana yang tangguh. Pada tahun 1910, tercatat ada 44 lembaga misi perempuan di AS, dan kebanyakan dari lembaga ini berasal dari denominasi arus utama. Lembaga-lembaga ini telah mengutus setidaknya 2.000 perempuan ke ladang misi dan sanggup menggalang dana lebih besar daripada yang dapat diberikan oleh badan misi reguler. Ini menunjukkan bahwa pendukung yang berada di negara asal memiliki kepekaan yang luar biasa terhadap pelayanan misi luar negeri. Sayangnya, setelah bergabung dengan lembaga misi reguler pada tahun 1920-an dan `30-an, peran perempuan dalam pelayanan misi secara langsung pun semakin menyusut. MASIH BERTAHAN HINGGA KINI Secara umum, sekitar 2/3 dari total kekuatan misi yang ada sekarang ini berada di tangan kaum perempuan. Para petinggi lembaga misi setuju bahwa semakin sulit dan semakin berbahaya sebuah pelayanan misi, semakin besar pula keinginan kaum perempuan untuk mengerjakannya! Dari pengalamannya, David Yonggi Cho menyimpulkan bahwa perempuan adalah pilihan yang paling tepat untuk pelayanan misi yang sulit dan bersifat perintisan. "Kami menemukan bahwa pelayan perempuan cenderung tidak mudah menyerah dalam situasi yang sulit. Kaum laki-laki memang pilihan yang tepat untuk membangun sebuah pelayanan, tapi kaum perempuan dapat menjadi lebih gigih daripada laki-laki ketika menghadapi kesulitan." Beberapa pihak berasumsi bahwa kaum perempuan tidak dapat berbuat banyak dalam menghadapi rintangan yang unik di dunia Muslim. Namun, di tengah-tengah sebuah kelompok suku "beragama sepupu" di sub-Sahara Afrika, seorang perempuan lajang sanggup menjadi guru Injil bagi para Imam (guru "agama sepupu") di sana. Mereka memandang pelayan misi ini sebagai "seorang perempuan", bukan ancaman, dan tidak berbahaya. Akan tetapi, perempuan ini mendirikan pelayanannya di atas hubungan pribadi dan pengetahuan Alkitab. Ia tidak pernah memberi mereka jawaban langsung. Ia hanya menunjukkan kepada para imam tersebut bagaimana mencari jawaban tersebut dalam Alkitab, dan Allah mengonfirmasi pengajarannya melalui mimpi dan penglihatan kepada para pemimpin agama tersebut. Setelah dipertobatkan, para imam itulah yang mengajar anggota suku yang lainnya dan mereka menerima misionaris perempuan itu sebagai saudari mereka yang penuh kasih, yang sangat memperhatikan mereka. Editorial yang ditulis oleh Jim Reapsome dalam majalah "World Pulse" (9 Oktober 1992), yang menganjurkan pelatihan dan dukungan yang lebih kepada kaum perempuan, mendapat surat ucapan terima kasih dari seorang misionaris yang melayani sebuah kelompok suku agama sepupu di Asia Tenggara. Berikut ini adalah cuplikan dari surat tersebut: "Menariknya, meskipun pelatihan misi sering kali ditujukan bagi kaum laki-laki, tetapi di daerah X ini, semua penginjil terbaik kami adalah perempuan! Bahkan, tiga orang mitra penting kami (yang pelayanannya berkembang secara luar biasa) adalah perempuan. Tentang staf magang, kami hanya memiliki seorang pelayan laki- laki yang rela berkorban untuk datang kemari, tetapi ada empat orang perempuan yang mau datang kemari (dan tiga lagi sedang menyusul ke tempat ini). Di hadapan "agama sepupu" yang cauvinis, kita harus terus diingatkan bahwa kekristenan adalah sesuatu yang berbeda, yaitu sebuah panggilan yang sama, baik terhadap kaum laki-laki maupun kaum perempuan, untuk menuju hidup baru yang utuh." BERBAGAI KESEMPATAN DI BIDANG-BIDANG KHUSUS Beberapa tahun terakhir, kaum perempuan telah membuktikan bahwa dirinya sanggup beradaptasi dalam peran-peran khusus di ladang misi. Wycliffe Bible Translators menemukan dalam beberapa tahun belakangan ini bahwa sebuah tim yang terdiri dari beberapa perempuan lajang dapat menyelesaikan penerjemahan dengan lebih baik daripada tim yang terdiri dari para pria lajang. Para perempuan Kristen pada hari ini harus menyadari dan merayakan warisan mereka. Hari ini, kita dapat belajar dari tokoh-tokoh perempuan yang mengerjakan kehendak Kristus dan mempersembahkan diri mereka untuk menjadi teladan bagi perempuan lainnya. Pandanglah Mary Slessor, seorang lajang yang merintis pelayanan di Afrika, dan Ann Judson yang melayani Birma, dan Rosalind Goforth yang melayani China -- keduanya adalah istri misionaris yang juga melayani sepenuh hati. Pandanglah Amy Carmichael yang melayani India, sampai Mildred Cable di Gurun Gobi. Pandanglah Gladys Aylward, seorang perempuan mungil berhati teguh yang melayani China, sampai Bunda Eliza Davis George, seorang misionaris perempuan yang melayani Liberia. Pandanglah Rachel Saint sang penerjemah, dan Helen Roseveare sang dokter. Pandanglah Isabel Kuhn dan Elisabeth Elliot yang menggerakkan para misionaris untuk menulis, dan Lottie Moon yang memelopori para misionaris untuk menjadi pendidik. Pandanglah para pembantu rumah tangga dari Filipina yang melayani Tuhan di Timur Tengah, dan perempuan-perempuan yang menjabat sebagai eksekutif di kantor-kantor gereja. Pandanglah para "perempuan Alkitab" yang berjuang untuk China sekalipun nama mereka tidak dikenal. Ini adalah daftar yang sangat panjang dan agung! Daftar itu belumlah lengkap karena masih menunggu kiprah generasi ini dan yang akan datang. Saat ini, kaum perempuan kepunyaan Allah dapat menikmati kebebasan dan kesempatan yang tidak pernah dilihat oleh para pendahulu mereka. Saat ini, kebanyakan usaha kecil dikelola sendiri oleh kaum perempuan. Dan, tak sedikit pula yang telah menduduki posisi penting dalam pemerintahan dan medis. Ingatlah, "Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut." (Lukas 12:48) Bagaimana kaum perempuan masa kini ikut menuai kesempatan demi tujuan Bapa mereka? Kaum perempuan, dapat memberi sumbangsih kepada tugas yang ada di hadapan mereka dengan menjadi penggerak, mempersembahkan keterampilan, akses, pengetahuan, kelembutan, intuisi, serta semangat mereka yang unik kepada Allah. Kaum perempuan masa kini akan menjadi perintis iman yang penuh pengabdian dan kesetiaan seperti yang dilakukan para pendahulu mereka di sepanjang sejarah. (t/Yudo) Diterjemahkan dan diringkas dari: Nama situs: The Travelling Team Alamat URL: http://www.thetravelingteam.org/?q=node/96 Penulis: Marguerite Kraft and Meg Crossman Tanggal akses: 23 September 2013 PROFIL BANGSA: GUINEA BISSAU Sejarah Orang Fula di negara Guinea-Bissau merupakan sebagian saja dari suku Fula yang tinggal di beberapa negara di Afrika Barat. Pada abad ke-15, nenek moyang mereka datang ke Guinea-Bissau dan sering terjadi kawin-mawin dengan suku Mandingka, yang sudah berdomisili di sana. Karena kulit orang Mandingka biasanya dianggap hitam sekali, keturunan dari kawin campur orang Fula dengan orang Mandingka dipanggil "orang hitam" walaupun sebenarnya kedua-duanya berkulit hitam. Gaya Hidup Orang Fula mencari nafkah dengan hidup sebagai petani. Mereka juga biasa hidup secara nomad. Ternak mereka terdiri dari sapi dan domba. Semakin banyak ternak, semakin kaya keluarga tersebut. Walaupun mereka memiliki ternak, mereka jarang makan daging. Makanan sehari-hari terdiri dari gandum dan susu. Hanya pada waktu upacara adat saja mereka makan daging. Setelah putra pertama mereka lahir, pasti diadakan perjamuan dengan menyembelih dan mengonsumsi daging sapi. Kampung yang dipanggil Wuro adalah pusat kehidupan sosial mereka. Mereka tidak mau tinggal sendiri. Di Wuro, pekerjaan biasanya dikerjakan oleh kaum wanita. Mereka juga yang menyiapkan makan malam, yang membutuhkan waktu 4 -- 5 jam. Kaum bapak berkewajiban untuk menggembalakan ternak mereka. Semua anak laki-laki di atas 15 tahun wajib membantu ayah mereka. Setelah hari ulang tahun yang ke-15, seorang putra membangun rumahnya sendiri yang nantinya dibagi dengan istri pertamanya. Istri-istri berikutnya akan pindah ke sana juga dan mendapat satu kamar di dalam rumahnya sehingga seluruh keluarganya tinggal di bawah satu atap. Agama Suku Fula beragama M. Mereka diwajibkan untuk hidup adil, murah hati, sabar, dan jujur. Berabad-abad mereka tertutup untuk Injil. Baru dalam beberapa tahun terakhir mereka mulai membuka diri kepada Injil. Pokok doa: 1. Doakan bagi kegerakan Injil di Guinea-Bissau karena hampir 99% penduduk Guinea-Bissau beragama Islam. Oleh karena itu, Injil harus dibawa ke Afrika Barat dan ada seorang missionaris yang terbeban untuk menginjili di Afrika Barat. 2. Doakan juga untuk penduduk Guinea-Bissau yang selama ini hidup nomad dan berpoligami. Semoga kehidupan mereka sejahtera dan tradisi berpoligami bisa berhenti di Guinea-Bissau. Diambil dan disunting dari: Judul jurnal: Jurnal Terang Lintas Budaya Edisi jurnal: Edisi 97/2013 Penulis: tidak dicantumkan Halaman: 4-5 Kontak: jemmi(at)sabda.org Redaksi: Yudo, Amidya, dan Yulia Berlangganan: subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org Arsip: http://sabda.org/publikasi/misi/arsip BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati (c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |