Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/misi/2014/12

e-JEMMi edisi No. 12 Vol. 17/2014 (15-12-2014)

Melawan Kuasa Gelap (II)

Desember 2014, Vol. 17, No. 12
______________________________  e-JEMMi  _____________________________
                   (Jurnal Elektronik Mingguan Misi)
______________________________________________________________________

e-JEMMi -- Melawan Kuasa Gelap (II)
No. 12, Vol. 17, Desember 2014


DARI REDAKSI: KASIH YANG TAK TERBENDUNG

Shalom,

Penghalang bahasa dan budaya sering kali dipakai oleh kuasa gelap 
untuk melemahkan semangat penginjilan para misionaris. Namun, melalui 
banyak kisah penginjilan dan pelayanan misi, berulang kali kita 
ditantang untuk percaya bahwa penghalang bahasa dan budaya pun tidak 
sanggup membendung kasih Allah yang amat besar itu. Melalui edisi ini, 
kita akan melihat kreativitas dan kasih Allah dinyatakan melalui 
perjalanan iman sebuah suku di Afrika Selatan.

Dalam kesempatan ini pula, izinkan segenap redaksi e-JEMMi 
mengucapkan:

Selamat Merayakan Hari Natal 2014 dan Selamat Menyongsong Tahun Baru 
2015! Kiranya kasih Tuhan berlimpah-limpah dalam segala pelayanan yang 
kita lakukan bagi Dia. Amin.

Pemimpin Redaksi e-JEMMi,
Yudo
< http://misi.sabda.org/ >


                TOKOH MISI: SANG PERINTIS JEMAAT XHOSA

Pada tahun 1799, dua orang misionaris dari badan misi London 
Missionary Society (LMS), (Johannes Theodorus) Van der Kemp dan 
rekannya, (John) Edmond, menjejakkan kaki mereka di Cape Town. Saat 
itu, pasukan Inggris tengah mengambil alih Cape Town dari Kekaisaran 
Belanda yang melemah akibat kekalahannya di perang era Napoleon.

Pada 13 Juni tahun itu, Van der Kemp dan Edmond menyeberangi sungai 
Gamka, yang sangat lebar, tetapi untungnya sedang kering, dan 
berlindung dari udara dingin di rumah Samuel de Beer. Samuel baru saja 
menguburkan putranya ketika mereka datang, tetapi ia sangat 
bersukacita karena kedatangan mereka adalah jawaban yang Allah berikan 
atas doanya untuk membawakan Injil kepada penduduk pribumi Afrika 
Selatan. Van der Kemp dengan antusias memberi Samuel salinan buku 
karangan (William) Carey yang menginspirasi berdirinya London 
Missionary Society; "The Obligations of Christians to Use Means for 
the Conversion of the Heathens" dan juga menyatakan hasratnya untuk 
membawa Injil kepada suku Xhosa yang tinggal di perbatasan sebelah 
timur koloni Cape, yang sama sekali belum pernah dijangkau oleh Injil. 
Sayangnya, tidak semua orang di tempat itu seantusias Samuel de Beer. 
Ada banyak orang yang justru meruntuhkan semangat Van der Kemp dan 
Edmond untuk melanjutkan misi mereka. Lagi pula, saat itu tengah 
terjadi konflik antara suku Xhosa dengan pemerintah kolonial dan para 
`trekboer` (petani Belanda/Afrikaans) sehingga situasi di perbatasan 
tidak dapat diprediksi dan berbahaya. Akhirnya, Edmond memutuskan 
kembali ke Cape Town, dari sana ia berlayar ke India. Akan tetapi, Van 
der Kemp bertahan untuk mendapatkan kesempatan mengabarkan Injil 
kepada suku Xhosa.

Pada akhir 1799, Van der Kemp berhasil menghubungi seorang kepala suku 
Xhosa bernama Ngqika, yang memberinya kesempatan untuk tinggal di 
tengah-tengah rakyatnya. Ia tinggal bersama suku Xhosa selama setahun, 
tetapi tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk mengabarkan Injil. 
Menjelang akhir tahun 1800, sebuah konflik baru dimulai. Van der Kemp 
merasa putus asa, ia telah berlayar sangat jauh dan telah menyerahkan 
hidupnya, tetapi belum mendapatkan sebuah hubungan yang berarti dengan 
orang-orang Xhosa. Dalam keputusasaannya itu, ia berencana 
mengundurkan diri ke daerah Graff-Reinet (di provinsi Eastern Cape, 
Afrika Selatan -- Red.).

Akan tetapi, sebelum pergi, ia mendapat sebuah kesempatan untuk 
mengabarkan Injil kepada sekelompok anak laki-laki yang berusia 
sekitar 15 -- 19 tahun. Remaja-remaja tersebut duduk dengan berbalut 
kaross (semacam jubah dari kulit hewan yang bulunya masih ada, --
Red.) di tubuh mereka sambil mendengarkan Van der Kemp dari jauh yang 
sedang menjelaskan Injil, "Di langit sana ada Allah yang menciptakan 
segala sesuatu; matahari, bulan, dan bintang-bintang. Ia adalah 
Sifuba-sibenzi ("Yang Berdada Lebar"; orang Xhosa percaya bahwa ayah 
yang baik dapat memeluk semua anaknya di dadanya -- Red.), pemimpin 
segala bangsa. Ia diserukan oleh bintang-bintang; kaki-Nya terluka 
bagi kita, tangannya ditikam bagi kita, dan darah-Nya ditumpahkan bagi 
kita." Hanya satu dari remaja-remaja tersebut yang mendengarkan dengan 
sungguh-sungguh perkataan pria aneh itu, tetapi baik dia maupun 
sukunya tidak akan mendengar Injil dari seorang misionaris lagi sampai 
15 tahun kemudian.

Remaja itu bernama Ntsikana, dan ia tumbuh menjadi seorang penyanyi, 
penari, dan orator bagi sukunya. Selain itu, ia adalah penasihat 
kepala suku Ngqika. Ntsikana menikah dengan dua perempuan muda, 
Nontsonta dan Nomanto. Mereka tinggal di antara Distrik Sungai Kat dan 
Distrik Peddie pada tahun 1811. Di kemudian hari, keluarga ini pindah 
ke Gqore di Distrik Sungai Kat. Sesekali, perkataan pria berkulit 
putih itu muncul di benaknya, bekerja dalam hatinya, dan mulai 
terbentuk dalam pikirannya.

Suatu pagi berkabut pada tahun 1815, sekitar 15 tahun setelah Van der 
Kemp berkhotbah, Ntsikana duduk di depan gubuknya sambil mengawasi 
ternaknya. Ketika ia bangkit dari duduknya, seberkas sinar matahari 
menyinari sisi tubuh Hulushe, kerbau kesayangannya dengan cara yang 
tidak biasa. Seketika itu juga, pandangannya terpaku. Seorang bocah 
yang berada di situ juga melihat kejadian ini, tetapi tidak mengetahui 
apa yang menarik perhatian Ntsikana. Apa yang dilihatnya? Apakah sinar 
itu membentuk salib? Ataukah ada hal lain yang mengingatkan dirinya 
tentang apa yang didengarnya 15 tahun yang lalu?

Selain pemandangan pagi itu, semuanya tampak biasa-biasa saja. Karena 
itu, sore harinya, Ntsikana pergi ke sebuah rumah untuk menampilkan 
tariannya. Ia akan memberikan tariannya yang terbaik. Akan tetapi, 
ketika ia berdiri dan mulai mengikuti hentakan genderang, angin 
kencang mulai bertiup. Awalnya, ia tidak berhenti menari karena ia 
mengira angin itu akan berlalu. Namun, setelah dirasakannya angin itu 
semakin kencang, ia memutuskan untuk menghentikan tariannya. Hal ini 
terjadi sampai tiga kali. Para penonton berbisik-bisik di antara 
mereka; mereka mengira Ntsikana ditenung. Sebab, apa lagi yang dapat 
menyebabkan angin kencang bertiup setiap kali ia menari?

Apa yang terjadi dalam hati Ntsikana, kita tidak tahu, tetapi ia jelas 
membutuhkan waktu untuk berpikir. Maka, ia pulang bersama kedua 
istrinya; mereka berjalan di depannya sedangkan ia berjalan lambat-
lambat di belakang mereka. Ketika sudah dekat rumahnya, tiba-tiba 
Ntsikana berbelok ke sebuah sungai kecil untuk melepas jubahnya dan 
menceburkan diri ke sungai itu. Ia membasuh pewarna merah yang 
menghiasi tubuhnya; inilah tindakan pertamanya untuk memutuskan ikatan 
antara dirinya dengan identitas religiusnya yang lama, dan dari 
tradisi sebagai seorang Xhosa.

Keesokan harinya, Ntsikana menyanyikan iman yang baru ditemukannya; ia 
melakukannya sesuai statusnya sebagai seorang pujangga dan penari, dan 
mengikuti budaya Afrika yang selalu merayakan peristiwa penting dengan 
nyanyian dan tarian. Sambil terus menari dan menyanyi, ia berjalan 
mengitari kampungnya. Inilah syair indah yang didengar warga 
kampungnya:

Engkaulah Allah yang Agung di surga. Satu-satunya Perisai yang sejati. 
Satu-satunya Benteng yang sejati. Satu-satunya Semak (tempat 
persembunyian) yang sejati. Satu-satunya Yang Berdiam di Tempat 
Tertinggi.

Dialah Sang Pencipta kehidupan. Dialah Sang Pencipta langit. Ia Sang 
Pencipta bintang-bintang. Bahkan, sekeping bintang turun dari langit 
menyampaikan pesan-Mu.

Ia juga menciptakan orang buta (Allah yang mencipta adalah Allah yang 
berdaulat). Trompet dibunyikan untuk memanggil kita. Ia Pemburu Jiwa 
yang Agung.

Ia memperdamaikan suku-suku yang berperang, Ia Pemimpin Agung yang 
menuntun kita. Kaross Agung yang menyelimuti kami.

Mengapa tangan-Mu terluka? Mengapa kaki-Mu terluka? Mengapa darah-Mu 
tertumpah?

Darah-Mu tertumpah bagi kami! Itukah harga demi menyelamatkan kami? 
Bangsa Khanwana (Soga), bukankah demikian kami menyebut diri kami?

Ketika ditanya mengenai sikapnya yang aneh itu, Ntsikana menjawab, 
"Sesuatu yang masuk ke dalam diriku berkata bahwa kita semua harus 
berdoa; belum ada seorang pun di negeri ini yang memahaminya, kecuali 
Ngcongolo (nama panggilan yang diberikan kepada Rev. James Read, yang 
datang ke Distrik Sungai Kat pada tahun 1811, -- Red.)."

Ntsikana mulai berkhotbah dengan semangat, dan kerumunan orang pun 
datang mendengarnya. Benih yang Allah tanamkan mulai berakar dan mata 
suku Xhosa mulai terbuka terhadap kebenaran Injil yang sederhana. 
Ntsikana mendengar kebenaran itu 15 tahun yang lalu, tetapi ia 
berkhotbah seolah-olah telah bergaul dengan Kebenaran itu setiap hari. 
Bahkan, orang-orang Gaika (keluarga bangsawan Xhosa, -- Red.) pun 
datang untuk mendengarkan Ntsikana berkhotbah. Ntsikana terus 
berkeliling dan berkhotbah tentang keagungan Allah dan kedatangan 
Yesus yang membawa pengampunan dosa melalui darah-Nya.

Pada tahun 1816, seorang misionaris bernama (Joseph) Williams yang 
diutus LMS tiba di tanah Xhosa dan mendapat kepercayaan dari kepala 
suku Ngqika. Ntsikana sangat bersukacita karena ada seseorang yang 
dapat menceritakan kepadanya tentang Juru Selamat dan Allahnya dengan 
lebih mendalam sehingga ia gemar sekali mengunjungi Williams selama 
berhari-hari dan bertanya tentang banyak hal selagi bertumbuh dalam 
iman. Akan tetapi, pada tahun 1818, dua tahun sejak kedatangannya, 
Williams meninggal. Selama rentang waktu sebelum ada pengganti 
Williams, Ntsikana memimpin kelompok orang Kristen yang tinggal di 
pusat misi tersebut. Setiap hari, dan juga hari minggu, ia mengadakan 
kebaktian di gubuknya, banyak orang datang ke kebaktian itu termasuk 
Ngqika, sang kepala suku yang tampaknya benar-benar terkesan oleh 
Injil Anugerah Allah. Akan tetapi, sang kepala suku tidak sempat 
bertobat karena dicegah oleh para penasihat seniornya. Bangsawan lain 
yang datang ke kebaktian itu adalah (Jotello) Soga, yang pada kemudian 
hari anaknya, Tiyo Soga, menjadi pendeta kulit hitam pertama yang 
melayani di Afrika bagian selatan.

Pada tahun 1820, kesehatan Ntsikana semakin menurun. Pada hari 
terakhirnya, ia mengerahkan seluruh kekuatannya yang tersisa untuk 
bangun dan memimpin kebaktian pagi. Ntsikana berkata kepada jemaat 
yang berkumpul di gubuknya, "Aku percaya bahwa Allah adalah selalu 
yang terbaik dan aku merasa puas sudah memilih-Nya. Aku akan 
meninggalkanmu dengan kata-kata ini: Percayalah pada anugerah dan 
belas kasihan Allah. Oh, betapa aku sangat rindu setiap orang Xhosa 
yang lain dapat mengenal Yesus Kristus, Juru Selamatku. Bagi kalian 
yang telah percaya, aku mohon, pilihlah kematian yang mengenaskan 
daripada harus menyangkal Dia, Allah yang Esa."

Dr. Kevin Roy menulis, "Dengan gemilang, Ntsikana mempribumikan Injil 
ke dalam konteks budaya Xhosa dan masyarakatnya. Pelayanan Ntsikana 
ini menjadi contoh bagaimana Injil dapat dikomunikasikan secara 
efisien ke dalam berbagai bahasa, idiom, konsep berpikir, tradisi-
tradisi budaya, dan praktik-praktik sosial dari suku bangsa tertentu. 
(t/Yudo)

Diterjemahkan dari:
Nama situs: CalledConvictedConverted
Alamat URL: http://calledconvictedconverted.com/2014/01/09/the-gospel-in-south-africa-2-the-morning-star-of-the-xhosa-church/
Judul asli artikel: The Gospel in South Africa #2: The Morning Star of the Xhosa Church
Penulis artikel: Tyrell Haag
Tanggal akses: 12 Agustus 2014


                   RENUNGAN: KELAHIRAN YANG AJAIB

Bacaan: Lukas 1:30-33

"Natal telah tiba." Banyak orang Kristen mengikuti arus zaman yang 
hanya menjalani rutinitas pergi ke gereja menghadiri kebaktian Natal, 
ikut memasang pohon Natal, dan lain-lain, tetapi melupakan makna Natal 
sesungguhnya. Natal sudah lama dijauhkan dari intinya, yaitu kelahiran 
Kristus, yang lebih penting Kristus itu sendiri.

Lalu, apa pentingnya Natal? Natal adalah momen merayakan hari 
kelahiran Tuhan Yesus Kristus yang ajaib. Ada beberapa pertanyaan yang 
mungkin bisa diajukan. Pertama, apa pentingnya merayakan hari 
kelahiran? Bukankah semua orang juga lahir ke dalam dunia dan 
merayakan hari ulang tahun yang menandakan sudah berapa tahun mereka 
ada di dunia? Kedua, mengapa kelahiran Kristus disebut kelahiran yang 
ajaib? Bukankah beberapa pendiri agama lain juga bisa dikatakan 
memiliki momen kelahiran yang diklaim oleh para penganutnya sebagai 
kelahiran yang ajaib? Lalu, apa pentingnya kelahiran Kristus yang 
ajaib? Bagian mana yang ajaib dari kelahiran Kristus? Pada momen Natal 
tahun ini, mari kita merenungkan kelahiran Kristus yang ajaib dari 
teks Alkitab.

Dalam Lukas 1:31, ketika Kristus hendak dilahirkan melalui Maria, 
malaikat Tuhan memerintahkan Maria untuk menamai bayi yang akan 
dilahirkannya itu dengan nama Yesus. Apa arti Yesus? Kita melihat 
bahwa ketika Yesus Kristus lahir, Ia sudah dipersiapkan sebuah nama 
yang agung, yaitu Allah itu keselamatan. Yesus Kristus disebut 
keselamatan dari Allah yang sanggup menyelamatkan manusia dari dosa 
melalui pengorbanan-Nya di kayu salib.

Ayat 32, malaikat itu berkata lagi, "Ia akan menjadi besar dan akan 
disebut Anak Allah Yang Mahatinggi." Selain sebagai Keselamatan dari 
Allah, Yesus Kristus adalah Anak Allah, yang tentu juga berarti Allah 
itu sendiri. Jangan berpikir Anak Allah itu bukan Allah atau lebih 
rendah derajatnya daripada Allah. Allah Trinitas adalah tiga pribadi 
Allah yang setara dalam hakikat. Inilah yang saya sebut sebagai 
kelahiran yang ajaib karena Allah sendiri yang menjelma menjadi 
manusia. Kristus adalah Allah sendiri yang menjelma menjadi manusia 
tanpa meninggalkan natur ilahinya.

Kemudian, ayat 32b-33, selain sebagai Keselamatan dari Allah dan Allah 
itu sendiri, Yesus juga disebut sebagai Raja yang berkuasa, bahkan 
kerajaan-Nya itu bersifat selama-lamanya atau tidak akan berkesudahan. 
Yesus Kristus adalah Allah yang berkuasa sebagai Raja dan kerajaan-Nya 
tidak akan berakhir. Artinya, kerajaan Kristus bukanlah kerajaan dunia 
yang sementara, yang dapat musnah suatu saat, tetapi kerajaan yang 
berlangsung selama-lamanya.

Biarlah melalui renungan singkat dari Injil Lukas 1:30-33 ini, kita 
disadarkan betapa ajaib dan agungnya kelahiran Kristus, dan itu 
membakar semangat kita untuk memberitakan Injil kepada mereka yang 
belum menerima Kristus. Biarlah Natal tahun ini bukan menjadi Natal 
rutinitas yang selalu dipenuhi dengan ornamen-ornamen pohon Natal, 
sinterklas dll., tetapi dipenuhi dengan semangat mengerti Kristus yang 
lahir sambil memberitakan inti Natal ini kepada banyak orang, 
khususnya yang belum mengenal Kristus. Sudahkah hati kita dikobarkan 
oleh Kristus yang lahir? Amin. Soli Deo Gloria.

Diambil dan disunting dari:
Nama situs: SarapanPagi Biblika
Alamat URL: http://www.sarapanpagi.org/renungan-natal-2011-kelahiran-yang-ajaib-denny-teguh-s-vt4014.html
Judul renungan: Kelahiran yang Ajaib
Penulis renungan: Denny Teguh Sutandio
Tanggal akses: 3 Desember 2014


Kontak: jemmi(at)sabda.org
Redaksi: Yudo, Amidya, dan Yulia
Berlangganan: subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/misi/arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2014 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org