Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/misi/2016/07

e-JEMMi edisi No. 07 Vol. 19/2016 (26-7-2016)

Perjalanan Kabar Baik II

e-JEMMi
 
Perjalanan Kabar Baik II -- Edisi 07/Juli/2016
 
DARI REDAKSI: PERJALANAN PENDEK BERMISI

Shalom,

Di zaman yang sudah berkembang ini, Misi bukan lagi memiliki konsep yang sama seperti dulu, seorang utusan misi yang akan pergi jauh ke daerah lain, ke sebuah suku terpencil hidup seperti mereka dalam jangka waktu lama dan menunggu kesempatan untuk memberitakan Injil dan mengabdikan diri untuk mengusahakan pemberitaan Injil bagi daerah yang didatanginya. Aktifitas misi merupakan nafas kekristenan sampai kapanpun, tetapi hari ini banyak orang Kristen terlalu sibuk dengan berbagai hal yang membuat mereka enggan menjadi seorang utusan misi, banyak di antara mereka tidak bersedia untuk menjadi seorang utusan misi dalam jangka panjang karena banyak faktor, tetapi banyak juga diantara mereka yang sangat merindukan satu hari ada kegiatan bermisi. Gereja yang menangkap kesempapatan ini akan membuat progam misi jangka pendek untuk melatih jemaat terjun dalam ladang misi.

Misi jangka pendek menjadi langkah praktis bagi pelaku misi untuk berlatih dan terjun langsung ke lapangan untuk memberitakan kabar baik dengan berbagai metode dan cara. Dalam edisi kali ini redaksi akan menyajikan satu artikel yang akan menolong kita untuk mengerti sebuah misi jangka pendek, apakah kegiatan seperti ini efektif atau malah hanya membuang-buang banyak hal? Misi harus memiliki fleksibilitas, bagaimanapun keadaan kekristenan hari ini gereja harus mulai peka dan jeli sehingga mampu memakai kesempatan sekecil apapun untuk mulai melibatkan jemaat dalam ladang misi Allah yang begitu luas. Di akhir edisi, kami juga memberikan sebuah ulasan profil suku bangsa dari Suku Lio, kiranya kita boleh semakin merindukan banyak suku terabaikan boleh mendengar Injil dan mendukung pergerakan misi yang masih berjalan hingga hari ini. Tuhan Yesus memberkati.

Ayub T.

Pemimpin Redaksi e-JEMMi,
Ayub T.

 
ARTIKEL: PERJALANAN MISI JANGKA PENDEK: APAKAH HAL TERSEBUT LAYAK/BERHARGA UNTUK DILAKUKAN?

Jika perintah Yesus untuk "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku" dipandang sama seperti meluncurkan sebuah bisnis, industri penginjilan akan meledak -- setidaknya dalam jika itu adalah tentang perjalanan misi jangka pendek.

Misi Jangka Pendek

Namun, apakah keuntungan spiritual berharga seperti halnya investasi waktu dan uang?

Pertimbangkan perhatikan hal ini: Jumlah orang Kristen di AS yang mengambil bagian dalam perjalanan misi selama satu tahun atau kurang melompat melesat dari jumlah 540 pada tahun 1965 menjadi sekitar lebih dari 1,5 juta per tahun, dengan kurang lebih 2 miliar dollar dihabiskan setiap tahun, menurut Dr. Robert Priest, seorang profesor misiologi di Trinity Evangelical Divinity School, dalam sebuah artikel jurnal Misiologi Missiology tahun 2008.

Beberapa orang yang telah mempelajari masalah ini mengatakan bahwa uang itu mungkin lebih baik dihabiskan dengan memberikannya langsung kepada mitra kristiani di suatu negara untuk menyebarkan Injil, atau untuk menawarkan bantuan medis atau bantuan pembangunan. Beberapa misionaris jangka panjang bahkan telah mengeluh bahwa peserta misi jangka pendek yang tidak sensitif budaya, melakukan lebih banyak kerugian dibanding keuntungan dengan merusak hubungan yang dibangun selama bertahun-tahun.

Namun, setelah memimpin sebuah studi tentang efek perjalanan misi jangka pendek terhadap anggota tim, saya mengatakan "Ya" yang teruji berkualitas untuk pertanyaan apakah perjalanan tersebut berharga.

Dua pertiga dari peserta misi jangka pendek dalam perjalanan yang terakhir berlangsung selama dua minggu atau kurang, yang bertujuan mulai dari penginjilan sampai menggali sumur dan mengajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Kami menghargai semangat para siswa dalam tim misi. Mereka ingin berada dalam jalur-jalur penginjilan. Beberapa misionaris berkata, "Tunggu sebentar." Di banyak negara, cara yang paling efektif untuk menjangkau orang lain adalah melalui persahabatan yang dibangun dari waktu ke waktu dibandingkan presentasi Injil secara cepat yang dapat membahayakan pekerjaan -- dan kehidupan -- misionaris jangka panjang dan penduduk Kristen setempat.

Kabar baiknya adalah penelitian kami menunjukkan bahwa siswa yang telah mengambil bagian dalam perjalanan misi jangka pendek bersifat kurang materialistis, lebih memiliki penghargaan terhadap menghargai budaya lain dan pemahaman yang memahami dengan lebih baik tentang misi sebagai gaya hidup.

Sekitar 600 siswa, kebanyakan dari universitas-universitas Texas, dan 48 pemimpin misi jangka pendek telah berpartisipasi dalam studi saya yang dilakukan dengan bantuan dari empat asisten sarjana penelitian dari Baylor University. Bagian pertama dari penelitian ini terdiri dari 578 survei yang telah lengkap menyeluruh, dan respons siswa menanggapi secara konsisten mencerminkan dampak positif dari partisipasi dalam perjalanan misi jangka pendek. Dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki sedikit atau tanpa pengalaman misi jangka pendek, siswa yang berpartisipasi dalam dua atau lebih perjalanan misi internasional secara signifikan memiliki apresiasi yang lebih besar pada budaya lain dan bersifat kurang materialistis.

Dari 32 siswa yang diwawancarai setelah perjalanan mereka, 29 orang mengatakan bahwa pengalaman tersebut telah mengubah cara mereka melihat budaya lain, dengan 17 orang yang menyebutkan tentang peningkatan penghargaan dan perhatian/kepedulian. Hampir setengahnya mengatakan bahwa mereka hampir tidak melihat budaya mereka sebagai yang paling superior. Sebagian besar yang telah terpapar pada wajah kemiskinan dalam perjalanan mereka mengatakan bahwa mereka memiliki penghargaan yang lebih besar untuk apa yang mereka miliki -- atau bahkan jijik pada keserakahan Amerika -- tetapi hanya beberapa yang menyebutkan bahwa mereka telah mengambil beberapa langkah konkret yang mereka lakukan untuk mengurangi materialisme mereka.

Sementara penelitian menunjukkan bahwa para pemimpin misi telah melakukan banyak hal dengan baik dalam pelatihan sebelum perjalanan dan di tempat mentoring, penilaian menjadi rendah, mereka gagal dalam hal membantu anggota tim untuk mengambil manfaat yang mereka pelajari dari perjalanan misi untuk gaya hidup bermisi. Apa yang dibutuhkan adalah tindak lanjut dari pemimpin tim, biasanya dari gereja, sekolah, atau lembaga misi, dengan upaya yang lebih luas daripada kontak daring atau reuni secara periodik. Keterlibatan jangka panjang, baik secara global maupun lokal, adalah cara Anda untuk melihat perubahan yang terjadi. Pengalaman misi jangka pendek harus lebih dari sekadar pengalaman pariwisata spiritual di mana peserta melakukan perjalanan ke tempat eksotis, mengambil segudang foto banyak sekali, dan kembali ke lingkungan rumah mereka yang relatif terisolasi, seperti halnya perilaku dan kegiatan rutin mereka sebelum perjalanan dan dalam rutinitas.

Banyak orang membuat komitmen di perkemahan pemuda Kristen untuk menjadi misionaris, tetapi beberapa orang menyadari sedikit dan berkata, "Oh, itu bukan untuk saya, saya bisa melakukannya selama beberapa minggu, tetapi saya suka pada teknologi dan kenyamanan saya." Lainnya memilih untuk tidak memilih karier dalam pekerjaan misi ketika melihatnya sebagai tantangan. Di beberapa negara, ada tanggapan langsung terhadap Injil, dengan ratusan orang yang menjadi Kristen. Namun, di negara lainnya, seorang misionaris bisa bekerja selama bertahun-tahun dan hanya memiliki satu atau dua orang yang kemudian menjadi orang Kristen. Para siswa yang berharap untuk melihat hasil instan selama dua minggu mungkin akan menjadi putus asa.

Misi Pendek

Namun, saat mereka memutuskan untuk tidak menjadi misionaris yang memiliki keahlian, tidak berarti mereka kehilangan minat dalam misi atau pelayanan. Chelsea Nuttall, seorang mahasiswa sastra Inggris Baylor University dari Sugar Land, mengatakan bahwa perjalanan misi jangka pendek membuatnya menyadari bahwa "Misi bisa berarti di mana saja. Itu tidak hanya berarti bersifat global".

Bagi beberapa orang, sebuah perjalanan misi memperkuat komitmen. Hal itu terjadi pada Matt Lewis, seorang mahasiswa komunikasi Baylor University dari Jacksonville. Dia bekerja untuk pemuda dalam perjalanan misi siswa relawan ke Republik Ceko pada tahun 2007 dan 2008.

Matt menuliskan hal ini mengenai pengalamannya: "Di antara perjalanan, saya menghabiskan banyak waktu dalam doa dan benar-benar mencoba untuk bermeditasi dan mendengarkan apa yang Tuhan katakan kepada saya ... saya harus berhubungan kembali dengan beberapa pemuda di sana dari musim panas sebelumnya. Itu bagus untuk melihat bahwa keputusan yang mereka buat tahun lalu masih jelas dalam hidup mereka. Melihat hal ini benar-benar memperkuat keyakinan saya bahwa Allah memanggil saya dalam pelayanan."

Dr. Horton adalah direktur asosiasi bimbingan pelayanan di Baylor University. Dia adalah mantan pendeta dari sebuah gereja di Hong Kong dan mengajar kursus Alkitab, teologi, dan bahasa Inggris pada tahun 1990-an di universitas di Hong Kong dan Thailand.

Diterjemahkan dan disunting dari:
Nama situs: : Huffpost Religion
Alamat URL: : http://www.huffingtonpost.com/dennis-j-horton-phd/shortterm-mission-trips-a_b_866197.html
Judul asli artikel: : Short-Term Mission Trips: Are They Worth It?
Penulis artikel: : Dennis J. Horton, Ph.D.
Penerjemah: : N. Risanti
Tanggal akses: : 15 Maret 2016
 
PROFIL BANGSA: SUKU LIO, NUSA TENGGARA TIMUR

Pulau Flores tak hanya memiliki kekayaan alam yang luar biasa, tradisi juga merupakan ciri khas masyarakat yang mendiami Pulau Flores. Keanekaragaman adat istiadat dan budaya masyarakat setempat juga menjadi kekayaan yang tak ternilai harganya. Masyarakat di pulau ini hidup bersuku-suku, maka dari itu dikenal berbagai macam kebudayaan. Salah satu suku yang memiliki kekhasan dalam tradisi adalah masyarakat suku Lio.

Lio

Suku Lio menempati wilayah kabupaten Ende, yang merupakan salah satu kabupaten di Pulau Flores, provinsi Nusa Tenggara Timur. Masyarakat suku Lio merupakan penduduk mayoritas yang mendiami kabupaten ini. Nama Lio sendiri diambil dari ungkapan Sa Li, Sa Ine, Sa One. Ungkapan Li, Ine, One, bermakna sebaya, seibu, dan sekeluarga. Ungkapan ini menggambarkan prinsip persatuan yang dijunjung oleh suku Lio. Hal ini tergambar dari kenyataan bahwa suku Lio hidup terkotak-kotakan dalam berbagai tanah persekutuan. Akan tetapi, mereka tetap satu suku bangsa, bahasa, kebudayaan, dan adat istiadat yang sama.

Masyarakat Lio terbagi ke dalam beberapa suku yang menetap di wilayah-wilayah persekutuan di antaranya, suku Unggu yang menetap di wilayah Lio Utara, suku Seko yang menetap di Lio Selatan, suku Lise yang menetap di Lio Timur, dan suku Siga yang menetap di bagian Barat. Dan, juga ada beberapa suku kecil mendiami wilayah tanah persekutuan mereka sendiri. Dalam proses berkomunikasi sehari-hari, masyarakat suku Lio menggunakan bahasa percakapan, yaitu sara Lio atau bahasa Lio.

Secara umum, suku bangsa Flores merupakan suku percampuran antara etnis Melayu, Melanesia, dan Portugis. Pulau flores yang merupakan koloni Portugis di masa era awal invasi bangsa-bangsa asing ke Indonesia sehingga interaksi yang terjadi baik secara genetis dan kebudayaan berpengaruh besar terhadap perkembangan masyarakat di pulau tersebut. Begitupun dengan suku Lio, masyarakat suku Lio terdiri dari dua jenis penganut agama, yaitu penganut agama I dan K. Penganut agama K merupakan mayoritas di suku Lio. Agama ini dibawa oleh orang Portugis ke wilayah Flores. Sementara I dibawa oleh para pedagang dari Makasar. Perbedaan ini tidak pernah menjadi penghalang yang berarti bagi masyarakat suku Lio. Bagaimanapun keteguhan masyarakat suku Lio terhadap prinsip persatuan yang mereka anut memiliki daya pemersatu bagi perbedaan-perbedaan itu.

Suku Lio

Walaupun masyarakat suku Lio sudah mengenal agama sebagai pegangan hidup yang utama, tetapi masyarakat suku Lio juga masih mempertahankan kepercayaan lokal warisan leluhur seperti memercayai adanya arwah nenek moyang yang tinggal di danau Kelimutu. Dalam struktur kemasyarakatan, suku Lio dipimpin oleh kepala desa/suku yang dikenal dengan istilah Mosalaki. Segala bentuk permasalahan yang berkenaan dengan adat dan kemasyarakatan suku Lio dikonsultasikan kepada teta adat/kepala suku (Mosalaki). Hal ini biasa dilakukan di rumah adat yang juga menjadi pusat adat yang dikenal dengan Rumah Mosalaki atau Sao Ria.

Sebagian besar masyarakat suku Lio bermata pencaharian di bidang pertanian. Sebagian lain yang tinggal di pesisir pantai berprofesi sebagai nelayan. Masyarakat suku Lio juga mengenal beberapa upacara adat terkait dengan pertanian di antaranya upacara Paki tana neka watu adalah upacara musim tanam padi dan jagung Joka Ju / Ju Angi adalah upacara untuk menolak bala dan hama tanaman, upacara Keti uta atau Ka poka adalah upacara yang dilaksanakan untuk menyongsong panen padi, dan upacara Ngguaria adalah pesta syukuran atas keberhasilan panen selama satu tahun. Selain upacara dalam pertanian, suku Lio juga mengenal upacara-upacara adat lain seperti, upacara empat hari bayi dilahirkan (Wa'u tana), upacara bayi boleh digendong orang lain (Ka Ngaga), upacara cukur rambut pertama anak laki-laki atau anak perempuan (Kongga/poro fu), upacara potong gigi anak laki-laki atau perempuan yang sudah cukup umur (Roso Ngi'i ), dan upacara pernikahan adat (Wudu Tu).

Setiap kebudayaan yang lahir dari kearifan suatu kelompok masyarakat selalu mengandung pesan yang terpendam di dalamnya. Pesan itulah yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk kebudayaan yang menjadi tradisi atau adat istiadat dalam sebuah masyarakat. Begitupun dengan suku Lio, kekayaan tradisi masyarakat suku ini menyiratkan berbagai pesan leluhur atas kehidupan seperti penyembahan terhadap Tuhan dan penjagaan terhadap alam.

Diambil dari:
Nama situs : Wacana Nusantara
Alamat URL : http://www.wacananusantara.org/suku-lio/
Judul artikel : SUKU LIO, NUSA TENGGARA TIMUR
Penulis artikel : Tidak dicantumkan
Tanggal akses : 4 Februari 2016

 
STOP PRESS: DOA = NAPAS HIDUP ORANG PERCAYA, BUKAN CARA UNTUK MEMPERALAT ALLAH

e-Doa

Publikasi e-Doa hadir untuk menolong kita membangun kehidupan doa yang hidup dan berkenan

  • Renungan
  • Artikel
  • Pokok doa

Untuk berlangganan, kirim email ke: < doa@sabda.org > Atau beri komentar #Doa di Facebook dan Twitter e-Doa.

Tunggu apa lagi? Mari segera daftarkan email Anda. Dan, jadilah tentara doa Kristus bagi Indonesia dan dunia.


Anda terdaftar dengan alamat: $subst('Recip.EmailAddr').
Anda menerima publikasi ini karena Anda berlangganan publikasi e-JEMMi.
misi@sabda.org
sabdamisi
@sabdamisi
Redaksi: Ayub. T, Elizabeth N., dan Mei.
Berlangganan | Berhenti | Arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
©, 2016 -- Yayasan Lembaga SABDA
 

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org