Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/318

KISAH edisi 318 (13-3-2013)

Saya Belum Siap Mati

___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________
                      Edisi 318, 13 Maret 2013


KISAH -- Saya Belum Siap Mati
Edisi 318, 13 Maret 2013

Salam kasih,

"Seperti domba di tengah-tengah serigala" itulah gambaran yang 
diberikan Tuhan Yesus untuk mengingatkan seorang utusan Injil, atau 
setidaknya orang percaya yang hendak memberitakan Injil, akan risiko 
yang mungkin dihadapi. Memberitakan Injil di negara-negara yang anti 
terhadap masuknya Injil tentu tidak semudah membalikkan telapak 
tangan. Hal itu membutuhkan perjuangan yang keras karena tidak hanya 
harta dan tenaga yang akan dikorbankan, melainkan nyawa pun bisa 
menjadi taruhannya.

Pada edisi ini, kami mengangkat sebuah kisah tentang seorang anak 
Tuhan yang bukan hanya harus berjalan jauh untuk membawa Injil ke 
negaranya, melainkan juga mempertaruhkan nyawanya meskipun ia tidak 
siap mati untuk hal itu. Ikuti kisah selengkapnya pada sajian berikut 
ini. Kiranya kisah yang kami sajikan dapat menjadi berkat bagi Anda. 
Selamat membaca, Tuhan Yesus memberkati.

Staf Redaksi KISAH,
Doni K.
< http://kesaksian.sabda.org/ >


                        SAYA BELUM SIAP MATI

C melakukan perjalanan sepanjang malam. Sebelum fajar, ia menyeberangi 
Sungai T dan masuk kembali ke tanah kelahirannya di Korea Utara. Para 
petugas patroli tepi sungai tetap menutup telinga kepada langkah 
kakinya. Mereka juga tidak memerhatikan sebuah benda yang sangat 
berbahaya diselipkan di antara baju di dalam tas punggungnya. C tahu 
benda tersebut bisa membawanya menuju lapangan tembak, tetapi ia 
memilih untuk tetap membawanya.

Setelah 10 hari perjalanan, C tiba di rumah. Istri dan anak 
perempuannya menyambutnya dengan kelegaan. Jika para tetangga 
mencurigainya bahwa ia telah melakukan perjalanan ke luar negeri, 
mereka pasti melaporkannya ke pihak yang berwenang dan C pasti akan 
dipenjarakan di suatu kamp kerja paksa, mungkin untuk seumur hidup.

Istri C tahu bahaya benda yang dibawa pulang oleh suaminya. Ia tidak 
bisa tenang sampai benda tersebut disembunyikan. Putri mereka yang 
berusia 16 tahun tidak tahu apa yang ada di dalam tas ayahnya, dan 
kedua orang tuanya tidak memberitahukan kepadanya. Adalah lebih baik 
kalau ia tidak tahu.

Setelah menunggu hingga menjelang malam, C dengan hati-hati membungkus 
benda yang telah ia selundupkan dari Tiongkok dan menguburnya di halaman 
rumah kecilnya yang terdiri atas dua kamar. Ini adalah keempat kalinya 
ia menyelesaikan tugas berisiko ini dalam 4 tahun terakhir, dan ia 
berdoa agar Tuhan menjaganya melakukannya, paling tidak dua kali 
perjalanan lagi.

C melihat ke lubang yang telah tertutupi dan lubang yang baru 
digalinya di halamannya. Ia tidak tahu kapan atau apakah ia akan punya 
keberanian untuk menggali dan mengambil kembali benda-benda yang telah 
ia tanam. Ia tahu, jika ia memakainya atau memberikannya kepada yang 
lain, kemungkinan besar ia akan dibunuh. Yang terkubur di dalam 
halaman rumah C adalah buku yang paling berbahaya di Korea Utara, 
yaitu Alkitab.

"Jika Kamu Baca Buku ini ...."

Pada suatu sore, kami bertemu dengan C di Tiongkok ketika ia akan 
menyeberang pulang ke Korea Utara dalam perjalanan kelimanya. C dan 
rekan seperjalanannya setuju untuk membatalkan kepulangannya hari itu, 
dan tinggal satu hari lagi di Tiongkok untuk berbicara dengan kami.

C berusia 40 tahunan dan sikapnya rendah hati. Seperti kebanyakan 
orang Korea Utara, ia tumbuh dengan memercayai bahwa kekristenan 
adalah jahat dan para utusan Injil membunuh orang-orang untuk mencuri 
organ tubuh mereka. Ia juga percaya bahwa Alkitab hanya berisi yang 
jahat dan oleh karena itu, Alkitab tidak boleh dibaca atau dimiliki. 
Mengaku percaya kepada Tuhan, memiliki atau membaca Alkitab akan 
dipenjarakan.

Agama resmi negara atau ideologi Korea Utara disebut Juche, diciptakan 
oleh Kim Il-Sung, pendiri negara Korea Utara modern. Juche mengajarkan 
ketergantungan pada diri sendiri dan supaya manusia menjadi tuan dari 
segalanya. Ini merupakan pengajaran yang menganggap pendiri negara 
sebagai dewa atas raja-raja, dan memaksa rakyat Korea Utara untuk 
menyembah Kim Il-Sung dan putranya Kim Jong-Il.

Pelajaran keyakinan Juche diberlakukan di seluruh sekolah, di semua 
level pendidikan. Kepatuhan total kepada pengajarannya adalah perintah 
dan keharusan. Ketidakpatuhan menghasilkan hukuman yang berat. 
Keyakinan Juche juga mengajarkan bahwa, setiap warga negara diwajibkan 
melaporkan kegiatan apa pun yang bertentangan dengan sistem yang telah 
diterapkan oleh pemerintah. Anak-anak diperintahkan untuk mengawasi 
sanak-saudara, tetangga, orang asing, dan melaporkan kegiatan-kegiatan 
mereka yang mencurigakan kepada pemerintah.

Jika ada orang Korea Utara yang ingin memiliki sedikit kebebasan atau 
ketakutan terhadap kemarahan pemerintah, beberapa di antara mereka 
akan mencoba untuk melarikan diri dari negara itu. Sekitar tahun 1990-
an, suatu kelaparan dahsyat menyebar ke seluruh Korea Utara, membunuh 
hampir 3 juta penduduknya. Ketika kelaparan itu melebihi ketakutan 
mereka, banyak orang Korea Utara berani mempertaruhkan nyawanya mati 
di kamp kerja paksa, untuk melarikan diri menyeberangi perbatasan 
menuju Tiongkok.

C adalah salah satu dari mereka. Pada tahun 1999, ia melarikan diri ke 
Tiongkok dalam pencariannya akan gereja-gereja yang dirumorkan membagi-
bagikan makanan. Setelah diberi makan dan diberi oleh-oleh untuk 
dibawanya pulang, C juga diberi sebuah Alkitab. Pada awalnya, ia tidak 
ingin membacanya karena memercayainya sebagai buku setan. Namun, 
seseorang yang memberikan Alkitab itu kepadanya, Pendeta B, berkata 
kepadanya, "Jika kamu membaca buku ini, kamu akan menemukan 
kebenaran."

"Awalnya, saya ketakutan," kata C. "Namun, lebih banyak saya membaca, 
lebih banyak saya menyadari bahwa Alkitab hanyalah berisi kebaikan. 
Saya tidak tahu mengapa buku ini dilarang di Korea Utara. Saya percaya 
apa yang saya baca akan memimpin hidup saya kepada Kristus."

Bersamaan dengan penemuan imannya dalam Kristus, C membawa enam buah 
Alkitab kembali ke Korea Utara. Setelah membagikan iman barunya kepada 
istrinya, mereka berdua mulai gemar membaca Alkitab. Akan tetapi, C 
memperingatkan istrinya bahwa jika seandainya polisi datang 
menangkapnya, istrinya harus segera menghancurkan keenam Alkitab 
tersebut.

Seorang tetangga dan teman lama melaporkan kepada pihak berwajib bahwa 
C telah kembali dari Tiongkok dengan membawa Alkitab. Polisi menangkap dan 
menginterogasi C selama 29 hari, memukul dan menendangi C, memaksanya 
memberitahukan di mana Alkitab-Alkitab tersebut. Karena takut 
kehilangan nyawanya, C mengatakan kepada polisi bahwa dia sendiri yang 
telah menghancurkan Alkitab-Alkitab tersebut karena ia tahu pemerintah 
tidak mengizinkannya untuk memilikinya. Ia mengatakan kepada mereka 
bahwa ia telah dipaksa membawa pulang Alkitab ke Korea Utara.

Polisi menggeledah rumah C, tetapi mereka tidak menemukan apa pun. 
Istri C telah membakarnya, seperti yang diperintahkan suaminya. 
Setelah pulih dari kejadian yang ia alami selama interogasi, ia 
bersyukur tidak dijebloskan ke dalam penjara, C kembali kepada 
kehidupan normalnya. Namun, ia tidak dapat berhenti memikirkan Alkitab 
yang telah dihancurkannya. Segera, C mulai mempertimbangkan perjalanan 
lainnya ke Tiongkok.

Kembali ke Tiongkok berarti memulai perjalanan malam yang berbahaya dengan 
cara menyeberangi sungai. Dan, untuk apa? Apakah ia rela 
mempertaruhkan hidupnya hanya karena Alkitab? C dan istrinya gelisah. 
Tidak satu pun dari mereka ingin anak perempuan mereka tumbuh tanpa 
seorang ayah. Setelah berdebat selama 2 tahun, C memutuskan untuk 
mengulangi perjalanannya.

C kembali ke Tiongkok dan menceritakan kepada Pendeta B mengenai 
penahanannya dan membakar Alkitab. Lalu, ia dengan rendah hati meminta 
sebuah Alkitab lagi, yang akhirnya ia bawa dengan berani ke Korea 
Utara. Setahun kemudian, C kembali lagi ke Tiongkok dan meminta satu 
Alkitab lagi kepada pendeta B. Kali ini, C berjanji kepada Pendeta B 
bahwa ia akan kembali lagi untuk mendapatkan lebih banyak Alkitab.

Ketika kami duduk berbicara dengan C, ia tersenyum dan berkata, "Malam 
ini, aku akan membawa Alkitab kelima ke Korea Utara. Tahun depan, aku 
akan memunyai enam buah Alkitab!" Kami bertanya kepadanya apa yang ia 
rencanakan dengan Alkitab-Alkitab tersebut. Apakah ia berencana untuk 
membagi-bagikannya? Percakapan kami terhenti dalam beberapa menit. C 
memandang kami dengan sedih dan berkata, "Saya belum siap mati ...."

Diambil dari:
Judul buletin: Kasih Dalam Perbuatan, Edisi Mei -- Juni 2010
Penulis: Tidak dicantumkan
Penerbit: Yayasan Kasih Dalam Perbuatan, Surabaya
Halaman: 7 -- 8


POKOK DOA

1. Bersyukur kepada Tuhan Yesus karena telah mengirimkan seseorang 
   untuk membawa Alkitab masuk ke Korea Utara.

2. Berdoa bagi anak-anak Tuhan yang telah membawa Alkitab masuk ke 
   Korea Utara. Doakan supaya Tuhan Yesus senantiasa melindungi misi 
   mereka.

3. Berdoa bagi Korea Utara. Doakan supaya Injil dapat masuk dengan 
   bebas ke negara tersebut sehingga orang-orang di Korea Utara dapat 
   menerima Kristus.


"Tetapi Injil harus diberitakan dahulu kepada semua bangsa." 
                           (Markus 13:10)
             < http://alkitab.sabda.org/?Mrk+13:10 >


Kontak: kisah(at)sabda.org
Redaksi: Sigit, Doni K., dan N. Risanti
Berlangganan: subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/kisah/arsip/
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org