Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/315 |
|
KISAH edisi 315 (20-2-2013)
|
|
___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________ Edisi 315, 20 Februari 2013 KISAH -- Mengikuti Jejak Sang Ayah Edisi 315, 20 Februari 2013 Shalom, Dunia ini mengajarkan "mata ganti mata dan gigi ganti gigi". Namun, Tuhan Yesus justru mengajarkan, "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." Betapa kontrasnya! Namun, tahukah Anda betapa dalamnya spiritualitas ajaran Tuhan Yesus ini? Pengampunan tidak hanya merupakan manifestasi kasih tanpa syarat, namun juga merupakan sarana untuk membebaskan hati, jiwa, dan pikiran, dari segala hal yang bersifat negatif dan merusak setiap perkembangan kehidupan kita. Pengampunan sesungguhnya memberi kedamaian dan kemerdekaan, yang tidak akan kita dapatkan seandainya kita terkungkung dalam hidup yang penuh dengan kemarahan, kebencian, dan dendam. Mari kita belajar mengampuni dari Tuhan Yesus, yang selalu mengampuni kita dengan cinta-Nya yang tidak bersyarat. Staf Redaksi KISAH, N. Risanti < http://kesaksian.sabda.org/ > MENGIKUTI JEJAK SANG AYAH Hidup di tengah hutan Peru adalah masa-masa yang indah bagi Linder yang saat itu berusia 4 tahun. Ayah dan ibunya mengasihinya dan ada banyak waktu untuk bermain bersama teman-temannya. Ayah Linder adalah seorang penginjil keliling yang sering bepergian dari desa ke desa untuk memberitakan Injil Kristus. Karena kegiatannya ini, tentara yang bertugas di daerah itu kemudian mencurigai ayah Linder. Mereka mencurigainya terlibat dalam kelompok teroris dan karena itu, ia harus mati. Akan tetapi, mereka memerlukan pengakuan. Untuk mendapatkan itu dari ayah Linder, mereka menangkap Linder dan meletakkan kepalanya di atas batu. Tanpa menunjukkan rasa kasihan, mereka memotong daun telinga Linder dengan bayonet. Linder menjerit kesakitan, namun hati ayahnya terasa lebih sakit lagi melihat anaknya menderita. Kalut dan khawatir dengan keadaan Linder, ayahnya berteriak keras, "Baiklah ... baiklah, saya seorang teroris, apa pun yang ingin kalian dengar, tetapi tolong jangan sakiti anak saya!" Merasa senang mendengar pengakuan ini, tentara kemudian memberondong ayah Linder dengan tembakan tepat di hadapan Linder. Berlumuran darah di wajahnya, Linder tidak hanya kehilangan daun telinganya, ia baru saja kehilangan ayah yang dikasihinya. Kekerasan yang dialami Linder tidak hanya membunuh ayahnya, tetapi juga membunuh indahnya masa kecil anak laki-laki ini. Sekejap, ia berubah menjadi seorang anak yang penuh kemarahan dan dendam. Ia bersumpah, tidak akan ada siapa pun dan seorang pun yang dapat menyakitinya lagi. Dua tahun kemudian, karena kemiskinan yang semakin menyengsarakan keluarga ini, ibu Linder memutuskan untuk mengirimnya ke panti asuhan di ibu kota yang dikelola oleh sebuah yayasan Kristen. Kemarahan dan luka dalam hati Linder membuatnya sulit berinteraksi dengan anak-anak lain, bahkan ia tidak tunduk pada pimpinan panti asuhan. Ketika Pendeta Guillermo dan istrinya mengambil alih menjadi pemimpin di panti asuhan tersebut, mereka semakin tergelitik melihat Linder kecil yang selalu berusaha menghindari mereka berdua. Pendeta Guillermo mulai berdoa pada Tuhan untuk memberinya hikmat melayani Linder. Satu hari, Pendeta Guillermo menggenggam tangan Linder dan memandang jauh ke dalam matanya. Ia bisa merasakan Linder mencoba untuk melepaskan cengkeramannya dan lari. Namun, Pendeta Guillermo memegangnya erat-erat. Menyadari bahwa ia tidak mungkin melawan, Linder balas menatap Pendeta Guillermo. Dengan tegas, namun penuh kasih, Pendeta Guillermo berkata kepadanya, "Linder, aku ingin engkau membayangkan tentara yang membunuh ayahmu. Bayangkan wajahnya sekarang!" Tubuh Linder bergetar dan aura kebencian memenuhi seluruh dirinya, matanya menyala dengan kebencian. Mengetahui ia tidak bisa melarikan diri, Linder mulai mengeluarkan kata-kata kebencian dari hatinya. Setelah itu, Pendeta Guillermo berkata lagi, "Sekarang, gantikan wajah itu dengan wajahku" Jika saja Pendeta Guillermo tidak memegang lengan Linder erat-erat, tanpa ragu kemarahan Linder pasti sudah ditumpahkan pada Pendeta itu. Air mata sudah membasahi wajah Linder, ia menangis dengan segenap hatinya. Pendeta Guillermo masih memegangnya erat, "Sekarang Linder ...." ia memohon, "Ampuni aku ... tolong ampuni aku." Dalam sekejap mata, rantai itu putus. Otot tubuh Linder yang tadi menegang mulai terasa rileks, dan suara tangis yang menyakitkan mulai keluar leluasa dari dalam hatinya. Ia menangis, menangis, dan terus menangis, tapi tangisan ini adalah tangisan pemulihan. Kemarahan, rasa sakit dan takut yang ia simpan bertahun-tahun, tumpah ruah bersama air matanya. Sekarang, jika ada tamu datang ke panti asuhan, Linder akan berkata pada mereka, "Kalau saya dewasa nanti, saya akan menjadi penginjil seperti Ayah." Diambil dari: Judul Buletin: Frontline Faith, Januari - Februari 2011 Penulis : Tim Redaksi Penerbit : Open Doors Indonesia, Jakarta Halaman : 2 -- 3 POKOK DOA 1. Bersyukur atas segala anugerah pengampunan yang Tuhan sediakan bagi kita, setiap kali kita bertelut dan memohon ampun atas segala dosa dan pelanggaran kita. 2. Mohonlah pertolongan Tuhan bagi setiap kita yang masih memiliki perasaan amarah, dendam, serta kebencian. Kiranya Dia memberikan kekuatan dan kemampuan bagi kita untuk mengampuni. 3. Berdoa bagi setiap orang yang selama ini telah menyakiti atau mencederai perasaan kita. Biarlah Tuhan sendiri yang mengubah mereka dan memulihkan setiap luka ataupun perasaan sakit yang kita miliki. "Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Matius 5:44) < http://alkitab.sabda.org/?Mat+5:44 > Kontak: kisah(at)sabda.org Redaksi: Sigit, Doni K., dan N. Risanti Berlangganan: subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org Arsip: http://sabda.org/publikasi/kisah/arsip/ BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati (c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |