Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/306

KISAH edisi 306 (12-12-2012)

Natal, Opor, Ayam Panggang, dan Berbagi Kasih

___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________
                      Edisi 306, 12 Desember 2012

Shalom,

Adakah cerita unik atau kebiasaan yang Anda lakukan beserta keluarga 
dalam menyambut Natal? Di balik semua kegiatan yang kita lakukan untuk 
menyambut Natal, kita tidak boleh lengah apalagi lupa dengan arti 
Natal yang sesungguhnya, yaitu kelahiran sang Juru Selamat sebagai 
penggenapan janji Allah. Masih dalam suasana menyambut Natal, kisah 
edisi 306 kali ini menceritakan tentang kesaksian Wiji Suprayogi, di 
mana dia dan keluarga besarnya memunyai kebiasaan mengadakan ucapan 
syukur dan berbagi makanan kepada tetangga dan orang-orang dekat. 
Ingin tahu kisahnya lebih lanjut? Selamat membaca.

Pemimpin Redaksi KISAH,
Yonathan Sigit
< sigit(at)in-christ.net >
< http://kesaksian.sabda.org/ >


         NATAL, OPOR, AYAM PANGGANG, DAN BERBAGI KASIH

Makanan, itulah yang segera terbayang dalam benakku ketika memasuki 
Natal. Tentu saja, aku sedang tidak berusaha mengurangi makna Natal 
dengan hanya memikirkan makanan. Tetapi, makanan memang menjadi tema 
utama dalam keluarga kami setiap akan memasuki Natal, baik dalam 
keluargaku maupun keluarga istriku.

Keluarga kami memiliki makanan khas masing-masing, sama seperti kota 
asal kami juga memiliki makanan khas masing-masing. Dan, makanan 
tersebut selalu membuat kami rindu. Kadang, di Yogyakarta kami harus 
susah payah ke sana kemari, hanya untuk menikmati makanan kesukaan 
yang khas dari daerah kami. Aku berasal dari Purwokerto dan istriku 
dari Blora, jadi makanan kesukaan kami berlainan. Untungnya, lidahku 
bisa menerima makanan pedas asin dari Blora, dan istriku sangat suka 
dengan mendoan khas Purwokerto.

Ketika Natal tiba, selalu saja tersedia makanan khas di meja makan 
yang dihidangkan keluarga kami. Walaupun jenisnya mungkin sama dengan 
yang lain, namun rasanya tetap berbeda. Ada cerita tentang kebiasaan 
keluarga kami berkaitan dengan makanan khas tersebut. Aku selalu 
membayangkan kebiasaan ini setiap hendak pulang ke Purwokerto atau 
Blora. Perjalanannya sungguh mengasyikkan, dengan mengendarai motor 
kami menikmati betapa besar kuasa dan karunia Tuhan lewat pemandangan 
alam yang kami lihat selama perjalanan.

Aku akan cerita tentang kebiasaan menyambut Natal di Purwokerto. 
Kebiasaan keluarga kami saat Natal adalah membagikan makanan kepada 
para tetangga. Sehari sebelum Natal tiba, keluarga kami membuat 
makanan khusus yang dimasukkan ke dalam dus dan dibagikan kepada 
hampir semua tetangga di RT kami. Adapun makanan yang dimasukkan ke 
dalam kardus adalah seperti makanan yang biasa dihidangkan dalam 
budaya selamatan. Ada mie, sambal goreng kentang/hati, tahu/tempe, 
daging, uang (kalau ada uang lebih), urap, telur, dan kerupuk. Bagi 
sebagian orang, ini mungkin tidak begitu istimewa, tetapi bagi kami 
sangat istimewa, khususnya selama pengerjaannya. Kami merasakan 
istimewa karena hal itu melibatkan seluruh anggota keluarga. Saya tiga 
bersaudara dan semua laki-laki, tetapi mau tidak mau kami terlibat 
memasak juga. Istriku jelas sibuk dengan ibu menyiapkan segala sesuatu 
agar berjalan dengan lancar.

Selama proses memasak, kerap kali tetangga datang membantu. Setelah 
selesai, kami bersama-sama membungkusnya dalam dus. Kemudian 
membagikannya kepada tetangga dengan berita: Selamatan dan ucapan 
syukur memperingati hari Natal. Kerap kali orang bertanya, siapa yang 
kami peringati di hari Natal ini dan kami pun dengan sukacita 
menceritakannya. Malam harinya, kami berkumpul dan makan bersama. 
Kesempatan bersama ini selalu kurindukan ketika aku kuliah dan 
sekarang hidup di luar kota kelahiran. Pagi harinya, kami ke gereja 
dan pulangnya kami langsung menikmati opor ayam bersama sebagai 
perayaan Natal keluarga. Di sinilah, kami membina keintiman keluarga. 
Ketika malam Natal tiba, tetangga berdatangan ke rumah untuk 
mengucapkan selamat Natal. Dan, berbagai macam cerita muncul di sini 
dalam rangka berbagi kasih. Bagi saya sekarang, kebiasaan ini juga 
menjadi ajang reuni dengan teman-teman masa kecil. Kebiasaan memberi 
ucapan selamat itu sendiri sudah berlangsung jauh sebelum kami 
memunyai kebiasaan membagikan berkat kepada mereka.

Ide dasar semua itu adalah berbagi kasih Kristus kepada sesama. Siapa 
pun berhak mendengar dan merasakan kasih Kristus yang begitu besar 
kepada umat manusia. Kami bukan orang berada, bahkan kadang makanan 
yang kami bagikan sangat sederhana, hanya tahu, tempe, dan sayuran ala 
kadarnya. Tetapi, semangat kasih yang ditanamkan benar-benar membekas 
dalam hatiku dan menjadi pelajaran yang sangat berharga dalam hidupku. 
Terima kasih untuk almarhum bapak yang memelopori kebiasaan ini. Dulu, 
aku ingat akulah yang memprotes ketika kami memulai "tradisi" ini 
karena saat kanak-kanak, aku berpikir, "Mendingan dibelikan ayam dan 
bisa buat makan sekeluarga," soalnya kami jarang makan ayam. Aku 
tersenyum ketika mengingat hal itu.

Selanjutnya, cerita tentang kebiasaan menyambut Natal di Blora. 
Bagiku, rumah kami di Blora sangat eksotis, terletak di kampung, di 
pinggir lahan ladang yang sangat luas. Rumah kami tepat berada di 
pinggir jalan dan langsung menghadap lahan. Sejauh mata memandang 
adalah ladang. Kalau musim hujan, lahan itu merupakan lahan padi yang 
sangat luas. Kalau musim kemarau, lahan itu berubah menjadi lahan 
palawija. Pemandangan menjadi hijau seperti permadani yang terhampar 
luas. Tetapi jika kemarau panjang, lahan itu menjadi lahan tidur tanpa 
tanaman. Suasana menjadi gersang dan panas, namun aku tetap suka, apa 
lagi di depan rumah kami ada pohon besar yang bisa dimanfaatkan untuk 
berteduh.

Tepat di depan rumah kami ada sebuah gereja kecil. Kakek yang 
membangun gereja tersebut. Di sini, suasana Natal jadi lebih terasa. 
Sore hari, anak-anak dan orang tua berlatih koor sebagai persiapan 
perayaan Natal bersama, dan sekelompok remaja juga berlatih musik.

Persiapan di rumah sama sibuknya. Kami memasak untuk menjamu tetangga 
yang kami undang ke rumah. Tidak hanya keluarga kristiani yang kami 
undang, tetapi juga keluarga yang berbeda kepercayaan. Semua orang di 
rumah sibuk mempersiapkan makan bersama itu. Aku tidak begitu sibuk 
membantu di dapur karena sudah ada ibu, istriku, dan adik 
perempuannya, serta beberapa tetangga. Kami, para pria, hanya menjadi 
"pengganggu", mencicipi berbagai masakan yang sudah siap.

Sebenarnya, tanpa diundang pun para tetangga sudah pasti datang ke 
rumah karena "tradisi" ini sudah ada sejak kakek masih hidup. Mereka 
dapat keluar masuk rumah kami sesuka hati untuk membantu memasak, 
tentu saja sambil berbagi cerita. Jadi, suasananya sangat akrab. Canda 
tawa menyertai kebersamaan kami. Tak heran jika para tetangga 
merasakan Natal sebagai perayaan bersama satu dusun.

Makanan yang tersedia di Blora lebih variatif karena banyak bahan 
makanan tersedia, yang tinggal diambil tanpa perlu membelinya. Ada kue 
pukis, lemper, ikan pari panggang, kadang bandeng dari Juwana, Pati --
saudara mengirim dari sana. Ada lotek, kadang kalau paman sempat 
berburu, ada daging rusa atau babi hutan, soto, sambal goreng hati dan 
kentang, tahu dan tempe, lalapan, buah mangga, berbagai makanan kecil, 
dan tak ketinggalan sambal terasi. Aku selalu merasa enggan kembali ke 
Yogyakarta jika mengingat enaknya makanan di sini. Persiapan untuk 
membuat makanannya sendiri bisa sampai dua hari. Sebelum menikah, 
istriku sudah sering menceritakan keadaan ini dan seperti menjadi 
semacam tanda kalau aku harus terlibat dalam kegiatan keluarga ini. 
Aku sudah membayangkan betapa asyiknya terlibat dalam tradisi 
keluarganya itu. Dan, ternyata memang mengasyikkan.

Pada malam menjelang Natal, para tetangga berdatangan ke rumah. Acara 
dimulai dengan berdoa secara kristiani. Bapak yang memimpin. Kemudian, 
bapak menceritakan kisah Yesus dan menceritakan mengapa kita 
merayakannya. Tak seorang pun protes dengan acara ini walaupun banyak 
di antara warga yang beragama lain. Di ruang tengah, anak-anak dan 
beberapa pemuda mendengarkan sambil sesekali bergurau. Jika saat itu 
pak pendeta datang, beliau selalu kangen pada sambal keluarga kami. 
Beliau akan ikut berbagi cerita dengan kami. Acara diakhiri dengan doa 
dan kami memberi "buoh" -- bungkusan yang berisi makanan lengkap 
dengan lauk-pauk yang dibungkus dengan daun jati -- kepada para 
tetangga yang datang untuk mereka bawa pulang.

Sering kali, beberapa tetangga masih berkumpul di rumah dan begadang 
sampai malam. Saat larut, kami bersama-sama mencari sesuatu yang bisa 
dibakar dan dimakan, entah itu jagung atau ketela. Malam-malam, sambil 
berdiang di depan perapian aku membayangkan, mungkin ketika Yesus 
lahir, suasananya juga akrab dan hangat seperti itu. Pagi harinya, 
kami pergi ke gereja untuk memperingati dan merayakan Natal bersama. 
Perayaan Natal bersama warga gereja juga disertai dengan makan-makan. 
Dan, biasanya diadakan di rumah kami. Kadang, masing-masing warga 
membawa makanan dari rumah dan dikumpulkan di rumah kami, kadang semua 
dimasak di rumah kami semalam sebelumnya. Kalau semua bahan makanan 
dimasak di rumah kami, maka itu berarti kami memasak untuk dua acara 
sekaligus. Pertama untuk Natal pagi dan yang kedua tentu saja untuk 
kegiatan yang sudah saya ceritakan di atas. Untuk acara gereja ini, 
semua bahan ditanggung bersama. Gereja kami adalah gereja kecil. Semua 
warganya sudah saling mengenal dan bisa saling kontak kapan pun karena 
berada di satu pedusunan, jadi suasana kekeluargaannya sangat terasa.

Puncak dari semua aktivitas ini bagi keluarga kami adalah acara 
memanggang ayam bersama. Inilah makanan khas keluarga kami di Blora. 
Ayam utuh yang dipanggang dengan rasa yang amat pedas. Seperti biasa, 
persiapannya melibatkan seluruh keluarga -- ini hanya khusus keluarga 
kami. Dan, di sinilah kami kembali berbagi keintiman dalam keluarga. 
Ada saja suasana lucu karena sering kali kami kepedasan, saat 
menyantap masakan ayam panggang ini. Suasana yang sama tiap tahun, 
tetapi kami selalu merasakan hal istimewa dengan ayam panggang dan 
keintiman dalam Natal ini.

Ide dasar dari semua itu sama, yaitu berbagi kasih dan mengenalkan 
kasih Kristus kepada orang-orang yang belum mengenal Dia. Kami semua, 
baik keluarga istriku maupun keluargaku, memunyai kesan mendalam 
dengan berbagai aktivitas memperingati Natal itu. Kami selalu 
merindukan suasana kebersamaan dan kasih yang mengalir ini. Aku pikir 
dan rasakan, inilah pembelajaran kasih yang sesungguhnya. Saling 
berbagi bukan karena kita berlebih, melainkan karena kita rindu 
menceritakan kasih Tuhan yang sesungguhnya.

Makanan bisa kita jadikan saluran berkat dan kasih, serta penghangat 
suasana, namun juga bisa menjadi berhala. Demikian juga dengan Natal, 
bisa menjadi berhala dan berkat, tinggal bagaimana kita memaknai dan 
menghayatinya.

Diambil dari:
Judul buku: My Favourite Christmas
Penulis: Wiji Suprayogi
Penerbit: Gloria Cyber Ministries, Yogyakarta 2006
Halaman: 121 -- 131


                           POKOK DOA

1. Mari kita berdoa kepada Tuhan Yesus, agar semakin banyak orang 
   percaya yang memiliki prinsip hidup berbagi kasih dan kebahagiaan 
   dengan orang lain, tanpa pandang ras, suku, dan agama.

2. Mohon kepada Tuhan Yesus agar dalam suasana Natal ini, dalam setiap 
   pertemuan keluarga, berita Injil dapat tersiar kepada orang-orang 
   yang belum percaya.

3. Kiranya Roh Kudus bekerja dan menjamah hati banyak orang yang belum 
   percaya, untuk bisa menerima kabar keselamatan, serta menerima 
   Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat mereka pada hari Natal 
   ini.


"Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita,
         maka haruslah kita juga saling mengasihi." (1 Yohanes 4:11)
< http://alkitab.sabda.org/?1Yoh+4:11 >


Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Redaksi: Yonathan Sigit
Tim Editor: Davida Welni Dana, Berlian Sri Marmadi, dan Santi Titik 
Lestari
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/kisah >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
        

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org