Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/299

KISAH edisi 299 (24-10-2012)

Sang Legenda -- George Foreman

___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________
                      Edisi 299, 24 Oktober 2012

Shalom,

Apakah Anda suka olahraga tinju? Apakah Anda tahu atau pernah
mendengar seorang petinju dunia legendaris yang bernama George
Foreman? KISAH edisi 299 menceritakan kesaksian pertobatan dari George
Foreman. Dari seorang yang dipenuhi dengan rasa benci dan sombong akan
kekuatannya, dia diubah oleh Tuhan menjadi seorang yang rendah hati
dan penuh kasih dalam melayani Tuhan. Selamat membaca.

Pemimpin Redaksi KISAH,
Yonathan Sigit
< sigit(at)in-christ.net >
< http://kesaksian.sabda.org/ >

                    SANG LEGENDA -- GEORGE FOREMAN

Waktu saya kecil, keluarga kami sangat miskin. Maka untuk makan saja,
saya sengaja bertamu ke tetangga pada jam-jam makan, berharap mereka
mengundang saya untuk makan bersama mereka.

Tumbuh dalam kemiskinan membuat kebencian dan amarah tumbuh subur
dalam hati saya, sehingga semuanya itu saya salurkan dengan berlatih
tinju secara keras. Tidak lama, hasil latihan itu membuat saya
mendapatkan medali emas olimpiade kelas berat pada tahun 1968.

Pindah ke jalur profesional, kemarahan dan kebencian membuat saya
bagaikan binatang buas menghancurkan siapa saja yang melawan,
kebanyakan lawan saya `KO` sebelum ronde ketiga. Rekor 32 kali menang
tanpa pernah kalah, membuat saya dengan cepat meroket menjadi
penantang bagi Joe Frazier. Saat itu Joe Frazier bagaikan "dewa
tinju", tidak seorang pun saat itu terpikir bahwa dia bisa kalah.

Saya ingat, saat bel tanda ronde pertama dimulai, masih jelas
terngiang di telinga saya bagaimana Joe dengan cepat datang dengan
nafsu membunuhnya. Namun hal itu tidak membuat saya takut, saya
membalas setiap pukulannya dengan sekuat tenaga, sehingga dia pun
bertekuk lutut, `KO`. Itu adalah peristiwa paling membahagiakan dalam
karier bertinju saya.

Tahun 1974, di Zaire (Afrika), saya harus berhadapan dengan Muhammad
Ali, pertarungan yang diberi nama "Rumble in the Jungle". Ali
mengetahui kemarahan adalah kunci kelemahan saya. Ali pun memanfaatkan
hal tersebut dengan terus membuat pernyataan yang merendahkan saya di
berbagai media. Hal itu membuat saya gelisah dan murka, ingin segera
rasanya menghajarnya di atas ring.

Kepercayaan diri saya saat itu terlalu besar karena saya baru saja
menghajar `KO` Ken Norton, orang yang menghajar Ali dengan `KO` dalam
2 ronde. Bagaimana bisa Ali sesumbar seperti itu? Saya begitu marah
dan telah meremehkannya. Pada pertandingan tersebut, saya terus
memukulnya dengan sekuat tenaga dan ingin mengakhiri Ali secepat
mungkin.

Namun Ali terus bertahan dan tidak bergeming, sehingga membuat saya
kehabisan tenaga. Pada ronde kedelapan, saat saya memukulnya di bagian
lambungnya, Ali menyadari pukulan saya sudah lemah. Dia bertanya,
"Hanya itu yang kau miliki George?" Kemudian dia langsung membalas
dengan cepat, dan yang saya ingat hanyalah suara wasit menghitung
saya.

Tapi bukan pertarungan itu yang mengubah hidup saya. Pertarungan tinju
paling penting dalam kehidupan saya adalah saat melawan Jimmy Young di
Puerto Rico, 17 Maret 1977. Saat itu, saya sedang berusaha merebut
gelar juara dunia kembali. Tapi pertarungan saat itu paling berat,
berakhir 12 ronde dengan keputusan wasit saya kalah.

Saya dibawa masuk ke ruangan ganti dengan setengah pingsan, lambung
saya terasa sakit karena pertarungan tadi. Saya duduk bersandar di
locker dikelilingi pelatih dan para official sambil berteriak-teriak
"Rematch! Rematch...!" (pertandingan ulang).

Saat keributan terus berlangsung di sekitar saya, pandangan dan
pendengaran saya menjadi kabur perlahan, dan semuanya menjadi gelap
gulita. Dalam kegelapan itu, saya mendengarkan sebuah suara berkata:
"Kalau engkau percaya pada Tuhan, mengapa engkau begitu takut?"

Saya kaget mendengar suara itu. Kemudian dengan marah saya
menjawabnya: "Siapa bilang saya takut? Siapa yang menyebut-nyebut
Tuhan?"

Lalu saya mengatakan pada suara itu, bagaimana saya harus keluar dari
kemiskinan ini. Hanya dengan usaha keras saya sendiri dan bagaimana
saya harus berjaya dengan kekuatan saya.

Suara itu diam dan perlahan muncul ketakutan dalam hati saya, sebuah
perasaan kematian. Saya merasa akan mati, ini adalah akhir dari
semuanya.

Saya mencoba tawar-menawar dengan suara itu, "Saya adalah George
Foreman, biarkanlah saya hidup, maka saya akan banyak menyumbang untuk
amal."

Suara itu menjawab; "Saya tidak mau uangmu George, saya menginginkan
engkau!"

Saya bertambah takut karena saya tidak pernah tahu, ada orang yang
menganggap uang tidak berharga.

Kegelapan itu menarik saya semakin dalam, semakin gelap, dan semakin
dalam lagi. Suara itu mengatakan, inilah rasanya maut itu, gelap ...,
kosong ..., sendirian ..., dan itu akan berlangsung selamanya ....

Kemudian saya mendengar suara-suara berbisik, orang-orang yang
berteriak-teriak. Semakin lama semakin jelas, perlahan pandangan saya
melihat orang-orang di sekitar saya. Ternyata saya sudah kembali ke
ruangan ganti. Banyak orang mengelilingi saya sambil bertanya dengan
nada cemas, "Kamu baik-baik saja, Jagoan?"

Saya menjawab, "Apakah saya baik-baik saja? Saya adalah orang yang
baru!" Saya merasa diri saya berubah, saya merasa diri saya orang
lain, perasaan ini sungguh luar biasa, tidak dapat saya jelaskan
dengan kata-kata. Saya merasa dibebaskan, dilepaskan, tubuh saya
terasa sangat ringan. Saya dilepaskan dari kemarahan dan kebencian
yang selama ini merasuki saya.

Saya mengerti sekarang apa hidup itu. Ini tidak ada hubungannya dengan
tinju, tidak ada hubungannya dengan mengejar gelar juara. Ini semua
mengenai Tuhan! Tentang cinta-Nya dan pengampunan-Nya. Saya langsung
mencium semua orang di situ sambil berkata, "Saya mengasihimu, Tuhan
mengasihimu!" Ada sebuah perasaan kasih yang besar keluar dari hati
saya bagaikan gelombang, membuat saya tidak bisa diam untuk tidak
mengatakannya.

Tiga puluh delapan tahun setelah hari itu, saya lebih terkenal sebagai
koki daripada mantan juara dunia tinju. Saya memiliki acara masak
sendiri di televisi, dan 55 juta peralatan panggang dengan merek nama
saya laku terjual di seluruh dunia. Itu belum termasuk kaos, saus,
krim cukur, pembersih rumah tangga, dan berbagai peralatan lain. Semua
dengan merek nama saya. Orang berpikir saya kaya karena bertinju.
Mereka salah, seluruh penghasilan saya dari bertinju seumur hidup jauh
lebih kecil dengan nilai kontrak peralatan panggang yang saya buat.

Tuhan memberkati saya melimpah justru saat saya bertobat, undur dari
dunia tinju, dan melayani-Nya sepenuh hati.

Sejak hari pertarungan dengan Jimmy Young itu, saya menggantung sarung
tinju saya dan mulai rajin ke gereja. Awalnya, saya hanya duduk
bersembunyi di pojok gereja, tidak ingin siapa pun tahu saya ada di
situ. Namun saat mereka menyadari kehadiran saya, mereka menyuruh saya
bersaksi di depan jemaat. Saya yang terbiasa bertinju ditonton oleh
jutaan orang, kali ini berbicara di depan sedikit jemaat. Kaki saya
gemetar.

Tidak lama setelah itu, saya melayani sepenuh waktu dengan menjadi
pendeta, membangun gereja di lingkungan tempat saya dibesarkan. Saya
kini memiliki pertarungan yang berbeda, yaitu melawan kemiskinan,
rumah tangga yang hancur, kenakalan remaja, penyakit mematikan,
tekanan mental, dan banyak problem lain. Setiap kali berhasil menang
terhadap masalah itu, rasanya jauh luar biasa daripada menang `KO`.

Pada tahun 1993, saudara saya mendirikan tempat latihan tinju dan dia
mengundang saya untuk datang ke sana. Namun, saya selalu menolaknya
karena saya tidak ingin jemaat melihat saya dekat dengan ring tinju.

Suatu kali, tidak sengaja saya harus singgah di gym itu. Di sana, saya
melihat seorang ibu dan anak remajanya yang berusia sekitar 15 tahun.
Mereka melihat dengan penuh harap dan ingin berbicara dengan saya.
Saya tahu akan ke mana arah cerita mereka karena saya melihat diri
saya sendiri dan ibu saya dalam diri mereka. Ibu itu pasti akan
bercerita bagaimana miskinnya hidup mereka dan mengenai anaknya yang
selalu terlibat dalam masalah. Ia pasti ingin agar saya melatih
anaknya bertinju dan mengarahkannya.

Saya berusaha menghindar bercakap-cakap dengan mereka, dan saya pun
pergi meninggalkan mereka dengan sebuah perasaan bersalah. Tidak lama
setelah itu, saya menelepon Roy untuk menanyakan keadaan anak itu. Roy
berkata bahwa anak itu sudah masuk penjara.

Saya merasa dihajar dengan pukulan yang sangat keras dan membuat `KO`
ketika mendengar berita tersebut. Ya Tuhan ..., trauma saya pada ring
telah membuat satu jiwa tersesat. Sejak melayani Tuhan, saya mau pergi
ke mana saja Tuhan utus, ke penjara, rumah sakit, pedalaman, sampai
ujung dunia pun saya mau pergi, kecuali satu tempat ring tinju. Pada
saat itu, saya mendengar Tuhan berkata, "Sekarang saatnya George, bawa
Aku ke sana ...."

Dunia menjadi gempar ketika saya kembali ke ring tinju. Mereka menahan
napas saat saya bertarung dengan anak-anak muda yang memiliki
kecepatan dan kekuatan, yang jauh berbeda dari orang seumur saya. Bagi
mereka, mustahil seorang tua berumur 40-an tahun mampu bertinju lagi.

Tapi saya membuktikan bahwa semua perhitungan dunia adalah salah. Pada
usia hampir 50 tahun, saya kembali merebut gelar juara dunia dan
dinobatkan sebagai petinju tertua yang pernah meraih gelar juara
dunia. Saya menekuk Michael Moore dengan `KO` pada ronde ke-10,
padahal dia baru menaklukan Evander Holyfield. Dan saya menyatukan
seluruh gelar juara badan dunia, yaitu WBA, WBC, dan IBF.

Selanjutnya, gelar juara itu tidak pernah direbut dari saya, tapi saya
sendirilah yang menyerahkan sabuk itu, yaitu pada orang yang telah
saya kalahkan (Axel Schultz). Saya lalu mengundurkan diri dari dunia
tinju.

Mereka tidak habis pikir bagaimana orang setua saya bisa melakukannya,
saat seharusnya tidak ada lagi kekuatan orang muda tersisa dalam diri
saya ini.

Hanya satu jawabnya, hanya satu kekuatan yang membuat tubuh tua ini
bangkit menjadi pemenang, yaitu kekuatan dari Tuhan. Bukan kuat dan
gagah saya, melainkan karena Roh Tuhan ada dalam diri saya.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul majalah: SUARA edisi 79 -- FGBMFI, 2005
Penulis: George Foreman
Penerbit: Communication Department - Full Gospel Business Men`s
          Fellowship Internasional - Indonesia, Jakarta
Halaman: 5 -- 9

Pokok Doa

1. Mengucap syukur kepada Tuhan atas perubahan hati yang Tuhan berikan
kepada George Foreman dan kepada orang-orang yang lain pula. Kiranya
Tuhan terus memelihara iman mereka sampai akhir.

2. Mohon kepada Tuhan agar anak-anak yang saat ini hidup dalam kondisi
yang serba sulit dipelihara-Nya. Biarlah setiap anak bisa teguh dan
kuat dari pengaruh negatif lingkungan mereka. Biarlah Tuhan mengirim
pelayan-pelayan-Nya untuk menjangkau setiap anak.

3. Berdoalah agar Tuhan terus membuka kesempatan bagi orang-orang yang
sudah diubah-Nya untuk bersaksi. Kiranya melalui setiap kesaksian,
seperti kesaksian dari George Foreman, lebih banyak jiwa lagi yang
menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Juru Selamat pribadinya.

"Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan
kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud
dan kasih karunia-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita
dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman." (2 Timotius 1:9)
< http://alkitab.sabda.org/?2Tim+1:9 >

Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Redaksi: Yonathan Sigit
Tim Editor: Davida Welni Dana, Novita Yuniarti, dan Santi Titik Lestari
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/kisah >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org