Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/261

KISAH edisi 261 (1-2-2012)

Pengantar Kecap yang Jadi Pendeta

___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________
                      Edisi 261, 1 Februari 2012

Shalom,

Hidup adalah sebuah pilihan, apakah kita akan memilih untuk menyerah
dengan keadaan, ataukah memilih untuk berusaha dan berani melangkah
dalam setiap kesempatan yang Tuhan tunjukkan bagi kita. Seperti halnya
kesaksian dari seorang hamba Tuhan mengenai karya Tuhan yang luar
biasa dalam hidupnya, dari seorang yang bukan apa-apa, menjadi Pendeta
yang dilimpahi talenta dalam hidup dan pelayanannya. Biarlah kesaksian
ini menjadi motivasi dan memberkati kita semua.

Pemimpin Redaksi KISAH,
Yonathan Sigit
< sigit(at)in-christ.net >
< http://kesaksian.sabda.org/ >

                    PENGANTAR KECAP YANG JADI PENDETA

Aku lebih dikenal dengan panggilan Ute. Aku dilahirkan sebagai putra
ketiga di antara lima bersaudara, di kota udang Cirebon pada 27
Desember 1960.

Karena kesulitan ekonomi keluarga, aku kemudian ikut saudaraku untuk
bisa menyelesaikan SMP-ku di BPK Jakarta. Setelah itu, aku langsung
bekerja. Dengan berbekal ijazah SMP yang kukantongi, aku memasuki kota
Bandung dan bekerja sebagai buruh pengantar. Setiap hari aku
berkeliling kota Bandung untuk mengantar barang dengan menggunakan
sepeda angin. Bukannya aku tidak ingin melanjutkan sekolah, namun
keadaanlah yang membuat diriku kurang memungkinkan untuk bisa
meneruskan sekolah.

Pada suatu hari, saat aku sedang berkeliling kota untuk mengantarkan
kecap kepada para langgananku, tiba-tiba mataku terpaku pada sebuah
poster ukuran folio yang tertempel di dinding sebuah toko. Poster itu
berada tepat di dinding tempat aku menyandarkan kereta anginku yang
sarat dengan botol-botol kecap yang kubawa. Poster itu membuat hatiku
tertarik untuk membacanya, sehingga aku sempat merenung beberapa saat
lamanya. Poster tersebut lalu kulepas dari dinding tembok dan
kukantongi.

Sepanjang perjalanan, sambil mengayuh pedal sepedaku untuk
mengantarkan kecap ke para langganan, pengumuman dalam poster tersebut
terus mengganggu pikiranku. Begitu aku menyelesaikan tugas, di tempat
pekerjaanku poster itu kubaca kembali. Begitu pula yang kulakukan pada
sore dan malam harinya saat aku membaringkan tubuhku yang terasa penat
di kamarku yang sempit. Aku berulang kali membaca pengumuman dalam
poster yang tadi kuambil. Dan akhirnya, aku pun memutuskan untuk
mengikuti lomba baca puisi yang dipublikasikan lewat poster itu.

Setelah mendaftarkan diri di kantor sekretariat panitia lomba, aku
kemudian mulai melatih diri untuk membaca puisi sendiri di dalam
kamar. Tak ada guru yang membimbing, maklum aku sudah tak bersekolah
lagi. Tak ada teman yang bisa mengajari, karena di Bandung ini diriku
hanyalah seorang anak rantau yang hidup sebatang kara.

Aku tak pernah bermimpi sama sekali, bahwa lomba baca puisi yang
kuikuti karena perbuatan iseng dan hanya mengikuti dorongan hatiku,
ternyata akan membuat suatu perubahan hidup bagi masa depanku.
Perubahan itu terjadi saat piala kejuaraan Lomba Baca Puisi untuk
kelompok pria tingkat SLTA dan Umum se-Kodya Bandung berhasil kuraih.
Di atas panggung dan disaksikan pula oleh banyak orang, aku memeluk
erat-erat piala pertama yang berhasil kuraih.

Di dalam kamarku yang sempit, aku merenungi kiprah yang telah
kulakukan ini, dan yang kemudian menimbulkan rasa percaya diri di
hatiku. Di dalam lomba baca puisi itu aku berhasil mengalahkan
sederetan para pelajar tingkat SLTA dan mahasiswa, yang kesemuanya
masih memiliki status sebagai pelajar. Sedangkan diriku? Hanyalah
seorang pengantar kecap!

"Kalau sebagai pengantar kecap saja aku mampu mengalahkan mereka,
apakah aku ini juga masih punya kemampuan untuk belajar kembali dan
bisa meraih ijazah tingkat SLTA? Apakah aku akan terus saja menjadi
pengantar kecap atau kurir barang selama hidupku?" Demikian pertanyaan
yang sangat menantang ini terus saja mengusik pikiranku. Terdorong
oleh niatku untuk belajar kembali dan menjajal kemampuan diriku, maka
aku pun lalu memasuki sekolah malam di SMA YP 17 Bandung. Tiga tahun
kulalui tanpa halangan, dan ternyata aku berhasil menyelesaikan
studiku dengan baik.

Sementara bersekolah dan bekerja, aku melibatkan diri secara aktif
dalam kegiatan pelayanan di gerejaku, menjadi guru sekolah minggu.
Pada waktu gereja tersebut membuka kesempatan pemberian beasiswa bagi
siswa yang ingin menempuh sekolah teologi, maka tanpa pikir panjang
lagi aku pun segera mendaftarkan diri. Dengan bantuan beasiswa gereja,
aku kemudian menjadi mahasiswa di Fakultas Teologia Universitas
Kristen Duta Wacana (UKDW), Yogyakarta. Di universitas ini, aku aktif
berorganisasi di berbagai persekutuan pemuda GKI Ngupasan Yogyakarta,
dan melakukan orientasi di berbagai gereja yang ada di Jawa Tengah.
Aku juga melayani kegiatan rohani antarmahasiswa, termasuk menjadi
pengasuh majalah rohani kampusku.

Selama menjadi mahasiswa di Yogyakarta, aku mengembangkan bakat atau
talenta yang Tuhan berikan kepadaku. Di samping sebagai redaktur
pengasuh di majalah terbitan kampusku, aku juga menulis berbagai
artikel lepas, cerita pendek, dan puisi. Aku pun lalu dikenal sebagai
seorang cerpenis muda dengan nama UT Saputro. Beberapa kali cerpenku
muncul di majalah remaja Gadis yang terbit di Jakarta. Sejumlah
cerpenku yang bernapaskan kristiani sering dimuat di majalah khusus
rohani. Di samping menulis cerpen, aku juga berhasil memublikasikan
dua karya novelet sebagai sisipan bonus khusus sebuah majalah.

Setelah menyelesaikan pendidikan teologi di UKDW, aku kembali ke
Bandung dan kini melayani di GKI Maulana Yusuf, Bandung. Dimulai
dengan jabatan sebagai vikaris (pembantu dalam jabatan pimpinan
gereja), aku kemudian diangkat sebagai tua-tua khusus, dan kini diriku
menjadi pendeta dan pelayan penuh di GKI Jalan Maulana Yusuf, Bandung.

Sekarang aku mengalihkan segala talenta yang kuperoleh untuk berdiri
di belakang mimbar, menjadi pengkhotbah di jajaran gereja kelompok
GKI. Aku juga mengajar di Sekolah Menengah Farmasi BPK Penabur,
Bandung. Namun demikian, kegiatan menulisku masih terus juga
kulakukan, di antaranya aku menjadi pengisi ruang khotbah Minggu di
Harian Pikiran Rakyat Bandung.

Diambil dan disunting dari:
Judul buku: Semua Karena Anugerah-Nya
Penulis: Adhy Asmara
Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta 1996
Halaman: 57 -- 62

POKOK DOA

1. Doakan pelayanan Pendeta Ute. Kiranya melalui beliau banyak jiwa
dimenangkan bagi Tuhan.

2. Doakan untuk anak-anak yang kurang mampu saat ini, agar diberi
kekuatan dan semangat oleh Tuhan untuk berani melangkah dan membuat
perubahan bagi masa depannya.

3. Doakan untuk Gereja atau organisasi Kristen lainnya, agar memiliki
keterbebanan untuk membantu anak-anak yang kurang mampu, sehingga
mereka bisa bersekolah.

"Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku
mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai
sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu
hari depan yang penuh harapan." (Yeremia 29:11)
< http://alkitab.sabda.org/?Yeremia+29:11 >

Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Redaksi: Yonathan Sigit
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/kisah >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org