Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/161

KISAH edisi 161 (15-2-2010)

Allah Terlalu Jauh

___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________
                       Edisi 161, 15 Februari 2010

PENGANTAR

  Shalom,

  Kita pasti pernah merasakan kecewa terhadap seseorang. Jika tidak
  diatasi dengan baik, rasa kecewa tersebut dapat menimbulkan luka
  batin yang mendalam. Tidak jarang, kekecewaan justru datang dari
  orang Kristen. Tentu saja, hal ini merupakan batu sandungan bagi
  orang lain, bukan hanya bagi sesama orang percaya, namun juga bagi
  mereka yang belum percaya. Apakah kita ingin menjadi sebuah batu
  sandungan? Tentu tidak, bukan? Sebagai orang Kristen, kita justru
  harus menjadi teladan dan bahkan harus berbuah, seperti yang
  diajarkan dalam Galatia 5:22-23.

  Kesaksian penulis buku berikut mengajarkan kepada kita bahwa menjadi
  berkat dan teladan di mana pun Tuhan tempatkan, dan dalam kondisi
  apa pun, merupakan hal yang seharusnya dilakukan oleh setiap orang
  percaya. Meskipun kita sering memberitakan Kristus kepada orang
  lain, namun jika dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa menjadi
  berkat, itu sama artinya kita sedang membawa orang-orang yang kita
  Injili ke dalam kematian kekal.

  Pimpinan Redaksi KISAH,
  Novita Yuniarti
  http://kekal.sabda.org/
  http://fb.sabda.org/kisah
______________________________________________________________________
KESAKSIAN

                         ALLAH TERLALU JAUH

  Karena saya tidak dibesarkan di lingkungan gereja, pada masa
  kanak-kanak saya tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan
  pandangan yang sehat dan tepat tentang Allah. Saya juga tidak
  menyelidiki Alkitab untuk mengoreksi konsep saya yang salah tentang
  Allah. Saya menarik suatu gambaran tentang Allah dari kisah-kisah
  Alkitab yang terkenal dalam Tinsel Town dan dari pengalaman pribadi
  saya yang melibatkan seorang tokoh berwenang.

  Sebuah pengalaman yang membentuk pandangan saya tentang Allah
  terjadi ketika saya berumur 10 tahun. Saat itu saya tinggal di
  pinggiran kota California pada pertengahan tahun 1950-an. Selama
  musim panas tahun 1958, saya bersekolah di sekolah dasar yang
  letaknya hanya beberapa meter dari rumah. Saya naik sepeda pada pagi
  hari, pulang ke rumah untuk makan siang, dan kemudian kembali ke
  sekolah pada sore hari. Ketika cuaca tidak terlalu panas saya
  bermain bisbol dan catur bersama anak-anak lain. Guru olahraga kami
  mengawasi aktivitas kami. Ia adalah seorang pria lajang berumur
  20-an. Ia adalah orang Amerika yang ramah, atletis, dan tampan.
  Semua anak menyukainya, termasuk saya. Akan tetapi, suatu sore pada
  bulan Juli yang panas, perasaan saya terhadapnya berubah.

  Saya sedang bermain catur ketika dua remaja yang mengendarai sepeda
  mendekat dan berhenti di dekat bangku saya. Mereka melihat saya
  sekitar semenit sebelum menyuruh saya mengambil sepeda saya dan
  pergi bersama mereka. Semula saya menolaknya. Namun, setelah mereka
  mengancam akan mengambil sepeda saya, saya pun berdiri dan meloncat
  naik ke sadel sepeda. Sementara saya bersepeda di belakang mereka,
  beberapa anak mengamati dengan diam. Saya berdoa supaya guru itu
  akan campur tangan, tetapi ia tidak melakukan apa pun sekalipun
  badannya lebih besar dari para remaja tersebut.

  Di samping sekolah, ada sebuah kebun ceri yang luasnya sekitar
  setengah lapangan sepakbola Amerika, dan lapangan itu tidak jauh
  dari bangku tempat saya duduk. Para remaja itu mengajak saya ke
  sana, dan saya takut nasib buruk telah menanti saya. Sambil
  mengendarai sepeda, saya berpikir untuk melarikan diri ke rumah.
  Namun saya tahu cepat atau lambat mereka akan mendapatkan saya dan
  bertindak lebih buruk. Sebelumnya saya telah beberapa kali dipukuli,
  tetapi bukan oleh mereka. Saya berharap mereka tidak melakukan hal
  yang sama.

  Setelah kami masuk ke kebun ceri, masih terlihat oleh guru olahraga
  dan anak-anak yang lain, dua anak remaja tersebut mendekati saya dan
  mengamati sepeda saya. Baiklah, pikir saya, mereka hanya
  menginginkan sepeda saya. Namun, saya melakukan hal yang bodoh; saya
  tidak mau pergi. Saya tidak tahu apakah saya dikendalikan rasa takut
  atau kesombongan, atau kedua-duanya. Salah satu dari mereka pun
  memukuli wajah saya, dan saya pun roboh ke tanah. Mereka mulai
  memukuli saya di bagian perut, kaki, dan punggung, dan melontarkan
  kata-kata "Jap", "Nip", dan nama-nama lain yang mengingatkan bahwa
  saya seharusnya pergi ke "Japland", yang orang-orangnya menyukai
  saya. Namun demikian, saya menengok ke belakang, dan melihat guru
  olahraga itu berdiri di atas bangku, mengawasi kami, tapi tidak
  melakukan apa pun untuk menyelamatkan saya.

  Setelah mereka memukuli saya, wajah dan hidung saya mulai berdarah.
  Mereka pun tertawa dan naik sepeda serta mengambil sepeda saya.
  Akhirnya, saya menemukan sepeda saya tergeletak di sebuah selokan
  dengan ban yang bocor. Saya berjalan dengan pelan dan menuntun
  sepeda saya. Dengan air mata meleleh di pipi, saya sekali lagi
  menoleh dan melihat punggung guru olahraga saya yang sedang bermain
  catur. Sementara saya berjalan pulang, saya bertanya-tanya mengapa
  ia tidak melakukan apa pun untuk menolong saya.

  Saya bertanya-tanya mengapa Allah juga tidak melakukan sesuatu.
  Allah tampaknya begitu jauh ketika saya sangat membutuhkan-Nya dan
  tidak peduli dengan kepedihan saya. Saya sangat menginginkan
  seseorang atau sesuatu untuk memasukkan saya ke dalam insiden yang
  sama dan melakukan hal yang benar bagi saya. Saya rasa saya
  menginginkan seorang pahlawan -- pahlawan yang akan mengatasi
  ketidakadilan dalam hidup saya dan mengakui saya sebagai satu
  pribadi. Saya merasa sangat kecil dan tidak berarti, seperti
  perasaan Zakheus sebelum ia bertemu Yesus. Saya ragu apakah Allah
  akan memerhatikan saya.

  Dalam usia yang masih muda, saya sering membayangkan seorang
  pahlawan menggunakan kekuasaan supernatural dan menyelamatkan saya
  dari orang-orang yang menyiksa saya. Berikutnya, saya bermimpi
  memiliki kuasa itu sehingga teman-teman menghormati saya. Namun
  mimpi itu tidak pernah sungguh-sungguh mengubah kerapuhan saya
  sebagai orang di luar kelompok. Yang saya perlukan adalah seorang
  pahlawan yang benar-benar akan menjangkau dan menyentuh saya dengan
  kuasa yang mengubahkan. Saya membutuhkan pahlawan yang penuh belas
  kasihan. Yang saya perlukan adalah seorang pahlawan sejati.

  Dari Satu Keputusan ke Keputusan Lain

  Pada musim panas tahun 1966, saya lulus dari SMA dan mendaftarkan
  diri di Universitas San Jose. Pada musim gugur saya bekerja. Saya
  pulang pergi ke tempat kuliah karena saya masih tinggal di rumah
  orang tua saya. Saya kuliah di fakultas paleontologi. Di luar, hidup
  bagi saya tampaknya berjalan baik, tetapi di dalam batin, saya tidak
  bahagia. Perang di Vietnam sedang berkecamuk dan saya percaya bahwa
  tugas saya sebagai orang Amerika adalah untuk mengabdi pada negara
  saya. Bagaimana saya dapat belajar ilmu purbakala di lingkungan yang
  damai sementara orang lain mati di tengah-tengah hutan di Asia
  Tenggara? Jadi, tanpa berkonsultasi dengan orang tua ataupun teman,
  pada semester pertama di bangku kuliah, saya masuk dalam daftar
  orang yang bergabung dengan satuan medis Angkatan Bersenjata Amerika
  Serikat.

  Orang tua saya tidak menyadari keputusan saya sampai saya
  mendapatkan surat panggilan. Sekalipun ayah tampak tidak senang
  karena saya sepertinya mengabaikan kehidupan dan karier saya, namun
  dia masih mengantar saya ke terminal bus dan berdiri di
  tengah-tengah bayangan pagi menatap kepergian saya menuju Oakland.
  Di kota inilah saya akan digembleng dan dilatih menjadi tentara.
  Akan tetapi, Allah memiliki rencana lain bagi hidup saya. Setelah
  melewati seluruh tes yang diberikan, dokter menemukan ada sedikit
  sisa albumin dalam urine saya. Ini berarti ginjal saya mengeluarkan
  protein. Akibatnya, saya diberi waktu selama sebulan penangguhan
  supaya dokter keluarga dapat melakukan pemeriksaan untuk mengetahui
  apa penyakit tersebut. Dokter memberi saya sebuah tes, dan hasilnya
  mengindikasikan bahwa tidak ada yang salah dalam tubuh saya.
  Beberapa orang mengeluarkan sedikit protein selama mereka tidur, dan
  saya salah satu dari mereka, dan ini tidak berarti ginjal saya
  terganggu.

  Setelah sebulan, saya tidak mendengar berita dari Angkatan
  Bersenjata, dan pada bulan selanjutnya kami tahu bahwa mereka
  kehilangan berkas-berkas saya. Akhirnya, setelah 3 bulan, saya
  kembali ke Oakland karena saya yakin akan segera menjadi tentara.
  Mereka kembali menguji dan tidak menemukan albumin dalam urine saya.
  Namun, ketika saya berdiri di depan dokter yang bertugas, dia
  mengatakan kepada saya bahwa saya "ditolak". Saya tidak dapat
  memercayainya! Dalam perjalanan kembali ke San Jose, sementara
  orang lain merayakan keberhasilan mereka, saya meratapi
  kemalangan saya.

  Sepanjang bulan pada saat saya menunggu panggilan kedua dari
  Angkatan Bersenjata, seorang tetangga mengundang keluarga saya untuk
  makan malam di rumahnya. Ada satu keluarga lain yang juga diundang.
  Tetangga saya dan keluarga itu adalah anggota gereja setempat, dan
  bapak dari keluarga yang juga diundang itu adalah pemimpin kelompok
  pemuda. Selama pertemuan itu, ia bertanya apakah saya bersedia
  menghadiri salah satu pertemuan mereka di rumahnya. Saya memutuskan
  segera bergabung dengan pelayanan tersebut karena merasa jenuh harus
  menunggu kembali waktu untuk kuliah dan bekerja.

  Dalam kelompok pemahaman Alkitab yang saya hadiri, ada satu hal yang
  tidak pernah saya ketahui sebelumnya -- bahwa Kristus hidup dalam
  hidup manusia. Hal itu sangat menggugah rasa ingin tahu saya. Oleh
  karena itulah saya datang dan datang lagi. Pada tahun berikutnya,
  saya datang ke gereja mereka untuk beribadah dan mengikuti berbagai
  kegiatan termasuk menjalin persahabatan dengan beberapa anggota
  kelompok pemuda. Dan sekalipun saya tahu pasti bahwa Yesus
  menjangkau saya melalui mereka, yang tidak pernah memaksa saya
  menjadi orang Kristen, saya tetap mundur. Saya sebenarnya ingin
  dibaptis dan mengikuti perjamuan bersama mereka. Namun, kesombongan
  mencegah saya untuk melakukannya, dan saya tidak merendahkan diri di
  hadapan Allah.

  Setelah selama berbulan-bulan bergumul dengan kesombongan dan
  kekerasan hati, akhirnya saya dengan sukacita menerima Yesus sebagai
  Tuhan dan Juru Selamat saya; saya dibaptis pada tanggal 7 Mei 1968.
  Saya segera diterima dalam Kerajaan Allah sehingga roh saya penuh
  dengan sukacita. Saya merasakan semua mimpi saya akan terpenuhi
  karena iman saya di dalam Yesus. Saya juga merasa Allah sekarang
  peduli dengan saya. Seperti Zakheus, setelah saya membuka pintu
  kehidupan bagi Yesus, saya dengan sukacita berjanji untuk
  menyerahkan sepenuhnya hidup saya. Saya akan bermurah hati. Akan
  tetapi, saya masih terlalu emosional akibat luka pada masa lalu.
  Setelah masa singkat seperti bulan madu itu, tidak ada lagi nyanyian
  dalam hati saya. Saya juga tidak bersukacita seperti Zakheus. Saya
  malah semakin tidak bahagia.

  Pahlawan Kehidupan

  Orang yang membaptis saya ke dalam iman Kristen adalah Nelson,
  tetangga saya yang telah mengundang keluarga saya untuk makan malam.
  Sepanjang ingatan saya, saya menilai Nelson adalah orang yang hangat
  dan bersahabat. Akan tetapi, setelah mulai menghadiri gerejanya,
  saya menyadari bahwa ia juga memiliki kelemahlembutan yang unik dan
  belas kasihan kepada orang lain. Gereja mengetahui ketulusan di
  dalam hatinya, oleh karena itulah mereka memilihnya untuk menjadi
  seorang penatua. Dalam diri Nelsonlah saya melihat Yesus dengan
  sangat jelas; melalui nasihat-nasihatnya, saya datang kepada kasih
  Tuhan. Saya tidak bisa tidak mengadopsi Nelson sebagai pahlawan
  saya.

  Selama 20 bulan menjadi orang Kristen, saya berjuang dengan masalah
  emosi yang sering kali masih berada di luar kendali. Pada saat-saat
  seperti inilah saya akan datang ke rumah Nelson, duduk di mobil di
  garasi bersamanya, dan mencurahkan perasaan saya. Dia selalu
  mendengarkan saya dengan penuh perhatian dan merespons dengan begitu
  baik, tidak peduli berapa banyak saya "mencuri" dia dari
  keluarganya. Sampai saat ini, sebagai orang Kristen saya berhutang
  kepadanya karena menjadi pelindung rohani yang akan selalu
  mengangkat saya ketika saya tersandung seperti kanak-kanak yang
  pertama kali belajar berjalan.

  Allah tidak ingin saya terus bergantung kepada Nelson. Dia ingin
  saya berjalan dengan Yesus -- tetapi Dia harus memenuhi hal ini
  dengan cara yang paling menyakitkan. Pada musim gugur tahun 1969,
  teman-teman mengatakan kepada saya bahwa mereka telah diminta
  menjadi konselor anak-anak muda di perkemahan Kristen di California
  Sierras selama libur Natal. Ketika saya mendatangi ketua panitia
  acara itu, saya bertanya apakah saya juga dapat menjadi salah
  seorang konselor. Dia berkata bahwa dia akan memeriksa apakah masih
  ada tempat. Minggu berikutnya setelah kebaktian gereja, saya bertemu
  dengannya, tetapi dia masih belum memberikan jawaban. Setelah
  memaksanya, akhirnya ia mengakui bahwa ia telah mendiskusikan
  masalah itu dengan Nelson, dan Nelson menunjukkan bahwa saya masih
  terlalu muda rohani untuk mengawasi anak-anak SMA. Sekalipun
  kata-katanya menyakitkan hati saya, saya tertawa. Kemudian, orang
  itu berkata bahwa saya dapat mengawasi anak-anak yang bertugas
  membersihkan dapur setelah acara makan. Karena sangat ingin pergi,
  saya menerimanya, sekalipun hati saya sangat sakit.

  Di perkemahan, saya segera mendapati bahwa saya akan banyak
  menghabiskan waktu di dapur, dan kemarahan pun menghampiri saya.
  Menjelang akhir minggu, saya telah kehilangan sebagian besar
  kegiatan yang menyenangkan. Meskipun demikian, saya masih berharap
  untuk mengikuti acara kebaktian dengan api unggun. Akan tetapi,
  anak-anak yang membantu mencuci cerek dan panci setelah makan malam
  mengeluh, pada saat Nelson lewat di depan mereka. Hal ini membuat
  kepekaan saya terganggu. Oleh karena itu, dengan keras saya berkata
  kepada mereka bahwa masalah itu tidak akan terjadi jika mereka ikut
  membantu saya. Saya merasa begitu direndahkan sehingga saya mengusir
  mereka pergi dan mengatakan bahwa saya sendiri yang akan
  membersihkan semuanya. Setelah mereka dengan senang mengikuti acara
  itu, Nelson menanyakan apakah saya ingin berbicara dengannya dan
  mengakui bahwa saya sangat memunyai masalah. Saya berkata bahwa
  seharusnya ia meminta saya berdiri di luar. Secara pribadi ia
  menunjukkan ketidaksenangannya terhadap perilaku saya di depan
  anak-anak. Hal ini membuat saya beranggapan bahwa ia merendahkan
  otoritas saya. Saya kemudian menolak untuk berbicara dengannya lebih
  lanjut.

  Tentu saja, saya tidak mengikuti lagi acara itu. Setelah saya
  menyelesaikan tugas saya, teman-teman saya telah berada di kamar
  mereka sehingga saya kembali ke tempat tidur saya di samping dapur,
  tempat yang saya siapkan sendiri. Karena semua kegiatan perkemahan
  berakhir dan tugas saya juga sudah selesai, pagi-pagi sekali saya
  pergi dengan mengemudi sendiri karena saya tidak perlu mengantar
  siapa pun kembali ke San Jose. Hal itu membuat saya memiliki
  kesempatan untuk mengungkapkan keluhan saya kepada Allah. "Jika ini
  yang dimaksud dengan menjadi orang Kristen," saya menggerutu, "saya
  tidak mau ambil bagian di dalamnya. Bahkan Nelson pun meninggalkan
  saya." Semakin saya meluapkan rasa muak saya, perasaan saya semakin
  buruk, dan saya semakin menginginkan Allah mengakui luka hati saya
  dan menunjukkan bahwa Ia peduli. Penolakan, kepahitan, dan kemarahan
  telah memenuhi hati saya. Seolah-olah Allah telah menusuk hati saya,
  semua masa lalu saya melesat keluar, mengotori seluruh jiwa.

  Sampai di San Jose, saya masih ingin menyendiri. Jadi, saya
  mengemudi berkeliling sampai senja. Dan kemudian, saya tertegun.
  Saya tidak dapat lagi marah kepada Allah. Saya tidak dapat lagi
  menyarangkan tinju saya kepada-Nya. Saya lelah diatur oleh
  perasaan-perasaan buruk yang telah begitu lama memenjarakan saya.
  Saya sungguh-sungguh ingin berserah kepada-Nya. Pada malam bulan
  Desember itu, saya mengambil kunci gereja yang telah diberikan
  Nelson beberapa bulan sebelumnya, dan saya berjalan sampai di bagian
  dekat altar gereja. Pada awalnya, saya duduk di sebuah kursi di
  baris depan dan mencoba berdoa, tetapi gagal. Akhirnya, saya
  berlutut dan berkata kepada Allah bahwa saya sungguh-sungguh
  menyesal telah menyalahkan Dia untuk semua penderitaan, kekecewaan,
  dan luka hati saya. Saya menyesal karena telah meragukan
  karakter-Nya, kedaulatan-Nya, dan kebaikan-Nya. Saya juga menyesal
  karena tidak setia mengasihi-Nya.

  Kemudian, ketika air mata saya jatuh bercucuran, saya merasakan
  kehangatan melingkupi saya. Saya tahu saya tidak sendirian. Yesus
  telah merangkul dan menarik saya ke dalam hati-Nya. Kemudian Ia
  berkata kepada saya seperti yang dikatakan-Nya kepada Zakheus: "Aku
  datang untuk mencari dan menyelamatkan yang terhilang." Dan saat Ia
  berkata bahwa Ia mengasihi saya, Yesus pun menjadi pahlawan saya.

  Diambil dan disunting seperlunya dari:
  Judul buku: Bagaimana Saya Tahu Jika Yesus Mengasihi Saya?
  Judul bab: Yesus, Pahlawanku: Kisah Jerry
  Penulis: Christine A. Dallman dan J. (Jerry) Isamu Yamamoto
  Penerjemah: Dwi Prabantini
  Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta 2003
  Halaman: 28 -- 35
______________________________________________________________________

  Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran,
  kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.
  Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu. (Galatia 5:22-23)
  < http://alkitab.sabda.org/?Galatia+5:22-23 >
______________________________________________________________________
POKOK DOA

  1. Doakan bagi setiap orang percaya yang saat ini sedang mengalami
     luka batin akibat suatu peristiwa yang tidak menyenangkan, agar
     Tuhan memulihkan kehidupan mereka.

  2. Berdoa agar setiap orang percaya dapat menjadi berkat di mana pun
     mereka ditempatkan.

  3. Doakan juga agar setiap orang percaya bisa peka terhadap
     lingkungan dan kondisi tempat ia berada, sehingga dapat
     menggunakan kesempatan yang ada untuk membagikan kasih Kristus.
______________________________________________________________________
STOP PRESS

             IKUTILAH! KELAS DISKUSI PESTA -- PASKAH 2010

  Apakah Anda ingin lebih mengerti makna Paskah yang sebenarnya? Anda
  rindu menyambut Paskah dengan lebih berarti tahun ini? Kami
  mengundang Anda untuk bergabung di kelas Diskusi Paskah yang
  diselenggarakan oleh Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam
  (PESTA) < http://www.pesta.org >. Diskusi akan dilakukan melalui
  milis diskusi (email) dan akan berlangsung hanya untuk 1 bulan saja
  (1 - 30 Maret 2010).

  Pendaftaran dibuka mulai hari ini sampai tgl. 28 Februari 2010,
  dengan mengisi form di bawah ini:

  -------------------> di potong di sini <--------------------------

  Nama lengkap:
  Email:
  Facebook:
  Anggota gereja:

  ----------------dikirim ke < kusuma(at)in-christ.net > -----------
______________________________________________________________________

Pimpinan redaksi: Novita Yuniarti
Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Pertanyaan/saran/bahan: < owner-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Arsip KISAH: http://www.sabda.org/publikasi/Kisah/
Situs KEKAL: http://kekal.sabda.org/
Facebook KISAH: http://fb.sabda.org/kisah

Kunjungi Blog SABDA di http://blog.sabda.org

Anda terdaftar dengan alamat email: tatik@in-christ.net
______________________________________________________________________
Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN
Copyright(c) Kisah 2010 / YLSA -- http://www.ylsa.org/
Katalog SABDA: http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo
No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org