Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/159

KISAH edisi 159 (1-2-2010)

Ajaib, Dua Belas Pasang Iga Patah dapat Bertaut Kembali!

___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________
                      Edisi 159, 1 Februari 2010

PENGANTAR

  Shalom,

  Setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita tidak ada yang
  terjadi secara kebetulan. Semua sudah diatur oleh Tuhan. Namun,
  terkadang kita salah paham dan menyalahkan Tuhan atas setiap
  peristiwa buruk yang terjadi. Kita perlu mengerti bahwa Allah turut
  bekerja dalam setiap kesulitan maupun pergumulan yang dihadapi oleh
  setiap anak-anak-Nya. Melalui kesaksian berikut ini, kiranya iman
  kita bisa semakin dikuatkan dan kita menjadi orang Kristen yang
  tidak cepat putus asa dan menyalahkan Tuhan, melainkan menjadi
  pribadi yang lebih dewasa di dalam Kristus.

  Redaksi tamu KISAH,
  Desi Rianto
  http://kekal.sabda.org/
  http://fb.sabda.org/kisah
______________________________________________________________________
KESAKSIAN

       AJAIB, DUA BELAS PASANG IGA PATAH DAPAT BERTAUT KEMBALI!

  Pukul 05.15 WIB, 6 November 1999, saya (Yeyen), suami saya (Achin),
  dan anak bungsu kami (Vincent), hendak ke Gambir. Waktu itu kami
  berencana bertemu ibu saya di Bandung sebab ia sakit kanker payudara
  dan akan dibawa ke sinshe. Baru saja kami keluar dari gang, tepatnya
  di jalan arteri Palmerah, Jakarta Barat, sebuah mobil boks dari arah
  belakang tiba-tiba menyambar tubuh saya. Saya pun terjatuh ke arah
  trotoar dan kaki saya terlindas ban mobil.

  "Minggir!" saya berteriak mencoba mengingatkan suami saya yang
  berjalan di depan. Namun karena kurang cepat bergerak, bress...!
  mobil yang sama menghantam muka suami saya sampai dia terjatuh.
  Sungguh mengerikan, suami saya jatuh ke arah jalan sehingga badannya
  masuk di bawah kolong mobil dan, kress...!, ban belakang mobil itu
  menggilas tubuhnya. Saya melihat dengan mata kepala sendiri ketika
  ban mobil itu menggilas dadanya dan menyeretnya sejauh kurang lebih
  1 meter. Melihat kondisinya yang sangat parah, membuat saya lupa
  pada sakit saya sendiri. Spontan saya berteriak, "Tuhan Yesus,
  tolong! Tuhan Yesus, tolong!"

  Mobil langsung lari tidak terkejar lagi. Saya hanya bisa jongkok di
  pinggir jalan sambil memangku suami. Karena lukanya sangat parah,
  tiba-tiba terlintas di benak saya, jangan-jangan suami saya umurnya
  tidak akan lama lagi. Karena pemikiran ini, saya seolah dituntun
  untuk mengatakan padanya demikian, "Kamu harus bertobat, minta
  ampun." Kata-kata ini saya sampaikan karena saya tahu, meski suami
  saya sudah Kristen dan dibaptis setelah 14 tahun kami menikah, namun
  ia jarang sekali ke gereja. Kalau saya ajak ke gereja, ia biasanya
  marah-marah bahkan mengajak bertengkar. "Pokoknya kamu harus minta
  ampun," kata saya berulang-ulang.

  Tidak lama kemudian, taksi datang. Saya menyuruh anak saya, Vincent,
  untuk pulang. Di dalam taksi, kami ditemani oleh seorang tetangga.
  Sepanjang perjalanan, saya hanya bisa bernyanyi dan berdoa. Selain
  itu, saya terus meminta suami saya untuk bertobat, minta ampun pada
  Tuhan. Mendengar anjuran saya, ia memberikan respons. Dia berkata
  lirih, "Tuhan Yesus, ampuni saya." Saya pun menimpali, "Jangan
  berhenti panggil nama Yesus. Bilang, `Darah Yesus tolong saya!`"

  "Darah Yesus, darah Yesus, darah Yesus," kata-kata ini diulang-ulang
  suami saya hingga kami tiba di RS Pertamina.

  Tiba di rumah sakit, suami saya langsung masuk ruang Unit Gawat
  Darurat (UGD). Ia langsung ditangani secara cepat. Kurang lebih 15
  menit kemudian, hasilnya sudah dapat diketahui. Benar dugaan saya,
  kondisi suami saya memang betul-betul parah. Tulang rusuk bagian
  depan dan belakang, hampir semuanya patah. Dokter mengatakan,
  "Secara teori, seharusnya sulit untuk bertahan. Tidak ada kesempatan
  lagi." Kalau sebelumnya pada sepanjang perjalanan saya berdoa dan
  menyanyi, dan bisa menahan untuk tidak menangis, kini setelah tiba
  di rumah sakit, lebih-lebih setelah tahu hasil rontgen suami, air
  mata saya keluar dengan derasnya. "Tuhan, saya tidak kuat," bisik
  saya sambil menghubungi pendeta saya, Bapak Mulyadi Sulaeman. Pada
  saat saya mengatakan "tidak kuat", tiba-tiba ada suara yang
  berbisik, "Tuhan tidak akan mengujimu melebihi kekuatanmu." Saya pun
  berkata, "Tuhan kuatkan saya. Amin." Ketika selesai mengatakan hal
  itu, saya langsung mendapatkan kekuatan baru. Saya pun menjadi
  tegar.

  Tidak berapa lama Pak Mulyadi datang. Kepada beliau saya berkata,
  "Om, tolong dijaga ya, saya sudah tidak tahan." Luka suami saya
  memang sangat parah. Celana jean yang ia pakai saat terjadi
  kecelakaan robek. Karenanya, wajar saja kalau kakinya penuh luka dan
  di pahanya ada luka yang sangat besar. Untuk mengeluarkan darah
  akibat paru-paru yang mengalami pendarahan, dada suami saya
  dilobangi. Pak Mulyadi sendiri, mungkin karena melihat harapan untuk
  hidup begitu kecil, dengan lirih ia menasihati, "Kamu yang sabar
  saja ya, Yen. Kalau Tuhan memanggil suamimu, kamu harus kuat." Saya
  mengangguk. Saya bisa memahami ucapannya karena memang menurut
  kalkulasi manusia, kemungkinan yang terbesar adalah kematian. "Om,
  saya pasrah. Saya rela suami saya dipanggil sekarang daripada
  menunggu nanti tapi belum bertobat. Kalau Tuhan mau panggil,
  panggillah," demikian jawaban saya penuh kepasrahan.

  Kondisi suami saya betul-betul kritis. Paru-parunya tidak bisa
  bekerja dengan baik alias tidak bisa mengembang sehingga
  pernafasannya diatur oleh mesin. Mulutnya sudah tidak bisa
  berfungsi. Makanan dimasukkan lewat infus melalui satu lubang
  hidung, sementara lubang yang satunya untuk nafas. Leher juga
  dilubangi untuk "CPP", yang dipakai untuk mengontrol suhu tubuh.
  Melihat keadaannya yang seperti ini, pada hari ketiga dokter kembali
  berkata, "Ibu berdoa saja. Yang bisa menolong suami Ibu hanya
  imannya sendiri." Saya tahu kalau dokter sudah berkata begitu
  berarti harapan secara medis sudah tidak ada. Karena berdiri di
  dekat tempat tidur, suami saya dapat mendengar apa yang dikatakan
  sang dokter. Saya pun kembali menegaskan kata-kata dokter. Kata
  saya, "Kamu tidak usah khawatir. Seperti dikatakan pak dokter tadi,
  yang bisa menolong kamu itu hanya imanmu. Tidak ada yang mustahil
  bagi Tuhan. Tuhan itu baik, kamu sekarang sebenarnya sedang ditegur
  Tuhan. Sekarang kamu bersyukur saja. Ampuni orang yang menabrak
  kamu."

  Saya betul-betul heran dengan kata-kata saya sendiri, terutama
  seruan untuk mengampuni sopir yang telah menabraknya. Saya yakin
  hikmat itu datangnya dari Roh Kudus. "Sudah jangan ingat-ingat lagi.
  Kamu jangan marah. Saat kamu mengampuni orang yang menabrak, Tuhan
  Yesus pasti mengampuni kamu. Ketika dosa kita diampuni, maka apa
  yang kamu minta pasti Tuhan dengar, sebab penghalang doa kita
  menurut firman Tuhan tak lain adalah dosa kita," tegas saya lagi.
  Sejujurnya, antara iman saya dan kenyataan waktu itu bertentangan,
  tapi saya harus belajar beriman. Di ruang ICU saya tetap berdoa,
  menyanyi, dan membacakan Alkitab untuk suami saya. Kalau saya sedang
  menyanyi seluruh ruangan bisa mendengar. Mereka memandangi saya.
  Mungkin mereka membatin, "Bagaimana mungkin suaminya sakit parah ia
  masih bisa menyanyi?"

  Hari terus bergulir. Setiap kali dokter jaga datang, saya selalu
  menanyakan kondisi suami saya. Jawaban dokter selalu sama, "Tetap
  saja, belum juga membaik." Suatu kali, saat saya mengajukan
  pertanyaan yang sama, jawaban dokter demikian, "Tunggu besok, ya.
  Kalau besok tidak panas berarti mendingan, tapi kalau panas itu
  artinya berbahaya." Esoknya suhu badan suami benar-benar panas
  hingga 40 derajat. Suster di belakang saya saling berbisik, "Wah,
  tidak mungkin hidup." Tapi suami saya dapat melewati masa kritis itu
  dan panas itu akhirnya turun. Saya terus berdoa. Mata saya
  benar-benar hanya tertuju pada Tuhan Yesus.

  Hari keenam, pukul 09.00 WIB, keadaan suami kritis lagi. Suami saya
  pingsan. Untuk menyadarkannya ia harus ditepuk-tepuk bergantian oleh
  para suster. Saya segera dipanggil oleh dokter. Katanya, "Keadaan
  Bapak...." Namun, sebelum dokter itu meneruskan kata-katanya, saya
  langsung memotongnya, "Entahlah Dok, saya tidak mau mendengarkan apa
  yang Dokter katakan. Jika Dokter ingin mengatakan sesuatu, katakan
  saja kepada pendeta saya." Dokter itu diam dan saya segera keluar
  menelepon pak pendeta. Saat itu saya sendirian. Pekerja gereja yang
  setiap malam menemani saya pagi itu sudah pulang. Setelah menunggu
  agak lama, pak pendeta akhirnya datang. Saya tetap di luar karena
  takut. Ketika pak pendeta masuk ia mendapati pengukur detak jantung
  suami saya sempat lurus. Namun, 2 jam kemudian bergerak lagi dan
  kembali pada posisi semula. Kira-kira pukul 11.00 WIB, karena
  desakan pak pendeta, saya pun mau masuk ke kamar rawat suami saya.
  "Ko, ko, ko," begitu saya memanggil suami dan ia menyahut. Karena
  sudah sadar saya tidak takut lagi. Sekali lagi ia selamat.

  Cahaya Terang Masuk ke Kamar ICU

  Malam hari setelah peristiwa yang menegangkan itu, anak saya yang
  pertama, Michael, datang bersama 2 orang temannya. Mereka bukan
  orang Kristen. Kami di tempat itu berenam -- Michael dengan 2 orang
  temannya, saya, seorang pekerja gereja, dan seorang teman saya.
  Kira-kira pukul 22.00 WIB kami berdoa bersama di lift. Karena saya
  ingin menghormati teman Michael yang bukan Kristen, saya bilang,
  "Kita berdoa dalam hati saja, berdoa menurut kepercayaan
  masing-masing." Selesai berdoa, teman Michael yang bukan Kristen
  mengatakan, "Michael, waktu kita berdoa, saya melihat ada cahaya
  terang sekali masuk ke kamar ICU."

  "Ma, Agung bilang, waktu berdoa ia melihat sinar masuk ke kamar
  ICU," kata Michael sembari menyebut nama temannya.

  "Lho, kamu sedang menutup mata, bagaimana bisa lihat?" tanya saya.

  "Ya, waktu menutup mata itulah saya melihatnya,"jawab Agung mantap.

  "Saat melihat cahaya itu, apa yang kamu rasakan?" pertanyaan ini
  saya ajukan sebab di kamar ICU memang sering terjadi peristiwa
  aneh-aneh. Saya khawatir cahaya itu bukan dari Tuhan tapi dari
  setan.

  "Perasaan saya damai," jawab Agung. Mendengar cerita dan jawaban
  Agung, saya langsung mengimani bahwa Tuhan sedang melawat suami
  saya. Melihat buahnya saya yakin sinar itu merupakan manifestasi Roh
  Kudus. Saya percaya, kalau ada lawatan Allah pasti sesuatu akan
  terjadi. Dari kesaksian Agung itu, iman saya kembali dibangkitkan,
  saya yakin suami saya pasti sembuh. "Terima kasih Tuhan," ujar saya
  penuh syukur.

  Hari berikutnya, saya bertanya pada dokter ahli paru-paru dan
  mendapat jawaban menggembirakan, "Sudah ada sedikit perbaikan."
  "Terima kasih dokter, puji Tuhan!" ujar saya spontan, pokoknya saya
  terus imani dari hal yang kecil pasti akan terjadi hal yang besar.
  "Jangan berterima kasih pada saya, berterimakasihlah pada Tuhan,"
  jawab dokter itu. Tadinya saya tidak tahu, ternyata dokter itu
  memang saudara seiman. Keadaan ini terus membaik. Setelah dirawat di
  ICU selama 5 minggu, suami saya dipindahkan ke ruang perawatan
  biasa. Keadaan di ICU sungguh berkesan. Kehadiran saya paling tidak
  telah membuat orang-orang yang tegang sedikit merasa terhibur. Saya
  percaya ketika kita menyembah Tuhan lewat nyanyian, hadirat Allah
  ada di ruangan itu. Hal inilah yang mungkin membuat suasana di ICU
  menjadi hidup dan lebih nyaman. Sampai-sampai kalau saya tidak
  bernyanyi, saudara yang tak seiman pun bahkan sering bilang, "Ayo
  nyanyi, dong. Kalau kamu tidak nyanyi sepi, lho!" Ada juga yang
  mengatakan, "Suaramu merdu lho." Wah heran juga saya, sebab
  seumur-umur baru kali ini suara saya dipuji.

  Di ruang perawatan biasa, kesehatan suami saya semakin cepat pulih.
  Di ruang ini suami hanya dirawat selama 2 minggu dan herannya
  setelah dirontgen, tulang-tulang rusuknya yang patah dinyatakan
  telah tersambung kembali! Tanggal 30 Desember 1999, suami saya
  keluar dari rumah sakit. Waktu pulang suami saya sudah normal. Ia
  sudah dapat berjalan dan tidak memakai alat bantu apa pun. Ia juga
  tidak pantang makan. Tanggal 31 Desember 1999, suami saya sudah ke
  gereja. Akhir 1999, sungguh menjadi saat yang manis bagi keluarga
  kami, sebab tidak saja pada tahun itu suami saya mengalami mukjizat
  kesembuhan, tapi kerinduan saya dan anak-anak untuk pergi ke gereja
  bersama ayahnya sudah dijawab Tuhan.

  Diambil dari:
  Judul buku: 10 Mukjizat yang Terjadi pada Orang Biasa
  Penulis: Achin
  Penerbit: CBN Indonesia, Jakarta 2001
  Halaman: 9 -- 16
______________________________________________________________________

  Lalu kata Yesus kepadanya: "Melihatlah engkau, imanmu telah
  menyelamatkan engkau!" Dan seketika itu juga melihatlah ia, lalu
  mengikuti Dia sambil memuliakan Allah. Seluruh rakyat melihat hal
  itu dan memuji-muji Allah. (Lukas 18:42-43)
  < http://alkitab.sabda.org/?Lukas+18:42-43 >
______________________________________________________________________
POKOK DOA

  1. Mengucap syukur untuk kesaksian dari Ibu Yeyen yang sangat
     memberkati kita semua. Doakan agar Tuhan memberkati dan
     memampukan keluarga mereka untuk tetap menjadi terang bagi orang-
     orang di sekitar mereka.

  2. Doakan juga bagi mereka yang saat ini sedang menghadapi
     pergumulan, agar Tuhan memberikan mereka kekuatan dalam
     menghadapi setiap hal yang saat ini sedang terjadi.

  3. Berdoa bagi mereka yang saat ini sedang dalam kondisi lemah
     fisik, dan dokter sudah memberikan vonis tidak ada harapan lagi,
     agar mereka tetap beriman kepada Tuhan dan menyerahkan seluruhnya
     hanya kepada Tuhan.
______________________________________________________________________
Pimpinan redaksi: Novita Yuniarti
Redaksi tamu: Desi Rianto
Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Pertanyaan/saran/bahan: < owner-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Arsip KISAH: http://www.sabda.org/publikasi/Kisah/
Situs KEKAL: http://kekal.sabda.org/
Facebook KISAH: http://fb.sabda.org/kisah

Kunjungi Blog SABDA di http://blog.sabda.org

Anda terdaftar dengan alamat email: tatik@in-christ.net
______________________________________________________________________
Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN
Copyright(c) Kisah 2010 / YLSA -- http://www.ylsa.org/
Katalog SABDA: http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo
No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org