Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/153

KISAH edisi 153 (14-12-2009)

Tak Ada Natal Keluarga

___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________
                     Edisi 153, 14 Desember 2009

PENGANTAR

  Shalom,

  Setiap manusia itu unik, sehingga perbedaan tidak mungkin dihindari. 
  Begitu pun dalam keluarga, perbedaan antaranggota keluarga pastilah 
  ada. Keluarga merupakan kumpulan berbagai keunikan manusia yang 
  dipersatukan untuk saling melengkapi. Oleh karena itu, perbedaan 
  dalam keluarga bukanlah jurang pemisah, melainkan pelengkap dari 
  setiap kekurangan pribadi. Melalui kesaksian edisi ini, kita akan 
  melihat kisah seorang anggota keluarga yang tetap bisa merayakan 
  Natal dengan penuh hikmat meskipun terdapat perbedaan keyakinan 
  dalam keluarganya. Biarlah menjadi berkat bagi kita semua. Selamat 
  membaca, Tuhan memberkati.

  Redaksi Tamu KISAH,
  Desi Rianto
  http://www.sabda.org/publikasi/Kisah/
  http://kekal.sabda.org/
  http://fb.sabda.org/kisah
______________________________________________________________________
KESAKSIAN

     		           TAK ADA NATAL KELUARGA

  Aku dibesarkan di tengah keluarga "Bhinneka Tunggal Ika". Orang 
  tuaku adalah orang Jawa yang berpandangan bahwa agama adalah 
  "ageming aji" (baju kehormatan diri). Mereka membebaskan anak-anak 
  memilih agamanya masing-masing. Aku sendiri mengenal kekristenan, 
  sederhana saja, karena diajak tetangga sebelah pergi ke sekolah 
  minggu. Syukurlah, sejauh ini perbedaan agama itu tak pernah menjadi 
  sumber konflik dalam hubungan persaudaraan kami. Ibuku pernah 
  berkomentar dengan bangga, "Kami di sini Pancasila, kok. Ada Al-
  Quran, ada Injil, ada Tripitaka. Mau apa saja, silakan!"

  Setiap tahun, kami merayakan Lebaran bersama-sama, dan aku lebih 
  merasakannya sebagai hari raya orang Jawa. Anak kecil mana yang 
  tidak senang menyalakan petasan dan kembang api, keliling naik 
  andong, sungkem ke sana ke mari sambil menikmati suguhan makanan 
  enak, dan tak jarang diselipi uang saku? Yah, Lebaran adalah 
  kesempatan untuk bersenang-senang sambil bersilaturahmi dan 
  mempererat hubungan persaudaraan dengan tetangga dan keluarga besar. 
  Namun, aku belum pernah merasakan Natal bersama seluruh keluarga. 
  Mudah dimaklumi. Natal, dalam pandangan masyarakat kita pada 
  umumnya, masih terkemas sebagai hari raya khusus umat kristiani, 
  yang berkonotasi dengan Barat. Belum terpadu sebagai bagian dari 
  budaya lokal sebagaimana Lebaran.

  Tentu saja, kemudian tak ada kebiasaan mengenakan baju baru,
  memasang hiasan dan pohon terang, atau menyiapkan hidangan Natal
  saat hari besar itu menjelang. Natal hanyalah perayaan di gereja
  atau di sekolah. Hebatnya, pelaksanaan acaranya bisa sejak awal
  Desember sampai pertengahan Januari. Jadi, selama sebulan lebih, ada
  saja perayaan Natal di berbagai tempat yang bisa kudatangi. Natal
  sekolah minggu, Natal umum, Natal bersama Kristen-Katolik, Natal di
  sana, Natal lagi di situ.

  Beberapa minggu sebelumnya, bersama-sama teman sekolah minggu, kami
  sudah berlatih untuk mengisi acara pada perayaan Natal di gereja.
  Kegiatan mengisi acara perayaan Natal tersebut bisa dalam bentuk
  menghafalkan ayat, paduan suara, drama, kelompok vokal, atau
  pembacaan puisi. Ya, seingatku, aku belum pernah ikut kelompok tari
  dalam pertunjukan Natal. Namun, sudah bisa ditebak, rangkaian
  acaranya tidak terlalu bervariasi dari tahun ke tahun. Karena itu,
  seandainya ada yang menanyaiku tentang kenangan Natal yang paling
  berkesan pada masa kecil, aku akan mengerutkan dahi. Tentu, aku
  tidak memungkiri, suasana Natal cenderung menggugah rasa kangen dan
  sukacita tersendiri. Namun, kalau mesti menuturkan sejumput kisah
  khusus yang mengesankan, aku mesti berusaha keras membongkar arsip
  perpustakaan kenanganku.

  Salah satu kenangan yang cukup mengesankan itu berkaitan dengan 
  ibuku. Meskipun beliau sendiri tidak pergi ke gereja, Ibu selalu 
  mendukungku untuk beribadah. Ia mengajari aku dan kakakku untuk 
  berdoa sebelum tidur. Sebuah doa generik: doa tanpa "di dalam nama 
  Yesus". Baru setelah aku lumayan besar, dan meniru kebiasaan berdoa 
  di gereja, aku tambahkan sendiri frasa "di dalam nama Yesus". 
  Istimewanya, setiap aku hendak pergi ke sekolah minggu, Ibu 
  menyediakan uang saku khusus untuk kuberikan sebagai "pisungsung" 
  (persembahan). Karena itu, "pisungsung" yang kuberikan bisa mencapai 
  100 rupiah. Kalau tidak salah ingat, waktu itu dengan uang sebanyak 
  itu, kita masih bisa menikmati dua-tiga mangkuk bakso. Ibu 
  melakukannya secara teratur. Alasannya? "Kalian, kalau Natalan, 
  Paskahan, atau acara lainnya, pasti membutuhkan dana yang besar, 
  sedangkan semuanya tanpa pungutan biaya. Kalau mau memberi sumbangan 
  sebelum acara, belum tentu uangnya ada. Ya, hitung-hitung kita cicil 
  saja seminggu sekali," kata Ibu.

  Ibuku, yang bukan seorang teolog, bahkan bukan juga seorang 
  kristiani, telah mengajariku tentang memberi. Kebiasaan Ibu, secara 
  tidak langsung, menanamkan kesadaran pada diriku bahwa pada dasarnya 
  kita memberi karena kita telah terlebih dahulu diberi. Pemberian, 
  dengan demikian, bukan sekadar pernyataan dukungan bagi orang-orang 
  di sekitar kita, namun juga suatu ungkapan rasa syukur. Ketika aku 
  semakin besar dan dapat memahami Alkitab secara lebih baik, aku 
  menemukan bahwa ternyata pelajaran itu sejajar dengan ajaran 
  Alkitab: Kita mengasihi karena Allah sudah terlebih dahulu mengasihi 
  kita. Segala sesuatu aku lakukan bukan untuk mendapatkan kemurahan 
  Allah, melainkan sebagai ungkapan rasa syukur karena anugerah-Nya 
  telah terlebih dahulu dicurahkan bagiku. Bukankah itu juga sebagian 
  dari pesan Natal?

  Dalam beberapa kesempatan, Ibu meluangkan waktu untuk memenuhi 
  undangan dengan menghadiri Natal di gereja. Senang rasanya ikut 
  menyanyi dalam paduan suara atau bermain drama Natal, beraksi di 
  panggung, dan menyadari bahwa Ibu sedang menyaksikan dengan penuh 
  rasa bangga, tersenyum di antara para penonton. Sekali lagi, aku 
  mendapatkan sebuah pelajaran berharga: Bagaimana pula aksi kita di 
  atas panggung kehidupan ini saat kita menyadari bahwa Allah Bapa, 
  dengan penuh rasa bangga pula, menyaksikan di surga sana? 
  Pelajaran-pelajaran kecil namun berharga semacam itulah yang 
  mewarnai kenanganku akan Natal.

  Kini, setelah aku berkeluarga, aku belum menemukan ide bagaimana 
  mengadakan perayaan Natal khas keluarga kami. Kami biasa 
  melewatkannya bersama komunitas jemaat, dengan drama Natal yang 
  entah bagaimana kerap berpuncak pada penyaliban! Selain itu, kami 
  meluangkan waktu untuk bersilaturahmi kepada sejumlah keluarga 
  kenalan dekat. Kalau masih sempat, aku akan memutar "It`s a 
  Wonderful Life", "The Sound of Music", atau "The Lord of the Rings" 
  -- film-film yang kuanggap cocok untuk merayakan Natal. Yang aku 
  tahu, semangat dan sukacita Natal semestinya tidak hanya marak pada 
  setiap 25 Desember, tetapi memenuhi hati kita setiap hari sepanjang 
  tahun. Bukankah begitu?

  Diambil dan disunting seperlunya dari:
  Judul buku: My Favourite Christmas
  Penulis: Arie Saptaji
  Penerbit: Gloria Cyber Ministries, Yogyakarta 2006
  Halaman: 106 -- 111
______________________________________________________________________

  Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi:
  "Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang
  anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel" -- yang
  berarti: Allah menyertai kita. (Matius 1:22-23)
  < http://alkitab.sabda.org/?Matius+1:22-23 >
______________________________________________________________________
POKOK DOA

  1. Mengucap syukur atas keberadaan keluarga yang begitu mengasihi 
     kita, sehingga melalui tiap-tiap anggota keluarga, kita belajar 
     banyak hal tentang hidup ini.

  2. Berdoa agar melalui momen Natal tahun ini, setiap orang percaya 
     dapat lebih memahami makna Natal yang sesungguhnya.

  3. Natal bukanlah peristiwa yang kita rayakan sekali dalam setahun,
     melainkan peristiwa yang kita rayakan setiap hari dalam hidup
     kita. Doakan agar orang percaya tidak berbagi kasih hanya pada 
     saat 25 Desember saja, melainkan dalam kehidupan sehari-hari,
     kasih dan sukacita Natal dapat terpancar dari diri kita.
______________________________________________________________________

Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN
Copyright(c) 2009 YLSA
YLSA -- http://www.sabda.org/ylsa/
Katalog -- http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo
No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________

Pimpinan Redaksi: Novita Yuniarti
Staf Redaksi: Tatik Wahyuningsih
Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Arsip KISAH: http://www.sabda.org/publikasi/Kisah/
Situs KEKAL: http://kekal.sabda.org/
______________________________________________________________________

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org