Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/151

KISAH edisi 151 (30-11-2009)

Aku Penderita Kanker

___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________
                   Edisi 151, 30 November 2009

PENGANTAR

  Shalom,

  Sampai kapan kita hidup di dunia ini, tidak ada seorang pun yang 
  tahu. Hanya Tuhan sendirilah yang mengetahuinya. Namun yang menjadi 
  pertanyan saat ini adalah, sudahkah kita menggunakan setiap detik 
  dalam kehidupan kita untuk menjadi berkat dan memberitakan Kristus 
  kepada orang lain, baik melalui perkataan, sikap, dan tindakan kita 
  secara langsung? Kesaksian yang telah kami persiapkan berikut 
  kiranya dapat menjadi refleksi agar kita tidak menyia-nyiakan hidup 
  dan kesempatan yang sudah Tuhan berikan, untuk membagikan kasih 
  Kristus kepada sesama.

  Pimpinan Redaksi KISAH,
  Novita Yuniarti
  http://www.sabda.org/publikasi/Kisah/
  http://kekal.sabda.org/
  http://fb.sabda.org/kisah/
______________________________________________________________________
KESAKSIAN
 
                          AKU PENDERITA KANKER

  "Anak-anak, pada waktu kamu jalan pulang ke rumah, hendaklah menaati 
  peraturan lalu lintas, agar selamat sampai di rumah." Demikianlah 
  pesan dari kepala sekolah menjelang murid-murid pulang sekolah. Usai 
  kepala sekolah memberi pesan, murid-murid bergegas meninggalkan 
  sekolah untuk pulang ke rumah. Ada sebagian murid dijemput oleh 
  orang tuanya, ada yang dijemput oleh pelayan, ada yang pulang 
  sendiri. Sekolah yang semula ramai dengan murid-murid sekarang 
  menjadi sepi. Di sekolah yang cukup besar itu, sekarang hanya 
  tertinggal aku seorang diri. Bukannya aku tidak bisa pulang tanpa 
  dijemput, tapi aku merasa enggan untuk pulang karena di rumah pasti 
  aku akan mendengar suara pertengkaran yang tak putus-putusnya dari 
  kedua orang tuaku. Waktu terus berjalan, matahari mulai condong ke 
  barat, langit sudah mulai gelap. Dengan perasaan tidak menentu, aku 
  melangkahkan kaki menuju ke rumah. Seperti yang aku duga, tidak jauh 
  dari rumah, sudah kudengar suara yang tinggi dan keras dari ayah dan 
  ibuku. Mereka bertengkar lagi, kelihatan keduanya tidak mau 
  mengalah. Waktu aku melangkah masuk ke rumah, aku melihat ibu dengan 
  muka merah padam meninggalkan rumah. Ia pergi ke rumah tante, di 
  sebelah rumah untuk berjudi. Aku melihat ayah duduk termangu-mangu 
  dengan muka yang tidak enak dipandang. Aku mengeluh, karena seperti 
  biasa, usai bertengkar, ibu tidak akan memedulikan makan malam kami. 
  Aku pun harus melewati malam itu dengan perut kosong lagi.

  Sebenarnya aku lebih bersimpati pada keadaan ayahku. Pada waktu di 
  daratan, keluarga kami serba berkecukupan, tapi dengan perubahan 
  politik yang terjadi di daratan Tiongkok, terpaksa kami sekeluarga 
  mengungsi ke Taiwan dan keadaan ekonomi keluarga mengalami krisis 
  yang cukup gawat. Ayah sangat sulit mendapat pekerjaan. Meskipun 
  kemudian ia mendapat pekerjaan sebagai pegawai, tapi honornya minim 
  dan tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Sikap ibu yang tidak mau 
  mengerti membuat ayah sangat frustrasi.
  
  Namun, Tuhan menyatakan jalannya pada keluarga kami. Tidak berapa 
  jauh dari rumah kami, datang beberapa misionaris Barat. Para 
  misionaris ini bersikap baik dan ramah terhadap kami. Hati ayah 
  tertarik pada keramahtamahan mereka, dan untuk melepaskan diri  dari 
  keruwetan rumah tangga, setiap usai bertugas ia pasti ke rumah para 
  misionaris untuk mengikuti pelajaran bahasa Inggris dan pendalaman 
  Alkitab. Tidak disangka-sangka, ayahku mengambil keputusan untuk 
  percaya Tuhan Yesus dan menerima baptisan. Keputusan yang di luar 
  dugaan ini menimbulkan kejutan yang luar biasa dalam keluarga.

  Sejak percaya Yesus, kehidupan ayah berubah. Sekarang, ia tidak 
  bersikap pesimis, tidak khawatir menghadapi kehidupan, dan wajahnya 
  selalu menunjukkan kecerahan. Di samping mengerjakan pekerjaannya, 
  ia mulai aktif mengikuti pelayanan di gereja, hidupnya sekarang 
  penuh arti. Sikap yang acuh tak acuh terhadap anak-anak berubah 
  menjadi penuh perhatian dan kehangatan. Yang terpenting sekarang 
  adalah perubahan bahwa ayah tidak lagi bertengkar dengan ibu. 
  Perubahan yang luar biasa ini membuat ibu keheranan dan ia tidak 
  mengerti kuasa apa yang mengakibatkan si suami berubah sampai 180 
  derajat. Perasaan ingin tahu menyebabkan ibu pergi ke gereja. Tidak 
  berapa lama, ibu juga mengambil keputusan untuk percaya Tuhan dan 
  menerima baptisan. Sekarang keluargaku mengalami perubahan yang 
  mengherankan. Ibu tidak lagi pergi ke rumah tante sebelah untuk 
  berjudi, tidak lagi bertengkar dengan ayah. Ia mulai menunaikan 
  kewajiban sebagai ibu rumah tangga, hubungannya dengan ayah makin 
  hari makin baik. Keluargaku sekarang menjadi keluarga yang harmonis 
  dan bahagia. Aku yang masih kecil terheran-heran melihat hubungan 
  yang tidak harmonis dan kurangnya cinta kasih dari sepasang suami 
  istri kemudian berubah menjadi begitu hangat oleh cinta kasih. Aku 
  melihat kuasa dari iman Kristen itu, sehingga mendorong hati kecilku 
  untuk mengetahui keyakinan Kristen tersebut. Dorongan itu membuat 
  aku mulai mengikuti sekolah minggu. Persekutuan yang indah dengan 
  sesama anak Kristen membuat hatiku dipenuhi oleh sukacita dan 
  kedamaian. Setelah mengikuti 1 tahun, aku pun menerima baptisan 
  kudus.

  Kemudian ayah mengambil keputusan untuk meninggalkan pekerjaannya 
  dan masuk ke sekolah teologi untuk sepenuhnya melayani Tuhan. 
  Meskipun kehidupan sebagai hamba Tuhan serba minim, tapi kami lalui 
  semua itu dengan hati yang penuh sukacita. Pada waktu aku SMA, baik 
  pelajaranku maupun aktivitasku di sekolah sangat baik. Dengan tidak 
  menghadapi banyak kesulitan, aku menyelesaikan SMA dan masuk ke 
  perguruan tinggi di bidang kehutanan dan militer. Oleh karena 
  keadaan ekonomi keluarga yang serba terbatas, maka aku mengambil 
  keputusan untuk belajar di bidang kemiliteran saja. Tapi tidak 
  disangka-sangka, seorang misionaris yang tidak begitu aku kenal rela 
  menyisihkan honornya selama 3 bulan untuk mencukupi kebutuhan 
  semester pertama dari kuliahku. Perhatian dan kasih misionaris ini 
  menggugah perasaanku. Agar tidak mau mengecewakan perhatian orang 
  lain terhadapku, maka selama kuliah aku sungguh-sungguh bergumul 
  dengan buku-buku dan di samping itu aku juga rajin mengikuti 
  persekutuan pemuda serta melayani Tuhan di gereja. Di dalam 
  persekutuan ini, aku mengenal seorang gadis yang bernama S.L. Liong, 
  yang kemudian menjadi istriku.

  Dia adalah mahasiswi jurusan sastra Mandarin. Kami mengikuti 
  kebaktian di Gereja Baptis Taichung. Bersama-sama kami melayani, 
  kami pun bergairah menuntut kebenaran, dan setelah diwisuda kami 
  menikah. Setelah menikah, aku ditugaskan sebagai pelatih di lapangan 
  kemiliteran. Lalu 1 tahun kemudian, aku diangkat sebagai asisten 
  dosen. Istriku mengajar pada sebuah sekolah menengah pertama untuk 
  putri. Pada masa-masa ini, perasaan untuk mempersembahkan diri makin 
  kuat. Oleh karena itu, setelah 3 tahun lamanya bekerja sebagai 
  asisten dosen, aku meletakkan jabatan dan masuk sekolah teologi. 
  Awalnya, aku mengira cita-citaku untuk menjadi hamba Tuhan yang 
  sepenuh hati melayani Tuhan akan segera tercapai. Tapi menjelang 
  diwisuda aku jatuh sakit beberapa kali. Hasil diagnosa dokter 
  terhadap penyakitku saling bertolak belakang, tapi akhirnya dapat 
  diketahui penyakitku yang sesungguhnya, yaitu kanker! Berita ini 
  bagaikan halilintar pada siang bolong dan aku tidak dapat melukiskan 
  bagaimana perasaanku. Istriku tidak habis mengerti dan tidak percaya 
  aku menderita kanker! Bagaimana bisa Aku yang dikenal selama ini 
  bertubuh sehat, tidak pernah sakit, dan dijuluki "saudara gajah" 
  karena kesehatan tubuhku, menderita kanker? Apalagi usiaku baru 
  menginjak 30 tahun. Bukankah usia 30 adalah masa keemasan bagi 
  seorang pria? Tapi mengapa pada masa-masa kejayaan ini, aku harus 
  menghadapi penyakit yang membawa maut?

  Setelah keadaanku diketahui orang banyak, maka mulailah orang-orang 
  yang berada di sekelilingku menaruh perasaan iba. Dokter sering 
  bertanya, "Berapa usiamu?" "Apakah sudah beristri?" "Apakah sudah 
  memunyai anak?" Teman-teman yang berkunjung juga berusaha menghibur 
  dengan mengatakan, "Wah, tidak mungkin kamu menderita kanker!" 
  "Mungkin diagnosa dokter keliru!" Setelah melalui penelitian yang 
  cermat, maka diputuskan bahwa aku harus menjalani operasi dan 
  paru-paru kiriku harus diangkat seluruhnya. Untuk keperluan operasi 
  tersebut, maka aku harus ke rumah sakit pusat di Taipei. Dalam 
  hari-hari menunggu waktu operasi, aku bersama istri terus berdoa dan 
  memohon agar Tuhan memberi ketabahan dan kekuatan menghadapi ujian 
  ini dengan berani. Keadaanku sekarang bagaikan perajurit di medan 
  laga yang setiap waktu akan mati terkena sasaran peluru. Dalam 
  situasi yang demikian ini, harapanku hanya satu, yaitu bersandar 
  pada Tuhan. Operasi berjalan lancar dan sukses. Setelah beristirahat 
  selama 2 minggu, dokter memberitahu bahwa aku boleh pulang tapi 
  dengan catatan agar memeriksakan diri secara teratur. Lima tahun 
  setelah operasi, aku menjadi Pendeta Gereja Baptis di Taichung. 
  Keadaan kesehatanku makin hari makin baik. Aku melewati kehidupan 
  seperti orang pada umumnya dan aku dikaruniakan seorang anak 
  perempuan.

  Kemudian aku menerima undangan sebuah gereja di Los Angeles, dengan 
  pertimbangan di samping melayani aku dapat melanjutkan studi di 
  bidang psikologi dengan harapan mata kuliah ini akan menopang 
  pelayananku lebih lanjut. Namun, belum 1 tahun di Amerika, aku mulai 
  merasa tubuhku kurang enak. Setelah diperiksa dokter, ditemukan 
  sel-sel kanker sudah menyebar sampai ke tulang-tulangku. Aku tidak 
  menyangka perawatan secara teratur itu tidak dapat mencegah 
  penyebaran sel-sel kanker. Sejak terkena kanker, aku banyak 
  mempelajari tentang penyakit tersebut. Sebab itu aku tahu, kanker 
  yang kembali mengganas itu sangat sulit disembuhkan. Keadaan tubuhku 
  kali ini membuatku kuatir dan takut. Mengingat waktuku di dunia 
  tidak lama, ingin rasanya aku mempergunakan setiap menit dengan 
  baik. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke Taiwan. Setelah 
  kembali, aku sekali lagi memeriksakan diri dan dokter menemukan 
  seluruh organ tubuh tidak ada yang benar. Aku bertanya pada dokter 
  tentang cara pengobatannya. Dokter bukan saja tidak menjawab 
  pertanyaanku, ia bahkan bertanya, apakah aku merasa sakit? Dan aku 
  menjawab, tidak!

  Dokter mengatakan, jika aku tidak merasa sakit, tidak apa-apa. 
  Namun, aku harus datang menemui dokter jika kemudian aku merasakan 
  sakit. Aku bertanya lebih lanjut, jika aku sakit dan datang, 
  bagaimana cara dokter mengobatinya? Jawabnya melalui suntikan 
  berantai. Aku bertanya tentang kemungkinan mendapat kesembuhan, 
  dijawab dengan kata "tidak tahu". Ternyata dokter tidak memunyai 
  kesanggupan untuk mengatasi penyakitku. Jika dibandingkan dengan 6 
  tahun yang lalu, keadaan penyakitku makin parah, malaikat maut makin 
  hari makin dekat untuk menyambutku. Aku bersyukur dengan bersandar 
  pada keyakinan kepada Tuhan. Dengan tabah aku menghadapi kematian. 
  Bukan saja demikian, aku masih dapat menghibur istriku. Jika aku 
  tidak memunyai Tuhan, aku tidak akan demikian tabah menghadapi maut. 
  Tanpa Tuhan, aku akan sama seperti penderita kanker lainnya; akan 
  gusar, gelisah, mengutuki, dan menyesali nasib diri yang malang. 
  Dalam keadaan sakit, aku diundang untuk menjabat wakil pendeta di 
  sebuah universitas. Keadaanku pada waktu itu makin parah, tapi 
  orang-orang yang melihatku menjadi heran karena melihat aku seperti 
  kebanyakan orang -- bertugas dengan baik di sekolah maupun di 
  gereja. Yang lebih mengherankan mereka adalah aku menunaikan semua 
  kewajibanku dengan muka penuh sukacita dan damai.

  Aku teringat 2 tahun yang lalu, aku pernah masuk ke rumah sakit dan 
  bersiap-siap untuk dioperasi guna membuang benjolan akibat sel 
  kanker ganas di kepalaku. Sebelum masuk rumah sakit, sel kanker yang 
  terus menyebar menyebabkan aku sulit menggerakkan tubuhku. 
  
  Sampai-sampai, aku tidak berdaya untuk memakai sepatu. Kondisi 
  tubuhku tidak menentu, aku kehilangan nafsu makanku. Berat tubuhku 
  makin hari makin menurun. Pada mulanya aku ragu-ragu terhadap 
  operasi kali ini karena ada dokter yang mengatakan bahwa sel kanker 
  akan menjadi lebih ganas jika dipotong, tapi ada juga yang 
  mengatakan bahwa jika tidak dibuang, maka tumor tersebut makin hari 
  akan makin besar. Dalam keadaan bimbang, aku sulit untuk menentukan 
  sikap antara operasi dan tidak. Setelah berdoa cukup lama dengan 
  istri dan dengan pertimbangan yang matang, akhirnya keragu-raguanku 
  lenyap dan memutuskan untuk membuang tumor ganas di kepalaku. Selama 
  di rumah sakit, istri dengan setia mendampingi aku, membacakan 
  firman Tuhan bagiku, bersama-sama dalam doa. Dalam penderitaan ini, 
  perasaan kami berdua makin erat. Tidak jauh dari tempat tidurku, 
  berbaring seorang yang sama dengan aku, menderita kanker. Aku sering 
  mendekati dan bercakap-cakap dengannya. Aku memerhatikan, mendoakan, 
  dan membagi-bagikan keadaanku dalam menghadapi ketakutan akibat 
  kanker.

  Tanpa kusadari, selama menderita sakit ini, hatiku lebih dekat pada 
  Tuhan, lebih bersandar pada-Nya. Aku tidak tahu apa yang akan 
  terjadi esok? Tapi yang kutahu adalah perasaan damai sejantera dan 
  beriman dalam menghadapi hari-hari yang kelam ini. Pada waktu hari 
  yang ditentukan sudah tiba, dengan perasaan mantap tanpa takut aku 
  memasuki kamar operasi. Tatkala aku melihat seorang penderita 
  jantung dalam keadaan takut dan kuatir, aku masih menyempatkan diri 
  untuk menghiburnya. Memang benar, Allah kekuatanku. Beberapa hari 
  setelah operasi, aku menemukan bahwa kakiku yang semula tidak bisa 
  digerakkan, sudah dapat bergerak seperti biasa. Karena gembiranya, 
  aku tidak dapat berkata-kata, hanya air mataku saja yang mengalir 
  keluar. Aku sungguh bersyukur untuk anugerah dan kasih Tuhan. Dokter 
  heran dengan keadaanku. Badan setinggi 180 cm, hanya memunyai berat 
  badan 48 kg, masih memunyai semangat segar untuk bekerja. Sampai 
  saat ini, aku tidak mengetahui berapa lama masih dapat bertahan. 
  Tapi aku mengetahui bahwa nilai kehidupan manusia bukan terletak 
  pada panjang atau pendeknya umur manusia, melainkan terletak pada 
  isinya. Terhadap penyakit kanker, aku akan lebih gigih 
  menghadapinya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok, tapi aku 
  berkeyakinan dengan berharap dan bersandar pada-Nya, aku tidak takut 
  menghadapi kematian.

  Catatan tambahan:
  Pendeta K.L. Phan akhirnya meninggal dunia dan kembali pada Tuhan
  yang menciptakannya, tapi kesaksian dalam menghadapi kematian
  membuat orang merasa kagum.

  Diambil dan disunting seperlunya dari:
  Judul buku: Jalan Tuhan Terindah
  Penulis: Pdt. Paulus Daun, M.Div., Th.M.
  Penerbit: Yayasan Daun Family, Manado 1996
  Halaman: 19 -- 27
______________________________________________________________________

  Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan
  memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: "Orang benar akan hidup
  oleh iman." (Roma 1:17)
  < http://sabdaweb.sabda.org/?p=Roma+1:17 >
______________________________________________________________________
POKOK DOA

  1. Doakan setiap keluarga Kristen yang saat ini sedang mengalami 
     konflik dalam rumah tangga, agar Tuhan menjamah kehidupan mereka 
     serta memulihkan keluarga mereka dariketerpurukan yang sedang 
     terjadi saat ini. 

  2. Berdoa juga bagi setiap orang percaya yang saat ini mengalami 
     berbagai pergumulan kehidupan, termasuk sakit penyakit. Biarlah 
     Tuhan memberikan ketabahan dan kekuatan kepada mereka. 

  3. Doakan setiap orang percaya di mana pun mereka berada, supaya 
     mereka dapat terus menjadi terang dan dapat memancarkan kehidupan 
     Kristus di dalam kehidupan mereka. 
______________________________________________________________________

Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN
Copyright(c) 2009 YLSA
YLSA -- http://www.ylsa.org/
http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo
No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________

Pimpinan Redaksi: Novita Yuniarti
Staf Redaksi: Tatik Wahyuningsih
Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Arsip KISAH: http://www.sabda.org/publikasi/Kisah/
Situs KEKAL: http://kekal.sabda.org/
______________________________________________________________________

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org