Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/kisah/142

KISAH edisi 142 (28-9-2009)

Buah Hati Itu Telah Tiba

___________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)______________
                    Edisi 142, 28 September 2009

PENGANTAR

  Shalom,

  Setiap permasalahan hidup yang terjadi sampai saat ini mungkin tidak
  bisa kita mengerti seluruhnya. Sering kali kita tidak menyadari, apa
  yang Tuhan inginkan terjadi dalam hidup kita. Dalam hidup berumah
  tangga, keinginan untuk mendapatkan seorang anak merupakan hal yang
  wajar. Tapi apa yang terjadi jika keinginan itu belum terwujud dalam
  jangka waktu yang lama? Apakah seseorang yang mengalaminya akan
  tetap menunggu? Atau melakukan hal yang lain? Kesaksian edisi minggu
  ini akan memberikan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut.
  Mari kita simak kisahnya.

  Tuhan memberkati.

  Redaksi KISAH,
  Tatik Wahyuningsih
  http://www.sabda.org/publikasi/Kisah/
  http://kekal.sabda.org/
______________________________________________________________________
KESAKSIAN

                      BUAH HATI ITU TELAH TIBA

  Di panti asuhan saya (Iwan) dididik secara katolik. Meskipun
  ketatnya peraturan serta ajaran-ajaran agama yang berlaku, tapi
  hukum rimba juga terjadi. Di sana, anak-anak orang kaya tidak setiap
  bulannya mendapatkan jatah kiriman makanan dari orang tuanya,
  akibatnya sering terjadi perebutan dan perkelahian antarpenghuni
  panti. Oleh karena itu, mereka sering menggunakan jasa "tukang
  pukul" yang tidak lain adalah teman-teman mereka sendiri yang
  memiliki keberanian lebih. Karena mendapatkan imbalan yang cukup
  besar, biasanya tenaga "tukang pukul" itu berasal dari anak-anak
  dari golongan yang tidak mampu dan saya adalah salah satu tukang
  pukul yang "disewa" oleh mereka. Saya mengawali profesi sebagai
  tukang pukul sejak di bangku SD. Setiap hari saya berkelahi dengan
  teman-teman sendiri demi membela "tuan kecil" saya. Bukannya kapok,
  lama-kelamaan saya justru semakin menyukai profesi ini, bahkan
  semakin meningkat menjadi preman hingga saya SMA. Sebagai bekal
  keberanian, saya aktif mengikuti kegiatan beladiri hingga sabuk
  hitam. Pada waktu itu tindakan saya sudah sangat meresahkan
  teman-teman karena hampir tiap hari saya selalu mengompas mereka.

  Setelah menikah, saya masih tetap menjalankan pekerjaan ini, bahkan
  saya mulai mempelajari ilmu kebal tahan pukul dan tahan bacok. Tapi,
  rupanya ilmu yang saya pelajari itu tidak banyak menolong, suatu
  ketika badan saya terasa sangat sakit sehabis dipukul oleh orang
  karena risiko pekerjaan. Tubuh terasa panas dan kepala sangat
  pusing, sedemikian sakitnya, saya bahkan sampai membentur-benturkan
  kepala ke tembok. Obat sakit kepala segala merek telah saya minum,
  namun hasilnya tidak mengurangi rasa sakit itu. Sehabis demam yang
  tinggi itu, tubuh saya langsung berubah menggigil kedinginan. Belum
  habis saya kedinginan, kemudian badan saya rasanya seperti digigit
  ribuat semut. Seorang teman datang kepada saya, "Kamu mau sembuh?"
  katanya. "Ya, tentu saja. Terserah, kamu mau pakai cara apa saja,
  aku mau!" Saya menjawab dengan penuh harap. "Baiklah, kalau begitu
  saya akan ajak pendeta saya kesini supaya kamu didoakan." Dia
  berkata dengan penuh keyakinan.

  Malam harinya kira-kira pukul 10, seorang pendeta bersama istrinya
  datang ke rumah. Mereka mengajukan banyak pertanyaan termasuk
  diantaranya apabila saya sembuh nanti apakah saya mau rajin pergi ke
  gereja. Pertanyaan-pertanyaan itu langsung saya balas, "Sudah Pak,
  percayalah, saya akan pergi ke gereja setelah saya sembuh nanti.
  Jangan terlalu banyak ngomong, cepat doakan saya!" Setelah berdoa,
  pendeta itu pamit pulang sambil berpesan, "Nanti kalau sudah sembuh,
  bapak harus rajin ikut persekutuan." Kami mengiyakan dan berjanji
  akan mencari persekutuan yang terdekat. Tak lama setelah itu, saya
  lalu pergi tidur. Keesokkan paginya, ternyata benar. Saya sudah
  sembuh! Tapi dasar manusia, setelah sembuh saya melupakan janji saya
  kepada Tuhan dan pendeta tadi untuk pergi ibadah dan ke persekutuan.
  Akhirnya kejadian serupa saya alami kembali, saya dipukul lagi oleh
  orang. Saya kembali ambruk, bahkan melebihi sakit yang dulu. Lalu
  pendeta itu datang lagi dan menegaskan bahwa saya harus berubah dan
  taat beribadah. Bukannya tambah sembuh, kondisi saya malah semakin
  parah. Sambil menahan sakit saya katakan, "Wah, pendeta ini sudah
  tidak mempan lagi rupanya."

  Suatu hari istri dan pembantu saya sedang tidak berada di rumah,
  rasa sakit saya berada pada puncaknya, sambil bergulingan di lantai
  dan berteriak kesakitan. Lalu saya melakukan tindakan yang paling
  memalukan seumur hidup, saya menangis sejadi-jadinya. Itu adalah
  pertama kalinya saya menangis. Saya berlutut, minta ampun kepada
  Tuhan dan berjanji untuk bersungguh-sungguh melayani Dia dan rajin
  beribadah. Seketika itu juga, tubuh saya terasa hangat seperti ada
  sesuatu yang mengalir ke dalam tubuh saya. Dan mendadak rasa gatal
  dan nyeri tubuh saya hilang. Saya mulai rajin beribadah dan aktif di
  gereja, meskipun pada waktu itu rambut saja masih gondrong dan
  sangar. Saya sempat risih dengan cara-cara ibadah dengan bertepuk
  tangan dan menari-nari, tapi lama kelamaan saya menjadi terbiasa dan
  mulai menikmati suasana itu. Kehidupan saya pun mulai diubahkan.

  Selama 6 tahun menikah, kami belum memperoleh keturunan. Lalu saya
  mengajak istri untuk periksa ke dokter, bahkan saya sempat dioperasi
  kecil oleh dokter spesialis kandungan. Sudah banyak uang kami
  habiskan hanya untuk periksa, terapi, dan berbagai macam tes.
  Meskipun kami dinyatakan sehat, tapi tetap tidak menghasilkan
  sesuatu yang menyatakan bahwa kami bisa memperoleh keturunan. Suatu
  ketika, istri dari adik saya melahirkan. Tiba-tiba saya disuruh
  mengambil bayi mereka di rumah sakit dan meminta kami untuk
  mengangkatnya menjadi anak karena mereka belum siap untuk mengurus
  bayi. Dalam keadaan merah, bayi itu langsung saya bawa pulang dan
  saya cuci sendiri ari-arinya. Senangnya kami pada waktu itu karena
  telah memunyai momongan, meskipun kami masih tetap berharap bahwa
  akan memiliki anak kandung sendiri.

  Keinginan kami untuk punya anak sendiri telah terkubur lama, lalu
  kami mengisi hari-hari kami dengan ikut persekutuan dan aktif
  melayani di gereja. Seorang teman mengajak saya untuk hadir di dalam
  suatu pertemuan bagi para pengusaha. "Tidak, saya tidak mau datang
  ke pertemuan itu karena biasanya pengusaha itu sombong-sombong."
  Saya menolak dengan tegas. Tapi dengan gigihnya dia berusaha
  meyakinkan saya bahwa mereka semua adalah orang yang baik. Akhirnya
  saya menyetujui untuk datang ke pertemuan itu. Setiba di sana saya
  disambut dengan sangat ramah dan mereka kelihatan sangat bersukacita
  dengan kehadiran saya, suatu hal yang belum pernah saya alami
  sebelumnya dimana mereka mau menerima saya apa adanya. Semakin betah
  di pertemuan pengusaha itu lalu saya mengajak istri untuk juga ikut
  aktif dan bergabung dalam pertemuan "ladies of fellowship".

  Tahun 2004, istri saya mengalami bengkak-bengkak pada kakinya,
  kalaupun ada bengkak di bagian tubuh yang lain tidak akan terlalu
  kelihatan karena postur tubuhnya yang gemuk. Saya menduga bahwa dia
  sakit ginjal, lalu saya belikan obat-obatan untuk sakit ginjal
  karena dia selalu menolak untuk dibawa ke dokter. Karena bengkaknya
  sepertinya tidak ada perubahan, saya coba panggilkan dukun pijat,
  siapa tahu dengan di pijat dan urut bengkak pada kakinya akan
  mengempes, tapi tetap tidak ada hasil, malah katanya perutnya
  bertambah mules-mules. Beberapa hari kemudian, keponakan kami yang
  badannya gemuk-gemuk datang dan ikut memijat istri saya, karena
  pijatnya tidak terasa mereka lalu naik ke atas dan "menginjak-injak"
  tubuh istri saya supaya lebih mantap. Lama tak ada perubahan dari
  bengkaknya dan kini ditambah dengan seringnya mulas-mulas, saya
  mulai khawatir dia terkena lever, lalu dengan bantuan dari keluarga
  kami memaksa agar dia mau dibawa ke dokter dan dia setuju. Kami bawa
  dia ke internist, dan menurut hasil pemeriksaan, di dalam perut
  istri saya ada airnya sekitar 6 liter dan jika tidak ditangani
  segera akan membahayakan dirinya.

  Lalu kami diberi surat pengantar ke laboratorium untuk pemeriksaan
  lebih detil termasuk periksa USG. Di laboratorium istri saya
  menjalani seluruh tes, dan kami dikejutkan dengan pernyataan dokter,
  "Menurut pemeriksaan alat kami, istri bapak sudah hamil 8 bulan."
  Hamil? 8 bulan? Saya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kenapa selama
  ini kami tidak tahu. Apa karena postur tubuh istri saya yang gemuk
  sehingga tidak kelihatan bahwa dia sedang hamil. Memang siklus haid
  istri saya tidak seperti wanita pada umumnya, dia bisa mendapat haid
  6 bulan, bahkan setahun sekali. Lagi pula siapa yang menyangka dalam
  usia kami yang lebih dari 40 tahun kami akan dikarunia seorang anak.
  Lalu timbul kekhawatiran dari kami mengingat perut istri saya pernah
  diinjak-injak oleh keponakan-keponakan kami. "Dokter, apakah anak
  kami akan lahir cacat? Mengingat iseri saya dulu pernah di pijat
  dengan cara "diinjak-injak" oleh keponakan kami." Saya bertanya
  kepada dokter itu dengan nada cemas. "Oh, tidak. Tidak masalah. Anak
  bapak sangat sehat. Bulan depan ibu sudah dapat melahirkan."

  Kemudian kami diberi surat pengantar ke rumah sakit bersalin,
  keesokan paginya kami berangkat ke sana. Pihak rumah sakit
  menyarankan agar istri saya segera dioperasi minggu depan. Timbul
  kecurigaan dalam hati saya, kenapa keputusan persalinan itu harus
  cepat dilaksanakan. "Dok, apakah ada masalah dalam kandungan istri
  saya, sehingga harus di operasi secepat itu?" Ketakutan saya adalah
  apakah bayi tersebut akan lahir cacat, lagipula saya
  mempertimbangkan usia istri saya yang beresiko untuk melahirkan.
  "Tidak perlu menunggu terlalu lama pak, untuk sesuatu yang bisa kita
  lakukan sekarang." Dokter itu meyakinkan saya bahwa semuanya akan
  berjalan baik. Tapi saya percaya bahwa Tuhan akan memberikan yang
  terbaik bagi kami dan seandainya Dia memberikan yang buruk, saya
  "mengancam" tidak akan bersaksi mengenai kebaikan Tuhan lagi.

  Akhirnya anak kami lahir dengan normal. Tapi saya masih merasakan
  keganjilan karena sejak keluar dari rahim kenapa bayi saya tidak
  menangis seperti bayi lainnya. Ketakutan kembali menyelimuti saya,
  dalam kepanikan itu saya berseru dan berdoa kepada Tuhan, supaya
  anak saya jangan lahir cacat. Selesai berdoa, mujizat segera
  terjadi. Anak kami akhirnya menangis sangat keras, bahkan paling
  keras di antara bayi-bayi yang lain. Kami sangat gembira melihatnya
  dan bersyukur kepada Tuhan. 25 tahun penantian kami, apa yang semula
  sempat kami abaikan dan tidak kami pikirkan ternyata Tuhan masih
  mengingatnya dan menyediakannya. Dia setia pada janji di saat kita
  sungguh-sungguh melayani Dia. (DS/Pet)

  Diambil dari:
  Judul majalah: VOICE Indonesia, Edisi 86, Tahun 2006
  Penulis: DS/Pet
  Penerbit: Communication Department -- Full Gospel Business`s Men
            Fellowship International -- Indonesia: Yayasan Usahawan
            Injil Sepenuhnya Internasional (PUISI), Jakarta
  Halaman: 23 -- 28
______________________________________________________________________

  Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu
  seperti kepada anak-anak: "Hai anakku, janganlah anggap enteng
  didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau
  diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya,
  dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." (Ibrani 12:5-6)
  < http://sabdaweb.sabda.org/?p Ibrani 12:5-6 >
______________________________________________________________________
POKOK DOA

  1. Doakan untuk anak-anak yang dengan sengaja dititipkan di panti
     asuhan oleh orang tua mereka, agar Tuhan melindungi mereka.
     Doakan juga, agar para pengasuh diberi kekuatan dan kesabaran
     dalam mengawasi dan membimbing anak-anak ini.

  2. Berdoa bagi anak-anak yang memiliki masa kecil yang kurang
     menyenangkan, agar Tuhan memulihkan mereka dari pengalaman yang
     kurang menyenangkan sehingga mereka dapat menjadi saluaran berkat
     bagi mereka yang memiliki nasib serupa.

  3. Doakan keluarga Iwan, agar Tuhan memampukan mereka sebagai orang
     tua dalam membimbing anak mereka, sehingga anak mereka dapat
     memiliki pemahaman yang benar akan Tuhan dan semakin bertumbuh di
     dalam Tuhan.

______________________________________________________________________

Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN
Copyright(c) 2009 YLSA
YLSA -- http://www.sabda.org/ylsa/
http://katalog.sabda.org/
Rekening: BCA Pasar Legi Solo
No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
______________________________________________________________________

Pimpinan Redaksi: Novita Yuniarti
Staf Redaksi: Tatik Wahyuningsih
Kontak: < kisah(at)sabda.org >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org >
Arsip KISAH: http://www.sabda.org/publikasi/Kisah/
Situs KEKAL: http://kekal.sabda.org/
______________________________________________________________________

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org