Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-wanita/64

e-Wanita edisi 64 (21-7-2011)

Mendidik Anak dengan Kasih

_____________e-Wanita -- Buletin Bulanan Wanita Kristen_______________
                   TOPIK: Mendidik Anak dengan Kasih
                          Edisi 64/Juli 2011

MENU SAJI
DUNIA WANITA 1: ANAK, BUAH HATI ORANG TUA
DUNIA WANITA 2: MENYIKSA ATAU MENDISIPLINKAN ANAK?
TIP: PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA

Shalom,

Anak merupakan anugerah terindah yang Tuhan berikan bagi sebuah
keluarga. Oleh karena itu, Tuhan memberikan tanggung jawab yang penuh
kepada orang tua untuk mengasihi dan merawat anak dengan baik. Tuhan
memiliki rencana yang mulia di balik setiap pemberian-Nya. Mengasihi
dan merawat anak berarti berbicara tentang sejauh mana orang tua
memberikan pendidikan dan bimbingan kepada anak untuk takut akan
Tuhan. Sehubungan dengan hal tersebut, e-Wanita edisi 64 menyajikan
artikel yang membahas tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak.
Kiranya menjadi berkat bagi Anda semua.

Selamat menyimak, Tuhan Yesus memberkati.

Staf Redaksi e-Wanita,
Fitri Nurhana
< http://wanita.sabda.org/ >

               DUNIA WANITA 1: ANAK, BUAH HATI ORANG TUA

"Mahkota orang-orang tua adalah anak cucu dan kehormatan anak-anak
ialah nenek moyang mereka." (Amsal 17:6)

Seorang wanita kaya bersaksi mengenai pergumulannya.

"Kami telah lama menikah. Saya dan suami ingin sekali memunyai anak.
Tidak lama kemudian lahirlah putra kami, tetapi dalam keadaan sudah
tak bernyawa. Padahal, hanya dialah anak kami. Suami saya menghibur
saya, katanya, `Mungkin Tuhan punya rencana lain untuk kita. Tidak
apa-apa kalau kita tidak punya anak. Saya akan tetap mengasihi dirimu
dan akan terus mendampingi kamu.`"

Pergumulan ini sangat menyesakkan dada. Ketika saya melihat beberapa
wanita tunawisma sedang mengais-ngais sisa makanan serta barang bekas
di tempat sampah, sambil menggendong serta menyusui anaknya, terlintas
dalam benak saya mengapa Tuhan tidak mengizinkan saya memunyai anak,
padahal saya mampu memberikan apa yang terbaik bagi anak saya -- baik
keperluan maupun pendidikan. Saya pasti akan membesarkan dia dengan
kasih sayang. Saya sama sekali tidak mengerti maksud Tuhan.

Kita akui bahwa kita pun tidak mengerti apa sebabnya Tuhan tidak
memberikan anak kepada pasangan yang kaya raya serta berpendidikan
itu, sedangkan orang-orang yang tampak tidak mampu dari segi ekonomi
maupun segi persiapan menjadi orang tua yang baik, seakan-akan
mendapat karunia itu dengan limpah. Banyak pula orang yang dengan
sadar menyia-nyiakan anak-anak mereka sekalipun mereka orang mampu.

Dari media massa kita banyak mendengar, membaca, atau melihat
perbuatan orang tua yang sangat keji dan menyedihkan terhadap anak-
anak mereka. Mereka sama sekali tidak mengikuti perkembangan anak
mereka. Sikap mereka kurang peduli, tidak bijak, pilih kasih,
menyibukkan diri, membiarkan anak-anak berbuat sesukanya, membiarkan
pembantu mengurus segala keperluan anak, serta tidak ada usaha
memenuhi kebutuhan anak berkenaan dengan kejiwaan dan kerohaniannya,
walau mungkin berlimpah secara jasmani.

Orang tua juga sering menjadikan anak sebagai pelampiasan kemarahan
dan kejengkelan. Bahkan, sekarang ini banyak terjadi pelecehan seksual
yang justru dilakukan oleh kerabat dekat sendiri. Banyak lagi jenis
kesalahan orang tua terhadap anak-anaknya, yang mengakibatkan
kekacauan dalam keluarga, guncangan terhadap semangat hidup dan
keseimbangan jiwa anak, pemberontakan, kebencian, putus asa, dan
perbuatan kriminal lainnya pada anak-anak.

Mungkin Anda tidak termasuk orang tua yang sikapnya begitu
memprihatinkan. Bersyukurlah karena Anda mau bertanggung jawab atas
"titipan Tuhan itu" -- anak-anak Anda.

Seorang ibu yang telah memunyai empat orang putri yang cantik-cantik
mendambakan seorang putra. Alasannya, "Untuk menjadi teman bagi
suami". Lahirlah anaknya yang kelima. Ternyata, perempuan lagi!

Kepada semua orang yang mengunjungi dia di rumah bersalin, ia menangis
menyesali "ketidakberuntungannya". Ada banyak orang yang menghibur
dia. Ada yang menyatakan bahwa itu kepercayaan khusus yang diserahkan
Tuhan kepada keluarganya. Juga ada yang mengingatkan betapa bahagianya
memunyai anak perempuan, karena biasanya anak perempuan kelak tetap
akan peduli pada orang tuanya. Sebaliknya, anak laki-laki sering
menjauh karena pengaruh istrinya.

Betapa sulit menerima anak yang bukan menurut rencana Anda, seakan-
akan anak itu ditolak. Kehadirannya tidak diinginkan. Meskipun
akhirnya anak itu diterima di dalam keluarga, biasanya ia tetap
memunyai perasaan tidak akan pernah dapat menyenangkan hati orang
tuanya.

Orang tua sering tidak menyadari bahwa Tuhan telah memilih mereka atas
pertimbangan-Nya sendiri yang mahasempurna. Tuhan tahu benar siapa
yang akan dipercayai-Nya. Apabila orang tua tidak memenuhi tanggung
jawabnya terhadap Tuhan, Dialah yang akan membela anak itu. Namun
orang tua itu sendiri tidak akan luput dari berurusan dengan Tuhan.

Banyak orang tua merasa tidak sanggup memenuhi kebutuhan anak-anaknya.
Mereka menjadi sedih, bahkan sakit karena sangat memikirkan tanggung
jawab yang begitu besar. Bukankah Tuhan yang mengaruniakan anak itu?

Sesungguhnya Tuhan menghendaki agar kita melakukan yang terbaik,
sebatas kemampuan kita. Selebihnya Tuhan sendiri akan turun tangan
untuk menolong kita, bila kita datang kepada-Nya dengan rendah hati,
mengakui keterbatasan kita, dan minta bimbingan dan berkat-Nya. Kita
perlu mengakui di hadapan Tuhan bahwa, anak-anak itu adalah anak-anak-
Nya yang dipercayakan ke dalam pemeliharaan serta perawatan kita.

Mata Tuhan tidak pernah tidak melihat apa yang kita -- sebagai orang
tua lakukan terhadap anak-anak kita. Kita kelak akan dimintai
pertanggungjawaban untuk semua yang telah kita lakukan terhadap
mereka.

Ada pula anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua angkat, karena satu
dan lain hal. Pengalaman sebagai anak angkat sering menjadi suatu
kesedihan bagi si anak ketika ia mengetahuinya.

Seorang anak sekolah dasar kelas 5, merasa malu dan ingin bunuh diri
ketika ia diejek temannya yang mengatakan bahwa ia sebenarnya anak
pungut. Ia tidak mau keluar dari kolong ranjang dan menangis minta
dipulangkan kepada orang tuanya. Dengan sangat sedih, orang tua angkat
yang sangat mengasihi dia dan telah memeliharanya sejak bayi itu,
membawanya menemui orang tuanya dan meninggalkan dia di situ bersama 7
orang saudara kandungnya, di sebuah rumah sangat sederhana dengan
keadaan ekonomi yang sangat memprihatinkan.

Anak itu suatu hari menulis surat kepada orang tua angkatnya. Ia
menyatakan ingin kembali. Dengan penuh sukacita orang tua angkatnya
itu menerima dia lagi.

Pernah ada pernyataan dari seorang anak angkat yang dibesarkan dengan
penuh kasih sayang, dan diberitahu bahwa ibu kandungnya memberikan dia
kepada mereka karena kasih, dan mereka menerima dia sebagai karunia
Tuhan. Anak itu menjadi besar tanpa kebencian kepada ibu kandungnya
yang tidak mampu membesarkan dia karena kesulitan besar yang
dialaminya.

Sesudah ia sendiri memunyai anak, ia mendapat kesempatan untuk bertemu
dengan ibu kandungnya. Di situ ia mengucapkan terima kasih atas
keputusan sang ibu yang begitu berani menyerahkan anaknya ke tangan
orang lain, yang ternyata dapat memeliharanya dengan lebih baik.
Bukankah indah hubungan orang tua dan anak seperti itu, sekalipun ia
bukan anak yang dilahirkan sendiri?

Tuhan melengkapi kita dengan kasih yang menjadi penghubung, bahkan
pengikat antara kita dengan Allah dan dengan sesama manusia. Bukankah
kasih itu juga menghubungkan kita dengan anak-anak kita, selain dengan
suami atau istri kita dan orang tua kita? Betapa indahnya orang tua
yang menyadari bahwa mereka dapat mengasihi anak-anak mereka
sebagaimana adanya. Terlebih lagi, mereka itu daging dan darah mereka
sendiri.

Direncanakan ataupun tidak, anak-anak semestinya menjadi kebanggaan
orang tua, cermin dari apa yang telah dilakukan orang tua terhadap
mereka, dari sejak dikandung sampai menjadi dewasa. Anak-anak kita
membawa "trade mark" atau ciri-ciri diri kita, akibat pengaruh yang
kita berikan kepada mereka.

Pandanglah anak-anak Anda. Apakah akibat pengaruh Anda kepada mereka?
Siapkah Anda untuk memberikan pertanggungjawaban kepada Tuhan atas
kepercayaan-Nya kepada Anda mengenai anak-anak itu? Sudahkah Anda
membesarkan mereka dengan benar dan melakukan yang terbaik bagi
mereka? Apakah Anda mendidik mereka di dalam takut akan Tuhan?

Barangkali masih ada kesempatan untuk memperbaiki bila Anda belum
melakukan kewajiban Anda. Mintalah kasih Tuhan agar Anda juga
dimampukan untuk mengasihi anak-anak Anda. Dengan demikian, mereka
juga akan mengenal kasih yang sesungguhnya.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul majalah: Kalam Hidup, No.708. Februari 2005
Penulis: MID
Penerbit: Yayasan Kalam Hidup, Bandung 2005
Halaman: 13 -- 16

          DUNIA WANITA 2: MENYIKSA ATAU MENDISIPLINKAN ANAK?

Pernahkah Anda merasa ragu apakah Anda sedang mendisiplinkan buah hati
Anda atau malah sedang menyiksanya? Apakah tindakan Anda tidak
berlebihan, atau jangan-jangan Anda telah lalai, dan tanpa sengaja
sedang membiarkan anak menjadi seorang "pembangkang kecil"? Berikut
beberapa hal yang jangan Anda lakukan dalam menerapkan disiplin pada
anak Anda.

1. Kekerasan Fisik

Pukulan yang menyiksa, tamparan, pencambukan, dan hal seram lainnya
bukanlah disiplin. Daftar penyiksaan fisik ini seharusnya tidak
termasuk dalam proses belajar mendisiplinkan anak. Ini tidak membawa
keuntungan apa pun kepada anak. Anda cuma melampiaskan amarah Anda
dengan tidak sehat, kerusakan mendasar orang tua akan pengetahuan
tentang komunikasi, kurangnya rasa hormat terhadap tubuh dan emosi
anak, dan salah paham akan tanggung jawab orang tua. Segeralah
dapatkan konseling bila kekerasan fisik terjadi di dalam rumah Anda
demi menghindari kerusakan lebih lanjut.

2. Kekerasan Verbal

Kata-kata kasar, merendahkan, dan menghina (seperti kamu bodoh, aku
muak melihatmu) akan tertanam dalam ingatan dan emosi anak. Kekerasan
fisik meninggalkan memar di tubuh, sedangkan kekerasan verbal melukai
hati dan pikiran anak. Keduanya merupakan contoh buruk dari orang tua.
Dapatkan segera konseling untuk menguasai "pemukulan verbal" dan
menghentikannya.

3. Otoritas Berlebihan

Ada saatnya Anda perlu mengatakan, "Karena saya adalah Ayah/Ibumu!"
Tetapi memaksakan semua kehendak Anda, akan mengarahkan anak pada
pemberontakan terutama saat menginjak remaja.

4. Mengatur dengan Teriakan

Marah bukan satu-satunya cara agar didengarkan anak. Marah biasanya
terjadi karena anaknya beberapa kali mengacuhkan aturan-aturan orang
tuanya. Bila arahan-arahan Anda tidak didengarkan, dan Anda sendiri
tidak melakukan sesuatu agar didengar, anak akan mulai belajar
mengukur-ukur sampai seberapa lama Anda akan bertindak. Itu tidak akan
berhasil dan Anda hanya akan semakin sering marah. Anak bereaksi
kepada tindakan orang tuanya yang tertambat. Kemarahan yang tidak
diikuti dengan tindakan, akan membuat anak semakin tidak mengindahkan
kemarahan Anda.

5. Ancaman Kosong

Banyak orang tua memberikan ancaman kosong "Sebaiknya jangan lakukan
itu, kalau tidak....!" Bila anak terus menerus tidak mematuhi perintah
dan "kalau tidak"-nya tidak pernah terjadi, anak akan belajar bahwa
itu cuma ancaman kosong. Orang tua yang merasa ancamannya tidak
ditanggapi, akan meningkatkan atau membuktikan ancamannya. Ini bisa
berbuntut pada tindakan "abusif". Mengenalkan anak pada tindakan atau
konsekuensi perbuatan buruknya sejak awal, akan memotivasi anak untuk
mematuhi aturan.

6. Laissez-faire Parenting: Input atau Keterlibatan Orang tua Minim
atau Sama Sekali Tidak Ada

Biasanya ini terjadi pada orang tua yang terlalu sibuk, capek, atau
tidak tahu cara mengatur rumah tangga. Anak yang dibiarkan bebas
mengatur dirinya sendiri, tidak merasa bahagia atau tenang. Tidak ada
batasan-batasan yang memberikan rasa aman. Anak akan merasa bingung
tanpa adanya batasan-batasan itu.

7. Pemberian Hadiah yang Nonstop

Hadiah memang kadang perlu diberikan dalam mengajarkan disiplin pada
anak. Tetapi jangan iming-imingi hadiah agar anak patuh pada semua
aturan, terutama yang bersifat mutlak. Jangan katakan "Kamu akan dapat
kue kalau duduk tenang di dalam mobil.",
8. Asuhan yang Demokratis

Salah satu kesalahpahaman budaya modern adalah kepercayaan bahwa anak
punya hak berpendapat yang sama dengan orang tua, dan bahwa orang tua
tidak berhak memaksakan kehendaknya kepada anak. Ini biasanya terjadi
pada orang tua yang tidak mau atau tidak mampu mengatasi keinginan dan
kemauan anak karena takut ditolak, takut menghadapi konflik, atau
salah pengertian, bahwa apa pun yang menyebabkan anak tidak bahagia
adalah berbahaya. Konflik tidak bisa dihindarkan dalam hubungan antar
manusia. Mencoba menjauhkan anak dari pengalaman tak menyenangkan,
dengan menuruti segala keinginannya justru akan membawa anak tidak
bahagia.

9. Sikap Permisif yang Berlebihan

Ini lebih buruk dari "asuhan yang demokratis", karena berpendapat
bahwa setiap anak dilahirkan baik dan bermoral lebih baik dari orang
tuanya. Beberapa orang tua mampu menoleransi sikap tidak hormat dan
merusak anaknya dengan anggapan bahwa akan berlalu dengan sendirinya.
Bila sistem ini Anda terapkan, maka sebaiknya persiapkan diri Anda
untuk kejutan tak menyenangkan saat anak Anda tiba pada masa remaja.

Diambil dari:
Judul majalah: World Harvest, No. 45, Tahun XV/05
Penulis: Tidak dicantumkan
Penerbit: World Harvest Center
Halaman: 12 -- 13

                  TIP: PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA

Max Jukes tinggal di New York. Dia tidak percaya kepada Yesus Kristus
dan tidak mengizinkan anak-anaknya pergi ke gereja, meskipun mereka
menginginkannya. Max Jukes memiliki 1026 keturunan. Sebanyak 130 orang
di antaranya dipenjarakan pada usia rata-rata 13 tahun, 190 orang
menjadi pelacur, 680 orang pecandu alkohol, dan 150 orang jahat.
Keluarga Jukes, telah merugikan pemerintah Amerika Serikat lebih dari
setengah juta dollar untuk merehabilitasi mereka. Artinya, mereka
bukan saja tidak memberikan kontribusi apa-apa kepada masyarakat namun
malah merugikan.

Pada saat yang sama, hiduplah keluarga Jonathan Edwards yang juga
tinggal di New York. Dia mengasihi Tuhan dan mengantar anak-anaknya ke
gereja setiap minggu. Jonathan Edwards memiliki 1400 keturunan.
Sebanyak 65 orang menjadi profesor, 13 orang menjadi rektor
universitas, 100 orang menjadi pengacara, 30 orang menjadi hakim, 75
orang menjadi pengarang buku terlaris, 5 orang menjadi anggota kongres
Amerika Serikat, 2 orang menjadi senat, dan 1 orang menjadi wakil
presiden Amerika Serikat. Keluarga Edwards tidak pernah membebani
negara satu sen pun, tapi justru memberikan kontribusi yang besar
untuk masyarakat.

Keluarga merupakan satu-satunya tempat di mana orang tua memegang
tanggung jawab untuk mempersiapkan anak-anaknya untuk diajar,
disiplin, dan pada akhirnya mereka di lepas untuk dipersatukan dengan
pasangannya. Dari sini kita melihat betapa pentingnya membangun sebuah
keluarga sesuai dengan firman Tuhan. Ada empat hal yang harus dibangun
dalam suatu keluarga.

1. Identitas

Keluarga merupakan tempat pertama di mana seorang anak belajar untuk
mengenal citra dirinya di hadapan Tuhan. Ketika keluarga hancur, maka
identitas dan jati diri anak akan hancur, sehingga timbul rasa minder,
sakit hati, kepahitan, dan lain sebagainya.

2. Disiplin

Disiplin berbicara mengenai hak untuk mendidik anak-anak. Keluarga
merupakan tempat pertama seseorang belajar mengenai sistem nilai --
apa yang baik dan buruk, terutama dalam hal kasih dan membangun
hubungan dengan orang lain.

3. Kasih Tanpa Syarat

Keluarga merupakan tempat pertama kita mengalami kasih dan penerimaan.
Di sini kita belajar untuk saling membangun, mendidik, bahkan mengasah
satu dengan yang lainnya. Selalu ada pengampunan dan penerimaan --
kasih tanpa syarat.

4. Keintiman

Ketika anak tumbuh besar dalam sebuah lingkungan yang memiliki kasih
tanpa syarat, dia tidak akan mengalami kesulitan untuk mengalami
keintiman dengan Tuhan sebagai Bapa di Surga. Sebaliknya, jika
seseorang mengalami masalah dengan keintiman di dalam keluarganya, dia
tidak hanya kesulitan mengenal kasih Bapa, tetapi juga dengan pasangan
yang (akan) dinikahinya.

Diambil dari:
Nama buletin: Mardh of the Heroes, Edisi 14 Agustus 2010
Judul asli artikel: Family Ties
Penulis: Raymond M. Njotorahardjo
Penerbit: Share GISI Peduli
Halaman: 7

"Kita Tidak Akan Pernah Dapat Menerima Janji Allah Selama Kita Ragu
Terhadap Janji Allah Itu Sendiri"

Kontak: < wanita(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti, Fitri Nurhana
(c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/wanita >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org