Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-wanita/87 |
|
e-Wanita edisi 87 (5-7-2012)
|
|
_____________e-Wanita -- Buletin Bulanan Wanita Kristen_______________ TOPIK: Kecerdasan Anak Edisi 87/Juli 2012 MENU SAJI DUNIA WANITA: MENGEMBANGKAN INTELIGENSI ANAK WOMEN TO WOMEN: S TELAH MENGAMPUNI PEMBUNUH ORANG TUANYA STOP PRESS: BERGABUNGLAH DALAM KELAS DASAR-DASAR IMAN KRISTEN (DIK)! Shalom, Untuk dapat bertumbuh dengan baik, seorang anak membutuhkan kasih sayang dan perhatian yang cukup dari orang tuanya serta lingkungan yang mendukung. Hal ini tidak hanya membuat anak menjadi pribadi yang baik kelak ketika ia dewasa, tetapi kondisi yang demikian ternyata juga memengaruhi inteligensi seorang anak. Mengapa demikian? Temukan jawabannya dengan menyimak artikel yang telah kami persiapkan. Tuhan memberkati. Pemimpin Redaksi e-Wanita, Novita Yuniarti < novita(at)in-christ.net > < http://wanita.sabda.org/ > DUNIA WANITA: MENGEMBANGKAN INTELIGENSI ANAK Pernah dilakukan penelitian terhadap 2 orang bayi kembar, Helen dan Gladys, yang sejak usia 18 bulan dipisahkan satu dari yang lainnya. Helen dibesarkan dalam keluarga yang bahagia dengan lingkungan yang dinamis. Ia meraih gelar sarjana dalam bidang bahasa, yaitu Sastra Inggris. Sementara itu, saudara kembarnya Gladys, dibesarkan di daerah gersang, di lingkungan yang miskin "rangsangan intelektual", dan terpaksa putus sekolah karena sering sakit-sakitan. Pada saat diadakan pengukuran "Intelligence Quotient" (IQ), ternyata Helen memiliki IQ 1l6, sementara Gladys memiliki IQ 7 poin di bawah nilai inteligensi saudara kembarnya. Kita mungkin bertanya, "Mengapa dua orang anak yang dilahirkan dari rahim yang sama dan pada hari yang sama memunyai tingkat inteligensi yang berbeda?" Para ahli psikologi perkembangan sependapat dan menyimpulkan bahwa faktor keturunan menentukan batas inteligensi seorang anak, sedangkan faktor lingkungan (fisik, sosial, psikologi) menentukan tingkat sampai di mana batas tadi bisa dicapai. Kelompok lain pernah membuktikan bahwa apa yang dilihat, didengar, dan dipelajari anak balita, ternyata menentukan inteligensi ketika dewasa kelak. Setelah usianya melampaui 5 tahun, secara potensial inteligensinya telah permanen. Dengan demikian, antara usia kelahiran, bahkan sejak dalam kandungan, dan usia lima tahun merupakan "kesempatan emas" bagi para orang tua untuk mengelola inteligensi anak-anak mereka. Karenanya, para pakar menyimpulkan bahwa setiap anak -- normal, dapat dikembangkan inteligensinya ke tingkat yang lebih tinggi. Kesimpulan itu didasarkan pada beberapa hasil penelitian yang ketat dan saksama. Beberapa sumber yang dimaksud di antaranya adalah "The Infant Education Research/Project" -- suatu badan penelitian kependidikan anak di Washington DC, Amerika Serikat, yang mengerahkan sejumlah guru khusus untuk mengunjungi anak-anak dari kalangan ekonomi lemah. Dalam penelitian tersebut, 300 anak usia sekitar 15 bulan, secara intensif dikunjungi, diajak bermain, dan dirangsang untuk berbicara. Kegiatan ini berlangsung selama 21 bulan. Setelah itu, diadakan pengukuran inteligensi. Hasilnya, anak-anak ini memiliki inteligensi dengan nilai kecerdasan 17 poin di atas rata-rata anak seusianya, yang tidak mendapatkan "sentuhan" ahli yang berkunjung ke rumah mereka. Pada tahun 1967, di sebuah sekolah perawat di New York, Amerika Serikat, diadakan penelitian terhadap dua kelompok anak yang berusia 3 tahun. Masing-masing kelompok diperlakukan secara berbeda. Sekelompok anak diberi pelajaran khusus mengenai aktivitas berbahasa selama 15 menit setiap harinya. Kelompok yang lain sebagai pembanding, diberi "perhatian khusus" dalam waktu yang sama (15 menit), tetapi tanpa pelajaran bahasa. Setelah dua kelompok itu dikelola selama 4 bulan, diadakan pengukuran terhadap keduanya. Ternyata pada kelompok pertama -- yang diajarkan bahasa, mengalami peningkatan inteligensi rata-rata 14 poin. Sedangkan kelompok kedua, yang mendapat perhatian khusus namun tanpa pelajaran bahasa, memperoleh kenaikan rata-rata hanya 2 poin saja, bila dibandingkan anak seusia mereka yang tidak disertakan dalam percobaan itu. Saat ini, sejumlah ahli psikologi di Rusia sedang mengadakan penelitian serupa. Untuk kepentingan penelitian itu, dibayarlah kaum ibu dari kalangan ekonomi lemah untuk membacakan dengan suara keras berbagai cerita bagi bayi-bayi mereka. Program pembacaan cerita itu berlangsung selama 15-20 menit setiap hari dan dilaksanakan beberapa bulan. Menjelang bayi-bayi itu berusia 18 bulan, diadakan pengukuran. Ketika dilakukan perbandingan dengan bayi-bayi lain yang seusia di daerah itu, ditemukan kelebihan yang mencolok pada para bayi ini dalam kemampuan berbahasa mereka. Paparan dari hasil beberapa penelitian tadi membuktikan bahwa orang tua memunyai kesempatan untuk membantu mengembangkan inteligensi anak-anak mereka, melalui aktivitas-aktivitas tertentu. Misalnya, dengan memberikan perhatian dan rangsangan sejak anak masih bayi, memperkenalkan anak dengan aktivitas bahasa sedini mungkin, dan mempersiapkan bacaan yang sesuai dengan usia kematangan mental mereka. Awal Pertumbuhan Inteligensia Benyamin Bloom, profesor pendidikan dari University of Chicago, mengemukakan data statistik hasil beberapa penelitian yang dilakukannya. Ia mengatakan bahwa sampai dengan usia 1 tahun, seorang anak telah membentuk 50 persen inteligensia yang akan dimiliki pada masa dewasanya nanti. Pada saat anak-anak tersebut memasuki usia 6 tahun, ia telah mencapai dua per tiga inteligensinya yang telah dimilikinya pada usia 17 tahun. Pertumbuhan antara usia 5-17 tahun itulah yang paling penting, karena masa itulah yang menentukan tinggi rendahnya grafik perkembangan inteligensia seorang anak. Jean Piaget, seorang ahli psikologi dari Swiss, melakukan pengamatan yang mendalam dalam sistematik terhadap anak-anaknya sendiri sejak awal hidup mereka. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa semakin banyak hal baru yang dilihat dan didengar anak, semakin anak itu ingin melihat dan mendengar segala sesuatu yang ada dan terjadi di lingkungan sekitarnya. Untuk "memanfaatkan" sifat dasar anak yang serba ingin tahu itu, kata pakar psikologi dari Swiss itu, para orang tua disarankan agar memperkaya lingkungan, misalnya dengan menyediakan permainan, adanya kamar tidur, ruang bermain, dan sebagainya, di tempat tinggal bayi itu dengan warna dan bunyi-bunyian yang merangsang, seperti: gambar-gambar binatang, bunga-bungaan, serta benda lainnya yang berwarna mencolok, bunyi-bunyian musik, kicauan burung, dan sebagainya. Semuanya itu harus dapat memberikan rangsangan terhadap anak, tanpa menimbulkan rasa takut dan kegaduhan. Kemudian Profesor Burton White dari Harvard University, sekitar 12 tahun lalu mengadakan penelitian untuk membuktikan rumusan-rumusan Jean Piaget itu. Dalam penelitiannya itu, White menyertakan 19 orang bayi, serta kelompok bayi lainnya dalam jumlah yang sama sebagai pembanding. Kelompok pertama, tiga kali sehari, sehabis diberi makan, ditimang dan diajak bicara selama 15 menit. Tempat tidur mereka dilengkapi dengan kelambu yang bergambar binatang dan bunga-bungaan yang berwarna-warni, dan di atas tempat tidur mereka digantungkan mainan dengan warna mencolok. Sementara kelompok lainnya, hidup sendiri, jarang diajak berbicara, diberi makan dalam keadaan terburu-buru, tanpa kata-kata. Tempat tidur, seprai, dan langit-langit kelambunya berwarna putih polos, tanpa dilengkapi dengan mainan apa pun, dan hanya dilapisi dengan selimut putih polos, yang menghindarkan pandangannya untuk menatap pemandangan di luar tempat tidur yang sempit itu. Setelah beberapa saat kemudian, diadakan pengukuran. Didapati bahwa bayi-bayi yang hidup dalam suasana lingkungan yang "meriah", dalam tempo yang sama, 50 persen lebih cepat memberikan respons terhadap lingkungannya daripada mereka yang hidup dalam tempat tidur yang berwarna polos dan lingkungan yang "sepi". Orang tua dapat merangsang rasa ingin tahu anak-anak dengan berbagai cara. Mobil-mobilan misalnya, yang gampang didapat atau dibuat sendiri, biasanya sangat disukai anak-anak karena mereka suka melihat benda-benda berwarna mencolok dan dapat bergerak. Di situ kita dapat menambah bobot atau nilai pendidikannya, dengan memberikan permainan yang bersifat sebab-akibat yang jelas. Misalnya, dengan mendorong mobil-mobilan itu untuk menjalankannya atau dengan mengikatkan tali mobil-mobilan itu di kaki sang bayi, sehingga ia bisa menggerak- gerakkannya. Kita juga dapat mengajar anak-anak dengan menggunakan hukum "kekekalan benda", bahwa benda itu tetap ada, meskipun anak tidak melihatnya. Sebagai contoh, letakkan mainan anak di bawah selimut atau bantal sewaktu dia melihatnya. Perhatikan apakah si anak dapat menemukan mainan tersebut. Menurut para pakar psikologi kognitif, permainan petak umpet atau yang sejenis itu, sangat bermanfaat bagi anak-anak. Hal ini pernah dibuktikan oleh seorang ayah di California, Amerika Serikat. Dan ternyata, anaknya tersebut memiliki inteligensi dengan nilai tertinggi di California, menurut laporan Lewis Terman. Stimulasi dini, tentu saja bukanlah merupakan jaminan bahwa seorang akan berbakat, melainkan hal itu merupakan syarat (condition) yang diperlukan untuk mengembangkan kemampuan yang optimal. Aktivitas Kebahasaan Dini Beberapa ahli psikologi yakin bahwa lingkungan verbal yang ada di sekitar anak, lebih penting daripada lingkungan fisiknya. Bahasa yang didengar anak-anak, dapat meningkatkan atau menghambat kemampuan dasar berpikir mereka. Apakah Anda, sebagai orang tua, biasanya bercerita kepada putra-putri Anda, bahkan sebelum mereka belajar bicara? Apakah setiap kali berbicara dengannya, Anda mempergunakan bahasa yang baik dan benar? Apakah dalam hal memberikan perintah atau menjelaskan sesuatu kepadanya, Anda menggunakan kalimat yang lengkap dan rinci? Manfaat membacakan cerita kepada anak-anak, sekalipun ia belum belajar bicara, telah dibuktikan melalui hasil penelitian yang dilakukan ahli psikologi dari Uni Soviet (Rusia). Sementara itu, ahli lainnya mengemukakan sisi lain dari perkembangan bahasa tersebut. Misalnya, dalam suatu penelitian yang mutakhir, yang dilakukan para pakar di University of Chicago, didapatkan bahwa ada hubungan antara kejelasan dan kelengkapan bahasa yang didengar anak dengan prestasinya dalam tes yang ia kerjakan. Dalam penelitian dari Chicago tersebut, para ibu diminta untuk mengajar anak mereka yang berusia 3 tahun untuk memisahkan sejumlah kecil mainan. Kebiasaan belajar mengajar tadi direkam tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Sebagian dari para ibu tadi ternyata memberi penjelasan yang sangat singkat, atau hanya mengatakan kepada anaknya beberapa kunci permasalahan yang sangat singkat untuk melaksanakan apa yang diperintahkan. Sebagian ibu yang lain, lebih mementingkan bahasa isyarat daripada bahasa lisan. Ternyata hasil tes anak-anak mereka tidak memuaskan. Sedangkan beberapa ibu yang lain, yang oleh para peneliti itu digolongkan sebagai ibu yang efektif, memberi penjelasan yang rinci dalam bahasa yang tersusun rapi dan logis. Anak-anak yang dibimbing oleh ibu yang efektif ini, ternyata dapat mengerjakan tes dengan hasil yang gemilang. Dari data itulah, para pakar kemudian menyimpulkan bahwa apabila ingin memunyai anak yang cerdas, hendaknya orang tuanya senantiasa merangsang anak-anak mereka dengan berbagai aktivitas problematik, dan rangsang bahasa yang kaya dan terperinci. Persiapan Membaca Jauh-jauh hari sebelum memasuki usia sekolah, anak-anak biasanya sudah menaruh minat terhadap aktivitas membaca dan menulis. Melihat minat semacam itu, pastilah orang tua yang bijaksana akan menyambut gejala-gejala positif tersebut, dan memperkenalkan kepada anak-anak buku-buku bacaan, lalu menceritakan sambil melatih anak tersebut belajar abjad. Menurut hasil penelitian Prof Dolkores Durkin dari Fakultas Pendidikan University of Illinois, anak-anak yang belajar dan dapat membaca sebelum usia 6 tahun, pada umumnya memiliki prestasi menonjol di sekolah, dan malah terkadang mereka termasuk kategori jenius. Profesor tersebut mencatat bahwa para orang tua menyadari adanya minat membaca pada diri anak-anak tersebut, sewaktu mereka berusia 4 atau 5 tahun. Mereka meresponsnya dengan memperkenalkan huruf-huruf, bilangan-bilangan, kata-kata, atau ucapan-ucapan tertentu pada anak-anaknya. Sebenarnya, tidaklah terlalu merepotkan untuk membantu anak-anak dalam mengembangkan inteligensinya, sebab aktivitas sehari-hari yang sederhana pun dapat merupakan andil yang berarti, asalkan terarah. Apabila setiap orang tua terpanggil untuk melaksanakan tugas pendidikan ini, maka cerita dalam dunia pendidikan di Indonesia akan menjadi lain. Itu berarti terlaksanalah pesan dari Dr. Earl Achefer yang mengatakan, "Kita harus menciptakan citra wanita modern, sehingga tidak lagi para ibu yang dengan rendah diri mengatakan bahwa mereka hanya ibu rumah tangga. Tetapi mereka akan bangga menyandang jabatan dan predikat sebagai pendidik rumah tangga." Diambil dan disunting seperlunya dari: Judul majalah: Kalam Hidup, Oktober 2007 Penulis: Tidak dicantumkan Penerbit: Yayasan Kalam Hidup Halaman: 20 -- 24 WOMEN TO WOMEN: S TELAH MENGAMPUNI PEMBUNUH ORANG TUANYA Sudah 2 tahun berlalu sejak S tinggal di rumah singgah yang disponsori oleh Open Doors. S pertama kali datang ke tempat ini pada tanggal 19 Agustus 2009, sekitar 4 bulan setelah orang tuanya dibunuh oleh kelompok gerilyawan. Kakek dan neneknya menyadari bahwa S membutuhkan sebuah tempat di mana ia dapat memperoleh pendidikan yang layak. Kakek dan neneknya mengatakan bahwa mereka kesulitan menopang kebutuhan S dan kedua adiknya. Awalnya, S tidak dapat menahan rasa dukanya. Ia terus menangis karena berpikir tidak akan pernah bertemu dengan orang tuanya lagi. Bahkan, saat sampai di rumah singgah ia berkata, "Saya benar-benar tidak tahu siapa Tuhan. Saya sama sekali tidak mau tahu tentang Dia." Namun pemulihan terjadi. Saat ini, ia berkata, "Para pembimbing saya di sini mengajarkan saya banyak hal tentang kesabaran, dan terus mengenalkan pribadi Kristus kepada saya melalui Alkitab. Saat ini, saya memiliki hubungan pribadi yang indah dengan Tuhan." Saat ini, S berusia 13 tahun dan keadaannya telah pulih. Ia tergabung dalam kelompok musik dan bercita-cita menjadi utusan Injil. Ia juga berkeinginan belajar dengan baik untuk dapat membiayai kedua adiknya. "Di sini saya belajar tentang banyak hal," ujar S. "Saya merindukan orang tua dan adik-adik saya. Saya yakin ini adalah rumah baru yang diberikan Tuhan, tempat saya dapat bertumbuh. Di sini, saya mendapatkan apa yang sebelumnya tidak dapat saya bayangkan," ujar S. Pemulihan membutuhkan proses, dan ia harus terus berjuang menghadapi realitas dan belajar untuk bertahan hidup, tanpa kehadiran kedua orang tuanya. Neneknya menyadari bahwa pemulihan bukanlah proses yang mudah. Ia pun bersyukur atas kesempatan yang diberikan kepada cucunya untuk dapat bertumbuh di tempat ini. Ia mengatakan bahwa tempat mereka tinggal tidak aman. Meskipun jumlah para gerilyawan tidak sebanyak dulu, tetapi mereka terus membunuh beberapa orang di daerah ini. Saat ini, S telah mampu mengampuni orang-orang yang telah membunuh orang tuanya. Ia bertumbuh dan menyadari bahwa Tuhan memiliki rencana yang indah di balik kedukaan yang ia alami. Pertumbuhan yang S alami adalah hasil dari perjalanan panjang bersama Tuhan. Open Doors terus mendampingi S dan anak-anak teraniaya lainnya melalui rumah singgah ini. Hidup mereka terus diubahkan dari keputusasaan menjadi berpengharapan, dari kesedihan menjadi sukacita, dan dari kehancuran menjadi pemulihan. Diambil dan disunting seperlunya dari: Judul buletin: Frontline Faith Januari-Februari 2012 Penulis: Tidak dicantumkan Penerbit: Yayasan Open Doors Indonesia, Jakarta 2012 Halaman: 3 STOP PRESS: BERGABUNGLAH DALAM KELAS DASAR-DASAR IMAN KRISTEN (DIK)! Yayasan Lembaga SABDA melalui program PESTA (Pendidikan Elektronik Studi Teologia Awam) < http://pesta.org > kembali membuka kelas Dasar-Dasar Iman Kristen (DIK) untuk periode Sep/Okt 2012. Jika Anda mendaftarkan diri untuk mengikuti kelas ini, maka Anda akan mendapat pelajaran seputar pokok-pokok penting dasar iman Kristen, seperti Penciptaan, Manusia, Dosa, Keselamatan, dan Hidup Baru dalam Kristus. Tidak hanya itu saja, setelah menyelesaikan seluruh tugas tertulis dalam modul, Anda akan didaftarkan menjadi peserta kelas diskusi untuk belajar bersama rekan-rekan yang lain seputar dasar iman Kristen. Segeralah mendaftar karena kelas diskusi akan dimulai pada 18 September 2012. Cara mendaftarkan diri sangat mudah. Anda tinggal mengirimkan permohonan mengikuti kelas DIK Sep/Okt 2012 ke Admin PESTA di alamat email < kusuma(at)in-christ.net > Jika Anda ingin mendapatkan modul DIK secara online, silakan akses di: ==> < http://pesta.sabda.org/dik_sil > Tuhan memberkati! Kontak: < wanita(at)sabda.org > Redaksi: Novita Yuniarti Tim Editor: Davida Welni Dana, Berlian Sri Marmadi, dan Santi Titik Lestari (c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://www.ylsa.org > Rekening: BCA Pasar Legi Solo; No. 0790266579 a.n. Yulia Oeniyati < http://blog.sabda.org/ > < http://fb.sabda.org/wanita > Berlangganan:< subscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org > Berhenti: < unsubscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org >
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |