Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-wanita/69

e-Wanita edisi 69 (6-10-2011)

Motivasi dalam Pelayanan

_____________e-Wanita -- Buletin Bulanan Wanita Kristen_______________
                  TOPIK: Motivasi dalam Pelayanan
                      Edisi 69/Oktober 2011

MENU SAJI
RENUNGAN WANITA: PELAYAN YANG RENDAH HATI
DUNIA WANITA: MELAYANI TUHAN DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI --
            SUDUT PANDANG SEORANG WANITA
POTRET WANITA: HELEN ROSEVEARE (1925- )
STOP PRESS: INTERNATIONAL DAY OF PRAYER FOR THE PERSECUTED
            CHURCH (IDOP)

Shalom,

Apa kabar sahabat e-Wanita? Tujuan kehidupan kekristenan kita adalah
melayani Tuhan untuk memperlebar kerajaan Allah di bumi ini. Melayani
bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Kerendahan hati menjadi dasar
kita untuk melakukan pelayanan. Tanpa kerendahan hati, segala
pelayanan kita akan menjadi sia-sia. Maka dari itu, penting bagi kita
untuk mengerti arti kerendahan hati. Melalui edisi kali ini, e-Wanita
menyajikan renungan yang berjudul "Pelayan yang Rendah Hati" dan
artikel "Melayani Tuhan dalam Kehidupan Sehari-hari". Kiranya apa yang
kami berikan dapat bermanfaat bagi Anda.

Selamat menyimak, Tuhan Yesus memberkati.

Redaksi e-Wanita,
Fitri Nurhana
< http://wanita.sabda.org/ >

              RENUNGAN WANITA: PELAYAN YANG RENDAH HATI

"Aku ini lho, orangnya rendah hati," kata salah satu teman lama saya,
Yosafat, sambil berseloroh. Kata-kata yang diucapkan oleh Yosafat ini,
sangat kontroversial. Mengapa? Karena orang rendah hati, kok, pakai
pengumuman!

Saya teringat sebuah cerita yang dulu pernah saya dengar di gereja. Di
sebuah gereja, pernah diadakan kontes "jemaat yang paling rendah
hati". Setelah melalui pemeriksaan dan diskusi cukup lama, dewan juri
pun memutuskan untuk memberikan gelar "jemaat yang paling rendah hati"
kepada seorang bapak setengah baya. Akhirnya, dalam sebuah kebaktian,
pada diri bapak tersebut disematkan sebuah lencana. Di lencana
tersebut tertulis, "jemaat yang paling rendah hati". Minggu demi
minggu, bulan demi bulan berlalu, pada suatu pagi di hari Minggu,
bapak tadi melihat lencana tersebut di lemari pakaiannya. Ia pun
berbicara dalam hatinya, "Bagus juga kalau lencana itu saya pakai
menghadiri kebaktian pada hari ini, agar orang-orang mengingat bahwa
saya adalah jemaat yang paling rendah hati." Bapak ini pun menyematkan
lencana "jemaat yang paling rendah hati" di bajunya, ketika ia
menghadiri kebaktian pada hari itu. Salah seorang anggota dewan juri
kontes "jemaat yang paling rendah hati" melihat bapak itu memakai
lencana itu, dan ia segera mengumpulkan seluruh anggota dewan juri
untuk rapat. Minggu berikutnya diumumkanlah keputusan dewan juri
kontes "jemaat yang paling rendah hati", bahwa gelar "jemaat yang
paling rendah hati" dari bapak itu dicabut karena minggu lalu ia
memakai lencana tersebut.

Memang susah menjadi orang yang rendah hati. Saya yakin bapak itu
hanya ingin diingat atau dikenal orang. Manusiawi, kan? Misalnya nama
bapak itu Pak Andi. Coba bayangkan, dalam satu gereja, ada berapa
orang yang bernama Andi? Bapak setengah baya ini hanya ingin agar
orang-orang gereja mengenal dia sebagai Pak Andi yang rendah hati.
Jadi, sah-sah saja kalau bapak ini memakai lencananya? Mungkin. Tapi
memang tindakan bapak ini jadi mengundang tanda tanya. Apa sebenarnya
tolok ukur untuk menjadi orang yang rendah hati?

Saya teringat sahabat kita semua yang bernama Yesus. Masih ingat apa
yang dilakukan-Nya, saat menjelang kematian-Nya di kayu salib? Di
saat-saat murid-murid-Nya meributkan siapakah yang paling tinggi dan
yang akan duduk di sebelah kanan Yesus di surga nanti, tanpa banyak
kata Yesus mengikatkan jubah-Nya ke pinggang, berlutut, dan membasuh
kaki murid-murid-Nya. Inikah rendah hati?

Setelah Yesus selesai membasuh kaki murid-murid-Nya, Dia menjelaskan
apa maksud tindakan-Nya itu. Dia ingin murid-murid-Nya meneladani apa
yang dilakukan-Nya, walaupun Yesus seorang pemimpin, tapi Ia mau
menjadi pelayan untuk murid-murid-Nya. Kemudian Dia meminta sesuatu,
suatu permintaan yang tidak muluk-muluk: "Jadi jikalau Aku membasuh
kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling
membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu,
supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepada
kamu."

Sudahkah kita "membasuh kaki" teman-teman kita? Apakah kita terlalu
gengsi untuk melakukannya? Pernahkah kita yang adalah dokter, manajer,
atau direktur, mengosongkan tempat sampah kita yang sudah penuh, tanpa
merasa bahwa itu adalah tugas dari asisten kita atau staf "cleaning
service"? Sudahkah kita yang majelis gereja, berinisiatif membuat kopi
untuk jemaat atau pelayan gereja yang sedang rapat, tanpa merasa bahwa
itu pekerjaan ibu-ibu yang bertanggung jawab di bagian meja kopi? Atau
pernahkah kita, orang tua meminta maaf kepada anak kita, apabila kita
berbuat salah atau mengatakan hal yang menyakitkan mereka, tanpa
merasa gengsi dan berpikir atau berkata, "aku ini orang tuamu!"

Diambil dari:
Judul majalah: Curahan Hati Edisi 5, Juli 2007
Judul artikel: Pelayan yang Rendah Hati
Penulis artikel: Nia Limanto
Penerbit: Yayasan Curahan Hati
Halaman: 20

          DUNIA WANITA: MELAYANI TUHAN DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
                     -- SUDUT PANDANG SEORANG WANITA

"Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan,
lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur
oleh Dia kepada Allah, Bapa kita." (Kolose 3:17)

Apakah yang kita maksud dengan kehidupan sehari-hari? Bagi sebagian
besar wanita, hal ini berarti pekerjaan-pekerjaan di sekitar rumah,
tetapi juga dapat termasuk pergi bekerja di luar rumah dan berada di
keluarga besar atau komunitas setempat. Kehidupan sehari-hari adalah
gabungan dari tanggung jawab, relasi, dan penggunaan anugerah yang
diberikan Tuhan yang berbeda-beda, tergantung tahap kehidupan yang
kita jalani. Bagi wanita yang masih lajang, aktivitas bekerja memiliki
sifat yang dominan dan cenderung mengambil alih kehidupan seseorang.
Bagi wanita yang sudah menikah, rutinitas sehari-hari akan beragam,
dan mengusahakan mengerjakan semua hal itu adalah hal yang terpenting
di dalam pikiran mereka. Untuk para wanita yang menjadi lajang
kembali, baik karena masa pensiun maupun menjadi janda, menurunnya
ritme kerja dan kesibukan dapat menimbulkan tekanan-tekanannya
tersendiri.

Tetapi bagi kita semua, ada tiga bidang yang dapat kita kerjakan bagi
Tuhan:

1. Kita memiliki tanggung jawab yang dilimpahkan oleh Tuhan kepada
kita. Walaupun tanggung jawab itu berbeda-beda antara seorang dengan
yang lain, tetapi Kitab Suci dengan jelas membahas mengenai tanggung
jawab itu di dalam lingkup pernikahan, tugas sebagai seorang ibu,
tanggung jawab terhadap rumah, dan pekerjaan apa pun yang kita
lakukan, serta tanggung jawab kita di dalam lingkup keluarga besar
sebagai orang tua maupun sebagai nenek.

2. Kita memiliki hubungan-hubungan dengan orang lain yang harus kita
anggap penting, terutama hubungan dengan Allah dan Putra-Nya. Hal itu
akan mewarnai segalanya, dan merupakan sesuatu yang akan didorong
keluar dalam setiap kesibukan keseharian kita. Kita juga tidak hidup
di dalam keterasingan, tetapi bersinggungan dengan orang-orang yang
berada di dalam rumah kita, maupun dengan mereka yang ada di dunia
luar. Alkitab mengajar kita banyak hal, tentang bagaimana kita harus
berhubungan dengan orang lain, melalui perintah untuk mengasihi sesama
kita sama seperti kita mengasihi diri kita sendiri.

3. Kita memiliki karunia dari Tuhan yang membuat kita menjadi pribadi
yang unik, dan memampukan kita untuk melayani Tuhan melalui berbagai
cara. Karunia-karunia itu dapat berupa hal-hal kreatif yang dapat kita
kerjakan di dapur, di taman, atau dalam bidang seni, dapat juga berupa
sifat ramah, kepedulian, ketangkasan, maupun dalam karunia dalam
bidang intelektual. Karunia-karunia tersebut dapat menjadi bagian dari
kehidupan kita di rumah, dalam pekerjaan, maupun di waktu senggang
kita.

Bagaimana kita dapat melayani Tuhan dalam bidang-bidang ini?

1. Kita harus menerima, bahwa kita ditempatkan dalam keadaan yang
telah direncanakan oleh Tuhan. Hal penerimaan ini kadang-kadang
menjadi sangat sulit, ketika kita merasa lelah sehingga memandang
bahwa orang lain melakukan hal-hal yang kelihatannya lebih berguna,
atau ketika kita merasa kesepian dan merasa tidak berguna lagi bagi
Tuhan. Pada saat kita menerima keadaan kita, rasa tertekan yang dapat
membuat kita menjadi mudah putus asa itu akan hilang, dan kita akan
dapat melihat bahwa Tuhan menginginkan kita untuk melayani Dia di
tempat kita berada.

2. Kita harus menjadi hamba yang baik terhadap tanggung jawab dan
karunia yang telah dipercayakan oleh Tuhan. Kita juga harus menjadi
rajin, setia, tetapi juga bijaksana. Kadang kala orang-orang Kristen
begitu bersemangat menjadi hamba yang baik, sehingga mereka menjadi
perfeksionis, terlalu sibuk, pada saat itulah kebijaksanaan
dibutuhkan, untuk menjadi pengimbang. Tidak semua hamba di dalam
perumpamaan Yesus diberi sepuluh talenta. Kita tidak boleh berusaha
sekuat tenaga untuk meniru orang lain, melainkan mengerjakan bidang
pelayanan kita sebaik mungkin di hadapan Tuhan.

3. Kita harus memiliki karakteristik seorang Kristen, terutama dengan
mengingat bahwa buah-buah Roh diberikan kepada kita ketika kita
tinggal di dalam Kristus yaitu kasih, perdamaian, kesabaran, kemurahan
hati, keramahan, kebajikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan
diri, akan tampak dengan jelas bagi komunitas di mana kita menjalani
keseharian kita.

Di dalam seluruh hal inilah kita menjalani bidang-bidang kehidupan
kita, berbeda dengan dunia di sekitar kita yang sering kali
nilai-nilainya berpusat kepada diri sendiri. Tanggung jawab dan
hubungan yang dianugerahkan oleh Tuhan dianggap tidak ada, setiap
orang hidup demi diri mereka masing-masing. Hal-hal inilah yang
menjadi faktor pendorong mereka: mereka mengejar kebahagiaan,
kesehatan, kekayaan, kenikmatan, ketenaran, dan kebebasan dari
tekanan. Semua hal itulah yang mewarnai kehidupan mereka.

4. Kita harus terus-menerus mencari kesempatan untuk mengucapkan
sebuah kata-kata yang tepat, mungkin untuk orang-orang di sekitar kita
yang merasa bahwa kehidupan mereka tidak seperti yang mereka harapkan,
atau jika kita lebih tua, kita dapat memberi semangat kepada
orang-orang yang merasa bahwa setiap hari dalam kehidupan mereka
adalah sebuah kesengsaraan dan berdoa bagi mereka.

Sebagai wanita Kristen, kita tidak hidup bagi diri kita sendiri,
tetapi bagi Tuhan Yesus yang telah menyelamatkan kita dan memberikan
hidup yang baru, serta memberikan Roh-Nya untuk menolong kita untuk
hidup bagi Dia setiap hari. Tidak hanya itu, kita juga menjalani
kehidupan kita sebagai anggota tubuh Kristus yang tidak hanya
mendukung kehidupan kita, tetapi juga memberi kita konteks yang lebih
luas dalam melayani-Nya. Tentu saja masih ada perbuatan Iblis, sifat
alamiah kita yang berdosa, dan keadaan di dunia yang berebut untuk
mengalihkan perhatian kita dari Tuhan, tetapi tak satu pun dari semua
hal itu yang dapat melampaui anugerah Allah di dalam kita untuk hidup
bagi Dia setiap hari. (tYudo)

Diterjemahkan dari:
Nama situs: Grace Magazine
Alamat URL: http://www.gracemagazine.org.uk/articles/devotional/serving.htm
Judul asli artikel: Serving God in everyday life ­- a woman’s perspective
Penulis: Rosemary Eccles
Tanggal Akses: 9 Sept 2011

              POTRET WANITA: HELEN ROSEVEARE (1925-...)

Helen Roseveare, seorang misionaris, tabib, dan penulis, dikenal atas
kesetiaan dan pelayanannya yang luar biasa kepada Tuhan. Dia
dilahirkan di Herfordshire, Inggris, dan mengenyam pendidikan di
Cambridge University, tempat dia bertobat pada tahun 1945. Di sinilah
dia memenuhi persyaratan sebagai dokter. Pada tahun 1953, dia pergi ke
Afrika dan mendirikan pusat medis di bawah naungan Worldwide
Evangelization Crusade (WEC) di Kongo Belgia (sekarang disebut Zaire).
Ketika pemberontakan dan peperangan saudara meluas di Zaire pada tahun
1964, dia sangat menderita; dia ditangkap oleh gerakan pemberontak dan
dipaksa meninggalkan daerah itu. Dari pengalaman ini, dia menulis
buku: Doctor among Congo Rebels (1965), Give Me This Mountain (1966),
dan Doctor Returns to Congo (1967). Karena pengalaman tersebut tidak
menggoyahkannya, dia kembali dua tahun kemudian dan membantu
mendirikan Evangelical Medical Center di Nyankunde.

Ketika dia kembali ke Inggris pada tahun 1973, dia mulai menulis lebih
banyak tentang pengalaman-pengalaman penginjilannya. Pada tahun 1976,
dia menerbitkan buku "He Gave Us a Valley". Kemudian dia melayani
sebagai staf di Missionary Training College dari WEC, di Glasgow,
Scotland.7 (t/Uly)

Diterjemahkan dari:
Judul buku: 100 Christian Women Who Changed the 20th Century
Penulis: Helen Kooiman Hosier
Penerbit: Fleming H. Revell, United States of America, 2002
Halaman: 261 -- 262

           STOP PRESS: INTERNATIONAL DAY OF PRAYER FOR THE
                    PERSECUTED CHURCH (IDOP)

Pada bulan kegiatan IDOP, gereja-gereja dan umat Kristen di seluruh
dunia berdoa bersama bagi gereja Tuhan yang teraniaya. Tahun ini,
kegiatan IDOP akan dilaksanakan secara serempak pada bulan November
2011.

Kami mengajak Anda, para gembala sidang, pengajar, pemimpin, kaum
muda, pendoa syafaat, dan semua orang percaya untuk dapat bergabung
dalam acara doa bersama ini. Dapatkan pula IDOP KIT untuk membantu
Anda berdoa dan menyusun acara IDOP di gereja, sekolah, atau
persekutuan doa Anda. Informasi lebih lanjut tentang acara IDOP, bisa
di lihat di < www.persecutedchurch.org >

"ARAHKAN PANDANGAN ANDA KEPADA TUHAN, MAKA KETAKUTAN PUN AKAN BERLALU"

Kontak: < wanita(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti, Fitri Nurhana
(c) 2011 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/wanita >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org >

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org