Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-wanita/46

e-Wanita edisi 46 (21-10-2010)

Mengelola Keuangan

____________e-Wanita -- Buletin Bulanan Wanita Kristen________________
                     Topik: Mengelola Keuangan
                       Edisi 46/Oktober 2010
______________________________________________________________________
                             MENU SAJI

- SUARA WANITA
- DUNIA WANITA 1: Butuh Uang Namun Tidak Cinta Uang
- DUNIA WANITA 2: Apakah Saya Orang yang Materialis?
- DUNIA WANITA 3: Sasaran Keuangan Anda
- WAWASAN WANITA: Bebas dari Jebakan Utang
- EDISI BERIKUTNYA
______________________________________________________________________
- SUARA WANITA

  Shalom,

  Masih melanjutkan edisi yang lalu, yaitu mengenai keuangan. Tidak
  ada satu pun manusia yang tidak membutuhkan uang. Semua manusia
  membutuhkan uang untuk membeli makanan, minuman, dan terlibat dalam
  aktivitas tertentu. Sahabat Wanita pasti juga merasakan betapa
  pentingnya uang untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Setiap orang
  memang membutuhkan uang tapi tidak semua orang cinta uang. Nah, apa
  perbedaannya mengenai hal ini?

  Sahabat Wanita, materi yang kita terima adalah pemberian Allah.
  Sebagai orang Kristen bagaimana kita harus menyikapi pemberian Allah
  ini? Banyak sekali saudara-saudara kita terjerat dengan masalah
  keuangan hingga menimbulkan banyak utang. Namun sebagai orang
  Kristen haruskah kita menuruti keinginan kita? Simaklah
  artikel-artikel dalam edisi ini dan terapkan dalam kehidupan supaya
  kita dapat menyikapi pemberian Allah sesuai dengan firman-Nya.

  Redaksi Tamu e-Wanita,
  Santi Titik Lestari
  http://wanita.sabda.org
  http://fb.sabda.org/wanita
______________________________________________________________________
- DUNIA WANITA 1

                  BUTUH UANG, NAMUN TIDAK CINTA UANG

  Butuh uang dan cinta uang merupakan dua hal yang berbeda. Namun
  kedua hal ini dapat menjadi terkait jika kita sudah terpikat dengan
  cinta uang. Setiap kita pasti membutuhkan uang: untuk membeli
  makanan, minuman, bahkan untuk ke toilet. Oleh karena itu, tidaklah
  masuk akal jika ada orang yang mengatakan bahwa kita tidak
  memerlukan uang lagi, atau bahwa uang adalah jahat. Setiap kita
  membutuhkan uang, sebab dengannya kita dapat bertransaksi atau
  melakukan jual beli.

  Kebutuhan akan uang di dalam hidup kita sangatlah mendesak. Segala
  sesuatu yang kita butuhkan selalu berhubungan dengan uang. Sedemikian
  pentingnya nilai uang di dalam hidup kita, sehingga kadang-kadang
  membuat kita lupa akan fungsi uang itu. Uang berfungsi untuk
  melakukan transaksi bukan untuk dicintai!

  Kebutuhan akan uang tidaklah sama artinya dengan mencintai uang.
  Kita butuh makan, tapi tidak cinta makan. Kita mencintai orang yang
  kita kasihi, tetapi kita tidak mengatakan kita butuh dia dalam
  pengertian tertentu. Orang yang mencintai uang memiliki ciri-ciri
  seperti di bawah ini.

  1. Segala sesuatu dinilai dengan uang.

     Setiap pekerjaan atau barang yang dimilikinya selalu tidak dapat
     lepas dari nilai uang. Bekerja lebih dari sejam saja ia sudah
     bersungut-sungut dan berteriak-teriak menuntut uang lembur. Ia
     tidak mau waktunya itu tidak dinilai dengan uang. Jika diminta
     mengantar ke suatu tempat harus ada uang jasanya. Hanya meminjam
     pun dikenakan uang sewa. Tidak ada yang tidak dinilai dengan
     uang. Orang seperti ini tidak mengerti akan apa yang Yesus
     katakan di dalam Injil. Yesus berkata, "Kalau seorang penguasa
     memaksa kalian memikul barangnya sejauh satu kilometer, pikullah
     sejauh dua  kilometer." (Matius 5:41)

  2. Selalu menuntut dan/atau menghargai orang dengan uang.

     Seperti anak kecil yang selalu menuntut atau meminta uang kepada
     orang tuanya; demikianlah orang yang menuntut atau meminta gaji
     naik dalam pekerjaan. Anak kecil meminta uang bukan berarti ia
     butuh, melainkan hanya untuk dipegang saja atau untuk jajan.
     Sedangkan orang dewasa meminta uang dengan alasan kebutuhannya
     tidak cukup, padahal kenyataannya besar pasak dari tiang.

     Penghargaan kepada orang hanya diberikan dalam bentuk uang tidak
     dalam bentuk kasih. Sepertinya lebih susah bagi kita untuk
     mengucapkan kata terima kasih kepada seseorang, dibandingkan
     dengan memberinya amplop. Budaya memberi sogok lebih enak
     diterima daripada kasih itu sendiri lewat ucapan terima kasih.

  3. Pikiran dan tujuan hidupnya selalu uang, kekayaan, harta, atau
     sejenisnya.

     "No money no time", "Cari uang dahulu baru cari Tuhan", "Sekolah
     setinggi-tingginya supaya kamu dapat banyak uang", "Kerja yang
     keras supaya banyak uang". Ungkapan-ungkapan di atas sering
     terjadi di masyarakat kita. Kita terjebak dengan cinta uang.
     Perhatikan bahwa Allah mengatakan akar segala kejahatan ialah
     cinta uang.  (1 Timotius 6:10)

     Hanya karena uang, terjadi pembunuhan. Karena rebutan warisan,
     maka terjadi permusuhan antarsaudara. Uang, uang, uang... adalah
     sumber kejahatan JIKA kita tidak menggunakan dengan tepat.
     Sebaliknya, uang dapat menjadi sumber berkat JIKA digunakan
     dengan baik. Di manakah posisi kita berada sekarang ini? Tidak
     ada kata atau posisi di antaranya, yang ada adalah cinta uang
     atau cinta Tuhan!

  Diambil dan disunting dari:
  Judul majalah: Masah, Edisi 4, Tahun II/2003
  Penulis: Tidak dicantumkan
  Penerbit: Pelayanan Komunikasi dan Informasi Youth With A Mission
            Indonesia, 2003
  Halaman: 15
______________________________________________________________________
- DUNIA WANITA 2

                  APAKAH SAYA ORANG YANG MATERIALIS?

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, materialisme berarti pandangan
  hidup yang mendasarkan segala sesuatu, termasuk kehidupan manusia,
  di dalam alam kebendaan semata-mata. Materialisme berarti
  mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indera. Dunia
  materi merupakan satu-satunya pokok atau tujuan utama. Manusia tidak
  memiliki unsur rohani; tidak ada Allah; tidak ada sesuatu di balik
  dunia jasmani. Yang ada hanyalah apa yang dapat ditangkap oleh panca
  indera. Orang-orang yang memegang pandangan ini, memunyai tujuan
  hidup hanya untuk meraih dan menikmati hal-hal materi saja, termasuk
  kepuasan tubuh jasmani.

  Orang-orang yang memegang paham atau pandangan ini mementingkan
  kebendaan, harta, uang, dsb.. Itu sebabnya mereka disebut materialis
  atau materialistis -- orang yang menjadikan hal-hal materi menjadi
  prioritas utama dalam hidupnya. Tuhan menjadi sesuatu yang sekunder.
  Mereka lupa bahwa materi itu juga merupakan suatu pemberian Allah
  yang harus diatur dengan baik dan bijaksana. Bila seseorang
  hidup hanya untuk mengumpulkan materi saja, tidak kecil kemungkinan
  ia akan menjadi budak materi. Firman Tuhan berkata, "Apakah
  kamu tidak tahu, bahwa apabila kamu menyerahkan dirimu kepada
  seseorang sebagai hamba untuk menaatinya, kamu adalah hamba orang
  itu, yang harus kamu taati... ?" (Roma 6:16)

  Alkitab tidak pernah melarang seseorang memiliki materi atau
  kekayaan. Dalam Alkitab kita jumpai leluhur bangsa Israel adalah
  orang-orang yang kaya. Dalam Ibrani 11 diceritakan penyebab utama
  keberhasilan hidup mereka ialah karena ketaatan dan kesetiaan kepada
  Allah. Bukankah firman Tuhan pun berkata "tetapi carilah dahulu
  Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya akan ditambahkannya
  kepadamu." (Matius 6:33) Alkitab banyak kali mengatakan tentang
  perbudakan yang ditimbulkan oleh materi, seperti cinta uang,
  keinginan yang tidak terkendalikan akan hal-hal materi, dan hidup
  yang dikuasai oleh materi.

  "Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam
  jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan mencelakakan,
  yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan.
  Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu
  uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa
  dirinya dengan berbagai-bagai duka." (1 Timotius 6:9-10)

  "Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa
  yang ada padamu." (Ibrani 13:5)

  "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab
  walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah
  tergantung daripada kekayaannya itu." (Lukas 12:15)

  "Lalu kekhawatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan dan
  keinginan-keinginan akan hal yang lain masuklah menghimpit Firman
  itu sehingga tidak berbuah." (Markus 4:19)

  Selain ayat-ayat ini, masih banyak lagi ayat lain memberikan
  gambaran bahwa hal materi (mementingkan materi) bisa memperhamba,
  menjerat, dan mencelakakan seseorang. Bahkan dapat membinasakan
  kehidupan manusia itu sendiri. Persaingan dalam dunia bisnis pun
  sering kali diwarnai dengan hal-hal ini. Tidak sedikit orang di
  dunia ini yang mengalami kehancuran akibat persaingan dalam dunia
  materi, seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, ataupun penodongan
  yang sering kali kita dengar atau lihat melalui media elektronik dan
  media cetak. Nilai-nilai lain seperti kasih dan kepedulian terhadap
  sesama, moral, dan kemanusiaan dikesampingkan karena kehidupan orang
  hanya dipusatkan pada materi saja. Lebih parah lagi kalau hanya
  karena materialisme, Tuhan dilupakan. Seorang yang mengatakan bahwa
  materilah yang dapat memberikan keamanan dan kesejahteraan dalam
  kehidupannya, cenderung tidak menggantungkan hidup kepada Allah.

  Hal yang sebenarnya perlu kita pahami adalah kekayaan materi adalah
  merupakan sesuatu pemberian atau berkat dari Allah, yang harus kita
  pergunakan sebaik-baiknya bagi kemuliaan nama-Nya. Kekayaan atau
  uang tidak menimbulkan masalah. Tapi yang menjadi masalah adalah
  sikap kita terhadap materi atau uang. Dalam perintahnya kepada
  Timotius, Paulus berkata; "Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di
  dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada
  sesuatu yang tidak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang
  dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk
  dinikmati. Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya
  dalam kebajikan, suka memberi dan membagi, dan dengan demikian
  mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya
  di waktu yang akan datang!" (1 Timotius 6:18-19) Lewat ayat ini
  jelas Tuhan Yesus tidak menentang kekayaan itu sendiri.

  Namun, sikap kita dalam mempergunakan kekayaan itulah yang harus
  kita pahami dan mengerti dengan benar. "Ada yang menyebar harta,
  tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun
  selalu berkekurangan. Siapa banyak memberi berkat, diberi
  kelimpahan,...." (Amsal 11:24-25) "Orang yang baik hati akan
  diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin." (Amsal
  22:9) Menyimpan harta di surga bukan berarti kita
  menghambur-hamburkan kekayaan kita tanpa motivasi yang benar (untuk
  menerima pujian dari orang lain). Kita harus memerhatikan motivasi
  dan tindakan kita ketika memberi. Hendaklah itu didasarkan karena
  kasih kita terhadap Allah dan juga kasih kita terhadap sesama. Hal
  inilah yang akan melepaskan dan membebaskan kita dari materialistis.

  Diambil dan disunting seperlunya dari:
  Judul majalah: Pukat, Tahun XIV, Edisi Januari -- Februari 1996
  Judul artikel: Materialismekah Saya?
  Penulis: Denny Rozali
  Penerbit: GBI Mawar Saron, Jakarta 1996
  Halaman: 45 -- 46
______________________________________________________________________
- DUNIA WANITA 3

                        SASARAN KEUANGAN ANDA

  Belum lama ini saya mendengar tentang sepasang suami istri yang
  membangun sebuah rumah. Mereka membuat hanya satu kesalahan --
  mereka membangun tanpa cetak biru. Akibatnya, bangunan itu memunyai
  kamar tidur yang banyak, tetapi tidak ada ruang makan atau dapur.
  Sebuah cerita yang agak bodoh, tetapi cerita ini menunjukkan suatu
  maksud yang baik.

  Merencanakan tujuan adalah suatu keahlian yang dapat Anda
  kembangkan. Apabila dilakukan dengan cara yang benar, hal ini akan
  memberi tujuan dan rencana jangka panjang pada keuangan Anda.
  Tetapi, sebelum menetapkan sasaran, langkah pertamanya adalah
  membentuk suatu pernyataan tujuan keuangan Anda sebagai alat
  pengukur yang dapat menolong Anda mengukur semua sasaran keuangan
  Anda dalam skala yang lebih kecil. Misalnya, Anda mungkin
  memutuskan, "Kami akan memuliakan Allah dengan keuangan kami." Kalau
  Anda memilih suatu sasaran namun ternyata sasaran itu tidak
  memuliakan Allah, maka Anda perlu mengganti sasaran tersebut supaya
  sejalan dengan tujuan Anda.

  Ada empat alasan yang dapat saya pikirkan mengapa kita perlu
  menetapkan sasaran keuangan. Pertama, yang terpenting ialah bahwa
  sasaran keuangan itu menyediakan arah dan tujuan atau maksud. Itulah
  garis akhirnya. Apabila seorang pelari berlari dalam suatu
  perlombaan, ia tahu betul ke arah mana ia berlari, dan ia
  mengarahkan seluruh usahanya ke sana. Apabila Anda menetapkan
  sasaran, pilihan-pilihan Anda akan menjadi lebih berarti. Kalau Anda
  tidak memunyai sasaran, sangat mudah untuk menyimpang karena keadaan
  lingkungan, orang-orang, atau perasaan, lalu akhirnya Anda tidak
  mencapai garis akhir.

  Kedua, sasaran keuangan juga membantu memberi bentuk yang jelas pada
  cara berpikir Anda. Menetapkan suatu sasaran akan menolong Anda
  memikirkan apa yang Anda sebenarnya ingin capai. Khususnya jika Anda
  membuat waktu untuk menulis sasaran Anda di atas sehelai kertas.

  Ketiga, sasaran keuangan memberikan motivasi. Ketika saya bersekolah
  di Indiana University pada tahun 1960, saya memunyai satu tujuan:
  bersenang-senang. Saya berhasil mencapai tujuan saya, namun dua kali
  saya diminta untuk keluar dari sekolah! Pada kesempatan terakhir
  saya kembali ke sekolah bertemu dengan calon istri saya, lalu saya
  mulai berpikir mengenai tujuan karier saya. Saat itu saya menetapkan
  tujuan untuk menjadi CPA (Akuntan Umum Berijazah). Kemudian saya
  lulus dengan gelar kehormatan. Saya tidak tiba-tiba menjadi lebih
  pandai, tetapi tujuan saya telah berubah dan hal itu memberi saya
  motivasi yang baru.

  Keempat, sasaran keuangan Anda dapat merupakan suatu pernyataan
  kehendak Allah bagi Anda. Sasaran merupakan tujuan di masa depan,
  dan hanya Allah yang hidup di masa depan. Apabila Anda menetapkan
  suatu sasaran, maka Anda mengatakan, "Jika Allah berkehendak, saya
  akan mencapai yang berikut."

  Pertanyaan berikut ialah: bagaimana menetapkan sasaran?

  Saya telah menemukan empat langkah yang menentukan. Langkah pertama,
  dan pasti yang paling menentukan, ialah menyimpan waktu dengan
  Tuhan. Ia ingin terlibat dalam kehidupan Anda, dan Ia telah berjanji
  bahwa "setiap orang yang minta akan diberi; yang mencari akan
  mendapat; dan yang mengetuk pintu, baginya pintu akan dibukakan."
  (Matius 7:8). Juga, "Kalau ada seorang di antaramu yang kurang
  bijaksana, hendaklah ia memintanya dari Allah, maka Allah akan
  memberikan kebijaksanaan kepadanya; sebab kepada setiap orang, Allah
  memberi dengan murah hati dan dengan perasaan belas kasihan."
  (Yakobus 1:5) Jikalau kita melalaikan waktu bersama Allah, sasaran
  kita akan menjadi daftar keinginan pribadi, lalu Ia tidak dapat
  menjadi bagian dari sasaran tersebut jika tercapai.

  Kedua, saat Anda menyimpan waktu dengan Allah, catatlah
  pemikiran-pemikiran Anda. Seiring dengan waktu, saat Anda mencatat
  kesan-kesan ini, Allah akan memberikan kepastian dan keyakinan.
  Penting sekali untuk mencatat sasaran Anda. Lalu, ketika Anda diuji,
  Anda dapat membuka kembali catatan harian Anda dan mendapat
  keyakinan bahwa apa yang Anda lakukan adalah kehendak Allah.

  Ketiga, penting sekali agar Anda membuat sasaran keuangan yang dapat
  diukur. Misalnya, "untuk menabung uang lebih banyak" bukanlah suatu
  sasaran; itu adalah suatu pernyataan tujuan. "Untuk menabung Rp
  500.000,00 tiap bulan selama 12 bulan" adalah suatu sasaran. Kalau
  Anda menetapkan sasaran yang dapat diukur, Anda akan mengetahui jika
  Anda sudah mencapainya.

  Akhirnya, bertindaklah ke arah sasaran Anda. Iman ialah bertindak
  sesuai dengan apa yang Anda ketahui mengenai kehendak Allah bagi
  Anda, apa yang Ia inginkan untuk Anda lakukan. Itu adalah kata
  kerja, dan Anda tidak pernah akan mencapai sasaran Anda jika Anda
  tidak bertindak.

  Diambil dan disunting seperlunya dari:
  Judul majalah: HARVESTER, Edisi Maret/April, Tahun 1994
  Penulis: Ron Blue
  Penerbit: Indonesian Harvest Outreach, 1994
  Halaman: 17
______________________________________________________________________
- WAWASAN WANITA

                          BEBAS DARI JEBAKAN UTANG

  Kendati sudah berusaha keras supaya tidak berutang, ternyata tetap
  ada kebutuhan mendesak yang mesti dipenuhi padahal penghasilan tidak
  mencukupi. Sebelum memutuskan untuk berutang, ada baiknya Anda
  merenungkan kiat-kiat berikut ini, supaya utang yang dimaksudkan
  untuk membantu kita keluar dari masalah keuangan tidak malah membuat
  kita terpuruk.

  1. Menguji motivasi.

     Sebelum mengambil utang, kita harus menguji motivasi kita. Jangan
     sekali-kali berutang jika kita tidak tahu motivasi kita. Apakah
     utang ini memang merupakan "keinginan" atau "kebutuhan"? Utang
     yang timbul akibat keinginan biasanya merupakan utang yang buruk.
     Kita seharusnya mengajukan pertanyaan, "Apakah yang akan terjadi
     dalam hidup saya jika saya tidak mengambil utang?" Jika ternyata
     dampaknya tidak terlalu besar lebih baik kita tidak berutang!

     "Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri,
     karena ia diseret dan dipikat olehnya." (Yakobus 1:14)

  2. Mencukupkan diri.

     Jika kita bisa mengelola berkat Tuhan dengan baik -- menyesuaikan
     antara penghasilan dan pengeluaran -- kita tidak perlu berutang.
     Untuk itu kita harus mencukupkan diri dengan apa yang ada pada
     kita. Seperti yang dilakukan Paulus:

     "Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah
     belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan." (Filipi 4:11)

  3. Mengerti konsekuensi jika memiliki utang.

     Firman Tuhan dengan tegas menyatakan bahwa hidup dalam utang
     adalah hidup seperti budak. "Orang kaya menguasai orang miskin,
     yang berutang menjadi budak dari yang mengutangi." (Amsal 22:7)
     Dengan memiliki utang, kita harus menyadari bahwa gaya hidup kita
     pasti akan berubah. Apakah kita siap dengan adanya perubahan ini?
     Seberapa banyak perubahan yang akan kita alami? Kita harus
     menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sehingga kita tidak kaget
     hidup dengan utang. Banyak orang tidak pernah memikirkan hal ini
     sehingga tidak mempersiapkan hidup "baru" mereka karena memiliki
     utang.

  4. Mengerti konsekuensi jika tidak bisa membayar utang.

     Kita harus melihat konsekuensi terburuk dari utang yang kita
     ambil. Dengan begitu, kita bisa memeriksa kesiapan diri kita jika
     kejadian yang paling buruk itu terjadi. Sering kali, kita hanya
     melihat sisi baik dari utang sehingga tidak siap apabila terjadi
     hal buruk. Ingat, kemungkinan mendapatkan untung senantiasa
     sebanding dengan kemungkinan mendapatkan kerugian. Oleh karena
     itu, kita harus memperlengkapi diri dengan ketekunan dan tanggung
     jawab tinggi sehingga bisa menyelesaikan utang sesuai dengan
     rencana.

     "... dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi
     pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta
     pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada
     padamu,..." (1 Petrus 3:15)

  5. Menggunakan utang/kredit secara tepat.

     a. Untuk membeli barang yang memiliki nilai yang terus bertambah.
        Dengan melakukan hal ini sebenarnya kita sedang mengamankan
        diri jika terjadi keadaan buruk. Ada kemungkinan, kita masuk
        dalam masa sulit yang membuat kita tidak bisa membayar utang
        kita. Dalam kondisi seperti ini, kita mungkin harus menjual
        barang itu untuk menutupi utang. Jika nilai barang itu lebih
        tinggi dari saat kita membelinya kita sudah siap. Yang
        termasuk dalam golongan ini adalah pembelian rumah atau tanah.

     b. Untuk membeli barang-barang yang bisa menghasilkan uang
        tambahan. Utang yang kita ambil bisa menjadi utang yang
        bermanfaat jika kita menggunakannya untuk modal usaha. Namun
        demikian, utang seperti ini tetap mengandung risiko. Ada
        kemungkinan usaha yang kita jalankan dengan menggunakan utang
        akan mengalami kerugian. Oleh karena itu, perlu perhitungan
        yang sangat matang sebelum mengambil utang untuk memperbesar
        usaha.

     c. Jangan gunakan untuk membeli barang konsumtif. Berutang untuk
        membeli barang-barang konsumtif yang nilainya terus menurun
        adalah keputusan yang sangat bodoh. Yang merupakan barang
        konsumtif di sini adalah: HP, barang elektronik, dan
        sejenisnya.

  6. Besar maksimal uang cicilan per bulan tidak boleh melebihi 30%
     dari pendapatan yang diterima.

     Jika kita mendapatkan gaji sebesar 1 juta rupiah per bulan,
     sebaiknya total cicilan hutang kita tidak lebih dari 300 ribu
     rupiah. Hal ini akan membuat hidup kita menjadi tidak terlalu
     tertekan.

  7. Mengambil tindakan tegas ketika mendeteksi adanya kemungkinan
     tidak bisa membayar utang.

     Kita harus berani mengambil tindakan tegas jika ada tanda-tanda
     kita tidak bisa meneruskan cicilan utang. Jika terlambat
     bertindak, bisa-bisa kita akan rugi besar. Keputusan terakhir
     yang bisa kita ambil adalah menjual barang yang kita beli dengan
     utang untuk membayar semua utang kita.

  Diambil dan disunting seperlunya dari:
  Judul majalah: Bahana, Edisi Mei 2005, Volume 169
  Penulis: Benny Santoso
  Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta 2005
  Halaman: 45
______________________________________________________________________
- EDISI BERIKUTNYA

  Allah menghendaki agar setiap suami dapat menjadi "Iman dan Raja"
  dalam rumah tangga mereka. Namun demikian, banyak kita jumpai para
  suami-suami hanya berfungsi sebagai "Raja" saja, dan melupakan
  kewajibannya sebagai "Iman". Bagaimana wanita Kristen menyikapi jika
  ia memiliki seorang suami yang tidak bisa berperan sebagai seorang
  "Iman" dalam rumah tangga mereka? Untuk mendapatkan jawabannya, kami
  mengajak sahabat wanita untuk tidak melewatkan sajian kami dalam
  edisi 47 dan 48. Kami juga mengajak sahabat wanita untuk mengirimkan
  tulisan kepada kami, baik dalam bentuk kesaksian atau artikel, yang
  sekiranya dapat memberkati wanita-wanita Kristen yang lain. Tuhan
  Yesus memberkati.
______________________________________________________________________
 Korespondensi dan kontribusi bahan dapat dikirimkan kepada redaksi:
  < wanita(at)sabda.org > atau < owner-i-kan-wanita(at)hub.xc.org >
______________________________________________________________________
Berlangganan via email: < subscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org >
Berhenti berlangganan < unsubscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org >
Arsip e-Wanita: http://www.sabda.org/publikasi/e-wanita
Facebook e-Wanita: http://fb.sabda.org/wanita
Twitter e-Wanita: http://twitter.com/sabdawanita
______________________________________________________________________
Pimpinan Redaksi: Novita Yuniarti
Staf Redaksi: Truly Almendo Pasaribu
Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN
Copyright (c) 2010 e-Wanita / YLSA -- http://www.ylsa.org
Katalog SABDA: http://katalog.sabda.org
Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati

________________MILIS PUBLIKASI WANITA KRISTEN INDONESIA______________

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org