Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-wanita/46 |
|
e-Wanita edisi 46 (21-10-2010)
|
|
____________e-Wanita -- Buletin Bulanan Wanita Kristen________________ Topik: Mengelola Keuangan Edisi 46/Oktober 2010 ______________________________________________________________________ MENU SAJI - SUARA WANITA - DUNIA WANITA 1: Butuh Uang Namun Tidak Cinta Uang - DUNIA WANITA 2: Apakah Saya Orang yang Materialis? - DUNIA WANITA 3: Sasaran Keuangan Anda - WAWASAN WANITA: Bebas dari Jebakan Utang - EDISI BERIKUTNYA ______________________________________________________________________ - SUARA WANITA Shalom, Masih melanjutkan edisi yang lalu, yaitu mengenai keuangan. Tidak ada satu pun manusia yang tidak membutuhkan uang. Semua manusia membutuhkan uang untuk membeli makanan, minuman, dan terlibat dalam aktivitas tertentu. Sahabat Wanita pasti juga merasakan betapa pentingnya uang untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Setiap orang memang membutuhkan uang tapi tidak semua orang cinta uang. Nah, apa perbedaannya mengenai hal ini? Sahabat Wanita, materi yang kita terima adalah pemberian Allah. Sebagai orang Kristen bagaimana kita harus menyikapi pemberian Allah ini? Banyak sekali saudara-saudara kita terjerat dengan masalah keuangan hingga menimbulkan banyak utang. Namun sebagai orang Kristen haruskah kita menuruti keinginan kita? Simaklah artikel-artikel dalam edisi ini dan terapkan dalam kehidupan supaya kita dapat menyikapi pemberian Allah sesuai dengan firman-Nya. Redaksi Tamu e-Wanita, Santi Titik Lestari http://wanita.sabda.org http://fb.sabda.org/wanita ______________________________________________________________________ - DUNIA WANITA 1 BUTUH UANG, NAMUN TIDAK CINTA UANG Butuh uang dan cinta uang merupakan dua hal yang berbeda. Namun kedua hal ini dapat menjadi terkait jika kita sudah terpikat dengan cinta uang. Setiap kita pasti membutuhkan uang: untuk membeli makanan, minuman, bahkan untuk ke toilet. Oleh karena itu, tidaklah masuk akal jika ada orang yang mengatakan bahwa kita tidak memerlukan uang lagi, atau bahwa uang adalah jahat. Setiap kita membutuhkan uang, sebab dengannya kita dapat bertransaksi atau melakukan jual beli. Kebutuhan akan uang di dalam hidup kita sangatlah mendesak. Segala sesuatu yang kita butuhkan selalu berhubungan dengan uang. Sedemikian pentingnya nilai uang di dalam hidup kita, sehingga kadang-kadang membuat kita lupa akan fungsi uang itu. Uang berfungsi untuk melakukan transaksi bukan untuk dicintai! Kebutuhan akan uang tidaklah sama artinya dengan mencintai uang. Kita butuh makan, tapi tidak cinta makan. Kita mencintai orang yang kita kasihi, tetapi kita tidak mengatakan kita butuh dia dalam pengertian tertentu. Orang yang mencintai uang memiliki ciri-ciri seperti di bawah ini. 1. Segala sesuatu dinilai dengan uang. Setiap pekerjaan atau barang yang dimilikinya selalu tidak dapat lepas dari nilai uang. Bekerja lebih dari sejam saja ia sudah bersungut-sungut dan berteriak-teriak menuntut uang lembur. Ia tidak mau waktunya itu tidak dinilai dengan uang. Jika diminta mengantar ke suatu tempat harus ada uang jasanya. Hanya meminjam pun dikenakan uang sewa. Tidak ada yang tidak dinilai dengan uang. Orang seperti ini tidak mengerti akan apa yang Yesus katakan di dalam Injil. Yesus berkata, "Kalau seorang penguasa memaksa kalian memikul barangnya sejauh satu kilometer, pikullah sejauh dua kilometer." (Matius 5:41) 2. Selalu menuntut dan/atau menghargai orang dengan uang. Seperti anak kecil yang selalu menuntut atau meminta uang kepada orang tuanya; demikianlah orang yang menuntut atau meminta gaji naik dalam pekerjaan. Anak kecil meminta uang bukan berarti ia butuh, melainkan hanya untuk dipegang saja atau untuk jajan. Sedangkan orang dewasa meminta uang dengan alasan kebutuhannya tidak cukup, padahal kenyataannya besar pasak dari tiang. Penghargaan kepada orang hanya diberikan dalam bentuk uang tidak dalam bentuk kasih. Sepertinya lebih susah bagi kita untuk mengucapkan kata terima kasih kepada seseorang, dibandingkan dengan memberinya amplop. Budaya memberi sogok lebih enak diterima daripada kasih itu sendiri lewat ucapan terima kasih. 3. Pikiran dan tujuan hidupnya selalu uang, kekayaan, harta, atau sejenisnya. "No money no time", "Cari uang dahulu baru cari Tuhan", "Sekolah setinggi-tingginya supaya kamu dapat banyak uang", "Kerja yang keras supaya banyak uang". Ungkapan-ungkapan di atas sering terjadi di masyarakat kita. Kita terjebak dengan cinta uang. Perhatikan bahwa Allah mengatakan akar segala kejahatan ialah cinta uang. (1 Timotius 6:10) Hanya karena uang, terjadi pembunuhan. Karena rebutan warisan, maka terjadi permusuhan antarsaudara. Uang, uang, uang... adalah sumber kejahatan JIKA kita tidak menggunakan dengan tepat. Sebaliknya, uang dapat menjadi sumber berkat JIKA digunakan dengan baik. Di manakah posisi kita berada sekarang ini? Tidak ada kata atau posisi di antaranya, yang ada adalah cinta uang atau cinta Tuhan! Diambil dan disunting dari: Judul majalah: Masah, Edisi 4, Tahun II/2003 Penulis: Tidak dicantumkan Penerbit: Pelayanan Komunikasi dan Informasi Youth With A Mission Indonesia, 2003 Halaman: 15 ______________________________________________________________________ - DUNIA WANITA 2 APAKAH SAYA ORANG YANG MATERIALIS? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, materialisme berarti pandangan hidup yang mendasarkan segala sesuatu, termasuk kehidupan manusia, di dalam alam kebendaan semata-mata. Materialisme berarti mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indera. Dunia materi merupakan satu-satunya pokok atau tujuan utama. Manusia tidak memiliki unsur rohani; tidak ada Allah; tidak ada sesuatu di balik dunia jasmani. Yang ada hanyalah apa yang dapat ditangkap oleh panca indera. Orang-orang yang memegang pandangan ini, memunyai tujuan hidup hanya untuk meraih dan menikmati hal-hal materi saja, termasuk kepuasan tubuh jasmani. Orang-orang yang memegang paham atau pandangan ini mementingkan kebendaan, harta, uang, dsb.. Itu sebabnya mereka disebut materialis atau materialistis -- orang yang menjadikan hal-hal materi menjadi prioritas utama dalam hidupnya. Tuhan menjadi sesuatu yang sekunder. Mereka lupa bahwa materi itu juga merupakan suatu pemberian Allah yang harus diatur dengan baik dan bijaksana. Bila seseorang hidup hanya untuk mengumpulkan materi saja, tidak kecil kemungkinan ia akan menjadi budak materi. Firman Tuhan berkata, "Apakah kamu tidak tahu, bahwa apabila kamu menyerahkan dirimu kepada seseorang sebagai hamba untuk menaatinya, kamu adalah hamba orang itu, yang harus kamu taati... ?" (Roma 6:16) Alkitab tidak pernah melarang seseorang memiliki materi atau kekayaan. Dalam Alkitab kita jumpai leluhur bangsa Israel adalah orang-orang yang kaya. Dalam Ibrani 11 diceritakan penyebab utama keberhasilan hidup mereka ialah karena ketaatan dan kesetiaan kepada Allah. Bukankah firman Tuhan pun berkata "tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya akan ditambahkannya kepadamu." (Matius 6:33) Alkitab banyak kali mengatakan tentang perbudakan yang ditimbulkan oleh materi, seperti cinta uang, keinginan yang tidak terkendalikan akan hal-hal materi, dan hidup yang dikuasai oleh materi. "Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka." (1 Timotius 6:9-10) "Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu." (Ibrani 13:5) "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung daripada kekayaannya itu." (Lukas 12:15) "Lalu kekhawatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan dan keinginan-keinginan akan hal yang lain masuklah menghimpit Firman itu sehingga tidak berbuah." (Markus 4:19) Selain ayat-ayat ini, masih banyak lagi ayat lain memberikan gambaran bahwa hal materi (mementingkan materi) bisa memperhamba, menjerat, dan mencelakakan seseorang. Bahkan dapat membinasakan kehidupan manusia itu sendiri. Persaingan dalam dunia bisnis pun sering kali diwarnai dengan hal-hal ini. Tidak sedikit orang di dunia ini yang mengalami kehancuran akibat persaingan dalam dunia materi, seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, ataupun penodongan yang sering kali kita dengar atau lihat melalui media elektronik dan media cetak. Nilai-nilai lain seperti kasih dan kepedulian terhadap sesama, moral, dan kemanusiaan dikesampingkan karena kehidupan orang hanya dipusatkan pada materi saja. Lebih parah lagi kalau hanya karena materialisme, Tuhan dilupakan. Seorang yang mengatakan bahwa materilah yang dapat memberikan keamanan dan kesejahteraan dalam kehidupannya, cenderung tidak menggantungkan hidup kepada Allah. Hal yang sebenarnya perlu kita pahami adalah kekayaan materi adalah merupakan sesuatu pemberian atau berkat dari Allah, yang harus kita pergunakan sebaik-baiknya bagi kemuliaan nama-Nya. Kekayaan atau uang tidak menimbulkan masalah. Tapi yang menjadi masalah adalah sikap kita terhadap materi atau uang. Dalam perintahnya kepada Timotius, Paulus berkata; "Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tidak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati. Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi, dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang!" (1 Timotius 6:18-19) Lewat ayat ini jelas Tuhan Yesus tidak menentang kekayaan itu sendiri. Namun, sikap kita dalam mempergunakan kekayaan itulah yang harus kita pahami dan mengerti dengan benar. "Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan. Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan,...." (Amsal 11:24-25) "Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin." (Amsal 22:9) Menyimpan harta di surga bukan berarti kita menghambur-hamburkan kekayaan kita tanpa motivasi yang benar (untuk menerima pujian dari orang lain). Kita harus memerhatikan motivasi dan tindakan kita ketika memberi. Hendaklah itu didasarkan karena kasih kita terhadap Allah dan juga kasih kita terhadap sesama. Hal inilah yang akan melepaskan dan membebaskan kita dari materialistis. Diambil dan disunting seperlunya dari: Judul majalah: Pukat, Tahun XIV, Edisi Januari -- Februari 1996 Judul artikel: Materialismekah Saya? Penulis: Denny Rozali Penerbit: GBI Mawar Saron, Jakarta 1996 Halaman: 45 -- 46 ______________________________________________________________________ - DUNIA WANITA 3 SASARAN KEUANGAN ANDA Belum lama ini saya mendengar tentang sepasang suami istri yang membangun sebuah rumah. Mereka membuat hanya satu kesalahan -- mereka membangun tanpa cetak biru. Akibatnya, bangunan itu memunyai kamar tidur yang banyak, tetapi tidak ada ruang makan atau dapur. Sebuah cerita yang agak bodoh, tetapi cerita ini menunjukkan suatu maksud yang baik. Merencanakan tujuan adalah suatu keahlian yang dapat Anda kembangkan. Apabila dilakukan dengan cara yang benar, hal ini akan memberi tujuan dan rencana jangka panjang pada keuangan Anda. Tetapi, sebelum menetapkan sasaran, langkah pertamanya adalah membentuk suatu pernyataan tujuan keuangan Anda sebagai alat pengukur yang dapat menolong Anda mengukur semua sasaran keuangan Anda dalam skala yang lebih kecil. Misalnya, Anda mungkin memutuskan, "Kami akan memuliakan Allah dengan keuangan kami." Kalau Anda memilih suatu sasaran namun ternyata sasaran itu tidak memuliakan Allah, maka Anda perlu mengganti sasaran tersebut supaya sejalan dengan tujuan Anda. Ada empat alasan yang dapat saya pikirkan mengapa kita perlu menetapkan sasaran keuangan. Pertama, yang terpenting ialah bahwa sasaran keuangan itu menyediakan arah dan tujuan atau maksud. Itulah garis akhirnya. Apabila seorang pelari berlari dalam suatu perlombaan, ia tahu betul ke arah mana ia berlari, dan ia mengarahkan seluruh usahanya ke sana. Apabila Anda menetapkan sasaran, pilihan-pilihan Anda akan menjadi lebih berarti. Kalau Anda tidak memunyai sasaran, sangat mudah untuk menyimpang karena keadaan lingkungan, orang-orang, atau perasaan, lalu akhirnya Anda tidak mencapai garis akhir. Kedua, sasaran keuangan juga membantu memberi bentuk yang jelas pada cara berpikir Anda. Menetapkan suatu sasaran akan menolong Anda memikirkan apa yang Anda sebenarnya ingin capai. Khususnya jika Anda membuat waktu untuk menulis sasaran Anda di atas sehelai kertas. Ketiga, sasaran keuangan memberikan motivasi. Ketika saya bersekolah di Indiana University pada tahun 1960, saya memunyai satu tujuan: bersenang-senang. Saya berhasil mencapai tujuan saya, namun dua kali saya diminta untuk keluar dari sekolah! Pada kesempatan terakhir saya kembali ke sekolah bertemu dengan calon istri saya, lalu saya mulai berpikir mengenai tujuan karier saya. Saat itu saya menetapkan tujuan untuk menjadi CPA (Akuntan Umum Berijazah). Kemudian saya lulus dengan gelar kehormatan. Saya tidak tiba-tiba menjadi lebih pandai, tetapi tujuan saya telah berubah dan hal itu memberi saya motivasi yang baru. Keempat, sasaran keuangan Anda dapat merupakan suatu pernyataan kehendak Allah bagi Anda. Sasaran merupakan tujuan di masa depan, dan hanya Allah yang hidup di masa depan. Apabila Anda menetapkan suatu sasaran, maka Anda mengatakan, "Jika Allah berkehendak, saya akan mencapai yang berikut." Pertanyaan berikut ialah: bagaimana menetapkan sasaran? Saya telah menemukan empat langkah yang menentukan. Langkah pertama, dan pasti yang paling menentukan, ialah menyimpan waktu dengan Tuhan. Ia ingin terlibat dalam kehidupan Anda, dan Ia telah berjanji bahwa "setiap orang yang minta akan diberi; yang mencari akan mendapat; dan yang mengetuk pintu, baginya pintu akan dibukakan." (Matius 7:8). Juga, "Kalau ada seorang di antaramu yang kurang bijaksana, hendaklah ia memintanya dari Allah, maka Allah akan memberikan kebijaksanaan kepadanya; sebab kepada setiap orang, Allah memberi dengan murah hati dan dengan perasaan belas kasihan." (Yakobus 1:5) Jikalau kita melalaikan waktu bersama Allah, sasaran kita akan menjadi daftar keinginan pribadi, lalu Ia tidak dapat menjadi bagian dari sasaran tersebut jika tercapai. Kedua, saat Anda menyimpan waktu dengan Allah, catatlah pemikiran-pemikiran Anda. Seiring dengan waktu, saat Anda mencatat kesan-kesan ini, Allah akan memberikan kepastian dan keyakinan. Penting sekali untuk mencatat sasaran Anda. Lalu, ketika Anda diuji, Anda dapat membuka kembali catatan harian Anda dan mendapat keyakinan bahwa apa yang Anda lakukan adalah kehendak Allah. Ketiga, penting sekali agar Anda membuat sasaran keuangan yang dapat diukur. Misalnya, "untuk menabung uang lebih banyak" bukanlah suatu sasaran; itu adalah suatu pernyataan tujuan. "Untuk menabung Rp 500.000,00 tiap bulan selama 12 bulan" adalah suatu sasaran. Kalau Anda menetapkan sasaran yang dapat diukur, Anda akan mengetahui jika Anda sudah mencapainya. Akhirnya, bertindaklah ke arah sasaran Anda. Iman ialah bertindak sesuai dengan apa yang Anda ketahui mengenai kehendak Allah bagi Anda, apa yang Ia inginkan untuk Anda lakukan. Itu adalah kata kerja, dan Anda tidak pernah akan mencapai sasaran Anda jika Anda tidak bertindak. Diambil dan disunting seperlunya dari: Judul majalah: HARVESTER, Edisi Maret/April, Tahun 1994 Penulis: Ron Blue Penerbit: Indonesian Harvest Outreach, 1994 Halaman: 17 ______________________________________________________________________ - WAWASAN WANITA BEBAS DARI JEBAKAN UTANG Kendati sudah berusaha keras supaya tidak berutang, ternyata tetap ada kebutuhan mendesak yang mesti dipenuhi padahal penghasilan tidak mencukupi. Sebelum memutuskan untuk berutang, ada baiknya Anda merenungkan kiat-kiat berikut ini, supaya utang yang dimaksudkan untuk membantu kita keluar dari masalah keuangan tidak malah membuat kita terpuruk. 1. Menguji motivasi. Sebelum mengambil utang, kita harus menguji motivasi kita. Jangan sekali-kali berutang jika kita tidak tahu motivasi kita. Apakah utang ini memang merupakan "keinginan" atau "kebutuhan"? Utang yang timbul akibat keinginan biasanya merupakan utang yang buruk. Kita seharusnya mengajukan pertanyaan, "Apakah yang akan terjadi dalam hidup saya jika saya tidak mengambil utang?" Jika ternyata dampaknya tidak terlalu besar lebih baik kita tidak berutang! "Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya." (Yakobus 1:14) 2. Mencukupkan diri. Jika kita bisa mengelola berkat Tuhan dengan baik -- menyesuaikan antara penghasilan dan pengeluaran -- kita tidak perlu berutang. Untuk itu kita harus mencukupkan diri dengan apa yang ada pada kita. Seperti yang dilakukan Paulus: "Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan." (Filipi 4:11) 3. Mengerti konsekuensi jika memiliki utang. Firman Tuhan dengan tegas menyatakan bahwa hidup dalam utang adalah hidup seperti budak. "Orang kaya menguasai orang miskin, yang berutang menjadi budak dari yang mengutangi." (Amsal 22:7) Dengan memiliki utang, kita harus menyadari bahwa gaya hidup kita pasti akan berubah. Apakah kita siap dengan adanya perubahan ini? Seberapa banyak perubahan yang akan kita alami? Kita harus menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sehingga kita tidak kaget hidup dengan utang. Banyak orang tidak pernah memikirkan hal ini sehingga tidak mempersiapkan hidup "baru" mereka karena memiliki utang. 4. Mengerti konsekuensi jika tidak bisa membayar utang. Kita harus melihat konsekuensi terburuk dari utang yang kita ambil. Dengan begitu, kita bisa memeriksa kesiapan diri kita jika kejadian yang paling buruk itu terjadi. Sering kali, kita hanya melihat sisi baik dari utang sehingga tidak siap apabila terjadi hal buruk. Ingat, kemungkinan mendapatkan untung senantiasa sebanding dengan kemungkinan mendapatkan kerugian. Oleh karena itu, kita harus memperlengkapi diri dengan ketekunan dan tanggung jawab tinggi sehingga bisa menyelesaikan utang sesuai dengan rencana. "... dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu,..." (1 Petrus 3:15) 5. Menggunakan utang/kredit secara tepat. a. Untuk membeli barang yang memiliki nilai yang terus bertambah. Dengan melakukan hal ini sebenarnya kita sedang mengamankan diri jika terjadi keadaan buruk. Ada kemungkinan, kita masuk dalam masa sulit yang membuat kita tidak bisa membayar utang kita. Dalam kondisi seperti ini, kita mungkin harus menjual barang itu untuk menutupi utang. Jika nilai barang itu lebih tinggi dari saat kita membelinya kita sudah siap. Yang termasuk dalam golongan ini adalah pembelian rumah atau tanah. b. Untuk membeli barang-barang yang bisa menghasilkan uang tambahan. Utang yang kita ambil bisa menjadi utang yang bermanfaat jika kita menggunakannya untuk modal usaha. Namun demikian, utang seperti ini tetap mengandung risiko. Ada kemungkinan usaha yang kita jalankan dengan menggunakan utang akan mengalami kerugian. Oleh karena itu, perlu perhitungan yang sangat matang sebelum mengambil utang untuk memperbesar usaha. c. Jangan gunakan untuk membeli barang konsumtif. Berutang untuk membeli barang-barang konsumtif yang nilainya terus menurun adalah keputusan yang sangat bodoh. Yang merupakan barang konsumtif di sini adalah: HP, barang elektronik, dan sejenisnya. 6. Besar maksimal uang cicilan per bulan tidak boleh melebihi 30% dari pendapatan yang diterima. Jika kita mendapatkan gaji sebesar 1 juta rupiah per bulan, sebaiknya total cicilan hutang kita tidak lebih dari 300 ribu rupiah. Hal ini akan membuat hidup kita menjadi tidak terlalu tertekan. 7. Mengambil tindakan tegas ketika mendeteksi adanya kemungkinan tidak bisa membayar utang. Kita harus berani mengambil tindakan tegas jika ada tanda-tanda kita tidak bisa meneruskan cicilan utang. Jika terlambat bertindak, bisa-bisa kita akan rugi besar. Keputusan terakhir yang bisa kita ambil adalah menjual barang yang kita beli dengan utang untuk membayar semua utang kita. Diambil dan disunting seperlunya dari: Judul majalah: Bahana, Edisi Mei 2005, Volume 169 Penulis: Benny Santoso Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta 2005 Halaman: 45 ______________________________________________________________________ - EDISI BERIKUTNYA Allah menghendaki agar setiap suami dapat menjadi "Iman dan Raja" dalam rumah tangga mereka. Namun demikian, banyak kita jumpai para suami-suami hanya berfungsi sebagai "Raja" saja, dan melupakan kewajibannya sebagai "Iman". Bagaimana wanita Kristen menyikapi jika ia memiliki seorang suami yang tidak bisa berperan sebagai seorang "Iman" dalam rumah tangga mereka? Untuk mendapatkan jawabannya, kami mengajak sahabat wanita untuk tidak melewatkan sajian kami dalam edisi 47 dan 48. Kami juga mengajak sahabat wanita untuk mengirimkan tulisan kepada kami, baik dalam bentuk kesaksian atau artikel, yang sekiranya dapat memberkati wanita-wanita Kristen yang lain. Tuhan Yesus memberkati. ______________________________________________________________________ Korespondensi dan kontribusi bahan dapat dikirimkan kepada redaksi: < wanita(at)sabda.org > atau < owner-i-kan-wanita(at)hub.xc.org > ______________________________________________________________________ Berlangganan via email: < subscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org > Berhenti berlangganan < unsubscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org > Arsip e-Wanita: http://www.sabda.org/publikasi/e-wanita Facebook e-Wanita: http://fb.sabda.org/wanita Twitter e-Wanita: http://twitter.com/sabdawanita ______________________________________________________________________ Pimpinan Redaksi: Novita Yuniarti Staf Redaksi: Truly Almendo Pasaribu Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA Didistribusikan melalui sistem network I-KAN Copyright (c) 2010 e-Wanita / YLSA -- http://www.ylsa.org Katalog SABDA: http://katalog.sabda.org Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati ________________MILIS PUBLIKASI WANITA KRISTEN INDONESIA______________
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |