Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-wanita/34

e-Wanita edisi 34 (22-4-2010)

Peran Wanita sebagai Istri

_________e-Wanita -- Milis Publikasi Wanita Kristen Indonesia_________
                  Topik: Peran Wanita sebagai Istri
                         Edisi 34/April 2010
______________________________________________________________________
                              MENU SAJI

- SUARA WANITA
- DUNIA WANITA: Apakah Arti Menjadi Istri Kristen?
- WAWASAN WANITA: Sahabat Bagi Suami
- EDISI BERIKUTNYA

______________________________________________________________________
- SUARA WANITA

  Shalom,

  Tuhan sudah memberikan berbagai peran istri kepada para wanita.
  Istri menjadi pendukung dan pendoa bagi suaminya. Ia penggerak di
  dalam rumah tangganya dan menjadi ibu bagi anak-anaknya. Sungguh,
  perpaduan peran-peran yang sangat luar biasa!

  Apakah setiap wanita Kristen mampu melakukannya? Karena Allah telah
  memberikan kemampuan dan tuntunan-Nya, mereka pasti mampu
  mengerjakan berbagai peran tersebut. Kami mengajak Sahabat Wanita
  menyimak edisi ini untuk mengetahui bagaimana Allah memimpin wanita
  untuk melakukan peran-perannya. Selamat menyimak!

  Pimpinan Redaksi e-Wanita,
  Christiana Ratri Yuliani
  http://wanita.sabda.org
  http://fb.sabda.org/wanita
______________________________________________________________________

          Cinta bukan saling tatap seorang terhadap yang lain
           melainkan memandang bersama-sama ke arah yang sama
                      (Antoine DeSaint-Exupery)
______________________________________________________________________
- DUNIA WANITA

                  APAKAH ARTI MENJADI ISTRI KRISTEN?

  "... sampai maut memisahkan kita. Amin," aku bergumam, tersipu malu
  dan mengalihkan pandangan ke bawah. Lalu, ia berbalik ke arahku
  dengan sorot matanya lembut menatap diriku, dan ia memberiku seuntai
  senyuman hangat yang menenteramkan. Senyuman yang sama itu sudah
  membuat hatiku berdebar-debar beberapa bulan yang lalu. Wajah yang
  sama itu telah mencuri hatiku sejak saat itu, bahkan aku terkenang
  akan dia dalam tidurku.

  Detik-detik berikut, terdengar lagi suara pendeta khidmat, "Dalam
  nama Tuhan Yesus Kristus, saya menyatakan kalian berdua sebagai
  suami dan istri". Suara organ berkumandang mengiringi mars
  pernikahan "Mendelssohns" yang megah. Ketika kami berbalik ke arah
  jemaat, seluruh jemaat itu segera berdiri. Ibuku dan beberapa wanita
  lain berusaha menahan air mata bahagia namun sia-sia. Seisi gereja
  itu diliputi suasana bahagia.

  Kami berpegangan tangan tatkala ia menggandengku lembut sambil
  melangkah perlahan di antara deretan bangku-bangku gereja.
  Langkah-langkah kami terasa begitu lama meskipun gereja itu tidak
  terlalu besar. Aku seolah sedang menapak di atas awan-awan. Aku tak
  tahu harus memikirkan apa, yang kutahu kedua pipi dan telingaku
  terasa merona. Senyum-senyum ceria mengantarkan doa restu dan ketika
  kami melalui baris demi baris teman-teman serta kerabat, kami
  disambut dengan taburan manik-manik kertas berwarna-warni.

  Pernikahan yang Indah

  Dan ketika kami tiba di pintu gerbang keluar, aku dipenuhi dengan
  berbagai perasaan campur-baur tidak menentu. Ini bukan sekadar rasa
  cemas yang muncul akibat prosesi pernikahan ataupun kegirangan
  karena terpenuhinya impian masa remajaku. Ini adalah suatu perasaan
  asing yang tidak pernah kualami sebelumnya -- suatu perasaan tidak
  menentu menjelang memasuki hidup pernikahan.

  Lelaki yang kucintai itu sekarang sudah menjadi suamiku, dan aku
  istrinya. Apakah artinya? Pada saat itu, ketika gamang dalam gelora
  emosi dan merasa tidak berpengalaman, aku belum juga menyadari
  maknanya yang sesungguhnya.

  Idealisme Masa Muda

  Dunia memiliki begitu banyak hal untuk ditawarkan. Aku merasa
  sungguh beruntung jika dibandingkan dengan para pendahuluku. Setelah
  melalui jalan berlika-liku, masyarakat kini sudah membuka pintu
  pendidikan yang lebih tinggi bagi para wanita. Walaupun kuakui aku
  adalah orang yang romantis, aku bukanlah wanita yang berpikiran
  lemah. Aku sudah cukup banyak belajar dan menyadari bahwa para
  wanita sudah bisa menggapai sesuatu yang lebih besar di dunia ini.

  Aku memandang berbagai konsep pernikahan tradisional dalam
  masyarakat dengan rasa jeri [cemas, takut, bimbang, Red.] -- lembaga
  [pernikahan] yang dibuat oleh laki-laki untuk kaum mereka sendiri
  itu membelenggu wanita pada tugas-tugas kerumahtanggaan serta
  mengecilkan peran wanita sebatas objek kesenangan saja. Aku meyakini
  keunggulan [wanita] dalam masyarakat. Aku memunyai kesempatan dan
  kemampuan, serta keinginan untuk melakukannya.

  Pada sisi lain, aku tidak siap untuk mencampakkan gagasan tentang
  pernikahan. Aku tetap perlu dicintai, merasakan kehangatan pelukan
  yang penuh kasih, sepasang bahu kukuh tempat bersandar ketika aku
  menangis sedih, dan seorang lelaki untuk berbagi impian serta
  kebahagiaan. Tetapi, aku sudah bertekad untuk tidak membiarkan
  diriku memasuki peran-peran istri yang "tradisional".

  Aku yakin bahwa sebuah rumah ideal adalah tempat untuk sepasang
  suami dan istri yang sama-sama setara, dan mengambil keputusan
  dengan cara sama seperti yang kulakukan bersama rekan-rekan sekerja
  dalam bisnis -- ada banyak tawar-menawar dan kompromi. Aku yakin
  bahwa pekerjaan rumah tangga harus dikerjakan bersama,
  seadil-adilnya -- jika dibelah harus tepat di tengahnya. Aku yakin
  bisa menjadi wanita karier yang berhasil sekaligus istri yang hebat!

  Pada tahun 1963 aku ingat tentang peluncuran sebuah buku baru yang
  menggemparkan pasar. Buku itu -- "The Feminine Mystique", ditulis
  oleh Betty Friedan -- menjadi buku terlaris pada waktu itu serta
  mengubah sejarah hidup ribuan laki-laki dan perempuan muda.

  Friedan mendukung gagasan pembebasan wanita dari peran istri/ibu
  untuk menemukan identitas pribadi mereka sebagai orang-orang yang
  mengerjakan berbagai profesi, dan menjadi orang-orang yang
  berkembang. Sepanjang 10 tahun, buku itu sudah terjual lebih dari 2
  juta eksemplar. Aku terkesan. Pandangan-pandangannya begitu sesuai
  dengan pendirianku, dan aku menerimanya.

  Itu adalah masa-masa ketika kaum wanita benar-benar melakukan
  gebrakan-gebrakan penting di dalam masyarakat melalui politik,
  bisnis, pendidikan, hiburan, dan olahraga. Kami semua terhisap dalam
  gerakan Pembebasan Wanita, yang berjuang untuk kesetaraan dan
  persamaan hak. Apa pun maksud sesungguhnya di balik gerakan
  tersebut, tidak seorang pun di antara kami yang benar-benar
  mengetahuinya.

  Aku mengikuti banyak kegiatan tanpa bertanya kepada Tuhan, apakah
  yang Ia sudah katakan mengenai semua perkara ini di dalam Alkitab.
  Aku tidak bersedia untuk direpotkan. Itu tidak kupertanyakan pada
  saat itu. Namun demikian, setelah beberapa lama menikah aku mulai
  memikirkan masalah ini dengan serius. Ini terpaksa; apa yang
  seharusnya menjadi puncak angan-anganku dan didasarkan pada
  kenyataan itu ternyata masih kasar, dan aku menyadari bahwa
  idealisme masa mudaku tidak bisa dijalankan.

  Ketika guruku yang galak mengajariku bahwa makna pernikahan melebihi
  apa yang kubayangkan, ia tidak mengajariku apakah makna pernikahan
  itu.

  Untung saja aku memunyai fondasi Kristen yang membuatku mulai
  berpaling pada halaman-halaman Alkitab, dan aku menemukan jawaban
  yang melegakan. Pada saat itulah rencana Tuhan disingkapkan secara
  luar biasa di depan mataku. Untuk pertama kalinya, aku menemukan
  kunci untuk pernikahan yang utuh dan berbahagia.

  Sejak saat itu, aku mulai mengalami sukacita pernikahan dan
  menemukan makna menjadi istri yang sesungguhnya. Sang Mahakuasa
  memiliki suatu tujuan untuk segala sesuatu yang diciptakan-Nya. Jika
  kita hidup sesuai dengan tujuan itu, sudah tersedia hidup yang
  berkelimpahan.

  Pertama-tama, aku harus memahami mengapa Tuhan menciptakan wanita.

  Penolong yang Sepadan

  Aku membuka Kejadian 2:18,21-22 dan membaca:

    "TUHAN Allah berfirman: `Tidak baik, kalau manusia itu seorang
    diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan
    dengan dia.` Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak;
    ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari
    padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk
    yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang
    perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu."

  Ya, aku harus menjadi seorang "penolong yang sepadan baginya". Kata
  Ibrani asli untuk "sepadan" adalah "ezer kenegdo" (secara harfiah
  berarti "seorang penolong di depannya", yaitu "seorang penolong yang
  sesuai dengannya"), menunjukkan fungsi saling melengkapi. Seorang
  laki-laki tidak akan lengkap tanpa seorang perempuan.

  Istri tidak seperti satu bagian mainan yang bisa dibongkar pasang
  karena ada yang hilang -- ia memenuhi kekurangan suaminya dan sang
  suami memenuhi kebutuhan istrinya. Dan "kesepadanan" itu adalah
  milik bersama, sebab mereka tidak lagi dua melainkan satu kesatuan.
  Mereka diciptakan bukan untuk bersaingan melainkan untuk saling
  melengkapi. Aku harus menjadi seseorang yang bukan diriku saja.

  Sekarang, aku sudah menyadari betapa sia-sia perempuan mencoba
  bersaing dengan laki-laki. Itulah kebodohan sindrom "Annie Kompleks"
  -- "Segala sesuatu yang engkau bisa lakukan, aku bisa melakukannya
  dengan lebih baik. Aku bisa melakukan apa pun lebih baik dari
  dirimu."

  Aku telah melihat unsur penyebab keretakan pernikahan. Tuhan tidak
  merencanakan bahwa perempuan harus menjadi seperti laki-laki. Tuhan
  menciptakan kita memang berbeda dalam hampir segala sesuatu, dan itu
  pasti bukan suatu kecelakaan. Istri adalah seorang penolong yang
  sepadan. Pada saat aku memahami bahwa ukuran pencapaian hidup
  terletak pada keberhasilan menjadi penolong [suami] dalam segala
  sesuatu yang dirancang Tuhan bagi dirinya, pada saat itulah aku
  mulai merasakan kebahagiaan seorang istri.

  Identitas kita tidak hilang dalam proses itu, tidak seperti yang
  dipikirkan oleh kaum feminis garis keras mengenai kita. Bahkan, kita
  justru menguatkan identitas diri kita. Prestasinya adalah
  prestasiku, dan sukacitanya pun sukacitaku. Ia menyadari bahwa
  diriku adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberhasilannya,
  entah apa pun bentuknya. Tanpa andil diriku, kebahagiaannya tidak
  akan sempurna.

  Aku memunyai pandangan yang menarik mengenai 1 Korintus 11:8-9. Aku
  sudah belajar bahwa "laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi
  perempuan berasal dari laki-laki. Dan laki-laki tidak diciptakan
  karena perempuan, tetapi perempuan diciptakan karena laki-laki".
  Tuhan yang baik menciptakan diriku demikian khusus untuk dia [suami]
  agar aku menjadi penolongnya yang sepadan.

  Pada saat aku menyingkirkan gagasan mengenai usaha untuk membuktikan
  martabat dan kemampuan diriku sebagai seorang pribadi di tengah
  masyarakat, pada saat itulah aku sudah menjadi seorang yang lebih
  berharga dan lebih mampu.

  Seorang Kekasih

  Kemudian, aku beralih ke Amsal 5:18-19:

    "Diberkatilah kiranya sendangmu, bersukacitalah dengan isteri masa
    mudamu: rusa yang manis, kijang yang jelita; biarlah buah dadanya
    selalu memuaskan engkau, dan engkau senantiasa berahi karena
    cintanya."

  Keluarga adalah tempat kelahiran cinta. Di antara suami dan istri
  tidak boleh ada apa pun selain cinta. Tidak jarang kita menemukan
  banyak kisah cinta, yang dimulai dengan gairah membara, akhirnya
  pudar menjadi kebosanan yang hampa. Biasanya, mereka menganggap
  martabat masing-masing sebagai suatu keniscayaan, namun mengabaikan
  perbuatan-perbuatan kecil yang menyatakan cinta -- banyak tindakan
  sederhana untuk mengungkapkan kasih sayang. Misalnya, menyiapkan
  makanan kesukaannya dan membelainya dengan lembut ketika ia tampak
  letih setelah seharian bekerja berat. Cinta itu bagaikan api yang
  harus dipertahankan nyalanya dengan hati-hati. Ia bisa dipadamkan
  oleh perkataan yang sembrono, dan atau oleh tindakan yang
  serampangan; entah sekecil apa pun.

  Pernikahan yang bahagia juga memiliki unsur lain yang penting, dan
  banyak istri tidak menyadari unsur penting itu, terutama di kalangan
  wanita Asia. Unsur penting itu adalah peran seks dalam pernikahan.

  Meskipun tidak dimungkiri bahwa seks berhubungan dengan menghasilkan
  keturunan, namun peran seks sebenarnya melebihi itu. Seks bukan
  sekadar persoalan kebutuhan jasmani, dan bahwa itu tidak boleh
  dilakukan di luar pernikahan. Di dalam pernikahan, seks merupakan
  puncak ungkapan kemurnian cinta: secara jasmani, psikologis, dan
  emosi. Seks mengungkapkan hubungan paling intim yang bisa dicapai
  oleh sepasang manusia bersama-sama, dan itu adalah tindakan saling
  memberi diri seutuhnya -- dari dan oleh keduanya seorang terhadap
  yang lain.

  Dengan meminjam kata-kata Rasul Paulus:

    "Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap istrinya
    [eufemisme Alkitab untuk seks], demikian pula istri terhadap
    suaminya. Istri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi
    suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya
    sendiri, tetapi istrinya. Janganlah kamu saling menjauhi [menolak
    berhubungan intim], kecuali dengan persetujuan bersama untuk
    sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa.
    Sesudah itu hendaklah kamu kembali, hidup bersama-sama [seperti
    yang dimaksud oleh `keduanya menjadi satu daging` dalam Matius
    19:5], supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan
    bertarak." (1 Korintus 7:3-5)

  Selanjutnya, aku sudah dapat melihat segala sesuatu dari sudut
  pandang yang benar. Tidaklah benar bahwa penyerahan diri kepada
  suami menempatkan kita [istri] sebatas menjadi objek kesenangan
  semata. Dalam pernikahan yang benar, kepuasan terbesar kita dapatkan
  ketika kita saling memberikan diri sendiri. Seks didesain sebagai
  kekuatan perekat dalam pernikahan yang utuh. Seorang istri yang
  mencoba untuk menguasai dirinya sendiri akhirnya bukan hanya
  menghancurkan dirinya sendiri tetapi juga menghancurkan kekasih yang
  paling dicintainya, dan bahkan mungkin termasuk anak-anaknya. Peran
  sebagai seorang kekasih tetap memberikan banyak keuntungan.

  Seorang Ibu

  Setelah kejatuhan manusia, Tuhan Allah mengutuk [Iblis] dan berkata
  [kepada Hawa]:

    "Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan
    kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi
    kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu." (Kejadian 3:16)

  Sejak saat itu, perempuan memiliki tugas utama untuk melahirkan dan
  membesarkan anak-anak.

  Tetapi, ada orang yang mungkin menyanggah bahwa Perjanjian Baru
  telah mengubah keadaan itu. Mereka mengacu pada ketentuan sunat
  Perjanjian Lama yang menganggap bahwa kedudukan wanita lebih rendah
  sehingga tidak perlu disunat dan mereka bisa masuk ke dalam
  perjanjian itu semata-mata karena kesalehan suami mereka. Namun di
  dalam Perjanjian Baru, keselamatan itu diberikan kepada keduanya,
  laki-laki dan perempuan, sehingga keduanya bertanggung jawab untuk
  menerima Yesus Kristus secara pribadi dan dibaptiskan dalam nama-Nya
  agar bisa masuk ke dalam perjanjian kasih karunia. Oleh sebab itu,
  status perempuan sudah diangkat setara dengan laki-laki. Dan
  seiring perubahan itu, tentu saja, terjadi juga perubahan dalam hal
  tanggung jawab.

  Memang benar jika dikatakan bahwa setiap orang bertanggung jawab
  secara pribadi atas dosa-dosanya sendiri dan agar bisa diselamatkan
  mereka masing-masing dituntut untuk menerima Kristus secara pribadi.
  Bahkan, Paulus berkata dalam Galatia 3:27-29, "Karena kamu semua,
  yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus... tidak ada
  laki-laki atau perempuan." Tetapi, jika kutipan ini diartikan
  sebagai hilangnya perbedaan di antara kedua jenis kelamin, maka itu
  adalah penyesatan.

  Jika ayat itu hendak dibaca secara tepat, kita harus mengaitkannya
  dengan hubungan kita dengan Tuhan. Jadi, laki-laki dan perempuan itu
  sama dalam hal kedudukan mereka di hadapan Tuhan -- mereka adalah
  sesama ahli waris keselamatan dan, tentu saja, kerajaan masa depan.
  "Sebab apabila orang bangkit dari antara orang mati, orang tidak
  kawin dan tidak dikawinkan." (Markus 12:25)

  Namun demikian, yang mendasari hubungan suami dan istri tidak
  berubah. Di dalam baptisan, kita dibebaskan dari dosa Adam tetapi
  bukan dari [hukuman] yang sudah diberikan oleh Tuhan; jika tidak
  demikian, seorang ibu Kristen tidak perlu menderita sakit bersalin.
  Apakah tanggung jawab kita? Ayat-ayat Alkitab mengarahkan perhatian
  pada hak istimewa para istri dan ibu untuk mengurus rumah tangganya.

  Saya berharap Anda tidak berpikir bahwa saya menyerah pada keadaan
  terikat itu, dengan tidak beralas kaki di dapur dan tanpa hak untuk
  memutuskan kehamilan, tanpa berkomentar sedikit pun. Aku sudah
  menganggap tugas pemberian Tuhan ini sebagai satu kesenangan.
  Siapakah yang mampu menciptakan lingkungan yang baik untuk
  perkembangan anak-anakku sepenuhnya? Siapakah yang mampu menyediakan
  tempat untuk bernaung bagi suamiku tercinta?

  Pada sisi lain, aku tidak mengatakan bahwa istri tidak boleh bekerja
  di luar rumah. Pada sejumlah kasus, para istri itu diharuskan untuk
  tanggap terhadap tekanan keadaan keuangan. Dan pada kasus-kasus
  lainnya, jikalau mereka diberi karunia khusus, Tuhan mungkin
  memanggil mereka untuk langsung mengabdi kepada negara (contohnya
  Debora).

  Entah kita seorang ibu rumah tangga ataupun seorang wanita karier,
  tanggung jawab utama kita ialah untuk mengurus keluarga yang kita
  kasihi (Titus 2:4-5). Kita harus menguji apakah kita sudah abai atau
  tidak berperan sebagai istri dan ibu demi mengejar ambisi diri
  sendiri. Di manakah tepatnya pemusatan waktu dan tenaga kita? Sikap
  kita perlu diubah. Kita sebaiknya mulai menimbang-nimbang, yang
  manakah peran kita yang paling penting dari sudut pandang Alkitab,
  dan kita mulai mengarahkan kehidupan kita ke arah yang benar.

  Mengalah Kepada Pasangan

  Aku sudah mengatakan keyakinanku sebelumnya, bahwa istri di dalam
  keluarga berperan sebagai sesama rekan dalam pengertian yang sama
  seperti rekan bisnis. Kita seharusnya merupakan gabungan sesama
  kepala, demikian pikirku pada saat itu. Apakah hasilnya?
  Kebimbangan! Kebuntuan! Perang dingin di rumah!

  Aku tidak bersedia mengalah kepada [suami] ataupun menerima
  keputusannya -- yang bertentangan dengan pendapatku -- dengan
  sepenuh hati. Dan meskipun aku melakukannya, aku tidak merasa
  senang. Mengapa aku harus berbuat seperti itu lagi? Kami berdua
  sama-sama manusia, sama-sama memiliki kualitas, kemampuan, dan
  pendidikanku juga tidak lebih rendah dari dia. Kami terus-menerus
  bersitegang.

  Ya, kami kadang-kadang melakukan kompromi, tetapi pada saat-saat
  lain hubungan kami menjadi kaku. Dan kompromi itu sering cukup
  bodoh. Satu hal sudah pasti, kedamaian [sementara] itu tidak
  bertahan lama di rumah. Keluarga tidak bisa dijalankan dengan cara
  seperti orang mengelola bisnis!

  Kemudian, beberapa ayat pembuka mata pun menghantamku. Di dalam
  1 Korintus 11:3 disebutkan bahwa "Kepala dari tiap-tiap laki-laki
  ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari
  Kristus ialah Allah". Dan dalam 1 Petrus 3:1 tertulis, "Demikian
  juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika
  ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga
  tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya".

  "Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena
  suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala
  jemaat... Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus,
  demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu... dan
  isteri hendaklah menghormati suaminya." (Efesus 5:22-33)

  Aku tidak percaya bahwa ayat-ayat ini menunjukkan ketidakberdayaan
  perempuan. Kata-kata "seperti kepada Tuhan" itu sangatlah penting.
  Istri terutama harus taat kepada Tuhan dan itu [dilakukan] melalui
  suami. Kita, tentu saja, tidak lebih rendah daripada laki-laki.
  Sebaliknya, Alkitab memerintahkan kita untuk menaati Kristus melalui
  ketaatan kita kepada suami. Sasaran dan motivasinya ialah kesalehan
  dan kerohanian. Inilah tugas kita sebagai istri Kristen. Ini juga
  adalah resep untuk pernikahan yang berhasil.

  Pada mulanya memang ini terasa sulit untuk ditelan. Perubahan sikap
  ini harus menyeluruh. Kesombongan harus diletakkan. Sikap berserah
  artinya ialah pada saat kami tidak bisa sepakat, aku harus percaya
  kepada Tuhan dan bahwa Ia akan menuntun keputusan suamiku. Oleh
  sebab itu, sikap berserah ini bukanlah keputusan sepihak [oleh
  istri] melainkan penyerahan bersama [suami dan istri] agar Tuhan
  menyatakan kehendak-Nya melalui [suami]. Aku yakin inilah jalan
  seorang istri Kristen, dan hasilnya ternyata amat memuaskan. Itulah
  yang harus kita lakukan jika seseorang ingin hidup sesuai dengan
  kehendak Tuhan.

  Singkatnya, hidup seorang istri Kristen artinya bersukacita. Hal itu
  juga berarti ia menjadi seorang ibu yang hebat dan seorang hamba
  Tuhan yang setia -- tetapi itu adalah topik yang lain di luar pokok
  bahasan kita saat ini. Jika dimungkinkan kelak, saya akan
  membahasnya lebih lanjut. Untuk saat ini, Tuhan sudah memberkati
  Anda dan keluarga Anda. Amin.

  Diambil dan disunting seperlunya dari:
  Judul majalah: Warta Sejati, edisi 48/1 - 2006
  Penulis: Manna
  Penerbit: Departemen Literatur, Gereja Yesus Sejati Indonesia,
            Jakarta 2006
  Halaman: 38 -- 43

  Dipublikasikan secara elektronik:
  Nama situs: Wanita Kristen
  Alamat URL: http://wanita.sabda.org/apa_artinya_menjadi_seorang_istri_kristen
______________________________________________________________________
- WAWASAN WANITA

                             SAHABAT BAGI SUAMI

  Pengertian sahabat adalah:
  1. Seseorang yang pertama-tama akan mendampingi.
  2. Seseorang yang akan melengkapi.

  Beberapa hal berikut ini dilakukan oleh seorang istri yang ingin
  menjadi sahabat bagi suaminya.

  1. Istri harus mengerti suaminya, bahwa suami pada umumnya memiliki
     keunikan-keunikan yang membedakan dia dari seorang wanita.
     Seorang istri perlu mengerti bahwa pria menghormati para wanita
     yang beremosi stabil, sebab di dunia pria, mereka cenderung
     menjauhi seseorang yang terlalu dikuasai emosi. Bahkan, bagi
     kebanyakan pria, [wanita] yang menunjukkan emosi begitu
     kuat cenderung akan dianggap menakutkan. Wanita pada
     umumnya memang sudah berpembawaan emosional, meskipun demikian
     wanita dapat melakukan hal-hal di bawah ini:
     - mengontrol emosinya pada saat ia sedang berbicara,
     - menyampaikan isi permintaannya dengan bahasa yang tepat. Pria
       biasanya peka terhadap suatu tuntutan. Jadi, wanita diminta
       untuk menyampaikan permintaannya dengan cara yang halus, sopan,
       dan dengan lemah lembut, dan
     - menyatakan emosinya dengan cara konkret.

  2. Istri sebaiknya mengerti bahwa pria tidak siap dan tidak menyukai
     kejutan. Kejutan di sini ialah perubahan secara mendadak dari
     sesuatu yang sudah rutin pada umumnya. Pada umumnya, pria
     menyukai sesuatu yang sudah bisa diantisipasi, misalnya karena
     sudah direncanakan sebelumnya.

  3. Istri perlu mengerti bahwa pria tidak menyukai ada masalah di
     rumah. Ada dua alasan:
     - pria cenderung menganggap atau mengharapkan rumah adalah
       tempat untuk berteduh, tempat dia bisa lepas dari beban
       pekerjaan, dan tempat dia tidak diperhadapkan pada masalah, dan
     - pria adakalanya tidak mahir menghadapi suatu masalah di rumah
       sebab masalah itu membuatnya merasa bahwa sesuatu sedang tidak
       beres pada dirinya

     Dengan demikian, agar suami bisa menanggapi masalah di rumah
     dengan tepat, istri bisa melakukan hal-hal berikut:
     - mengungkapkan suatu masalah atau ketidakpuasan dirinya dengan
       suatu pernyataan bernada positif. Artinya, alih-alih
       mengatakan, "Kamu begini...", "Ini karena kamu begini...",
       sebaiknya ia menyampaikan sesuatu yang bisa memperbaiki dan
       meningkatkan hubungan,
     - menghindari kata-kata bernada menuduh, dan
     - fokuskan dampak masalah itu pada diri kita, bukan pada
       kesalahan yang sudah dilakukannya

  4. Wanita perlu mengerti bahwa pria mengharapkan istrinya menjadi
     sahabat yang tidak meragukan kebijakannya. Jadi, ketika berbeda
     pendapat, istri sebaiknya tidak menyerang suami secara frontal.
     Dalam hal ini, jika istri tidak sependapat, ia bisa mengajukan
     beberapa pilihan lain untuk dipertimbangkan. Sebagai seorang
     sahabat artinya ia berusaha membantu suami agar berhasil dalam
     usahanya. Suami berharap bahwa istri menolong dia dan tidak
     menghambat kariernya. Pria juga mengharapkan istri menghargai
     suami di hadapan orang lain.

  5. Wanita sebaiknya mengerti bahwa pria berharap dapat menikmati
     kepuasan seks secara fisik sedangkan istri menggunakan seks untuk
     menyatakan suatu keintiman. Suami mengharapkan partisipasi istri
     dalam berhubungan seksual dengannya. Terimalah kebutuhan
     seksualnya dengan kemesraan romantis.

     Dan terakhir, sedapat mungkin, janganlah menolak kebutuhan
     seksualnya, sebab penolakan atau ketidaksukaan itu dapat
     ditafsirkan sebagai penghinaan bagi seorang suami.

     Efesus 5:22, "Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada
     Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus
     adalah kepala jemaat."

  Jadi intinya adalah, jika istri ingin menjadi sahabat bagi suami, ia
  harus benar-benar menghargai suami, misalnya pemikiran, permintaan,
  atau keinginannya. Ketika istri mulai mementingkan harapan suaminya,
  biasanya ia akan direspons secara positif oleh suami.

  Diambil dan disunting seperlunya dari:
  Nama situs: TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga)
  Narasumber: Pdt. Paul Gunadi
  Alamat URL: http://www.telaga.org/audio/menjadi_sahabat_buat_suami

  Keseluruhan tanya jawab tersebut bisa didengarkan dan dibaca
  transkripnya melalui alamat di atas.
______________________________________________________________________
- EDISI BERIKUTNYA

  Wanita masa kini sudah berkembang luar biasa. Mereka bisa menempuh
  pendidikan, bekerja, dan dihormati sama seperti pria. Itu berarti,
  kedudukan wanita tidak bisa dipandang kecil atau direndahkan seperti
  pada zaman dahulu. Apakah kesempatan yang sama untuk memperoleh
  pendidikan, pekerjaan, dan penghormatan seperti yang dinikmati pria
  itu memengaruhi kedudukan wanita di hadapan Allah? Simaklah
  e-Wanita edisi bulan Mei 2010.

  Kami juga mengajak Sahabat Wanita dan Pelanggan sekalian untuk
  mengirimkan cerita, kesaksian, dan pokok doa. Kiriman Anda akan kami
  publikasikan setiap bulan dalam kolom Surat Anda, supaya
  menjadi berkat bagi orang-orang lain. Kirimkan e-mail Anda ke meja
  redaksi dengan alamat:

  ==> wanita(at)sabda.org

  Selamat melayani, Tuhan memberkati!
______________________________________________________________________
Korespondensi dan kontribusi bahan dapat dikirimkan kepada redaksi:
< wanita(at)sabda.org > atau < owner-i-kan-wanita(at)hub.xc.org >
______________________________________________________________________
Alamat berlangganan: <subscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org>
Alamat berhenti: <unsubscribe-i-kan-wanita(at)hub.xc.org>
Arsip e-Wanita: http://www.sabda.org/publikasi/e-wanita
Facebook e-Wanita: http://fb.sabda.org/wanita
______________________________________________________________________
Pimpinan Redaksi: Christiana Ratri Yuliani
Staf Redaksi: Novita Yuniarti
Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN
Copyright(c) e-Wanita 2010 / YLSA -- http://www.ylsa.org
Katalog SABDA: http://katalog.sabda.org
Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati

________________MILIS PUBLIKASI WANITA KRISTEN INDONESIA______________

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org