DUNIA WANITA
Ikatan Keluarga: Ketika Konflik Menyerang Dekat dengan Rumah
Keluarga penting bagi Allah. Itu sebabnya, hanya sedikit hal yang lebih menyakitkan daripada konflik keluarga yang belum terselesaikan. Mertua yang mendominasi, remaja yang bandel, atau anak tiri yang cemburu dapat mengubah setiap keluarga yang bahagia menjadi zona perang. Isu-isu seperti giliran siapa yang bertugas mengambil sampah dan apakah anak remaja Anda telah menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum menyalakan komputer adalah masalah yang relatif kecil mengganggu, yang umumnya dapat diselesaikan dengan gangguan minimal terhadap kehidupan keluarga.
Masalah-masalah lainnya menghadirkan tantangan yang lebih besar -- putra yang mengabaikan ajaran Kristennya, tetapi malah melakukan hubungan homoseksual; pelecehan dan manipulasi dari ibu mertua yang mengancam menghancurkan perkawinan dan kesehatan seorang wanita; ayah dengan penyakit mental yang melakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Situasi ini nyata; sayangnya, hal-hal itu terjadi dalam keluarga Kristen. Sementara beberapa situasi dapat diselesaikan seiring berjalannya waktu, yang lain dapat berlangsung selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Tanya saja Karen.
Kisah Karen
Karen dan suaminya, Paul, seorang pendeta, baru saja menerima tawaran di sebuah gereja besar di sebuah komunitas baru.* Hal-hal tampaknya berjalan dengan baik sampai Sarah, putri mereka yang berumur 17 tahun, mengumumkan bahwa dia hamil di luar nikah. Yang membuat masalah jadi lebih rumit, Sarah jatuh cinta pada pria muda yang berasal dari ras lain; bayinya blasteran. Menurut gereja baru mereka, kencan antarras adalah terlarang. Kehamilan itu mengakibatkan pertengkaran antara Karen dan putrinya. Ketika ketegangan meningkat, diskusi berakhir dengan argumen yang hebat. Karen bersikeras agar Sarah menyerahkan bayi itu untuk diadopsi.
Setelah persalinan, Sarah menyerahkan bayi itu kepada seorang pekerja sosial yang menempatkan bayinya di sebuah panti asuhan. Sebagai ibu kandung, Sarah diberi masa tenggang lima belas hari untuk menyerahkan hak asuhnya. Selama lima belas hari itu, Allah berbicara kepada Karen melalui firman-Nya, menghukumnya akan keegoisan prasangkanya, dan kemunafikannya. "Saya mengubah pikiran saya tentang adopsi," kata Karen. Dia dan Paul berbicara dan setuju bahwa bayi Sarah akan pulang untuk tinggal bersama mereka. "Kami melihat ini sebagai kehendak Allah yang sempurna untuk bayi laki-laki yang berharga ini dan ibunya yang baik."
Konflik berbulan-bulan itu pun berakhir karena ketiganya bersukacita atas hasil yang tidak terduga. Kasih karunia Tuhan mengubah situasi yang menyakitkan menjadi berkat yang luar biasa.
Sayangnya, situasi dari Tom tidak berubah menjadi baik.
Kisah Tom
Setelah dituntun kepada Tuhan oleh bibinya, Tom terkejut mengetahui bahwa bibinya itu telah mencuri uang dari rekening pensiunan neneknya. Bibinya telah diberi kuasa oleh pengacara ketika neneknya meminjam uang untuk beberapa tahun. "Salah satu rekening, yang memiliki lebih dari $,100.000 di dalamnya, dikuras menjadi $,3.000 dalam tiga tahun," kata Tom. Bibi Tom terus menghamburkan-hamburkan uang, sementara rumah neneknya dibiarkan terbengkalai -- toilet rusak, rayap memenuhi rumah, dan rumah itu dibiarkan sepenuhnya rusak. Setelah banyak berdoa, Tom menemui bibinya. "Saya disebut lancang, motif saya dipertanyakan, dan iman saya ditantang," katanya. Dapat dimengerti, situasinya sangat memengaruhi Tom dan berdampak negatif pada pernikahannya. Dia mampu memaafkan bibinya, tetapi sampai hari ini, konflik tetap tidak terselesaikan.
Mengelola Konflik Keluarga
Kedekatan hubungan keluarga membuat pengelolaan konflik menjadi lebih sulit. Ketika menghadapi konflik keluarga, berikut ini beberapa panduan umum yang perlu diingat:
Buat batasan yang tepat. Konflik keluarga sering melibatkan batasan-batasan yang kabur -- seorang pemuda menikah, tetapi gagal "meninggalkan orang tuanya dan bersatu dengan istrinya"; seorang anak yang sudah dewasa pindah dari rumah, tetapi terus-menerus menelepon ke rumah untuk mendapatkan uang; seorang anak perempuan yang sudah dewasa meninggalkan ketiga anaknya bersama ibunya setiap hari meskipun ibunya telah memintanya untuk tidak melakukannya. Batasan yang tepat bersifat alkitabiah dan memungkinkan Anda menetapkan batasan dengan tetap mengasihi orang lain.
Selalu mengutamakan hubungan. Ketika menghadapi konflik keluarga, selalu tegaskan hubungan, dan lakukan semua yang Anda bisa untuk mempertahankannya. Misalnya, ketika berbicara dengan putra Anda yang sudah dewasa, Anda dapat berkata:
"Eric, aku mengasihimu. Kuharap kamu mengetahuinya. Aku menyesal bahwa kamu terlibat dengan obat-obatan. Kamu dapat tinggal di sini selama beberapa bulan, tetapi hanya jika kamu bertanggung jawab atas masalahmu dan mendapatkan bantuan atasnya. Jika kamu menginginkan bantuanku, kamu perlu menemui konselor atau menjalani rehabilitasi. Terlepas dari apa yang kamu putuskan untuk dilakukan, aku akan selalu mencintaimu."
Kenali batasan Anda dan serahkan hubungan itu kepada Allah. Dibutuhkan dua hati yang lembut agar rekonsiliasi terjadi. Jika satu orang terus berperilaku dosa dan menolak koreksi, hubungan itu akhirnya akan rusak. Kadang-kadang, individu lain yang terlibat akan keluar dari relasi itu. Jika Anda menemukan diri Anda dalam situasi seperti ini, jangan menyerah. Teruslah berdoa, berharap, dan mengasihi. "Jika mungkin, sekiranya hal itu tergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang," (Roma 12:18, AYT) kata firman Allah. Ketika Anda telah melakukan semua yang Anda bisa untuk memulihkan hubungan, tetapi konflik tetap tidak terselesaikan, serahkan hubungan itu kepada Allah. Anda bebas dalam Kristus.
Keluarga adalah gagasan Allah. Dia sanggup menjaga apa yang Anda percayakan kepada-Nya (2 Timotius 1:12). Kita dapat merasa tenang karena mengetahui bahwa Allah mengasihi kita dan akan terus menyusun mengerjakan rencana dan tujuan-Nya dalam keluarga kita. (t/N. Risanti)
*beberapa nama telah diubah untuk menjaga identitas pribadi
|