Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/167

e-Reformed edisi 167 (3-9-2015)

Sebuah Tinjauan terhadap Teologi Feminisme Kristen (I)

______________________Milis Publikasi e-Reformed______________________

e-Reformed -- Sebuah Tinjauan terhadap Teologi Feminisme Kristen (I)
Edisi 167/Agustus 2015

DAFTAR ISI:
ARTIKEL: SEBUAH TINJAUAN TERHADAP TEOLOGI FEMINISME KRISTEN (I)

Dear e-Reformed Netters,

Feminisme adalah paham yang pergerakannya dimulai sejak akhir abad ke-
18, yang menuntut kesetaraan hak dan perlakukan yang adil bagi wanita. 
Satu hal yang mendasari dan menjadi keyakinan dari pergerakan ini 
adalah bahwa masyarakat beserta sistem dan tatanan hukum yang ada di 
dunia ini bersifat patriarki sehingga menyebabkan subordinasi atau 
penindasan pada kaum wanita. Kesetaraan hak dan perlakuan yang adil 
bagi wanita kemudian menjadi tujuan dari pergerakan kaum feminis demi 
mengakhiri penindasan terhadap kaum wanita, yang tak jarang juga 
terjadi dalam gereja dan komunitas Kristen. Tak pelak, feminisme 
sampai kini masih menjadi suatu perdebatan panjang di kalangan orang 
Kristen dan gereja-gereja Tuhan, meski tak semua pihak mampu memandang 
dan menyikapinya dalam kacamata iman dan perspektif yang benar.

Untuk mengetahui lebih banyak mengenai teologi feminisme, publikasi 
e-Reformed pada bulan Agustus ini akan mengetengahkan sebuah artikel 
yang berisi pandangan dari beberapa teolog feminis Kristen liberal 
mengenai feminisme beserta dasar-dasar teologi dari Alkitab yang 
digunakan untuk mendukung paham dan pergerakan feminisme. Kami 
berharap, suguhan e-Reformed edisi 167 ini akan semakin membukakan 
perspektif kita dalam memandang dan menyikapi teologi feminisme, 
terutama dari sudut pandang Alkitab.

Untuk ikut memeriahkan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-70 
pada bulan Agustus ini, mari kita bersyukur kepada Tuhan atas 
kemerdekaan yang Tuhan telah berikan kepada negara kita yang tercinta 
ini. Biarlah Tuhan akan terus memberikan kejayaan bagi bangsa dan 
negara kita, Indonesia!

Staf Redaksi e-Reformed,
N. Risanti
< http://reformed.sabda.org >


   ARTIKEL: SEBUAH TINJAUAN TERHADAP TEOLOGI FEMINISME KRISTEN (1)

Pendahuluan

"If I were only meant to tend the nest, then why does my imagination 
sail across the mountains and the seas .... Just tell me where, where 
is it written what it is I`m meant to be, that I can`t dare," (Jika 
aku ditakdirkan untuk mendiami sangkar, lalu mengapa imajinasiku 
berlayar mengelilingi pegunungan dan lautan ... Katakan kepadaku, di 
manakah hal itu tertulis bahwa itu merupakan takdirku, yang tidak 
dapat kulangkahi. - Red.) demikian sepenggal lirik lagu tema film 
Yentl, sebuah film musikal yang berkisah tentang seorang gadis Yahudi 
yang dibesarkan di Eropa Timur pada awal abad kedua puluh. Penggalan 
lirik lagu di atas adalah sebagian kecil jeritan hati Yentl, gadis 
belia yang hasratnya untuk mempelajari Talmud terkungkung di balik 
jeruji patriarkhal Yahudi yang dengan keras melarang wanita belajar 
agama. Wanita dianggap hanya bisa dan boleh tahu urusan dapur, anak, 
dan rumah tangga. Kalaupun mereka boleh membaca, jenis bacaan yang 
"halal" bagi mereka hanyalah roman picisan atau komik bergambar.

Jeritan hati Yentl, lepas dari apakah tokoh dan kisah tersebut adalah 
rekaan sang pengarang, Isaac Bashevis Singer, atau kisah nyata, 
bukanlah yang pertama dan satu-satunya terdengar sejak dunia ini 
diciptakan. Dominasi kaum pria yang, anehnya, telah berlangsung secara 
mengglobal jauh sebelum era globalisasi, telah menggoreskan luka yang 
dalam di hati banyak wanita. John Stott menggambarkan kondisi ini 
dengan kata-kata yang cukup tajam:

For there is no doubt that in many cultures women have habitually been 
despised and demeaned by men. They have often been treated as mere 
playthings and sex objects, as unpaid cooks, housekeepers and child-
minders, and as brainless simpletons incapable of engaging in rational 
discussion. Their gifts have been unappreciated, their personality 
smothered, their freedom curtailed, and their service in some areas 
exploited, in others refused. (Sebab, tidak ada keraguan bahwa dalam 
banyak kebudayaan perempuan biasa dihina dan direndahkan oleh laki-
laki. Mereka sering diperlakukan hanya sebagai mainan dan objek seks, 
sebagai koki tidak dibayar, pembantu rumah tangga dan pengawal anak, 
dan seorang bodoh yang tidak mampu terlibat dalam diskusi rasional. 
Talenta mereka telah tidak dihargai, kepribadian mereka ditahan, 
kebebasan mereka dibatasi, dan layanan mereka di beberapa wilayah 
dieksploitasi, serta ditolak di wilayah lain. - Red.)

Tidak heran jika timbul berbagai reaksi dari kaum wanita, mulai dari 
yang sekadar memendam rasa tidak puas hingga yang berani bersuara 
bahkan yang lebih ekstrem, memberontak terhadap tatanan yang telah 
berurat berakar di masyarakat. Tidak heran pula jika di berbagai 
penjuru dunia akan menemukan gerakan kaum wanita yang dikenal dengan 
istilah "feminisme", suatu gerakan yang dilandasi oleh kesadaran kaum 
wanita bahwa mereka adalah makhluk yang Tuhan ciptakan sederajat 
dengan pria.

Gerakan ini sangat terasa khususnya dalam beberapa dasawarsa terakhir 
abad dua puluh, sekaligus telah membawa perubahan yang sangat besar 
dalam masyarakat pada saat ini. Kaum wanita yang dulunya tidak 
memiliki posisi yang cukup berarti dan dianggap sebagai kaum lemah 
dalam masyarakat kini mulai mengedepan. Sejumlah besar wanita memasuki 
panggung politik dunia saat ini; tidak sedikit yang memegang jabatan 
penting di perusahaan-perusahaan besar dan sebagian lainnya meraih 
prestasi puncak dalam bidang pendidikan. Singkatnya, wanita kini 
memiliki kesempatan dalam dunia kerja dan pendidikan yang lebih luas 
daripada sebelumnya.

Pengaruh gerakan ini juga merambah ke dalam dunia teologi abad 20. 
Pada paruh kedua tahun 1960-an, teolog-teolog wanita dan mahasiswi 
sekolah teologi telah mengembangkan satu genre baru dalam pemikiran 
Kristen kontemporer yang dikenal sebagai teologi feminis. Teologi ini 
memiliki spektrum yang luas dan terus berkembang sehingga kalau kita 
berbicara tentang teologi feminis Kristen, harus jelas teologi feminis 
Kristen yang mana, liberal, radikal atau evangelikal, karena masing-
masing memiliki arah atau penekanan yang berbeda.

Walaupun usianya masih tergolong "muda", tetapi sejak kelahirannya 
teologi ini telah mengalami perkembangan yang amat pesat dan menjadi 
teologi yang sangat signifikan pada abad 20. Kendati demikian, hal ini 
tidak berarti teologi feminis diterima oleh semua pihak. Bahkan 
sebaliknya, tidak sedikit orang atau kelompok yang menolak dan 
mengajukan keberatan terhadap teologi ini, misalnya orang-orang yang 
menyebut diri sebagai tradisionalis. Keberatan yang paling umum 
diajukan adalah bahwa teologi feminis bersifat subjektif dan dianggap 
telah mendistorsi makna teks-teks Alkitab yang menjadi dasar teologi 
ini. Tidak mengherankan jika teologi feminis mendapat kritik, kecaman 
dan serangan, bahkan penolakan.

Apakah sebenarnya teologi feminis itu? Mengapa teologi ini mendapat 
banyak kritik di sana-sini? Apakah teologi ini mendapat dukungan yang 
cukup dari Alkitab sebagai sumber teologi Kristen yang berotoritas? 
Untuk menjawab pertanyaan ini, pada halaman-halaman berikut secara 
singkat kita akan mencoba mendefinisikan feminisme Kristen, kemudian 
mempelajari bagaimana pandangan feminisme terhadap Alkitab serta 
metode berteologinya. Mengingat luasnya lingkup feminis maka 
pembahasan difokuskan pada teologi feminis Kristen liberal yang 
diwakili oleh Rosemary Radford Ruether, Letty M. Russell, dan 
Elizabeth Schiissler Fiorenza. Namun, sebelum masuk ke dalam 
pembahasan tersebut, pada bagian berikut akan kita telusuri lebih 
dahulu latar belakang historisnya guna lebih memahami pandangan ini.

Latar Belakang Teologi Feminis

Pandangan yang merendahkan wanita bukan hanya ada di luar kekristenan. 
Di dalam gereja sendiri, tragisnya, sering kali wanita dipandang 
sebagai harta milik, objek, polusi yang membahayakan, dan yang paling 
keras adalah wanita dinilai tidak mampu menjadi gambar Allah sehingga 
mereka dilarang untuk menjadi pemimpin, pengkhotbah, dan pengajar 
dalam ibadah maupun pelayan di gereja.

Paulus dalam surat-suratnya pun seolah-olah "mengonfirmasi" status dan 
peran wanita dalam gereja, misalnya di 1 Korintus 14:34-35 dan 1 
Timotius 2:12-16. Pada kedua bagian tersebut, Paulus melarang wanita 
berbicara dan mengajar dalam pertemuan-pertemuan jemaat. Bahkan, 
secara tegas, ia menulis bahwa Hawa-lah yang tergoda dan jatuh ke 
dalam dosa. Sikap Paulus tersebut sangat memengaruhi cara gereja 
memperlakukan wanita. Selain oleh ayat-ayat tersebut, cara bapak-bapak 
gereja memperlakukan wanita juga banyak dipengaruhi oleh ajaran Yunani 
dan Talmud. Menurut William Barclay, pandangan orang Yahudi yang 
merendahkan wanita tampak dalam doa pagi pria Yahudi yang terdapat 
dalam Talmud. Di dalam doanya setiap pagi, seorang Yahudi bersyukur 
karena Tuhan tidak menciptakannya sebagai seorang kafir, budak, atau 
wanita. Tertullian, salah seorang bapak gereja, berkata, "You [wanita] 
are the devil`s gateway; you are the unsealer of that (forbidden) 
tree; you are the first deserter of the divine law ...." ("Anda 
[wanita] adalah pintu setan; Andalah pendobrak pohon terlarang, 
Andalah pembelot pertama dari hukum ilahi ...." - Red.) Tidak 
mengherankan jika pada zaman bapak gereja, kaum wanita hampir-hampir 
tidak memiliki bagian di dalam gereja. Wanita pada masa itu dianggap 
rendah dan berada di bawah dominasi pria. Keadaan ini terus berlanjut 
selama berabad-abad tanpa ada perubahan.

Pada abad pertengahan, kaum wanita mulai menyadari bahwa mereka 
dimarginalkan dalam urusan gereja dan masyarakat; kesempatan yang 
mereka miliki sangat terbatas dan tempat yang tersedia bagi mereka 
hanyalah dalam rumah tangga. Kesadaran akan keadaan ini mulai membawa 
sedikit angin perubahan. Sejumlah wanita tampil sebagai penulis-
penulis spiritual dan mistik pada masa ini. Beberapa karya tulis 
mereka menunjukkan adanya pengertian yang mendalam tentang isu-isu 
filsafat. Hanya, karya tulis tersebut tidak dalam bentuk seperti 
tulisan para teolog gereja, tetapi lebih bersifat kontemplatif yang 
memperlihatkan pendekatan mereka terhadap masalah-masalah kehidupan, 
di mana kunci jawabannya mereka cari di dalam hal-hal spiritual.

Keadaan kaum wanita secara perlahan-lahan mengalami sedikit perubahan 
pada zaman Pencerahan. Semangat abad Pencerahan memberi dampak besar 
bagi bangkitnya para wanita, terutama di Eropa. Beberapa wanita tampil 
ke permukaan dan melahirkan karya tulis ilmiah tentang wanita. Gagasan 
kesetaraan wanita dengan pria dituangkan dalam tulisan-tulisan mereka 
dalam bentuk esai, disertasi, dan sebagainya. Pada abad berikutnya, 
muncul beberapa wanita terkemuka yang memberikan kontribusi signifikan 
dalam bidang sains dan filsafat; sebagian lainnya memainkan peran 
penting di bidang seni, pendidikan, dan politik.

Gerakan ini makin terasa pada abad ke-20, khususnya di Barat. Di 
Amerika Serikat yang menjadi katalisator gerakan wanita modern adalah 
karya monumental Betty Friedan, The Feminine Mystique (1963), yang 
memberikan pengaruh yang sangat kuat bagi masyarakat di negara 
tersebut. Pengaruhnya dapat disejajarkan dengan karya Charles Darwin, 
The Origin of the Species. Sejak saat itu, gerakan ini seolah tak 
terbendung lagi. Kini, gerakan feminisme dapat kita jumpai di belahan 
bumi mana pun sehingga tidak heran jika kita mengenal adanya "black 
feminist theology" di Afrika, feminis Islam di Indonesia, feminis 
Yahudi, dan sebagainya.

Dari paparan di atas tampak bahwa teologi feminisme lahir sebagai 
reaksi protes terhadap penindasan atas kaum wanita yang berlangsung di 
dalam dan luar gereja selama berabad-abad. Teolog-teolog feminis 
sendiri yakin bahwa pendorong gerakan mereka berakar dari pengajaran 
PB tentang bagaimana seharusnya orang Kristen berelasi satu dengan 
yang lain. Model relasi orang Kristen, khususnya pria dan wanita tidak 
bersifat hierarki, melainkan kesederajatan yang sempurna dan tidak 
boleh ada lagi peran dalam masyarakat, gereja ataupun di rumah yang 
berdasar pada gender.

Definisi Feminisme

Apakah feminisme dan teologi feminis itu? Untuk mendefinisikannya 
bukanlah hal yang mudah karena tokoh-tokoh feminis itu sendiri sangat 
beragam. Menurut Marcia Bunge, ada perbedaan suara antara feminis yang 
satu dengan yang lain, yang terlihat melalui karya tulis mereka, baik 
buku-buku maupun artikel-artikel, yang belakangan ini semakin marak. 
Dengan bervariasinya tokoh, tulisan serta pandangan mereka, sulit 
untuk menentukan nuansa definisi feminisme yang jelas karena tidak ada 
kanon tradisi feminis yang normatif ataupun rumusan kredo yang jelas.

Kendati sangat beragam dalam struktur, bentuk, dan penekanan, tetapi 
itu tidak berarti sama sekali tidak ada kesamaan di antara para 
feminis. Pamela Dickey Young mencirikan empat tema yang mempersatukan 
gerakan para feminis di seluruh dunia, yaitu: pertama, teologi Kristen 
tradisional bersifat patriarkhal. "It has been written, almost 
totally, by men. It has been formulated, despite claims to 
universality, as though maleness were the normative form of humanity." 
("Telah ditulis, hampir sepenuhnya, oleh laki-laki. Ini telah 
dirumuskan, meskipun klaim universalitas, seakan kelelakian adalah 
bentuk normatif kemanusiaan." - Red.) Kedua, teologi tradisional telah 
mengabaikan kaum wanita serta pengalaman mereka. Ketiga, natur teologi 
yang patriarkhal telah memberikan konsekuensi yang merusak bagi 
wanita. Keempat, sebagai solusi atas ketiga masalah di atas, wanita 
harus menjadi teolog yang memulai usaha teologis mereka. ... women 
must become equal shapers of the theological enterprise. (... para 
wanita harus menjadi pembentuk yang setara atas masalah teologis. -
Red.) Karena itu, menurut Young, setiap doktrin serta konsep teologis 
harus diuji kembali dari sudut kesadaran kaum wanita yang tertindas. 
Hal senada juga diungkapkan oleh Tolbert, "... while others understand 
feminism to be primarily a movement toward human equality in which 
oppressed and oppressor are finally reconciled. (... sementara yang 
lain memahami feminisme pada dasarnya merupakan gerakan menuju 
kesetaraan manusia ketika yang tertindas dan penindas akhirnya 
didamaikan. - Red.)

Dari paparan singkat di atas tampak bahwa penekanan feminisme ialah 
"penindasan", "patriarkhal", dan "kesetaraan". Ketiga hal ini 
merupakan problem yang harus dihadapi oleh wanita; kaum wanita harus 
berjuang melawan penindasan yang diakibatkan oleh sistem patriarkhal 
guna mencapai kesetaraan dengan pria. Dengan kata lain, perjuangan 
kaum wanita pada dasarnya ialah perjuangan untuk meraih kebebasan. 
Secara ringkas, bisa disimpulkan bahwa feminisme pada hakikatnya 
adalah gerakan pembebasan kaum wanita dari sistem yang selama ini 
membuat posisi mereka berada di marginal, sedangkan teologi feminis 
bisa disebut sebagai usaha untuk menjelaskan kembali iman Kristen dari 
perspektif wanita sebagai kelompok yang tertindas.

Teologi Feminisme

Pandangan terhadap Alkitab

Kalau kita berbicara mengenai teologi seseorang atau sekelompok orang, 
salah satu pertanyaan yang penting dan perlu diajukan adalah bagaimana 
pandangan orang atau kelompok orang tersebut terhadap Alkitab? Apakah 
Alkitab diterima sebagai firman Allah yang berotoritas? Jawaban atas 
pertanyaan-pertanyaan tersebut setidaknya menunjukkan corak teologi 
yang dianut seseorang atau sekelompok orang tersebut. Pandangan 
Fiorenza mengenai Alkitab diungkapkan dalam kalimat berikut:

A feminist hermeneutics cannot trust or accept Bible and tradition 
simply as divine revelation. Rather it must critically evaluate them 
as patriarchal articulations, since even in the last century Sarah 
Grimke, Matilda Joslyn Gage, and Elizabeth Cady Stanton had recognized 
that biblical texts are not the words of God but the words of men. 
(Sebuah hermeneutika feminis tidak dapat memercayai atau menerima 
Alkitab dan tradisi hanya sebagai wahyu ilahi. Sebaliknya, hermeneutik 
feminis harus kritis menilai keduanya sebagai artikulasi patriarkhal, 
terlebih karena Sarah Grimke, Matilda Joslyn Gage, dan Elizabeth Cady 
Stanton pada abad terakhir telah mengakui bahwa teks Alkitab bukanlah 
kata-kata Tuhan, tetapi kata-kata manusia. - Red.)

Selanjutnya, ia mengatakan: "Feminist interpretation therefore begins 
with hermeneutics of suspicion that applies to both contemporary 
androcentric interpretations of the Bible and the biblical texts 
themselves." (Oleh karena itu, interpretasi feminis dimulai dengan 
hermeneutika kecurigaan yang berlaku untuk kedua interpretasi 
androsentrik kontemporer Alkitab dan teks-teks alkitabiah sendiri. -
Red.). Sedangkan Ruether mengalimatkan demikian: "The Bible was shaped 
by males in a patriarchal culture, so much of its revelatory 
experiences were interpreted by men from a patriarchal perspective." 
("Alkitab dibentuk oleh laki-laki dalam budaya patriarkhal, begitu 
banyak pengalaman pewahyuan yang ditafsirkan oleh manusia dari 
perspektif patriarki." - Red.) Secara ringkas yang ingin disampaikan 
kedua tokoh ini adalah Alkitab tidak boleh diterima mentah-mentah 
sebagai firman Allah karena banyak unsur manusia (baca: pria) di 
dalamnya.

Jika ditanya mengenai inspirasi Alkitab, para feminis akan segera 
menjawab bahwa mereka percaya inspirasi. Akan tetapi, jangan terburu-
buru menyimpulkan bahwa itu artinya mereka masih berada di jalur iman 
Kristen yang ortodoks. Simak pernyataan Russell berikut: "The Bible is 
especially dangerous if we call it `the Word of God` and think that 
divine inspiration means that everything we read is right." (Alkitab 
secara khusus bersifat berbahaya jika kita menyebutnya "Firman Allah" 
dan berpikir bahwa inspirasi ilahiah berarti bahwa segala sesuatu yang 
kita baca adalah benar. - Red.) Menurut Russell, inspirasi ilahi 
Alkitab berarti bahwa Roh Allah memiliki kuasa untuk membuat kisah 
Alkitab berbicara kepada kita dari iman menuju kepada iman. Alkitab 
diterima sebagai firman Allah apabila komunitas iman memahami Allah 
berbicara kepada mereka di dalam dan melalui berita Alkitab. Pandangan 
"miring" tersebut tidak aneh karena kelompok feminis yang menyebut 
diri evangelikal pun memiliki keyakinan serupa:

[T]he Spirit of God is the ultimate author of all Scripture. The 
Christian church, therefore, has rightly understood the phrase "the 
inspiration - of Scripture" to indicate that in and through the words 
employed by the biblical writers God has given his word to mankind. 
... the Bible is a divine/human book ... as human, this light of 
revelation shines in and through the "dark glass" (1 Cor. 13:12) of 
the "earthen vessels" (2 Cor. 4:7) who were the authors of its content 
at the human level. (Roh Allah adalah penulis utama dari semua Kitab 
Suci. Gereja Kristen, oleh karena itu, telah benar memahami frase 
"inspirasi dari Kitab Suci" untuk menunjukkan bahwa di dalam dan 
melalui kata-kata yang digunakan oleh para penulis Alkitab, Allah 
telah memberikan firman-Nya kepada umat manusia .... Alkitab adalah 
sebuah buku yang ilahiah/manusia ... bagi manusia, cahaya wahyu ini 
bersinar di dalam dan melalui "kaca gelap" (1 Kor 13:12.) dari "bejana 
tanah liat" (2 Korintus 4:7), yang merupakan penulis isinya pada 
tingkat manusia. - Red.)

Menurut kelompok ini, Alkitab diinspirasikan oleh Allah dalam 
pengertian bahwa di dalam dan melalui kata-kata yang digunakan oleh 
penulis Alkitab, Allah memberikan firman-Nya. Allah memakai manusia 
yang terbatas untuk menyatakan kehendak-Nya. Firman Allah sempurna, 
tetapi manusia sebagai penulis Alkitab, terbatas. Jadi, ada peluang 
bagi ketidaksesuaian antara firman Allah yang kekal dan kata-kata yang 
digunakan oleh para penulis Alkitab. Atau, dengan kata lain, Alkitab 
bersifat falibel serta tunduk pada keterbatasan manusia dalam 
menuangkan maksud Allah dalam kata-kata.

Hal serupa diungkapkan oleh Russell ketika ia berbicara tentang 
otoritas Alkitab. Alkitab berotoritas dalam kehidupannya karena 
Alkitab memahami pengalamannya dan berbicara kepadanya tentang makna 
dan tujuan kemanusiaannya di dalam Yesus Kristus. Dengan demikian, 
meskipun Alkitab ditulis dari sudut pandang patriarkhal, dan juga 
terdapat ketidakkonsistenan atau kontradiksi, tetap saja Alkitab 
berotoritas dalam kehidupannya karena kisah Alkitab membawanya kepada 
satu visi tentang ciptaan baru. Kalau boleh saya simpulkan, otoritas 
Alkitab menurut Russell adalah otoritas yang pragmatis, tidak penting 
apakah Alkitab bisa salah atau tidak, yang penting baginya adalah 
Alkitab itu memiliki kebergunaan dalam kehidupannya.

Bertitik tolak dari sini, teolog feminis berani mengatakan bahwa 
Paulus tak memiliki pandangan yang konsisten tentang wanita. Hal ini 
terjadi karena Alkitab dibentuk oleh kaum pria dari budaya patriarkhal 
sehingga banyak pengalaman wahyunya diinterpretasi dan ditulis dari 
perspektif patriarkhal. Itu sebabnya, mengapa Paulus kadang-kadang 
menempatkan wanita dalam posisi lebih rendah daripada pria, tetapi 
kadang-kadang juga sebaliknya. Jadi, ketika kita membaca Alkitab, kita 
tidak boleh mengabsolutkan budaya pada saat Alkitab ditulis dan untuk 
memperoleh kebenaran Allah, kita harus menghilangkan unsur-unsur 
budaya ketika melakukan interpretasi.

Catatan: partriarkhal --> patrilineal: mengenai hubungan keturunan 
melalui garis kerabat pria saja, bapak (KBBI).

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan Volume 4
Judul bab: Sebuah Tinjauan terhadap Teologi Feminisme Kristen
Judul asli artikel: Teologi Feminisme
Penulis: Lie Ing Sian
Penerbit: SAAT, Malang 2003
Halaman: 263 -- 272


Kontak: reformed(at)sabda.org
Redaksi: Ayub, Yulia Oeniyati, dan N. Risanti
(c) 2015 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >


______________________________e-Reformed______________________________
Kontak Redaksi: < reformed(a t)sabda.org >
Untuk mendaftar: < subscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Untuk berhenti: < unsubscribe-i-kan-untuk-Reformed(a t)hub.xc.org >
Arsip e-Reformed: < http://www.sabda.org/publikasi/e-reformed >
SOTeRI: < http://soteri.sabda.org/ >
Situs YLSA: < http://www.ylsa.org/ >
Situs SABDA Katalog: < http://katalog.sabda.org/ >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org