Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/73

e-Reformed edisi 73 (23-5-2006)

Yang Lama dan yang Baru

Dear e-Reformed netters,

Pertama-tama, saya minta maaf untuk keterlambatan pengiriman posting
ini, yang seharusnya dikirim akhir bulan April y.l.

Artikel yang saya postingkan kali ini berkisar pada masalah penerimaan
otoritas kitab-kitab PL, khususnya bagi masyarakat modern saat ini.
Hal ini muncul karena adanya pra-anggapan bahwa kitab-kitab PL adalah
kitab-kitab yang lebih banyak berbicara tentang Israel, bahkan ada
buku Hermeneutik yang mengatakan bahwa isi kitab PL sebenarnya hanya
ditujukan bagi orang Israel saja. Demikian juga dengan hukum-hukum
yang disebutkan dalam PL. Orang Kristen sekarang yang digolongkan
sebagai orang PB, tidak lagi terikat dengan hukum PL, kecuali jika
hukum-hukum dalam kitab-kitab PL itu diulang lagi dalam PB. Apakah
anggapan ini benar? Anggapan ini tidak benar.

Di pihak lain, walaupun otoritas PL diakui, banyak orang Kristen
memiliki kesulitan menempatkan PL dalam KESELURUHAN KEBENARAN Firman
Tuhan. Apakah PL dan PB mempunyai nilai dan bobot yang sama? Apa
relevansi kitab-kitab PL dengan hidup kita sekarang. Relevansi kitab-
kitab PB jelas, karena hampir setiap minggu, di gereja, kita mendengar
khotbah-khotbah yang diambil dari kitab-kitab PB. Kebenaran-kebenaran
otoritas PB tidak banyak dipertanyakan karena memang sudah jelas. Tapi
otoritas dan relevansi kitab-kitab PL? Gereja sendiri jarang memberi
tekanan pada berita-berita PL. Selain sebagai cerita di sekolah Minggu
anak-anak, jemaat jarang mendengar kebenaran PL dikhotbahkan sebagai
prinsip-prinsip iman Kristen. Lalu bagaimana seharusnya?

Pembahasan oleh John Drane di artikel berikut ini mudah-mudahan
menolong kita mengerti bagaimana menempatkan PL secara benar sebagai
Firman Tuhan yang berotoritas bagi hidup kita.

Sola Scriptura!

In Christ,
Yulia
< yulia(at)in-christ.net >

======================================================================

                       YANG LAMA DAN YANG BARU
                       =======================

MASALAHNYA

Bagi orang Kristen, PL senantiasa penting karena kutipannya terdapat
pada hampir setiap halaman PB. Namun, PL menjadi masalah bagi
kekristenan dan bahkan sejak masa awal gereja makna dan relevansi PL
telah menjadi sumber perdebatan dan kontroversi yang hangat. Hal-hal
tersebut merupakan salah satu isu yang menyebabkan gesekan dan
perpecahan dari gereja-gereja muda di tahun-tahun segera setelah
kematian dan kebangkitan Yesus. Yesus sendiri telah mengklaim bahwa
hidup-Nya sendiri adalah penggenapan PL. Namun banyak tindakan-Nya
seakan mengabaikan pengajaran-pengajaran utama PL (Matius 5:17),
terutama pada subjek seperti peraturan Sabat (Markus 2:23-28), hukum
mengenai makanan (Markus 7:14-23), bahkan juga beberapa pengajaran
moralnya (Matius 5:21-48). Jadi, otoritas seperti apakah seharusnya
dimiliki PL dalam kehidupan pengikut-pengikut Yesus?

Tidak timbul masalah khusus bagi generasi pertama Kristen yang adalah
juga orang Yahudi. Sejauh ini, mereka terus mengikuti cara hidup yang
sudah mereka terima sejak kecil, yang mendasarkan diri kepada PL
sesuai yang dimengerti oleh agama Yahudi abad pertama. Namun, setelah
jelas bahwa berita Kristen ditujukan kepada orang-orang non-Yahudi,
dan bahwa orang Romawi dan Yunani juga bisa menjadi pengikut Yesus,
pertanyaan mengenai otoritas PL muncul dalam bentuk yang lebih
mendesak. Apakah orang kafir perlu menjadi Yahudi terlebih dahulu
sebelum menjadi Kristen? Paulus dan penulis PB dengan tegas menjawab:
tidak perlu (Galatia, 1Petrus, Ibrani). Namun, mereka tetap menerima
PL sebagai kitab suci mereka, dan sering menggunakannya sebagai dasar
penjelasan iman Kristen.

Justru di sinilah letak masalahnya. Kalau bagian-bagian tertentu PL
bisa diabaikan sebagai tidak relevan lagi bagi iman dan tindakan
Kristen, bagaimana kita bisa membedakannya, dan apa yang harus kita
lakukan dengan bagian sisanya?

MENCARI JALAN KELUAR

Pertanyaan mengenai hubungan antara PL dan PB diungkapkan dengan
lantang oleh seorang Kristen abad ke-2, Marcion. Ia bukan hanya
melihat sikap para rasul yang ambigu mengenai masalah ini, tetapi ia
juga memperhatikan masalah-masalah lain di dalam kepercayaan Kristen
kepada PL. Yesus telah berbicara tentang kasih Allah yang mempedulikan
kesejahteraan semua manusia. Akan tetapi, ketika membaca PL, Marcion
sering melihat gambaran Allah yang agak berbeda, dimana Ia
kelihatannya dihubungkan dengan kekejaman dan kebuasan yang ekstrim.
Jauh dari kehendak menyelamatkan manusia, Ia kadang-kadang dihubungkan
dengan penghancuran mereka. Tentu saja, Marcion sedikit melenceng di
dalam melihat gambaran itu: penghakiman yang keras merupakan bagian
penting dari pengajaran Yesus, dan kasih Allah tidak pernah absen dari
iman PL, seperti yang telah kita lihat dalam berbagai cara.

Namun, bagaimanapun pembaca modern seringkali merasakan hal yang sama,
dan beberapa orang Kristen sekarang akan mengalami kesulitan untuk
mendamaikan beberapa aspek dari pandangan PL tentang Allah dengan apa
yang mereka anggap sebagai pandangan umum Kristen tentang PB. Selain
permasalahan yang diangkat oleh Marcion, mereka juga menunjuk kepada
perbedaan antara berita kasih Allah yang universal dalam Yesaya 40-55
dengan apa yang tampak sebagai suatu nasionalisme sempit dari kitab
seperti Ezra. Bahkan penafsir yang ulung sekalipun sangat kesulitan
untuk mendamaikan sikap sentimentil Mazmur 137:8-9 dengan pernyataan
untuk mengasihi musuh di dalam khotbah di bukit Yesus (Matius 5:43-
48). Juga, banyak orang sekarang ini sulit memahami beberapa aspek
ibadah PL, terutama persembahan korban yang (paling tidak menurut
pandangan barat) kelihatannya primitif dan kejam, bahkan sama sekali
tidak masuk akal.

Jawaban Marcion terhadap semua ini adalah sederhana: robek PL dan
buang ke dalam tempat sampah! Namun pandangan itu tidak didukung
secara luas oleh gereja awal, terlebih karena Marcion juga ingin
menyingkirkan sebagian besar PB. Hal itu kelihatannya menimbulkan
tanda tanya terus akan kesejatian iman Kristennya.

Namun, para pemimpin gereja mula-mula dapat mengerti dengan cukup baik
permasalahan yang dipertanyakan Marcion. Pertanyaan mengenai PL itu
sungguh nyata. Kalau kedatangan Yesus adalah tindakan yang baru dan
menentukan dari Allah dalam dunia ini, lalu apa relevansinya yang
dapat dimiliki sejarah umat purba untuk iman di dalam Yesus?

Jawaban umum yang diberikan ialah bahwa ketika PL dimengerti dengan
tepat maka PL akan mengatakan hal yang persis sama dengan yang
dikatakan PB. Namun, untuk dapat membuktikan hal ini maka perlulah
menafsirkan PL sedemikian sehingga dapat menunjukkan bahwa arti
sebenarnya entah bagaimana tersembunyi bagi pembaca biasa.

Secara kebetulan, sarjana-sarjana Yahudi telah menghadapi pertanyaan
ini dalam konteks yang berbeda. Lebih dari satu abad sebelumnya,
penafsir agung Yahudi, Filo (sekitar 20SM-45M), yang tinggal di
Aleksandria, Mesir, telah mencoba menyelaraskan PL dengan pemikiran
para filsuf besar Yunani. Ada sedikit kaitan yang jelas antara PL
dengan filsafat Yunani. Namun, dengan menerapkan penafsiran alegoris
yang mistis terhadap PL, Filo berhasil menunjukkan (paling tidak
sampai ia merasa puas) bahwa Musa dan para penulis PL lainnya
sebenarnya telah menyatakan kebenaran-kebenaran filsafat Yunani
beberapa abad sebelum para pemikir Yunani memikirkannya!

Beberapa pemimpin Kristen awal, terutama mereka yang di Aleksandria,
mengadopsi pendekatan seperti ini dengan penuh semangat. Mereka segera
juga menggunakan teknik yang sama untuk menunjukkan bahwa PL memuat
segala sesuatu yang ada dalam PB, bagi mereka yang memiliki mata untuk
melihat.

Bahkan hal-hal mendetail yang kelihatannya tidak penting dari kisah PL
dijadikan lambang-lambang bagi Injil Kristen. Apa pun yang berwarna
merah dapat dimengerti sebagai referensi kepada kematian Yesus di kayu
Salib (sebagai contoh, lembu betina merah dari Bilangan 19, tali
kirmizinya Rahab dari Yosua 2:18). Air kemudian menjadi gambaran akan
baptisan Kristen. Kisah Keluaran, dengan kombinasi dengan darah (di
ambang pintu pada saat Paskah) dan air (ketika menyeberangi laut
Teberau), menghasilkan banyak penjelasan yang kompleks akan hubungan
antara salib dan keselamatan Kristen, juga dengan dua sakramen
Kristen, baptisan dan perjamuan kudus!

Uskup Hilary dari Poitiers, Perancis (315-368 M) menjelaskan cara
pembacaan PL ini sebagai berikut:

  "Setiap karya yang termuat di dalam kitab-kitab suci mengumumkan
  melalui kata, menjelaskan melalui fakta, dan mensahkan melalui
  contoh-contoh kedatangan Tuhan kita Yesus Kristus .... Sejak
  permulaan dunia ini, Kristus melalui prafigurasi yang otentik dan
  mutlak dalam pribadi para patriakh melahirkan, membersihkan,
  menguduskan, memilih, memisahkan dan menebus gereja: melalui
  tidurnya Adam, banjir besar pada masa Nuh, berkat dari Melkisedek,
  pembenaran Abraham, kelahiran Ishak, penawanan Yakub .... Tujuan
  karya ini adalah untuk menunjukkan bahwa dalam setiap pribadi dalam
  setiap masa, dan dalam setiap tindakan, gambaran tentang kedatangan,
  pengajaran, kebangkitan-Nya, dan tentang gereja kita direfleksikan
  seperti pada cermin" (Hilary, Introduction to The Treatise of
  Mysteries).

Tidak semua pemimpin gereja senang dengan pendekatan terhadap PL di
atas: terutama mereka yang berhubungan dengan pusat kekristenan besar
lainnya di Antiokhia, Siria. Namun, biasanya diterima begitu saja
bahwa PL adalah kitab Kristen, dan dengan satu dan lain cara isinya
berkaitan dengan kepercayaan mendasar teologi Kristen.

Selama Reformasi Protestan, keseluruhan pokok pembicaraan ini sekali
lagi dibuka untuk diperiksa. Martin Luther (1483-1546) dan John Calvin
(1509-1564) menekankan pentingnya mengerti iman PL berdasarkan konteks
sejarah dan sosialnya. Dalam hal ini, pendekatan mereka tidaklah
berbeda dari pendekatan banyak sarjana modern. Namun, Luther ingin
membedakan nilai PL dari PB dengan melihat PL sebagai Taurat dan PB
sebagai Injil. Hal ini memberikan kepadanya alat yang baik untuk
memisahkan gandum Injil sejati (menurut Luther ditemukan pada surat-
surat Paulus) dari jerami legalisme yang sudah diganti
(diidentifikasikan dengan PL dan kekristenan Yahudi). Pemikiran ini
telah sangat mempengaruhi kesarjanaan Alkitab sampai masa kini. Akan
tetapi, pandangan ini keliru dalam beberapa hal mendasar:

* Pandangan ini mengabaikan fakta bahwa Taurat bukan dasar iman PL dan
juga tidak sama sekali tidak ada di dalam PB. Di dalam PL maupun PB,
Taurat diletakkan di dalam konteks pemahaman perjanjian dengan kasih
Allah sebagai prinsip dasarnya.

* Luther sangat keliru mengidentifikasikan Yudaisme dengan legalisme
moralistis. Hal ini sangat tidak adil bahkan terhadap pandangan Farisi
yang jelas-jelas ditolak oleh Paulus. Dalam hal ini, Luther membiarkan
reaksinya sendiri terhadap kekristenan Roma Katholik untuk mewarnai
pandangannya terhadap iman PL.

Calvin mengenali beberapa kekurangan ini, dan sebaliknya menekankan
kepentingan dari tema perjanjian di PL dan PB. Dengan perbandingan
yang teliti akan hubungan Allah dengan umat Israel purba dan dengan
gereja Kristen, Calvin mampu mengklaim bahwa dua bagian dari Alkitab
Kristen tersebut disatukan oleh suatu pewahyuan yang progresif, di
mana janji-janji purba yang diberikan kepada Israel dalam PL mencapai
puncaknya di dalam kehidupan gereja Kristen. Pandangan ini bukan tidak
memiliki kesulitannya sendiri. Namun, paling tidak pandangan ini
mencoba untuk melihat iman PL secara serius. Pandangan Calvin ini
masih dipegang oleh banyak orang dari kelompok Kristen konservatif.

Setelah Reformasi, pertanyaan mengenai PL sebagai kitab Kristen
tersimpan dengan rapi sampai pada generasi kita. Zaman pencerahan
Eropa, dengan tekanan kepada memahami PL sebagai koleksi kitab-kitab
kuno dalam konteks masanya sendiri, membawa penyelidikan para sarjana
ke arah lain. Namun, dalam 100 tahun terakhir atau lebih ini,
pertanyaan teologis tadi telah mencuat ke permukaan lagi. Hal penting
yang mendorongnya adalah gerakan Nazi di negara Jerman modern.
Perasaan anti Yahudi yang diciptakan oleh Nazi telah berdampak pada
gereja-gereja Jerman sendiri, dan kehadiran PL di dalam Alkitab
Kristen menjadi isu politis yang membara sekaligus menjadi bahan
kajian teologis. Sejumlah teolog Jerman mulai mengadopsi sikap yang
sama seperti Marcion. Namun, banyak sarjana Kristen Jerman yang
memberikan penilaian positif terhadap signifikansi PL, walaupun mereka
menghadapi tekanan secara politik. Sarjana-sarjana seperti Walter
Eichrodt dan Gerhard von Rad bahkan juga teolog Swiss, Karl Barth,
justru menghasilkan karya-karya yang paling kreatif pada masa
tersebut.

Sekarang ini, umat Kristen mengadopsi berbagai sikap terhadap nilai
PL:

* Ada yang ingin memberikan PL nilai dan otoritas yang sama dengan PB,
dengan dasar bahwa setiap kata di dalam keduanya adalah kata-kata
Allah sendiri secara langsung. Namun, kita harus cukup berhati-hati
untuk tidak terlalu gampang menerima gambaran seperti ini karena ada
sejumlah pengajaran Yesus sendiri yang dalam berita-Nya jelas
menunjukkan sikap penolakan atau perevisian yang sangat radikal
terhadap beberapa aspek mendasar dari pengajaran PL.

* Orang lain memperdebatkan bahwa PL digantikan seluruhnya oleh PB,
sehingga bisa disingkirkan. Di sini kita juga harus memelihara suatu
keseimbangan yang teliti yang kita temukan pada pengajaran Yesus
sendiri karena Yesus juga menguraikan pelayanan-Nya dalam segi
tertentu menggenapi PL. Kita bisa secara sah mendebatkan artinya,
namun ini pastilah harus mengikutsertakan asumsi bahwa PL memiliki
sesuatu untuk kekristenan dan karenanya memiliki tempat yang sah di
dalam Alkitab Kristen.

* Beberapa orang mencoba membedakan antara beberapa bagian dari PL.
Mereka akan memisahkan hal-hal seperti hukum-hukum tentang imam,
persembahan korban, dan ketahiran (yang tidak lagi dilakukan oleh
Kristen) dari bagian-bagian lain seperti Dekalog dan pengajaran-
pengajaran moral dari para nabi (yang dianggap masih relevan). Calvin
melakukan pembagian yang serupa. Namun, jauh lebih mudah membagi
seperti itu daripada membuktikan kebenarannya. Dengan menyingkirkan
unsur-unsur yang kelihatannya tidak relevan itu, kita sebenarnya
sedang menggeser beberapa aspek paling dasar dari iman PL. Sebagai
tambahan, PB justru paling sering menemukan korelasi antara iman PL
dengan kepercayaan Kristen tentang Yesus di dalam konsep-konsep
seperti persembahan kurban.

* Juga umum bagi orang Kristen untuk berbicara tentang pewahyuan
progresif kehendak dan sifat Allah yang mengaliri kedua perjanjian
tersebut. Pandangan ini mengatakan bahwa kehendak Allah dinyatakan
melalui sejumlah tahapan, disesuaikan secara kasar dengan kapasitas
manusia untuk memahaminya. Jadi, beberapa dari bagian yang lebih sulit
dari PL dapat dijelaskan sebagai sesuai dengan masa primitif, yang
kemudian diganti dengan pandangan yang lebih maju, dan memuncak pada
pengajaran Yesus tentang Allah yang adalah kasih. Namun ini adalah ide
yang tidak menolong karena didasarkan kepada ide evolusioner yang
sudah ketinggalan zaman mengenai perkembangan moral yang tidak
terhindarkan dalam diri manusia. Pandangan ini juga mencampuradukkan
pernyataan tentang Allah sebagaimana Dia adanya dengan pernyataan
tentang apa yang manusia pikirkan tentang Dia. Sebagai tambahan
pandangan ini memuat juga implikasi yang meragukan bahwa orang modern
pasti mengetahui lebih banyak mengenai kehendak Allah dan lebih taat
kepadanya daripada para bapa leluhur, nabi-nabi, dan tokoh-tokoh utama
kisah PL.

MENGADAKAN HUBUNGAN

Ada kesulitan yang nyata di dalam menafsirkan PL dalam Alkitab
Kristen. Kita perlu mengenali bahwa PL adalah kitab yang dalam banyak
hal aneh dan asing bagi orang modern, baik yang Kristen maupun yang
bukan Kristen. Penilaian apapun yang kita berikan kepada iman PL, itu
tidak sama dengan iman Kristen. Dalam praktiknya, orang Kristen yang
membacanya sering menemukan kesulitan untuk mengerti PL. Hal ini
terjadi karena PL berasal dari dunia yang sama sekali berbeda dengan
pengalaman iman mereka. Banyak keanehan itu dapat menjadi sirna ketika
kita menempatkan iman PL pada konteks sejarah dan sosialnya yang
tepat. Itulah yang telah kita coba lakukan. Walaupun kita mungkin
tidak menemukan hal seperti kurban persembahan menjadi lebih menarik,
paling tidak kita bisa mulai menghargai maknanya di dalam konteks iman
Israel. Namun, bukan berarti kita boleh menyingkirkan PL karena pada
praktiknya tidaklah mungkin untuk menjelaskan dengan baik iman Kristen
tanpa referensi kepada PL.

Pada tingkatan paling dasar, adalah fakta sederhana bahwa kita tidak
dapat mengerti PB itu sendiri bila kita tidak mengetahui PL. Yesus dan
murid-murid-Nya adalah orang Yahudi. Bagi mereka pikiran PL adalah
bagian yang hidup dan penting bagi keberadaan total mereka. Memang
dalam banyak hal, mereka melampaui ajaran Yudaisme ketika mereka
menemukan bal-hal yang harus dibuang atau dikembangkan dalam terang
ajaran baru yang menarik akan tindakan Allah di dalam Kristus. Namun
secara keseluruhan mereka terus mengerti pengalaman baru Kristen
mereka dalam kategori iman dari mana mereka telah dibesarkan.

Gereja-gereja Kristen paling awal menggunakan PL Yunani sebagai
Alkitab mereka - dan bahasa dalam PB sendiri memiliki lebih banyak
persamaan dengannya dibandingkan dengan sastra kebudayaan sekuler
Yunani dan Romawi. Bahasa ini mempengaruhi cara mereka menjelaskan
pengertian mereka akan kekristenan. Sesungguhnya, bahasa PL masih
mempengaruhi pemikiran Kristen sekarang. Orang Kristen modern yang
tidak pernah melihat kurban bakaran binatang masih menyanyikan di
gereja-gereja akan Kurban yang sejati dan kekal dari Yesus. Banyak di
antara mereka yang masih menyebutkan suatu bagian dari gedung gereja
mereka sebagai altar, walaupun tidak pernah terjadi penumpahan darah
di situ. Mungkin kita perlu memeriksa semua perlambangan ini dan
menyajikan ulang beritanya dalam konsep berbeda untuk orang modern.
Namun, agar dapat melakukan hal tersebut dengan baik, kita perlu
mengerti semuanya terlebih dahulu sebab kalau tidak kita akan selalu
ada dalam bahaya membuang fakta bahwa Kristus mati bagi dosa-dosa kita
bersama dengan bahasa persembahan kurban, mezbah, dan penebusan.
Tempat untuk menemukan arti yang tepat akan hal-hal ini tentu saja
adalah PL.

Akan tetapi, PL bukan hanya menjadi latar belakang bahasa dan
kebudayaan bagi pemikiran penulis-penulis PB. Perjanjian Lama juga
mengandung pernyataan-pernyataan kebenaran yang penting akan Allah dan
hubungan-Nya dengan umat manusia dan dunia yang sampai sekarang masih
sama benarnya dengan dulu. Jika kita melihat kembali judul setiap
pasal yang menaungi eksplorasi kita terhadap iman PL, dapat mudah
terlibat bagaimana konsep-konsep kunci dari tiap bagian membentuk
dasar teologis yang sangat penting bagi iman Kristen sebagaimana yang
disajikan dalam PB. Ada suatu keterkaitan yang erat antarkedua
Perjanjian ini sehinga tidaklah berlebihan kalau kita mengklaim bahwa
iman Kristen sendiri menjadi kurang sempurna kalau kita menyingkirkan
penegasan-penegasan dasar iman PL dari Alkitab Kristen.

Allah yang hidup
----------------
Kesimpulan-kesimpulan di atas tampak paling jelas dalam hal
kepercayaan-kepercayaan mengenai Allah sendiri.

- Ada kebenaran bahwa hanya ada satu Allah, dan bahwa Ia adalah
mahakuasa dan juga secara pribadi memikirkan kesejahteraan manusia
biasa. Istilah yang sering dipakai oleh para teolog masa kini untuk
dua aspek sifat Allah ini ialah transendensi dan imanensi. Kita boleh
sangat yakin bahwa istilah ini tidak banyak berarti bagi umat PL.
Sesungguhnya, mungkin saja kebenaran tentang Allah ini tidak
dimengerti secara sama oleh semua kelompok dari umat Israel. Namun
pengertian ini secara pasti tersirat dalam pengakuan iman yang paling
awal yang mendorong umat untuk menyembah satu Allah saja (Kel. 15:11-
18) - walaupun mungkin baru beberapa abad kemudian para nabi agung
menegaskannya secara sistematis tentang kendali tunggal Allah atas
dunia dan yang terjadi dalamnya (Yes. 40:12-31, 41:21-29, 44:1-20).

- Berkaitan dengan fakta bahwa Allah adalah satu adalah kepercayaan
bahwa tuntutan Allah kepada umat-Nya adalah terutama dalam hal moral
ketimbang ibadah keagamaan dan larangan ritus. Kita telah membahas
bahwa ini adalah hal yang baru karena kebanyakan agama purba lebih
tertarik kepada korban dan ritus daripada moral. Namun, pengertian
keseluruhan PL tentang ibadah menjadi tidak berarti bila dua aspek ini
dipisahkan.

- Kemudian, ada gagasan tentang anugerah Allah - kenyataan bahwa Ia
memberikan pemberian-pemberian yang sebenarnya tidak layak diterima
umat. Seluruh kisah PL disatukan atas pengetahuan tentang Allah yang
telah melakukan hal-hal besar terhadap umat-Nya, dan atas dasar itulah
Allah dapat menuntut kesetiaan dan ketaatan mereka. Setiap tahapan
kisah tersebut menunjukkan tindakan kepedulian Allah untuk secara
aktif berkarya bagi keselamatan umat-Nya. Prinsip perjanjian ini masih
merupakan dasar untuk pengertian setiap orang Kristen mengenai Allah
dan jalan-jalan-Nya. Perjanjian Lama seperti PB menggambarkan Allah
bekerja dalam kasih untuk kebaikan umat-Nya. Walaupun dalam PB ada
pergeseran fokus dari peristiwa seperti keluaran dari Mesir atau
pembuangan kepada Yesus sebagai pusat, asumsi dasarnya adalah sama,
yaitu Allah adalah Allah yang aktif dan pengasih, yang karya-karya-Nya
dapat terlihat di dalam kehidupan sehari-hari orang-orang biasa.

- Kita telah melihat dalam beberapa hal bahwa PL tidak menguraikan
Allah secara metafisis, misalnya dengan menanyakan, "Terbuat dari
apakah Dia?," tetapi secara fungsional, dengan menanyakan:
"Bagaimanakah Dia bertindak?" Perjanjian Baru juga memakai pendekatan
yang sama, ketika secara praktis PB mengatakan: "Lihatlah Yesus:
seperti inilah Allah."

Allah dan dunia
---------------
Tidaklah terlalu sulit untuk menunjukkan kesamaan PL dan PB dalam hal
aspek-aspek penting dari sifat Allah. Namun, tanpa PL, iman Kristen
juga akan kekurangan secara serius suatu perspektif dalam cara Allah
merelasikan diri-Nya dengan dunia alam.

- Dalam dunia kekristenan awal, adalah umum untuk mempercayai bahwa
dunia fisik, alam tempat kita hidup ini pada dasarnya adalah jahat.
Jadi, suatu keselamatan yang berarti harus melibatkan kelepasan dari
dunia ini ke dunia lain yang lebih rohani dan dengan sendirinya dunia
yang lebih sempurna. Ini adalah bagian penting dari pandangan Yunani.
Ketika kekristenan bergerak ke luar Palestina meluas ke wilayah
kekaisaran Romawi lainnya, selalu merupakan godaan bagi orang Kristen
untuk menerima pandangan Yunani ini. Walaupun ada banyak perdebatan
yang hangat mengenai hal ini, kekristenan tidak pernah menerima
pandangan bahwa eksistensi fisik adalah nomor dua. Namun, mereka mampu
menegaskan bahwa hidup itu pada dasarnya baik hanya karena keyakinan
PL yang kukuh yang mempengaruhi pemikiran mereka. Sebagai akibatnya:
para penulis PB tidak melihat keselamatan sebagai kelepasan dari dunia
ini. Mereka menyatakan bahwa dalam rencana keselamatan Allah, dunia
sendiri ada bagiannya. Kedatangan Yesus berarti penghidupan dan
pembaruan bagi dunia ini (Rm. 8:18-25; Kol. 1:15-20; Why. 21-22).
Tanpa pandangan seperti ini, orang Kristen modern tidak dapat berkata
banyak mengenai isu-isu abad ke-20 ini, seperti perlombaan senjata
nuklir dan penggunaan sumber-sumber alam dunia ini. Namun, dengan
mengikutsertakan dunia fisik ini ke dalam pengharapan keselamatan,
para penulis PB memiliki dasar yang teguh pada iman PL yang telah
mendahului mereka.

- Ketika PB menjelaskan hubungan Yesus Kristus dengan umat manusia, PB
sekali lagi memakai dasar pandangan PL tentang umat manusia dan
hubungan mereka dengan Allah. Perjanjian Baru memakai begitu saja
dasar-dasar konsep teologis dari kisah penciptaan, dan melihat dosa
manusia sebagai penghalang antara Allah dengan manusia yang perlu
disingkirkan kalau persekutuan itu akan dipulihkan. Keseluruhan
struktur pemikiran ini begitu penting bagi teologi Kristen sehingga
tanpa pemahaman PL ini kita meragukan apakah iman rasuli dapat
berkembang seperti yang ada sekarang ini.

Allah dan umat-Nya
------------------
Etika PB juga berhutang banyak kepada PL.

- Ide hukum alam yang telah kita diskusikan dalam kaitannya dengan PL
merupakan prasyarat dasar bagi iman Kristen. Paulus memakai hukum alam
ini sebagai kunci penting untuk menjelaskan bagaimana kehidupan,
kematian, dan kebangkitan Yesus dapat diaplikasikan kepada semua
manusia, tanpa memandang asal-usul sosial dan ras mereka (Rm. 1:18-
2:16).

- Kerangka perjanjian yang menjadi tempat moralitas PL beroperasi
tetap menjadi pusat di dalam PB. Kedatangan Yesus dipandang sebagai
lanjutan tindakan agung Allah yang bisa dibandingkan dengan kisah
Keluaran, dan menuntut respons ketaatan dan komitmen yang serupa. Akan
tetapi, keseluruhan pola etika Kristen juga bergantung kepada tekanan
dasariah PL bahwa manusia harus bertingkah laku seperti Allah
(Mat. 5:48). Satu-satunya perbedaan ialah bahwa pola Ilahi ini
dinyatakan secara lebih eksplisit karena teladan dari Yesus sendiri,
di mana orang Kristen dipanggil untuk meneladaninya (Flp. 2:5-11;
2Kor. 8:8-9).

- Kemudian, ada etika sosial Kristen yang juga bergantung begitu
banyak kepada warisan PL. Dengan berbagai alasan, PB sedikit sekali
berbicara mengenai bagaimana Allah bersikap terhadap bangsa-bangsa
lain. Tanpa PL, iman Kristen akan menjadi sangat miskin dalam hal ini
karena di dalam iman PL kita mendapatkan dasar-dasar bagi filsafat
Kristen tentang sejarah. Tentu pandangan PL memerlukan modifikasi di
sana sini berdasarkan terang ajaran Yesus sendiri. Namun, bukanlah
suatu hal kebetulan bila orang-orang Kristen modern di dalam
menyatakan sikap terhadap masalah-masalah sosial dan politik mereka
begitu sering bergantung kepada pemahaman para nabi dan pemberi hukum
Israel purba.

Menyembah Allah
---------------
Di sini juga, iman PB berutang kepada PL lebih dari yang biasa kita
duga.

- Corak ibadah gereja awal, demikian juga banyak gereja modern,
bertumbuh dari pola pujian dan perayaan sukacita yang kita temukan di
dalam lembaran-lembaran PL.

- Korelasi antara makna ibadah di dua perjanjian itu lebih menonjol
lagi. Prinsip yang mendasari ibadah PL maupun Kristen adalah demikian:
walaupun Allah adalah kudus - dalam setiap aspek yang terkandung dari
kata itu - Ia juga Allah yang penuh pengampunan, dan realitas
pengampunan itu dapat diwujudkan di dalam peristiwa ibadah di hadapan
umat Allah.

- Kita tentu saja tidak dapat mengabaikan bagaimana tema persembahan
korban telah menjadi sangat penting di dalam pemikiran Kristen. Para
penulis PB menegaskan bahwa semua yang dijanjikan oleh ibadah
persembahan korban di dalam PL telah digenapi di dalam kehidupan,
kematian, dan kebangkitan Yesus. Tidak mungkin untuk membicarakan apa
yang Yesus dapat lakukan di dalam hidup umat-Nya tanpa merujuk kepada
pengharapan dan aspirasi umat yang beribadah di zaman Israel purba.
Sesungguhnya, seluruh konsep persembahan kurban begitu pentingnya di
dalam tradisi Kristen, sehingga setidaknya ada sebagian besar gereja
berpikir bahwa persembahan kurban bukan hanya semata perlambangan atau
metafora teologis, tetapi juga sebagai bagian simbol yang
berkesinambungan dari liturgi yang terus berlangsung dari ibadah
komunitas Kristen.

======================================================================

Sumber diambil dari:
Judul Buku    : Bagaimana Memahami Perjanjian Lama III
Judul Artikel : Yang Lama dan yang Baru
Penulis       : John Drane
Penerjemah    : Hans Wuysang, M.Th.
Penerbit      : Persekutuan Pembaca Alkitab, Jakarta, 2003
Halaman       : 116 - 124

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org