Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/38

e-Reformed edisi 38 (27-6-2003)

Prinsip Dasar Etika Kristen tentang Perang: Sebuah Tinjauan terhadap Pacifism dan Just War Theory

     PRINSIP DASAR ETIKA KRISTEN TENTANG PERANG: SEBUAH TINJAUAN
                TERHADAP PACIFISM DAN JUST WAR THEORY

Adakah perang yang dapat dibenarkan ('justified')? Pertanyaan ini 
bukan sedang diarahkan kepada perang tertentu, entah yang pernah atau 
sedang terjadi, tetapi lebih sebagai pertanyaan yang bersifat prinsip. 
Artinya, berdasarkan prinsip etika Kristen, adakah dasar-dasar 
pertimbangan untuk membenarkan perang atau penggunaan kekerasan demi 
mencapai suatu sasaran kemanusiaan yang lebih mulia? Sebagai orang 
Kristen yang lekat dengan prinsip kasih, tentu kita bukanlah orang- 
orang yang terpanggil untuk mengobarkan semangat perang. Namun 
demikian, di tengah dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa di mana 
kekerasan merupakan isu moral yang tidak pernah dapat dihindari, 
sering kali kita harus mengakui bahwa perang atau penggunaan kekerasan 
demi alasan kemanusiaan dengan segala etika yang terkandung di 
dalamnya, adalah pilihan yang harus kita pertimbangkan. Barangkali 
contoh sederhana adalah dari Francis Schaeffer:

    I am walking down the street and I come upon a big, burly man     
    beating a tiny tot to death-beating this little girl...I plead
    with him to stop. Suppose he refuses? What does love mean now?
    Love means that I stop him in any way I can, including hitting
    him.[1]

Isu etika tentang perang memang tidak harus selalu berarti kekerasan.
Di dalamnya terkandung pertanyaan-pertanyaan etika lainnya seperti:
bagaimana jika seorang Kristen terpanggil sebagai polisi atau tentara?
Apakah kita harus memandang profesi semacam itu sebagai 'anomali' bagi
kekristenan? Bagaimana dengan keterlibatan orang Kristen dalam politik
atau bernegara? Bagaimana pula seandainya keutuhan negara kita
terancam oleh kekuatan politik atau senjata, baik dari negara lain
ataupun dari dalam negeri? Serangkaian pertanyaan ini bisa terus kita
kembangkan, tetapi pada intinya isu ini menuntut setiap orang Kristen
untuk dengan serius mempertimbangkan tanggung jawab dan panggilannya
sebagai warga negara. Atau menurut istilah Agustinus, salah seorang
bapa gereja, meskipun pengharapan utama setiap orang percaya adalah
digenapinya secara penuh 'City of God' di dalam langit dan bumi yang
baru, tetapi selama masih tinggal di bumi ini kita tidak dapat
melepaskan diri dari tanggung jawab di dalam 'civitas terrena' (kota
duniawi) yang kita tinggali.[2]

Gereja memang pernah dinodai oleh deklarasi "perang suci" dari pihak 
kekristenan. Namun jikalau kita meneliti sejarah gereja, sebenarnya
ada dua posisi lain yang kebenarannya lebih dapat
dipertanggungjawabkan menurut firman Tuhan serta patut kita
pertimbangkan, yaitu 'pacifism'[3] dan 'just war theory'.[4]
'Pacifism' pada hakikatnya adalah pandangan yang berpendapat bahwa
berdasarkan prinsip iman Kristen, tidak ada satu pun perang atau
penggunaan kekerasan yang dapat dibenarkan, sekalipun dengan alasan
kemanusiaan. Setiap orang Kristen harus secara mutlak menolak isu
tentang perang, bahkan sebagian pendukung kelompok ini menegaskan
bahwa penolakan tersebut termasuk dalam profesi sebagai prajurit.
Sebaliknya, setiap orang yang sudah ditebus oleh Kristus harus sanggup
memancarkan kasih Kristus di dalam situasi dan kondisi apa pun.
Sedangkan pandangan kedua, 'just war theory', percaya ada perang atau
penggunaan kekerasan demi alasan kemanusiaan yang dapat dibenarkan.
Sekalipun karakter utama setiap orang Kristen adalah kasih, namun
menurut pendukung teori ini pelaksanaan kasih di dalam dunia yang
sudah jatuh ke dalam dosa ini tidak dapat dilepaskan dari keadilan
(justice) yang adakalanya mengandung aspek kekerasan.

Artikel ini merupakan sebuah usaha untuk memberikan landasan biblika 
dan teologis dalam mengambil posisi etika antara kedua paham tersebut.
Untuk itu pada bagian berikut akan dibahas terlebih dahulu pandangan
masing-masing posisi. Selanjutnya, dengan menggunakan pendekatan
hermeneutik dan teologis, pada bagian akhir, kita akan mencoba
menyimpulkan posisi etika yang kebenarannya dapat
dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Penulis menyadari bahwa semua
kategori pembahasan dalam artikel ini adalah topik-topik diskusi yang
sangat luas, karena itu melalui artikel yang tidak terlalu panjang
ini, rasanya berlebihan jika seseorang mengharapkan pembahasan secara
detail dan menyeluruh. Penulis hanya berharap artikel ini dapat
memberikan sedikit sumbangsih bagi pergumulan etika, khususnya isu
tentang perang.

PACIFISM
--------
Posisi ini berangkat dari suatu kesadaran akan adanya pertentangan
yang tajam antara penggunaan kekerasan dalam PL dan PB. Kita dapat
membaca misalnya tentang "Hukum Perang" di Ulangan 20, di mana salah
satu ayatnya mengatakan ketika bangsa Israel memasuki sebuah kota yang
menolak tawaran perdamaian, maka Tuhan berkata, "Haruslah engkau
membunuh seluruh penduduknya yang laki-laki dengan mata pedang" (ay.
13). Pada bagian selanjutnya dikatakan bahwa dari kota-kota bangsa-
bangsa lain yang diberikan kepada Israel, Tuhan berkata, "janganlah
kaubiarkan hidup apa pun yang bernafas, melainkan kautumpas sama
sekali, yakni orang Het, orang Amori, orang Kanaan, orang Feris, orang
Hewi, dan orang Yebus, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh Tuhan,
Allahmu" (ay. 16-17). Tetapi jika kita membaca PB, khususnya Khotbah
di Bukit, kita akan mendapati nuansa yang sama sekali berbeda. Tuhan
Yesus berkata,

     Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti      
     gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang
     yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar
     pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada
     orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu,
     serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engkau
     berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua
     mil... Kamu telah mendengar fiman: Kasihilah sesamamu manusia dan
     bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu
     dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu (Mat 5:38-41, 43-
     44).

Berangkat dari ayat-ayat PB seperti di atas, tradisi 'pacifism' dengan 
tegas menyatakan bahwa hukum perang di PL sudah tidak berlaku lagi.
Tanpa terjebak kepada bidat Marcion yang memisahkan dan membedakan
Allah di PL dari Allah PB, Tertullian, seorang bapa gereja abad
ketiga, mengatakan bahwa berita yang Kristus sampaikan melalui Khotbah
di Bukit, bila dibandingkan dengan hukum di PL merupakan penyingkapan
maksud Allah sebenarnya, yaitu bahwa pembalasan dan murka adalah hak
Allah. Panggilan utama hidup Kristen adalah untuk setiap saat siap
sedia "memberikan pipi kiri jika pipi kanan kita ditampar" atau dengan
kata lain, rela menderita bagi Kristus dalam situasi apa pun.[5]
Hippolytus, seorang bapa gereja yang hidup sezaman dengan Tertullian,
lebih jauh berkata, "If a catechumen or a baptized Christian wishes to
become a soldier, let him be cast out. For he has despised God."[6]
Dalam tulisannya yang lain, "The Soldier's Chaplet", Tertullian juga
menegaskan bahwa berdasarkan prinsip kasih yang Kristus telah ajarkan,
maka profesi militer adalah sebuah jabatan yang sifatnya "offending
God." Baginya, kisah seperti prajurit-prajurit yang datang kepada
Yohanes Pembaptis untuk dibaptiskan ataupun perwira pasukan yang
mengundang Petrus ke rumahnya adalah "sebelum" iman Kristen sungguh-
sungguh berakar dalam diri mereka. Tetapi begitu iman yang sejati
telah tumbuh maka profesi semacam itu harus ditinggalkan.[7]

Pada abad ke-16, tradisi Tertullian tersebut diteruskan oleh kelompok
Anabaptist yang dengan tegas menyatakan: "Christ is now our Lord, not
the Old Testament."[8] Akibatnya, mereka percaya bahwa setiap murid
Kristus terpanggil untuk hidup dalam kasih, ketaatan dan kesetiaan
yang radikal terhadap segala perkataan Kristus. Salah satu contoh
ekstrem dari Anabaptist adalah kasus Michael Sattler. Pada abad ke-16
ketika Eropa Barat diserang oleh orang-orang Turks, di hadapan publik
Sattler berseru, "We should not resist any of our persecutors with the
sword, but with prayer cling to God that He might resist and
defend."[9] Lebih jauh ia menegur orang-orang Kristen yang turut
berperang, "The Turks knows nothing about the Christian faith, he is a
'Turk according to the flesh.' But you want to be considered
Christians, boast of being Christ's and still persecute His pious
witnesses, you are Turks according to the spirit."[10]

Dengan kata lain, mereka percaya bahwa dalam prinsip pewahyuan secara
progresif, PB telah menggantikan PL. Ajaran Yesus dan para rasul harus
dilihat lebih superior daripada tulisan Musa, Yosua dan para nabi
lain. Bagi kelompok ini, etika PB jelas mengajarkan prinsip pacifism.
Panggilan perang dan penggunaan kekerasan apa pun alasannya adalah hal
yang sepenuhnya bertentangan dengan panggilan sebagai murid Kristus.
Setiap orang yang telah ditebus harus mengenakan senjata rohani dan
hidup di dalam kasih yang sifatnya 'defenseless' (tanpa pembelaan).
Etika PL yang menekankan perang, penggunaan kekerasan dan pembalasan
sekarang telah digantikan oleh model hamba yang menderita yang telah
dicontohkan oleh Kristus sendiri.[11]

Pada masa sekarang tradisi pacifism terus dikumandangkan oleh kelompok
Neo-Augustinian.[12] Salah seorang di antaranya yang sangat menonjol
ialah Richard B. Hays, seorang pengajar PB di Duke University. Ia
menegaskan tradisi Tertullian maupun Anabaptist tentang 'pacifism'
dengan berkata bahwa salib dan kebangkitan telah merumuskan prinsip
dasar hidup Kristiani yang semestinya, yaitu kasih dan damai.

     ...the New Testament's witness is finally normative. If      
     irreconcilable tensions exist between the moral vision of the New
     Testament and that of particular Old Testament texts, the New
     Testament vision trumps the Old Testament... So also Jesus'
     explicit teaching and example of nonviolence reshapes our
     understanding of God and of the covenant community in such a way
     that killing enemies is no longer a justifiable option... Once
     that word has been spoken to us and perfectly embodied in the
     story of Jesus' life and death, we cannot appeal back to Samuel
     as a counterexample to Jesus. Everything is changed by the cross
     and resurrection.[13]

Sedikit berbeda dengan Anabaptist, Hays tidak menegaskan bahwa PB 
telah menggantikan PL. Yang hendak ia ajarkan adalah, jika ada prinsip
moral PL yang bertentangan dengan PB, maka prinsip moral di PB
sifatnya 'normatif' sehingga harus dipandang lebih superior ketimbang
PL. Isu tentang perang adalah salah satu contoh di mana kita harus
melihat prinsip kasih di PB sebagai yang lebih normatif daripada hukum
perang di PL.

Di dalam konteks tentang perang, bagi Hays, setiap orang Kristen 
terpanggil untuk hidup di dalam prinsip moral yang sama sekali berbeda
dengan dunia. Ia melihat, misalnya, ketika Tuhan Yesus menyampaikan
Khotbah di Bukit, khotbah ini diberikan dalam sebuah situasi di mana
kekristenan bukan sebagai penguasa politik pada masa tersebut, tetapi
sebagai kelompok marginal yang berada di luar lingkaran politik. Hal
ini mengandung pengertian bahwa jika orang Kristen ingin sungguh-
sungguh hidup menurut ajaran dan teladan Tuhan Yesus, maka ia harus
memiliki standar moral yang berbeda secara radikal dari komunitas
duniawi. Dengan demikian, tugas dan panggilan gereja adalah "to tell
an alternative story" dan "to resist the seductions of violence" di
tengah-tengah mayoritas komunitas dunia yang sejak Adam jatuh dalam
dosa terus terikat oleh kekerasan dan peperangan.[14] Ia menegaskan
jika gereja ingin sungguh-sungguh menjadi komunitas yang dibangun atas
dasar Alkitab maka gereja harus mau terus-menerus meneladani
"nonviolent countercultural community" sebagaimana telah dicontohkan
melalui Khotbah di Bukit.[15] Ia merasa heran sekarang ini gereja
ingin memberi pengaruh kepada dunia dengan cara menjadi serupa dengan
dunia (appearing reasonable in the eyes of the world), dengan cara
mereduksi sedapat mungkin prinsip-prinsip inti iman Kristen. Ini
bukanlah panggilan murid Kristus; baginya, justru komunitas Kristen
akan memberikan dampak yang besar seandainya orang-orang percaya "less
concerned about appearing reasonable in the eyes of the world and more
concerned about faithfully embodying the New Testament's teaching
against violence."[16] Dengan kata lain, kasih Kristus baru dapat
terpancar dengan terang ketika kita tidak mengikuti pola hidup dunia
yang sudah terjebak oleh kekerasan. Hal ini tidak perlu diartikan
bahwa orang-orang pacifist bukanlah warga negara yang baik. Yang
hendak mereka tekankan adalah, sebagai orang Kristen mereka harus
hidup sebagai warga negara yang baik dengan cara menyaksikan prinsip-
prinsip moral yang secara eksklusif dibangun atas dasar Alkitab, yang
sama sekali tidak dikompromikan dengan prinsip moral apa pun yang ada
di dunia ini.

Strategi pacifism Hays jelas mengandung risiko dan bahaya. Di satu 
pihak, dengan hidup berbeda secara radikal dari dunia umat Kristen
harus selalu siap untuk terus menjadi kelompok marginal. Di lain
pihak, prinsip semacam ini barangkali hanya berbeda selangkah dari
bunuh diri, sebab apa pun yang terjadi orang Kristen tidak boleh
memilih jalur politik atau penggunaan kekerasan demi membela diri
ataupun orang lain. Hays bukan tidak menyadari hal ini. Menurutnya,
prinsip hidup yang meneladani kasih Kristus, "in calculable terms,
this way is sheer folly. Why do we choose the way of nonviolent love
of enemies?"[17] Namun dengan indah ia mengkalimatkan jawaban untuk
pertanyaan retorik ini sebagai berikut.

     If our reasons for that choice are shaped by the New Testament,      
     we are motivated not by the sheer horror of war, not by the
     desire for saving our own skins and the skins of our children (if
     we are trying to save our skins, pacifism is a very poor
     strategy), not by some general feeling of reverence for human
     life, not by the naive hope that all people are really nice and
     will be friendly if we are friendly first. No, if our reasons for
     choosing nonviolence are shaped by the New Testament witness, we
     act in simple obedience to the God who willed that his own Son
     should give himself up to death on a cross. We make this choice
     in the hope and anticipation that God's love will finally prevail
     through the way of the cross, despite our inability to see how
     this is posibble.... When the church as a community is faithful
     to that calling, it prefigures the peaceable kingdom of God in a
     world wracked by violence.[18]

Dengan demikian, bukan kekuatan manusia yang diandalkan dalam prinsip
pacifism, tetapi kekuatan Allah sendiri untuk bekerja di dalam dunia
yang sudah terjebak oleh peperangan dan kekerasan. Kita hanyalah
lilin-lilin kecil yang tak berdaya yang dipakai untuk memancarkan
terang kasih Kristus yang penuh kuasa.

JUST WAR THEORY
---------------
Agustinus umumnya dipandang sebagai pemikir Kristen pertama yang
mencetuskan ide 'just war theory' (teori tentang adanya perang yang
dapat dibenarkan). Meskipun ia sendiri tidak pernah merumuskan secara
sistematis - pembahasannya tentang perang bersifat menyebar dalam
berbagai tulisannya dan dalam konteks pembelaan iman Kristen - banyak
ahli telah mencoba memformulasikan secara sistematis konsep politik
dan perang melalui tulisannya. Tidak heran bila di kemudian hari
banyak perbedaan di antara penganut 'just war theory', sekalipun
mereka sama-sama mengklaim berdiri di dalam tradisi Agustinus.[19]

Dalam salah satu bukunya yang sangat terkenal, 'The City of God', yang 
ditulis antara 413 dan 427, Agustinus memberikan pembelaan terhadap
umat Kristen yang saat itu oleh kekaisaran Romawi dituduh sebagai
penyebab melemahnya kekuatan kerajaan sehingga membuka peluang bagi
serangan dari suku barbar (Alaric dan Goths). Hal ini dapat terjadi
sebab, di mata orang-orang Romawi, doktrin Kristen tentang kasih
persaudaraan, kasih terhadap orang yang memusuhi, kerendahan hati,
kesabaran dan yang sejenisnya, telah melemahkan semangat untuk
berjuang bagi negara.[20]

Menghadapi tuduhan itu, Agustinus menulis bahwa kekristenan sama 
sekali tidak meniadakan patriotisme, melainkan justru mengangkat
semangat itu hingga kepada level sebagai ketaatan iman (religious
obligation).[21] Berbeda dengan Tertullian, Agustinus yang hidup
kurang lebih satu abad sesudahnya (354-430), dapat melihat patriotisme
dalam bernegara sebagai bentuk ketaatan rohani adalah karena ia tidak
mempertentangkan PL dan PB secara tajam. Ia melihat bahwa perang yang
dilaksanakan oleh perintah Allah di PL harus dipandang di dalam
konteks sebagai "just and righteous retribution" terhadap dosa bangsa
tertentu, termasuk Israel. Baginya, perang yang didasarkan bukan pada
motivasi kenikmatan terhadap kekerasan itu sendiri, tetapi karena
ketaatan kepada Allah dan penghukuman terhadap pelaku kejahatan demi
mencegah dosa yang lebih besar, merupakan "an act of love."[22]
Perintah agar kita "tidak membalas kejahatan dengan kejahatan" (Mat
5:39), menurutnya bukanlah larangan secara mutlak bagi perang itu
sendiri, tetapi bagi kebencian (malice) yang merupakan bahaya
sebenarnya di dalam hubungan antara sesama. Demikian pula perintah
agar kita "memberikan pipi kiri jika pipi kanan ditampar" lebih
ditujukan kepada motivasi kasih dan kesabaran, ketimbang perilaku
secara harafiah. Dengan membedakan antara motivasi dan perbuatan,
Agustinus sanggup mengatakan bahwa kasih tidak selalu bertentangan
dengan penggunaan kekerasan, sebab, misalnya "when Moses killed
sinners [di dalam perangnya dengan bangsa-bangsa lain] he was
motivated by charity, not cruelty. Love for one's enemies did not
prevent a 'benevolent severity' toward them."[23]

Pandangan Agustinus juga berbeda dengan tradisi Tertullian mengenai 
profesi sebagai prajurit. Baginya, PB tidak pernah memerintahkan 
prajurit-prajurit yang disebutkan dalam Alkitab untuk meninggalkan 
jabatan mereka. Hal ini diakui oleh Hays, seorang pacifist, bahwa 
beberapa perikop yang menyinggung profesi prajurit, seperti Lukas 3:14-
15; Matius 8:5-13; Kisah Para Rasul 10:1-11:18, dapat menjadi dasar 
yang sah bahwa menjadi murid Kristus sama sekali tidak berarti 
menjauhkan diri dari penggunaan kekerasan demi mempertahankan 
kesejahteraan sosial atau keadilan.[24] Tetapi yang lebih menjadi 
fokus dan perhatian Agustinus adalah hati yang sudah diperbaharui, 
bukan profesi atau tindakan perang itu sendiri. Artinya, kalaupun 
seseorang memutuskan untuk pergi berperang, hal itu harus dilaksanakan 
di dalam "benevolent design and without undue harshness."[25] Ia 
mengakui bahwa dalam situasi tertentu kondisi damai dapat dicapai 
melalui pengampunan tanpa harus menggunakan kekerasan. Tetapi dalam 
situasi-situasi lain, membiarkan kejahatan tanpa adanya usaha untuk 
mencegahnya dengan segala daya upaya, termasuk menggunakan kekerasan, 
sama saja dengan membiarkan kejahatan menindas keadilan. Dengan 
demikian, perang adalah suatu tindakan yang sifatnya "permissible", 
tetapi hanya dan jika hanya "undertaken out of necessity and for the 
sake of peace."[26] Namun demikian, di bagian lain, ia menyangkal 
adanya perang yang dibenarkan jika alasannya adalah untuk kepentingan 
pribadi. Ia menegaskan bahwa penggunaan kekerasan untuk kepentingan 
pribadi akan selalu merupakan ekspresi kebencian. Apa yang hendak ia 
katakan adalah perang atau penggunaan kekerasan hanya mungkin 
dibenarkan jika yang mengambil keputusan adalah pemerintah yang sah 
atau "public officials." Ringkasnya, mereka yang berada dalam tradisi 
Agustinus umumnya sepakat bahwa bagi Agustinus sebuah perang dapat 
dibenarkan jikalau memenuhi tiga kriteria berikut: dilaksanakan oleh 
legitimate authority (penguasa yang sah), just cause of avenging 
injuries (alasan yang dapat dibenarkan dalam melaksanakan hukuman) dan 
righteous intention (motivasi yang benar).[27]

Sekalipun pada hakikatnya bagi Agustinus perang adalah sesuatu yang 
sifatnya permissible atau occasionally necessary, ia tidak pernah
mengatakan bahwa perang adalah sesuatu yang baik. Kalaupun sebuah
perang dapat dibenarkan ia tetap melihat hal itu cenderung akan
memberi peluang bagi kejahatan dan penderitaan umat manusia.[28]
Karena itu dalam memahami konsepnya tentang 'just war theory', lebih
tepat bila kita menyimpulkan bahwa baginya perang bukanlah cara
positif untuk meraih keadilan dan kedamaian, melainkan sebuah "cara
negatif untuk mencegah ketidakadilan" sehingga sifatnya "always to be
regretted."[29] Itu sebabnya, ada kesengajaan dari pihak Agustinus
sendiri untuk tidak membahas secara detail ketiga kriteria perang -
kalaupun ia memang memberikan ketiga hal tersebut. Ia memang jelas
berpendapat bahwa berdasarkan PL, otoritas yang paling sah dalam
memutuskan sebuah perang adalah Allah sendiri. Jika demikian
pertanyaannya adalah: pada masa kini siapa yang dapat berkata,
sekalipun ia adalah pemerintah yang resmi, bahwa ketika ia memutuskan
untuk berperang, ia sedang mewakili kehendak Allah? Ia juga mengatakan
satu-satunya alasan yang dapat dibenarkan untuk penggunaan kekerasan
adalah untuk memelihara kedamaian sosial yang terancam. Kendati
demikian hal ini pun masih dapat dipertanyakan, yaitu bagaimana kita
dapat yakin bahwa perang tersebut akan menimbulkan kedamaian, bukan
kebencian lainnya, mengingat hakikat manusia yang berdosa? Ia jelas
pula berkata bahwa motivasi yang benar dalam sebuah peperangan adalah
demi kepentingan mempertahankan negara sehingga perang adalah pilihan
terakhir dalam penyelesaian sebuah konflik, bukan sesuatu yang secara
aktif kita adakan. Tetapi bagaimana kita tahu bahwa kita sudah cukup
bertahan sehingga perang boleh menjadi pilihan kita? Apa batasan untuk
"bertahan" sehingga itu tidak merupakan "serangan" bagi pihak lain?
Dengan kata lain, pada hakikatnya 'just war theory' adalah sebuah
teori yang menegaskan perlunya kesadaran untuk secara terus-menerus
dan serius mengevaluasi berbagai aspek yang terkandung dalam masing-
masing kriteria.

TINJAUAN SECARA HERMENEUTIK DAN TEOLOGIS
----------------------------------------
Jika kita perhatikan masing-masing pandangan di atas, maka tanpa
bermaksud mengabaikan aspek-aspek pertimbangan lainnya, tinjauan
teologis ini dapat kita fokuskan ke dalam dua kategori permasalahan,
yaitu permasalahan hermeneutik hubungan antara PL dan PB, serta
permasalahan teologis antara kasih dan keadilan. Permasalahan pertama
ditujukan untuk menjawab pertanyaan seperti: bagaimana seharusnya kita
memandang adanya pernyataan-pernyataan tentang perang yang secara
harafiah bertentangan antara PL dan PB? Sedangkan kategori kedua
ditujukan untuk menjawab pertanyaan seperti: apakah kasih yang
sifatnya nonkekerasan dalam pelaksanaannya dapat dipisahkan dari
keadilan yang sering kali mengandung unsur penggunaan kekerasan?

Pendekatan Hermeneutik: Problema Relasi PL dan PB
-------------------------------------------------
Hays benar ketika ia menyatakan bahwa salib dan kebangkitan Kristus
adalah kunci untuk memahami PL. Sejak Kristus menggenapi nubuat-
nubuat di PL ada suatu perubahan prinsip moral yang radikal yang harus
disadari oleh setiap murid-Nya. Namun demikian, dalam prinsip
hermeneutiknya ada aspek lain yang dilupakan atau kurang diberi
tekanan oleh Hays dan juga tradisi Tertullian atau Anabaptist, yaitu
kontinuitas atau kesinambungan antara kedua perjanjian.[30] Yang
dimaksud kontinuitas bukan dalam arti "menggantikan" atau
"memperbaharui untuk meniadakan yang lama," tetapi kontinuitas dalam
pengertian melihat PL dan PB sebagai satu kesatuan pewahyuan Allah
yang sifatnya progresif. Namun bukan pula progresivitas pewahyuan
seperti yang dimengerti oleh Anabaptist yang percaya bahwa wahyu di PB
telah menggantikan PL, melainkan progresivitas dalam pengertian bahwa
baik PL maupun PB, keduanya sama-sama berbicara tentang Kristus,
tetapi di dalam bentuk, wujud atau cara yang berbeda. Jika PL
berbicara secara simbolik dan samar-samar tentang Kristus, maka di PB
Kristus hadir dalam wujud yang tampak oleh mata jasmani. Sebaliknya,
ada hukum-hukum di PL yang sifatnya lahiriah tetapi berita sebenarnya
adalah prinsip rohani atau moral yang terkandung di dalamnya, seperti
yang banyak ditekankan di PB melalui kehadiran Kristus. Artinya, baik
PL maupun PB sama-sama berbicara tentang rencana penebusan Allah
melalui kedatangan sang Mesias, yaitu Yesus Kristus, tetapi dalam cara
yang berbeda.

Kebenaran prinsip hermeneutik di atas dapat kita lihat melalui kata- 
kata Tuhan Yesus sendiri. Dalam Matius 5:17-20 Ia menyatakan tiga
macam sikap terhadap hukum Taurat sebagai akibat dari kedatangan-Nya.
Pertama, di ayat 17 Ia menyatakan bahwa kedatangan-Nya bukan untuk
meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi, melainkan untuk
menggenapinya. Kalimat ini mengandung pengertian bahwa di satu pihak,
berkaitan dengan nubuat para nabi, realita yang mereka nubuatkan telah
terwujud melalui kedatangan Tuhan Yesus. Di lain pihak, berkaitan
dengan hukum Taurat, kedatangan Kristus merupakan "a realization in
history of the righteousness articulated in the law."[31] Artinya,
kehadiran Kristus menyingkapkan maksud asali (original intention) dari
kehendak Allah, yang di PL diwakili oleh hukum-hukum yang tertulis
dalam Taurat maupun tulisan para nabi. Sehingga dengan kata lain,
kebenaran yang Kristus ajarkan pada hakikatnya merupakan kontinuitas
dari kebenaran yang dituntut melalui hukum Taurat dalam PL.[32] Dengan
demikian, sebagai contoh, ketika di bagian selanjutnya Kristus
mengkontraskan apa yang orang-orang pernah dengar tentang "mengasihi
sesama dan membenci musuh" dengan "kasihilah musuhmu dan berdoalah
bagi mereka yang menganiaya kamu" (Mat 5:43), di sini Ia sedang
mengungkapkan kehendak Allah yang sebenarnya, yang sudah dinyatakan
dari sejak PL namun baru tersingkap dengan jelas ketika Ia sudah
datang dengan membawa prinsip hidup kerajaan Allah di dalam dunia ini.

Kedua, dalam Matius 5:18 Tuhan Yesus mengatakan, "selama belum 
lenyap langit dan bumi ini" dan "sebelum semuanya terjadi atau
tergenapi (genetai)," satu iota atau satu titik pun tidak akan
ditiadakan dari hukum Taurat. Kalimat ini lebih jauh lagi menegaskan
bahwa hukum di PL tetap berlaku bagi orang-orang percaya, bahkan
bagian yang tampaknya tidak terlalu berarti (satu iota atau satu
titik), sehingga kita tidak dapat berkata tentang hukum-hukum tertentu
di PL, "This is rescinded, this is cancelled."[33] Namun demikian,
untuk memahami kalimat ini dengan benar kita tidak boleh melepaskannya
dari pengertian pertama di atas. Sudah tentu maksud Tuhan Yesus bukan
tulisan secara harafiah yang lebih dipentingkan, tetapi agar kita
dapat memahami maksud Allah melalui PL maka seluruh hukum yang sudah
dinyatakan harus kita terima secara utuh. Di pihak lain, kita harus
mencermati dua kategori penggenapan yang Kristus sebutkan di ayat ini,
yaitu "selama belum lenyap langit dan bumi ini" serta "sebelum
semuanya tergenapi." Kategori pertama menyatakan bahwa sampai pada
kesudahan dunia, hukum Taurat harus tetap kita terima secara utuh.
Kategori kedua bersangkut-paut dengan kedatangan Kristus; kedatangan-
Nya yang menggenapi hukum Taurat telah menyebabkan kita "mengalami"
hukum Taurat secara berbeda. Maksudnya,

     ...even though Jesus affirms the ongoing validity of the law      
     until the close of the age, the Christian has no direct access to
     that validity apart from the fulfillment in Christ. The fact that
     something is required by a specific Old Testament commandment
     does not directly dictate the shape of Christian obedience. The
     shape of that obedience is understood only by following the
     teachings and actions of Jesus Christ... Only as fulfilled and
     radicalized in the teaching and life of Jesus does the Old
     Testament law retain its validity until the close of the age.[34]

Sikap ketiga terhadap hukum Taurat sebagai akibat kedatangan Kristus 
adalah hidup keagamaan yang lebih tinggi daripada ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi (Mat 5:20). D.A. Carson percaya bahwa dengan
kalimat ini Kristus sedang memperkenalkan pembenaran melalui iman dan
kelahiran baru melalui karya Roh Kudus,[35] suatu hal yang tidak
mungkin diraih sekalipun kita menaati seluruh hukum Taurat. Sedikit
berbeda, J.M. Boice menegaskan bahwa apa yang Kristus tuntut di sini
adalah ketaatan melalui perubahan hati, bukan secara lahiriah.[36]
Sudah tentu sikap semacam ini Allah telah kehendaki bahkan sejak PL.
Dengan kata lain, jika kita kembali kepada perkataan Tuhan Yesus yang
pertama (Mat 5:17), maka sikap ketiga terhadap hukum Taurat ini
menyingkapkan kehendak Allah sejak semula.

Ketiga sikap terhadap hukum Taurat yang Kristus ajarkan menyatakan 
bahwa "Jesus does not conceive of his life and ministry in terms of
opposition to the Old Testament, but in terms of bringing to fruition
that toward which it points."[37] Bagaimanakah kita memakai prinsip
kontinuitas ini untuk memahami hukum perang di PL? Apakah original
intention dari kehendak Allah dalam pernyataan-Nya tentang perang yang
sangat eksplisit di PL, namun sama sekali tidak dinyatakan dalam PB?

Jika kita berdiri pada posisi pacifist, kita dapat mengabaikan hukum 
perang di PL begitu saja dan menganggapnya sebagai prinsip moral yang
sudah tidak berlaku lagi. Kesulitan dari keyakinan semacam ini adalah
kita harus membuang sebagian besar isi PL, yang harus diakui sangat
penuh dengan pernyataan tentang perang, apa pun pengertiannya
(simbolik, rohani, maupun harafiah). Namun tidak berarti bahwa jika
kita menerima prinsip 'just war theory' maka kita tidak akan mengalami
kesulitan. Seperti yang dikatakan John H. Yoder, secara struktural
perang yang Allah canangkan di PL sifatnya sangat berbeda dengan
perang-perang yang manusia jalani di sepanjang zaman.[38] Akibatnya,
penganut 'just war theory' tidak dapat dengan serta-merta menarik
garis paralel antara perang di PL dengan perang-perang yang
dilaksanakan dengan prinsip 'just war theory' pada masa kini. Ada
prinsip teologis tentang maksud dan rencana Allah yang harus kita
mengerti terlebih dahulu sebelum kita memutuskan untuk menolak atau
memasukkannya ke dalam prinsip moral tentang perang untuk masa
sekarang ini. Paul Hanson berkata bahwa perang di PL adalah sebuah isu
yang sangat kompleks. Seseorang harus memahami adanya struktur rohani,
nilai dan tujuan di dalam setiap perang yang dikehendaki oleh
Allah.[39]

John Wood memberikan lima perspektif tentang hubungan antara Allah 
dengan perang di dalam PL:[40] pertama, tradisi perang di PL bersifat
"revelatory," artinya bukan perang itu sendiri yang menjadi berita
utama para penulis PL, melainkan kebesaran dan kemuliaan Allah
dibandingkan kuasa-kuasa lainnya atau kesombongan manusia. Kedua,
Allah adalah Allah yang memelihara keteraturan alam semesta (universal
order), sehingga sekalipun kuasa dosa dan kejahatan ada di bawah
kontrol Allah, namun kuasa-kuasa itu harus diperangi. Kehidupan umat
manusia, dengan demikian, adalah sebuah "medan peperangan" di mana
Allah akan tampil sebagai pemenangnya.

Ketiga, perang di PL senantiasa berkaitan dengan konsep kosmologi 
dunia kuno di mana orang-orang pada zaman itu selalu kuatir terhadap
timbulnya 'chaos' yaitu suatu kekacauan atau ketidakharmonisan di
dalam tatanan dunia ciptaan. Hanya Allah yang sanggup memerangi dan
mengalahkan kuasa-kuasa penyebab chaos yang patut disembah. Relasi
perjanjian Allah dengan umat-Nya adalah bentuk keharmonisan yang harus
dijaga bahkan dengan jalan perang. Keempat, perang dalam PL
bersangkut-
paut dengan pembuktian iman bangsa Israel bahwa Allah yang mereka
sembah adalah Allah yang bertindak di dalam sejarah, yang membedakan
Israel dari agama-agama lain pada masa itu. Umat Allah saat itu
percaya bahwa Allah adalah Allah yang hadir di dalam setiap aspek
sejarah, termasuk dalam perang. Kelima, sekalipun Allah adalah Allah
yang mengizinkan perang sebagai salah satu sarana untuk menyatakan
kebesaran-Nya, namun ini bukan sebuah legitimasi bagi Israel untuk
memutuskan perang. Ada tujuan lain yang Allah hendak capai yaitu
ditegakkannya keadilan dan kebenaran di tengah-tengah umat-Nya -
sehingga adakalanya Allah bahkan mendisiplin umat-Nya sendiri dengan
jalan perang - serta terwujudnya rencana penebusan-Nya di bumi (Yes
2:2-4; Mi 4:1-4).

Dari penjelasan Wood dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya hubungan 
antara Allah dan perang di PL berada di dalam kompleksitas konteks: 
dosa, keadilan ('justice') dan keteraturan ('order'). Allah memakai 
perang untuk mencegah atau menghukum dosa, menegakkan keadilan-Nya dan 
mencegah 'chaos', atau untuk mencapai damai dan keteraturan bagi umat-
Nya maupun bumi ciptaan-Nya (lih. a.l. Kej 6:7, 15:13-16; Kel 12:12,
15:3-4; Bil 33:50-56; Yos 1:1-9; 1Sam 17:1- 54; Mzm 9:9; Yes 13:11; Am 
1, 2). Perlu diingat bahwa apa yang ditekankan di sini bukanlah 
"perang" itu sendiri, tetapi sikap hati Allah terhadap dosa, 
ketidakadilan dan chaos. Hanya dengan memahami konteks ini baru kita 
dapat melihat kontinuitas kehadiran Kristus dengan hukum perang di PL. 
Secara rohani kita dapat berkata bahwa kedatangan Kristus adalah untuk 
"berperang" dengan dosa, ketidakadilan dan chaos. Secara sosial, 
apakah perang masih merupakan sarana yang dapat dibenarkan? Ada 
indikasi yang kuat di PB bahwa perang tetap merupakan sarana sosial 
yang dapat dipakai untuk berurusan dengan dosa, ketidakadilan dan 
kekacauan. Pertama, melalui wewenang yang Allah "titipkan" kepada 
pemerintah (Rm 13:1-7 bdk. Ams 8:15-16; Yer 27:6-12); kedua, melalui 
penerimaan jabatan prajurit di dalam komunitas orang-orang percaya 
(Mat 8:5-13; Luk 3:12-14; Kis 10:22).

Pendekatan Teologis: Hubungan antara Kasih dan Keadilan
-------------------------------------------------------
Perdebatan antara 'pacifism' dan 'just war theory' juga berkisar di
sekitar kategori hubungan antara kasih dan keadilan. Kelompok pertama
percaya bahwa panggilan utama murid Kristus adalah untuk menyatakan
kasih Kristus secara radikal dengan menolak segala bentuk kekerasan
apa pun alasannya, bahkan termasuk konsistensi jabatan prajurit dengan
iman Kristen. Kelompok kedua, walaupun tidak menyangkali proklamasi
kasih Kristus sebagai panggilan utama, namun di dalam dunia yang sudah
jatuh di dalam dosa, perwujudan kasih tidak dapat dilepaskan dari
keadilan yang sering kali mengandung unsur penghukuman atau penggunaan
kekerasan. Pemahaman secara teologis terhadap hubungan antara kasih
dan keadilan akan memberikan kita satu lagi prinsip dasar etika
Kristen dalam mengevaluasi paham 'pacifism' dan 'just war theory'.

Henry Stob dalam salah satu tulisannya mencoba memetakan hubungan 
antara kasih dan keadilan ke dalam tiga kategori: (1) dalam karya
penebusan Allah; (2) aktivitas manusia dalam arena sosial; (3)
aktivitas manusia dalam relasi pribadi dengan sesama.[41] Dalam ketiga
kategori ini Stob mendapati adanya hubungan dialektik antara kasih dan
keadilan yang tidak mungkin dapat dipisahkan. Dalam karya penebusan
Allah misalnya, kita melihat bahwa ketika Allah menyatakan kasih-Nya,
Ia bukan meniadakan keadilan tetapi justru menanggungnya. Demikian
pula dalam relasi pribadi dengan sesama (kategori ketiga), salah satu
pengertian "mengasihi" ialah "never acts unjustly."[42] Karena isu
yang sedang kita bicarakan adalah isu sosial, maka kita akan
memfokuskan pembahasan hanya pada kategori kedua.

Di dalam kategori hubungan yang kedua, Stob memaparkan adanya lima 
macam hubungan antara kasih dan keadilan yang bisa diringkas sebagai
berikut:[43] pertama, kasih di dalam konteks sosial menuntut agar
masyarakat ('society') menjalankan keadilan kepada setiap anggotanya.
Kesadaran akan kasih mengharuskan kita untuk menegakkan keadilan
sosial di masyarakat, sehingga setiap anggota di dalamnya dapat
memperoleh kebebasan dan kebutuhan sesuai dengan hak-haknya.
Memberitakan Injil memang adalah bentuk pernyataan kasih, tetapi jika
kita berhenti sampai di sana maka kita belum cukup mengasihi. Ia
berkata, "One does not love the neighbor enough if one does not also
sponsor and defend his earthly right to be treated in the public arena
as an image bearer of God with his own vocation."[44] Artinya, kasih
baru benar-benar terwujud di dalam masyarakat jika dalam
pelaksanaannya ia memberi ruang bagi terwujudnya keadilan. Lebih jauh,
supaya keadilan dapat langgeng selama kurun waktu yang cukup lama maka
ia harus distrukturkan di dalam lembaga atau hukum-hukum yang dampak
baliknya ialah memberikan kesempatan lebih luas bagi pelaksanaan kasih
di dalam masyarakat. Jadi ada hubungan timbal balik antara kasih dan
keadilan. Di satu pihak, masyarakat yang mengasihi adalah masyarakat
yang mewujudkan keadilan sosial, dan di lain pihak, keadilan sosial
yang terstruktur dengan baik ialah sarana yang kondusif bagi
pelaksanaan kasih.

Kedua, berangkat dari prinsip kerajaan Allah yang sifatnya telah 
digenapi meskipun masih belum sepenuhnya, menurut Stob kita harus
dapat membedakan antara berita kasih dalam PB yang sifatnya 'justitia
evangelica' dengan kasih di dalam dunia yang sifatnya 'justicia
civilis' (mewujudkan keadilan sosial berdasarkan prinsip-prinsip
kemanusiaan).[45] Baginya, kasih seperti yang diajarkan dalam Khotbah
di Bukit adalah kasih yang sifatnya sempurna dan yang baru dapat
diwujudkan secara penuh pada waktu kedatangan Kristus yang kedua kali,
yaitu ketika janji langit dan bumi yang baru digenapi. Dengan kata
lain, kasih yang Kristus wartakan sekalipun di dalamnya mengandung
aspek keadilan yang dibutuhkan masyarakat, sifat utamanya adalah
sebagai "kabar baik" ('evangelica'), sehingga kita tidak perlu
frustasi ketika prinsip yang ideal itu tidak tercapai di dalam dunia
yang sudah jatuh ke dalam dosa ini. Selama kita masih menantikan
tergenapinya langit dan bumi yang baru kita harus waspada agar tidak
jatuh ke dalam prinsip hidup di dalam kasih yang ideal yang
mengabaikan sama sekali 'justicia civil', atau sebaliknya, kita hidup
semata-mata dalam 'justicia civil' dengan mengabaikan kasih yang
Kristus sudah wartakan. Ketegangan ini akan terus mewarnai perwujudan
etika Kristen di dalam dunia ini.

Jika kita menarik prinsip ini ke dalam lingkup yang lebih luas, 
yaitu seluruh dunia, jelas bahwa panggilan setiap umat manusia,
khususnya orang-orang percaya, adalah menegakkan kasih dan keadilan di
dalam proporsi yang semestinya. Hal ini didasarkan atas sikap Allah
sendiri kepada umat manusia; sekalipun Allah adalah Allah yang
mahakasih, Ia juga mahaadil dan merupakan "api yang menghanguskan"
bagi mereka yang terus hidup di dalam kefasikan (bdk. Ul 4:24; Ibr
12:29). Menekankan kasih Allah secara berlebihan dan mengabaikan
keadilan-Nya sama bahayanya dengan menekankan keadilan Allah secara
berlebihan dan mengabaikan kasih-Nya. Membiarkan dosa dan
ketidakadilan tanpa usaha mencegahnya, sama saja dengan kita
menyetujui perbuatan dosa yang mendukakan hati Allah. Demikian pula,
penekanan yang berlebihan pada hukum-hukum keadilan tanpa mengenal
prinsip kasih akan menyebabkan kita jatuh pada legalisme mutlak yang
menghambat hubungan yang harmonis antarsesama.

Prinsip kasih dan keadilan, dengan kata lain, memberi peluang bagi 
adanya kemungkinan perang yang bisa dibenarkan. Namun demikian, pada
saat yang bersamaan, kompleksitas hubungan yang paradoks antara kasih
dan keadilan menyingkapkan bahwa untuk sampai pada suatu keyakinan
bahwa perang adalah pilihan yang adil merupakan hal yang sangat sulit,
kalau bukan mustahil. Akan tetapi, paling tidak melalui pertimbangan
ini umat Kristen memiliki dasar kebenaran untuk, misalnya, menjawab
panggilan sebagai seorang prajurit atau terlibat dalam masalah sosial
politik.

KESIMPULAN

Sekalipun pada dasarnya posisi 'just war theory' lebih dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara hermeneutik dan teologis,
saya tetap melihat bahwa mestinya kedua posisi ini tidak
dipertentangkan secara tajam. Umat Kristen yang menerima paham
'pacifism' adalah orang-orang yang secara aktif mengusahakan kedamaian
dunia dengan cara menolak sama sekali aspek "violence" termasuk
profesi-profesi tertentu, seperti prajurit, yang sifatnya membuka
peluang bagi penggunaan kekerasan. Hal yang terakhir memang harus
diakui sangat berlebihan. Namun sejauh mereka adalah orang-orang yang
berangkat dari asumsi "damai", maka pada hakikatnya 'pacifism' tidak
bertentangan dengan 'just war theory'. Orang-orang yang mempercayai
adanya perang yang dapat dibenarkan, asumsi dasarnya bukan "kekerasan"
atau "peperangan," tetapi juga "kedamaian." Seseorang yang menerima
panggilan sebagai seorang prajurit, motivasi utamanya bukanlah
"perang," tetapi kedamaian dan keteraturan. Richard Neuhaus dalam
dialognya dengan Stanley Hauerwas berkata,

     The presumption of 'just war theory' is against the use of      
     military force. The theory erects an obstacle course of moral
     testings aimed at preventing the unjust resort to war... The goal
     is "to secure just order in an essentially disordered world." The
     question is not violence vs. nonviolence but legitimate vs.
     illegitimate uses of force. Violence is better understood as the
     illegitimate use of force, and just war theory is designed to
     restrain that as much as possible in a history that will always
     be marked by violence short of the End Time.[46]

Demikian pula, jikalau 'pacifism' menekankan pentingnya hidup sesuai 
dengan jati diri kita sebagai murid Kristus, maka orang Kristen yang
menerima 'just war theory' juga menyadari panggilan ini. Kembali
mengutip kata-kata Neuhaus, ia berkata, "I believe that Christians are
alien citizens whose primary loyalty is to the heavenly polis and
whose obedience to Christ the King entails responsibility for the
earthly polis."[47] Hanya saja jika 'pacifism' memandang perlunya
menjadi warga negara di dalam 'earthly polis' dengan cara mengusahakan
kehadiran kerajaan Kristus secara nyata sekarang ini dan di bumi ini,
maka 'just war theory' lebih melihat kerajaan Allah sebagai paradoks
antara yang sudah digenapi oleh Kristus dan yang belum sepenuhnya
terwujud. Sehingga, Neuhaus melanjutkan,

     I will continue to caution that no world order will be free      
     from the radical disorder of sin, and no hope for earthly peace
     should be confused with the saving peace that is ours in Christ.
     God willing, there will be something like a "new world order"
     that will restrain the violence... To be sure, it will be partial
     and it will be only for a time, but I would like to think that
     you join me in prayer that it will be.[48]

----------------------------------------------------------------------

Sumber:
Judul Majalah		: VERITAS 4/1 (April 2003)
Judul Artikel		: Prinsip Dasar Etika Kristen Tentang Perang:
                      Sebuah Tinjauan Terhadap Pacifism Dan Just War
                      Theory
Penulis			: Kalvin S. Budiman
Penerbit	          : Seminari Alkitab Asia Tenggara

----------------------------------------------------------------------

CATATAN
=======

Di dalam tulisan di atas terdapat nomor-nomor yang tertulis dalam
tanda [ ], hal itu berarti penulis artikel memberikan catatan kaki.
Untuk itu mohon lihat daftar catatan kaki di bawah ini:

Footnote (Catatan Kaki):
------------------------
1. Francis Schaeffer, et al., Who is for Peace? (Nashville: Thomas
   Nelson, 1983) 23-24 [garis bawah adalah penekanan penulis].
2. Agustinus tidak menggunakan istilah "cities" hanya kepada lokasi    
   atau zaman tertentu, melainkan kepada dua macam sikap kepada Allah
   - antara orang percaya dan tidak - yang akan terus bersitegang di
   dalam dunia ini, "Two cities, then, have been created by two loves:
   that is, the earthly by love of self extending even to contempt of
   God, and the heavenly by love of God extending to contempt of self"
   (lih. The City of God against the Pagans [ed. & tr. R.W. Dyson;
   Cambridge: Cambridge University Press, 1998] 632.XIV.28).
3. Ada sebagian orang yang keliru memahami pacifism sebagai passivism  
   (pasif-isme). Pacifism berasal dari pacifist (bukan passivist),
   artinya "peace lover." Dengan kata lain, orang-orang pacifist ialah
   mereka yang secara aktif mempromosikan ajaran cinta damai.
4. Variasi kedua pandangan ini memang sangat banyak, tetapi tanpa   
   harus masuk ke dalam detail perbedaan pandangan di dalamnya, pada
   artikel ini penulis berusaha untuk tidak mengorbankan esensi
   keduanya. Beberapa buku yang dengan baik menjelaskan variasi
   pandangan tersebut adalah John Howard Yoder, Nevertheless: The
   Varieties and Shortcomings of Religious Pacifism (Scottdale:
   Herald, 1992); Albert Marrin, ed., War and the Christian Conscience
   (Chicago: Henry Regnery, 1971).
5. The Five Books against Marcion (The Ages Digital Library  
   Collections ver.2.0: The Ante-Nicene Fathers Vol. III; eds. A.
   Roberts & J. Donaldson; tr. Dr. Holmes, IV. 16; Albany: Books for
   the Ages, 1997) 666-667.
6. Gregory Dix, The Treatise on the Apostolic Tradition of St.
   Hippolytus of Rome (London: Alban, 1937) 27.              
7. Pemahaman ini merupakan tafsiran Tertullian yang tidak ditegaskan  
   secara harafiah dalam Alkitab (Lih. "The Soldier Chaplet" dalam War
   and the Christian Conscience [ed. Albert Marrin; Chicago: Henry
   Regney, 1971] 29-30).                                              
8. Harold Bender, "The Pacifism of Sixteenth Century Anabaptists,"
   Mennonite Quarterly Review (1956) 17.
9. Ibid. 11-12.
10. Ibid. Sattler ditangkap dan diadili karena pernyataannya ini.
11. Ibid. 17.
12. Orang-orang yang dimasukkan ke dalam kelompok ini antara lain:   
    George Lindbeck, Stanley Hauerwas, John Milbank, David Yeago,
    Reinhard Hutter, Richard Hays dan N.T. Wright (lih. Robert Benne,
    "The Neo-Agustinian Temptation," First Thing 81 [March 1998] 14).  
13. The Moral Vision of the New Testament (New York: HarperCollins,
    1996) 336-337.
14. Ibid. 342.
15. Ibid. 342-343.
16. Ibid. 343 [garis bawah dari penulis].
17. Ibid.
18. Ibid. [garis bawah dari penulis].
19. Lihat misalnya kata-kata R.W. Dyson dalam bagian "Introduction"   
    (The City of God xiv dst.). Yang unik adalah bahkan ada sekelompok
    penganut pacifism yang juga menyatakan telah mewarisi tradisi
    Agustinus. Contohnya, Stanley Hauerwas, seorang pacifist,
    memandang sekelompok 'just war theory' telah salah membaca tulisan
    Agustinus. Dalam salah satu suratnya kepada Richard John Neuhaus,
    seorang pengikut 'just war theory', ia berkata bahwa Agustinus
    senantiasa memisahkan komunitas orang percaya dari dunia. Sehingga
    sekalipun Agustinus berbicara tentang 'two cities' dalam 'The City
    of God', pada hakikatnya ia lebih menekankan komunitas gereja yang
    ciri utamanya adalah kerajaan Allah yang diwujudkan melalui
    Kristus (lih. Stanley Hauerwas & Richard John Neuhaus, "Pacifism,
    Just War & the Gulf," First Thing 13 [May 1991] 41).  
20. Ernest L. Fortin, "Civitate Dei, De" (The City of God) dalam:  
    Augustine Through the Ages (ed. Allan D. Fitzgerald; Grand Rapids:
    Eerdmans, 1999) 197. Perlu diingat bahwa 'The City of God' ditulis
    oleh Agustinus jauh sesudah Edict of Milan dicanangkan (313 M),
    yaitu pengakuan agama Kristen sebagai agama resmi kekaisaran pada
    masa itu.  
21. Ibid.
22. Frederick H. Russell, "War" dalam Augustine Through the Ages 875.
23. Ibid.
24. The Moral Vision 335-336.
25. Fortin, "Civitate Dei, De", 198.
26. Ibid.
27. Agustinus sendiri tidak pernah memformulasikan ketiga kriteria   
    ini; ketiganya merupakan kesimpulan yang ditarik dari tulisannya
    (lih. William R. Stevenson, Jr., Christian Love and Just War
    [Macon: Mercer University Press, 1987] 4).  
28. The City of God XIX. 7.
29. Stevenson, Christian Love 39, 41.
30. Khususnya dalam isu tentang perang. Penulis tidak bermaksud      
    menerapkan evaluasi ini secara general terhadap prinsip
    hermeneutik Hays; dalam banyak aspek, penulis sangat menghormati
    ajaran Hays.  
31. David E. Holwerda, Jesus and Israel: One Covenant or Two? (Grand
    Rapids: Eerdmans, 1995) 132.
32. Ibid. 131.
33. Ibid. 132.
34. Ibid. 132-133.
35. The Sermon on the Mount (Grand Rapids: Baker, 1978) 39.
36. The Sermon on the Mount (Grand Rapids: Zondervan, 1972) 100 s.
37. Carson, The Sermon 37.
38. Lih. Millard Lind, Yahweh is Warrior (Scottdale: Herald, 1980) 18
    (Introduction).
39. "War, Peace, and Justice in Early Israel," Bible Review (Fall
    1987) 45.
40. Perspective on War in the Bible (Macon: Mercer University Press,
    1998) 163-172.
41. Ethical Reflections: Essays on Moral Themes (Grand Rapids:
    Eerdmans, 1978) 135.
42. Ibid. 141.
43. Bdk. pandangan Stob dengan Lewis B. Smedes yang juga mengupas   
    hubungan antara kasih dan keadilan dengan sangat baik di dalam
    bukunya Mere Morality: What God Expects from Ordinary People
    (Grand Rapids: Eerdmans, 1999), perhatikan khususnya bab 2 dan 3.  
44. Ethical Reflections 137.
45. Ibid. 139.
46. "Pacifism, Just War", 43 [garis bawah dari penulis].
47. Ibid.
48. Ibid. 44-45.

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org