Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/16

e-Reformed edisi 16 (27-4-2001)

Hermeneutik: Ilmu Tafsir

Banyak perdebatan modern mengenai Alkitab berkisar sekitar persoalan-
persoalan mengenai hermeneutika. Ilmu Hermeneutika adalah ilmu
penafsiran Alkitab. Dalam mitos Yunani, dewa Hermes adalah pembawa
berita para dewa. Tugasnya adalah menafsirkan kehendak dewa-dewa.
Karena itu hermeneutika berhubungan dengan penyampaian berita yang
dapat dimengerti.


Tujuan hermeneutika adalah menetapkan garis-garis pedoman dan aturan-
aturan menafsir. Hermeneutika telah berkembang menjadi ilmu yang teknis
dan rumit. Dokumen tertulis mana saja adalah subjek salah tafsir.
Karena itu kita telah mengembangkan aturan-aturan untuk menjaga kita
dari kesalahpahaman seperti itu. Penelitian ini akan kita batasi hanya
sampai pada aturan-aturan dan garis-garis pedoman yang dasar saja.


Secara historis Amerika Serikat memiliki badan khusus yang secara
teoritis berfungsi sebagai majelis agung hermeneutika negaranya. Badan
ini disebut Mahkamah Agung. Salah satu tugasnya yang utama ialah
menafsirkan Konstitusi Amerika Serikat. Konstitusi itu merupakan
dokumen tertulis dan memerlukan penafsiran. Asalnya, prosedur menafsir
konstitusi itu mengikuti apa yang disebut metode gramatis historis.
Maksudnya, konstitusi itu ditafsirkan dengan cara mempelajari kata-kata
dokumennya sendiri melalui arti kata-kata tersebut pada waktu dipakai
untuk menyusun dokumen itu.


Sejak karya Oliver Wendell Holmes, metode penafsiran konstitusi itu
telah berubah secara radikal. Krisis dalam hukum dan kepercayaan
masyarakat yang terjadi sekarang ini terhadap mahkamah agung nasional
langsung berhubungan dengan problem dasarnya, yaitu metode penafsiran.
Pada waktu Mahkamah Agung menafsirkan konstitusi menurut cara-cara
modern, hasilnya adalah perubahan konstitusi itu melalui penafsiran
ulang. Hasil akhirnya ialah bahwa dengan cara yang sangat halus
Mahkamah Agung itu menjadi badan legislatif, jadi telah berubah dari
fungsinya yang semula sebagai badan penafsir.


Krisis yang sama telah terjadi dengan penafsiran Alkitab. Ketika ahli-
ahli Alkitab memakai metode penafsiran yang menyangkut "memodernkan
Alkitab" melalui penafsiran ulang, maka makna asli Alkitab menjadi
kabur dan beritanya dikompromikan dengan tren-tren (kecenderungan)
zaman ini.


ANALOGI IMAN
	
Ketika para tokoh Reformasi memisahkan diri dari Roma dan menyatakan
pandangan mereka bahwa Alkitab harus menjadi otoritas utama gereja
(Sola Scriptura), dengan cermat mereka mendefinisikan prinsip-prinsip
dasar penafsiran. Aturan utama penafsiran disebut "analogi iman."
Analogi iman adalah aturan yang mengatakan bahwa Alkitab harus
menafsirkan Alkitab: Sacra Scriptura sui interpres (Kitab Suci adalah
penafsirnya sendiri). Artinya cukup sederhana, yaitu bahwa tidak ada
bagian Alkitab yang dapat ditafsirkan sedemikian rupa sehingga konflik
dengan apa yang dengan jelas diajarkan di bagian Alkitab yang lain.
Misalnya, jika suatu ayat tertentu memungkinkan adanya dua macam
penerjemahan atau penafsiran yang berlainan dan salah satu penafsiran
itu berlawanan dengan bagian-bagian Alkitab yang lain, dan penafsiran
yang kedua itu cocok dengan keseluruhan makna Alkitab, maka penafsiran
yang kedualah yang harus dipakai.


Prinsip itu bertumpu pada kepercayaan sebelumnya kepada Alkitab sebagai
Firman Allah yang diwahyukan. Karena itu mereka juga percaya bahwa
Alkitab itu konsisten dan koheren (tetap dan berkaitan). Mereka
beranggapan bahwa Allah tidak akan berkontradiksi dengan diri-Nya
sendiri. Karena itu memilih suatu interpretasi yang menyebabkan Alkitab
bertentangan dengan dirinya sendiri, yang sebenarnya tak perlu demikian
adalah sama dengan menghujat Roh Kudus. Di zaman kita sekarang
ketelitian inspirasi Alkitab sering diabaikan. Sudah umum terdapat para
penafsir modern yang tidak hanya menafsirkan Alkitab dengan melawan
Alkitab sendiri, tetapi juga menyimpang untuk melakukannya. Usaha-usaha
oleh ahli-ahli Alkitab ortodoks untuk menyerasikan pasal-pasal yang
sulit dihina dan sangat diabaikan oleh mereka.


Terpisah dari persoalan inspirasi, metode analogi iman adalah metode
yang sehat untuk menafsir buah sastra. Norma sederhana mengenai
kesopanan yang umum seharusnya melindungi penulis mana saja dari
tuduhan-tuduhan berkontradiksi dengan diri sendiri yang tidak berdasar.
Jikalau saya dihadapkan kepada pilihan untuk menafsirkan ulasan-ulasan
seseorang. Pilihan pertama ialah menyatakan bahwa ulasan-ulasan
tersebut konsisten (tetap, tidak berubah-ubah dan tidak kontradiksi).
Pilihan kedua ialah menyatakan bahwa ulasan-ulasan tersebut perlu
berkontradiksi. Jikalau demikian tampaknya orang tersebut perlu
dibebaskan dari tuduhan bahwa ulasan-ulasannya berkontradiksi, karena
saya yakin tidak mungkin seseorang berkontradiksi dengan dirinya
sendiri.


Pernah orang-orang bertanya kepada saya mengenai pasal-pasal yang telah
saya tulis dalam buku-buku saya. Misalnya mengapa saya dapat mengatakan
begini dalam pasal 6, sedangkan dalam pasal 4 saya mengatakan begini
dan begitu. Saya kemudian menjelaskan apa yang saya maksudkan dalam
pasal 6, maka orang tersebut lalu melihat bahwa pada akhirnya kedua
macam pemikiran saya itu sebenarnya tidak bertentangan. Perspektif saya
dalam pasal 6 agak berbeda dengan perspektif saya dalam pasal 4. Pada
pandangan pertama tampaknya kedua perspektif tersebut bertentangan,
namun dengan memakai "falsafah melihat kembali kedua kalinya" maka
problem itu dapat dipecahkan. Kita semua telah melakukan kesalahfahaman
seperti itu, sebab itu kita perlu peka terhadap kata-kata orang lain
kalau kita ingin memahaminya.


Sudah barang tentu, mungkin kata-kata saya memang bertentangan. Jadi
metode kepekaan dan falsafah "pembebasan dari tuduhan karena diragukan
si pelaku memang bersalah" itu hanya dapat diterapkan kalau ada keragu-
raguan. Kalau tidak ada keraguan bahwa saya telah berkontradiksi dengan
diri saya sendiri, maka yang boleh dilakukan hanyalah mengevaluasi
saja. Meskipun demikian, jikalau kita tidak berusaha untuk menafsirkan
kata-kata dengan cara konsisten, maka kata-kata yang kita baca itu
menjadi sangat kacau. Kalau hal ini terjadi dalam penafsiran Alkitab,
maka Alkitab menjadi seperti bunglon yang berubah-ubah warna kulitnya
kalau latar belakangnya berubah. Jadi yang dimaksud ialah penafsiran
berubah kalau yang menafsir lain.


Jadi jelas bahwa pandangan kita mengenai hakiki dan asal Alkitab
memberikan dampak penting pada bagaimana kita akan menafsirkannya. Jika
kita memandang Alkitab sebagai Firman Allah yang diwahyukan, maka
analogi iman bukanlah metode pilihan, tetapi merupakan tuntutan
penafsiran.


Sumber:
Judul Buku  : Mengenali Alkitab
Penulis     : R.C. Sproul
Penerbit    : Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang
Tahun       : 1994

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org