Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/13

e-Reformed edisi 13 (6-3-2001)

Etos Postmodern

Postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32
sore. Ketika pertama kali didirikan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St.
Louis di anggap sebagai lambang arsitektur modern. Yang lebih penting,
ia berdiri sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan teknologi
untuk menciptakan masyarakat utopia demi kesejahteraan manusia. Tetapi
para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah
mencurahkan banyak dana untuk merenovasi bangunan tsb. Akhirnya,
setelah menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada sore
hari di bulan Juli 1972, bangunan itu diledakkan dengan dinamit.
Menurut Charles Jencks, yang dianggap sebagai arsitek postmodern yang
paling berpengaruh, peristiwa peledakan ini menandai kematian
modernisme dan menandakan kelahiran postmodernisme.


Masyarakat kita berada dalam pergolakan dan pergeseran kebudayaan.
Seperti proyek bangunan Pruitt-Igoe, pemikiran dan kebudayaan
modernisme sedang hancur berkeping-keping. Ketika modernisme mati di
sekeliling kita, kita sedang memasuki sebuah era baru - postmodern.


Fenomena postmodern mencakup banyak dimensi dari masyarakat
kontemporer. Pada intinya, Postmodern adalah suasana intelektual atau
"isme"- postmodernisme.


Para ahli saling berdebat untuk mencari aspek-aspek apa saja yang
termasuk dalam postmodernism. Tetapi mereka telah mencapai kesepakatan
pada satu butir: fenomena ini menandai berakhirnya sebuah cara pandang
universal. Etos postmodern menolak penjelasan yang harmonis,
universal, dan konsisten. Mereka menggantikan semua ini dengan sikap
hormat kepada perbedaan dan penghargaan kepada yang khusus (partikular
dan lokal) serta membuang yang universal. Postmodernisme menolak
penekanan kepada penemuan ilmiah melalui metode sains, yang merupakan
fondasi intelektual dari modernisme untuk menciptakan dunia yang lebih
baik. Pada dasarnya, postmodernisme adalah anti-modern.


Tetapi kata "postmodern" mencakup lebih dari sekedar suasana
intelektual. Penolakan postmodernisme terhadap rasionalitas terwujud
dalam banyak dimensi dari masyarakat kini. Tahun-tahun belakangan ini,
pola pikir postmodern terwujud dalam banyak aspek kebudayaan, termasuk
arsitektur, seni, dan drama. Postmodernisme telah merasuk ke dalam
seluruh masyarakat. Kita dapat mencium pergeseran dari modern kepada
postmodern dalam budaya pop, mulai dari video musik sampai kepada
serial Star Trek. Tidak terkecuali, hal-hal seperti spiritualitas dan
cara berpakaian juga terpengaruh.


Postmoderisme menunjuk kepada suasana intelektual dan sederetan wujud
kebudayaan yang meragukan ide-ide, prinsip-prinsip dan nilai-nilai
yang dianut oleh modernisme. Postmodernitas menunjuk kepada era yang
sedang muncul, era di mana kita hidup, zaman di mana postmodernisme
mencetak masyarakat kita. Postmodernitas adalah era di mana ide-ide,
sikap-sikap, dan nilai-nilai postmodern bertahta - ketika
postmodernisme membentuk kebudayaan. Inilah era masyarakat postmodern.
Tujuan kita dalam bab ini adalah melihat dari dekat fenomena
postmodern dan memahami sedikit tentang etos postmodernisme. Apakah
tanda-tanda ekspresi budaya dan dimensi hidup sehari-hari dari
"generasi mendatang ini?" Apakah buktinya bahwa pola pikir baru sedang
menyerbu kehidupan masyarakat sekarang ini?

	

                           FENOMENA POSTMODERN


Postmodernisme menunjuk kepada suasana intelektual dan ekspresi
kebudayaan yang sedang mendominasi masyarakat kini. Sekonyong-konyong
kita sedang berpindah kepada sebuah era budaya baru, postmodernisme,
tetapi kita harus memperinci apa saja yang tercakup dalam fenomena
postmodern.



KESADARAN POSTMODERN
	
Bukti-bukti awal dari etos postmodernisme senantiasa negatif. Etos
tersebut merupakan penolakan terhadap pola pikir Pencerahan yang
melahirkan modernisme. Kita dapat melacak etos postmodern di mana-mana
dalam masyarakat kita. Yang terpenting, postmodernisme telah merasuk
jiwa dan kesadaran generasi sekarang ini. Ini merupakan perceraian
radikal dengan pola pikir masa lalu.


Kesadaran postmodern telah melenyapkan optimisme "kemajuan" (progress)
dari Pencerahan. Postmodern tidak mau mengambil sikap optimisme dari
masa lalu. Mereka menumbuhkan sikap pesimisme. Untuk pertama kalinya,
anak-anak pada masa kini berbeda keyakinan dengan orang tuanya. Mereka
tidak percaya bahwa dunia akan menjadi lebih baik. Dari lubang yang
besar di lapisan Ozon sampai kepada kekerasan antar remaja, mereka
menyaksikan permasalahan semakin besar. Mereka tidak lagi percaya
kalau manusia dapat menyelesaikan masalahnya dan kehidupan mereka akan
lebih baik daripada orangtua mereka.


Generasi postmodern yakin bahwa hidup di muka bumi bersifat rawan.
Mereka melihat bahwa model "manusia menguasai alam" dari Francis Bacon
harus segera digantikan dengan sikap kooperatif dengan alam. Masa
depan umat manusia sedang di persimpangan jalan.


Selain sikap pesimis, orang-orang postmodern mempunyai konsep
kebenaran yang berbeda dengan generasi sebelumnya.


Pemahaman modern menghubungkan kebenaran dengan rasio sehingga rasio
dan logika menjadi tolok ukur kebenaran. Kaum postmodern meragukan
konsep kebenaran universal yang dibuktikan melalui usaha-usaha rasio.
Mereka tidak mau menjadi rasio sebagai tolok ukur kebenaran.
Postmodern mencari sesuatu yang lebih tinggi daripada rasio. Mereka
menemukan cara-cara nonrasial untuk mencari pengetahuan, yaitu:
melalui emosi dan intuisi.


Keinginan mencari model kooperatif dan penghargaan kepada cara
nonrasional menciptakan sebuah dimensi holistik bagi kaum postmodern.
Postmodern dengan holismenya menolak cita-cita Pencerahan, individu
yang tidak berperasaan, otonom, dan rasional. Orang-orang postmodern
tidak berusaha menjadi individu-individu yang mengatur dirinya secara
penuh, tetapi menjadi pribadi-pribadi "seutuhnya".


Postmodern dengan holisme-nya mencakup integrasi seluruh dimensi dari
kehidupan pribadi - perasaan, intuisi, dan kognitif. Keutuhan juga
mencakup kesadaran akan lingkungan dari mana kita berasal. Tentu saja
area ini mencakup "alam" (ekosistem). Tetapi ia juga komunitas. Konsep
"keutuhan" postmodernisme mencakup aspek-aspek agama dan kerohanian.
Postmodernisme menegaskan bahwa keberadaan diri dapat dikenal dalam
lingkup ketuhanan.


Karena setiap orang selalu termasuk dalam konteks komunitas tertentu,
maka memahami kebenaran haruslah bersama-sama. Keyakinan dan pemahaman
kita akan kebenaran, berakar kepada komunitas dimana kita berada.
Mereka menolak konsep Pencerahan yang universal, supra-kultur, dan
permanen. Mereka lebih suka melihat kebenaran sebagai ekspresi dari
komunitas tertentu. Mereka yakin bahwa kebenaran adalah aturan-aturan
dasar yang bertujuan bagi kesejahteraan diri dan komunitas bersama-
sama.


Dalam pengertian ini, kebenaran postmodern berhubungan dengan
komunitas. Karena ada banyak komunitas, pasti ada kebenaran yang
berbeda-beda. Banyak kaum postmodern percaya bahwa keanekaragaman
kebenaran ini dapat hidup berdampingan bersama-sama. Kesadaran
postmodern menganut sikap relativisme dan pluralisme.


Tentu saja, relativisme dan pluralisme bukanlah barang baru. Tetapi
jenis pluralisme dan relativisme dari postmodern ini berbeda. Relatif
pluralisme dari modernisme bersifat individualistik: pilihan dan cita
rasa pribadi diagung-agungkan. Mottonya adalah "setiap orang berhak
mengeluarkan pendapat."


Sebaliknya postmodernisme menekankan kelompok. Kaum postmodern hidup
dalam kelompok-kelompok sosial yang memadai, dengan bahasa, keyakinan,
dan nilai-nilainya tersendiri. Akibatnya pluralisme dan relativisme
postmodern menyempitkan lingkup kebenaran menjadi "lokal". Suatu
kepercayaan dianggap benar hanya dalam konteks komunitas yang
meyakininya.


Karena itu ketika kaum postmodern memikirkan tentang kebenaran. Mereka
tidak terlalu mementingkan pemikiran yang sistematis atau logis. Apa
yang dahulu dianggap tidak cocok, kaum postmodern dengan tenang
mengawinkannya. Mereka mengkombinasikan sistem-sistem kepercayaan yang
dulu dianggap saling berbenturan, Misalnya, seorang Kristen postmodern
percaya kepada doktrin-doktrin gereja sekaligus juga percaya kepada
ajaran non-Kristen seperti reinkarnasi.


Orang-orang postmodern tidak merasa perlu membuktikan diri mereka
benar dan orang lain salah. Bagi mereka, masalah keyakinan/kepercayaan
adalah masalah konteks sosial. Mereka menyimpulkan,"Apa yang benar
untuk kami, mungkin saja salah bagi Anda," dan "Apa yang salah bagi
kami, mungkin saja benar atau cocok dalam konteks anda."



KELAHIRAN POSTMODERNITAS
	
Sebenarnya postmodernisme telah mengalami masa-masa inkubasi yang
cukup lama. Meskipun para ahli saling berdebat mengenai siapakah yang
pertama kali menggunakan istilah tersebut, terdapat kesepakatan bahwa
istilah tersebut muncul pada suatu waktu pada tahun 1930-an.


Salah satu pemikir postmodernisme, Charles Jencks, menegaskan bahwa
lahirnya konsep postmodernisme adalah dari tulisan seorang Spanyol
Frederico de Onis. Dalam tulisannya "Antologia de la poesia espanola e
hispanoamericana" (1934), de Onis memperkenalkan istilah tersebut untuk
menggambarkan reaksi dalam lingkup modernisme.


Yang lebih sering dianggap sebagai pencetus istilah tersebut adalah
Arnold Toynbee, dengan bukunya yang terkenal berjudul "Study of
History". Toynbee yakin benar bahwa sebuah era sejarah baru telah
dimulai, meskipun ia sendiri berubah pikirannya mengenai awal
munculnya, entah pada saat Perang Dunia I berlangsung atau semenjak
tahun 1870-an.


Menurut analisa Toynbee, era postmodern ditandai dengan berakhirnya
dominasi Barat dan semakin merosotnya individualisme, kapitalisme, dan
Kekristenan. Ia mengatakan bahwa transisi ini terjadi ketika peradaban
Barat bergeser ke arah irasionalitas dan relativisme. Ketika hal ini
terjadi, kekuasaan berpindah dari kebudayaan Barat ke kebudayaan non-
Barat dan muncullah kebudayaan dunia pluralis yang baru.


Meskipun istilah ini muncul pada tahun 1930-an, postmodernisme sebagai
sebuah fenomena kultural belum menjadi sebuah momentum sampai 40 tahun
setelahnya. Ia muncul pertama-tama dalam lingkup kecil masyarakat.
Selama tahun 1960-an, suasana yang menandai postmodernisme sangat
menarik bagi para seniman, arsitek, dan pemikir yang sedang mencari
alternatif untuk melawan dominasi kebudayaan modern. Bahkan beberapa
teolog ikut tertarik dengan trend tersebut, antara lain William
Hamilton dan Thomas J.J. Altizer yang "mengundang arwah" Nietzsche
untuk memberitakan matinya Allah. Perkembangan yang beraneka ragam ini
membuat "pengamat kebudayaan" Leslie Fiedler pada tahun 1965
menambahkan istilah "post" kepada kata modern sehingga menjadi
postmodernisme yang menjadi simbol kontra-kultural pada zaman itu.


Selama tahun 1970-an tantangan postmodern menembus kepada arus budaya
utama. Pada pertengahan tahun tersebut, muncullah seorang pembela
postmodern yang paling konsisten mempropagandakan ide postmodern,
yakni: Ihab Hassan. Ia menghubungkan postmodernisme dengan
eksperimentalisme dalam bidang seni dan ultra teknologi dalam bidang
arsitektur.


Tetapi etos postmodern secara tepat menjalar terus ke bidang-bidang
lain. Profesor-profesor di universitas dalam berbagai fakultas mulai
berbicara mengenai postmodernisme. Bahkan beberapa di antara mereka
tenggelam dalam konsep-konsep postmodern.


Akhirnya penerimaan etos baru begitu menjalar terus ke mana-mana
sehingga istilah "postmodern" menjadi label yang digunakan bagi
berbagai fenomena sosial dan budaya. Gelombang postmodern menyeret
berbagai aspek kebudayaan dan beberapa disiplin ilmu, khususnya
sastra, arstektur, film, dan filsafat.


Pada tahun 1980-an, pergeseran dari lingkup kecil kepada lingkup besar
terjadi. Secara bertahap, suasana postmodern menyerang budaya pop
bahkan juga hidup sehari-hari masyarakat. Konsep-konsep postmodern
bahkan bukan hanya diterima tetapi populer: sangat menyenangkan
menjadi seorang postmodern. Akibatnya, para kritikus kebudayaan dapat
berbicara mengenai "nikmatnya menjadi seorang postmodern." Ketika
postmodernisme diterima sebagai bagian dari kebudayaan, lahirlah
postmodernitas.



PENCETUS POSTMODERNITAS
	
Antara tahun 1960 dan 1990, postmodernisme muncul sebagai sebuah
fenomena kebudayaan. Mengapa? Bagaimana kita menjelaskan munculnya
etos ini dalam masyarakat kita? Banyak pengamat menghubungkan transisi
ini dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat pada
paruh kedua dari abad ke-20. Faktor pencetus terbesar adalah lahirnya
era informasi. Penyebaran postmodernisme sejajar dan bergantung kepada
transisi ke era informasi.


Banyak sejarahwan menyebut era modern sebagai "era" industrialisasi,
karena era ini didominasi oleh produksi barang-barang. Karena fokusnya
pada produksi material-material, modernisme menghasilkan masyarakat
industri. Simbolnya adalah pabrik. Sebaliknya era postmodern
mengarahkan fokus kepada informasi. Kita sedang menyaksikan sebuah
transisi dari masyarakat industri ke masyarakat informasi. Simbolnya
adalah komputer.


Statistik kerja membuktikan bahwa kita sedang mengalami perubahan dari
masyarakat industri kepada masyarakat informasi. Pada era modern,
mayoritas lapangan pekerjaan terbuka dalam bidang produksi barang.
Pada tahun 1970-an, hanya 13% dari buruh-buruh di Amerika bekerja
dalam produksi barang, 60% bekerja dalam bidang informasi. Pelatihan
untuk karir yang berkaitan dengan informasi - baik prosesor data
maupun konsultan - menjadi sangat penting.


Masyarakat informasi menghasilkan sekelompok orang baru. Ploretariat
telah menyerahkan tempatnya kepada "cognitariat." Dan untuk bisnis,
munculnya masyarakat postmodern berarti perubahan dari model
"sentralisasi" kepada model "network." Struktur hirarki dalam
pengambilan keputusan diganti dengan keputusan bersama.


Era informasi bukan hanya mengubah pekerjaan kita tetapi juga
menghubungkan seluruh belahan dunia. Masyarakat informasi berfungsi
berdasarkan jaringan komunikasi yang meliputi seluruh muka bumi.
Efisiensi sistem tersebut sangat mengejutkan. Pada masa lalu,
informasi tidak secepat perjalanan manusia. Tetapi sekarang  informasi
dapat mengalir ke seluruh dunia secepat cahaya. Yang lebih mengagumkan
lagi adalah kemampuan era postmodern untuk mendapatkan informasi dari
mana saja secara cepat.


Karena sistem komunikasi global yang begitu canggih, kita dapat
mengetahui peristiwa apa saja di mana saja di dunia ini. Kita sedang
menghuni sebuah desa global.


Munculnya desa global menghasilkan dampak yang kontradiktif. Budaya
massal dan ekonomi global yang dihasilkan era informasi berusaha
menyatukan dunia menjadi "McWorld." Ketika planet ini menyatu pada
satu sisi, saat yang sama ia hancur berantakan pada sisi lainnya.
Munculnya postmodernisme menghasilkan kesadaran global dan menipiskan
nasionalisme.


Nasionalisme semakin suram dengan munculnya gerakan menuju
"retribalisasi," menuju loyalitas kepada lingkungan lokal seseorang.
Ini bukan hanya terjadi di Afrika tetapi juga di Kanada. Kanada
berkali-kali terancam oleh disintegrasi antara kelompok berbahasa
Perancis di propinsi Quebec dan propinsi-propinsi di sebelah barat.
Orang-orang sedang mengikuti motto: "Berpikirlah secara global,
bertindaklah secara lokal."


Munculnya masyarakat informasi memberikan dasar berpijak bagi etos
postmodern. Hidup di desa global menyadarkan penduduknya mengenai
keanekaragaman budaya di bumi ini. Kesadaran ini memaksa kita
mengadopsi pola pikir pluralisme. Pola pikir ini bukan hanya bersikap
toleran kepada kelompok lain, tetapi ia menegaskan dan merayakan
keanekaragaman. Perayaan keanekaragaman budaya menuntut gaya baru -
eklektisisme - gaya postmodernitas.


Masyarakat informasi telah menyaksikan perubahan besar dari poduksi
massal kepada produksi segmen. Produksi barang-barang yang sama telah
berubah menjadi produksi barang-barang yang beraneka ragam. Kita
berada pada "budaya citarasa" yang menawarkan berbagai macam gaya yang
tidak ada habisnya. Dulu siswa-siswi SMP dan SMU hanya memiliki tren
suka-olahraga dan malas-belajar, sekarang mereka dapat mengadopsi tren
apa saja sesuai cita-rasa dan gaya yang mereka sukai.



ALAM POSTMODERNISME TANPA TITIK PUSAT
	
Ciri khas postmodernisme adalah tidak adanya titik pusat yang
mengontrol segala sesuatu. Meskipun postmodern dalam masyarakat
bermacam-macam bentuknya, mereka sama-sama sepakat bahwa tidak ada
fokus atau titik pusat. Tidak ada lagi standar umum yang dapat dipakai
mengukur, menilai atau mengevaluasi konsep-konsep dan gaya hidup
tertentu. Lenyaplah sudah usaha mencari sumber otoritas pusat.
Lenyaplah sudah usaha untuk mencari kekuasaan yang absah dan berlaku
untuk semua.


Titik pusat sudah bergeser, masyarakat kita seperti kumpulan barang-
barang yang beraneka ragam. Unit-unit sosial yang lebih kecil hanya
disatukan secara geografis.


Filsuf postmodern, Michel Foucault, menawarkan sebuah usulan nama
bagi dunia tanpa titik pusat, yaitu "heterotopia." istilah Foucault
menggarisbawahi perubahan besar yang sedang kita alami. Keyakinan
Pencerahan akan suatu kemajuan ayng terus-menerus melahirkan visi
modernisme. Arsitek modernisme berusaha membangun sebuah bangunan
masyarakat yang sempurna. Kasih, keadilan, dan perdamaian akan
memerintah masyarakat tersebut. kaum postmodern membuang jauh-jauh
impian kosong tersebut. Mereka hanya menawarkan keanekaragaman yang
tak terhitung banyaknya, "multiverse" telah menggantikan model
"universe" dari modernisme.

	
           POSTMODERNISME SEBAGAI SEBUAH FENOMENA KULTURAL




"Lenyapnya titik pusat" yang dipopulerkan oleh etos postmodern
merupakan ciri utama situasi masa kini. Ini nampak jelas dalam
kehidupan kultur masyarakat kita. Seni telah mengalami perubahan
bersamaan dengan perubahan modern menjadi postmodern.



POSTMODERN MERAYAKAN KEANEKARAGAMAN
	
Ciri utama budaya postmodern adalah pluralisme. Untuk merayakan
pluralisme ini, para seniman postmodern mencampurkan berbagai komponen
yang saling bertentangan menjadi sebuah karya seni. Teknik seni yang
demikian bukan hanya merayakan pluralisme, tetapi merupakan reaksi
penolakan terhadap dominasi rasio melalui cara yang ironis. Buah karya
postmodernisme selalu ambigu (mengandung dua makna). Kalaupun para
seniman ini menggunakan sedikit gaya modern, tujuannya adalah menolak
atau mencemooh sisi-sisi tertentu dari modernisme.

		

Post-modernisme adalah campuran antara macam-macam tradisi dan masa
lalu. Post-Modernisme adalah kelanjutan dari modernisme, sekaligus
melampaui modernisme. Ciri khas karya-karyanya adalah makna
ganda,ironi, banyaknya pilihan, konflik, dan terpecahnya berbagai
tradisi, karena heterogenitas sangat memadai bagi pluralisme.
	
                        Charles Jencks, What is Post-Modernisme? 3d ed.
                            (New York: St Martin's Press, 1989), hal. 7



Salah satu tehnik campuran yang sering digunakan adalah "collage".
"Collage" menawarkan suatu cara alamiah untuk mencampurkan bahan-bahan
yang saling bertentangan. "Collage" menjadi wahana kritik postmodern
terhadap mitos pengarang/seniman tunggal. Teknik lainnya adalah
"bricolage", yaitu: penyusunan kembali berbagai objek untuk
menyampaikan pesan ironis bagi situasi masa kini.


Seniman postmodern menggunakan berbagai gaya yang mencerminkan suatu
eklektisisme yang diambil dari berbagai era dalam sejarah. Seniman
umumnya menganggap cara demikian harus ditolak karena menghancurkan
keutuhan gaya-gaya historis. Para kritikus tersebut menyalahkan gaya
postmodern karena tidak ada ke dalaman atau keluasan, melanggar batas
sejarah hanya demi memberikan kesan untuk masa kini. Gaya dan historis
dibuat saling tumpang tindih. Mereka mendapatkan postmodernisme sangat
kurang dalam orisinalitas dan tidak ada gaya sama sekali.


Namun ada prinsip lebih mendalam yang ditampilkan melalui ekspresi
budaya postmodernisme. Maksud dan tujuan karya-karya postmodernisme
bukanlah asal-asalan saja. Sebaliknya postmodern berusaha
menyingkirkan konsep mengenai "seorang pengarang/pelukis asli yang
merupakan pencetus suatu karya seni". Mereka berusaha menghancurkan
ideologi "gaya tunggal" dari modernisme dan menggantikannya dengan
budaya "banyak gaya". Untuk mencapai maksud tersebut, para seniman ini
memperhadapkan para peminatnya dengan beraneka ragam gaya yang saling
bertentangan dan tidak harmonis. Teknik ini - yang mencabut gaya dari
akar sejarahnya - dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan berusaha
meruntuhkan sejarah.


Seniman-seniman postmodern sangat berpengaruh bagi budaya Barat masa
kini. Pencampuran gaya, dengan penekanan kepada keanekaragaman, dan
penolakan kepada rasionalitas menjadi ciri khas masyarakat kita. Ini
semakin terbukti dalam banyak ekspresi kebudayaan lainnya.



ARSITEKTUR POSTMODERN
	
Modernisme mendominasi arsitektur (juga bidang lainnya) sampai pada
tahun 1970-an. Para arsitek modern mengembangkan gaya yang terkenal
dengan International style (gaya internasional). Arsitektur modern
mempunyai keyakinan kepada rasio manusia dan pengharapan untuk
menciptakan manusia idaman.


Berdasarkan prinsip tersebut, arsitek-arsitek modern mendirikan
bangunan sesuai dengan prinsip kesatuan (unity). Frank Llyod Wright
menjadi contoh bagi arsitek lainnya. Ia mengatakan bangunan-bangunan
modern harus merupakan sebuah kesatuan organis. Bangunan harus
merupakan "kesatuan yang agung" (one great thing) dan bukan kumpulan
"bahan yang tidak agung" (little things). Sebuah bangunan harus
mengekspresikan makna tunggal.


Karena memegang prinsip kesatuan, arsitektur modern mempunyai ciri
khas "univalence." Bangunan-bangunan modern menunjukkan bentuk yang
sederhana dan ini nyata dari pola glass-and-steel boxes. Arsitektur
mencari bentuk sederhana yang dapat menyampaikan sebuah makna tunggal.
Cara yang digunakan adalah "repetisi"(pengulangan). Karena mereka
juga hendak sempurna dalam geometri, bangunan-bangunannya menyerupai
model "dunia lain."


Arsitektur modern berkembang dan menjadi arus yang dominan. Ia
memajukan program industrialisasi dan menyingkirkan aneka ragam corak
lokal. Akibatnya ekspansi arsitektur modern sering menghancurkan
struktur bangunan tradisional. Ia hampir meratakan semua bangunan
tradisional dengan bulldozer. Bulldozer adalah alat yang merupakan
cetusan jiwa modern untuk "maju"(progress).


Beberapa arsitek modern belum puas jika perubahan hanya dalam bidang
arsitektur. Mereka ingin agar perubahan dalam bidang arsitek, terjadi
juga dalam bidang-bidang seni, ilmu pengetahuan, dan industri.

		

    Mari bersama-sama kita bayangkan, pikirkan, dan ciptakan sebuah
    struktur masa depan baru yang meliputi bidang arsitektur, seni
    pahat, seni lukis, sebagai sebuah kesatuan. Suatu hari semua ini
    akan menjulang sampai ke langit melalui tangan berjuta-juta
    seniman. Ini menjadi keyakinan baru seperti sebuah kristal.
	
        Walter Gropius," Programme of the staatloches Bauhaus in Weimar"
           (1919), dalam Programmes and Manifestos on Twentieth-Century
                 Architecture,ed. Ulrich Conrads, terj. Michael Bullock
                               (London: Lund Humphries, 1970), Hal. 25.


Arsitektur postmodern muncul sebagai reaksi terhadap arsitektur
modern. Postmodern merayakan sebuah konsep "Multivalence" (melawan
"univalence" dari modernisme). Arsitektur postmodern menolak tuntutan
modern di mana sebuah bangunan harus mencerminkan kesatuan. Justru
sebaliknya buah karya postmodern berusaha menunjukkan dan
memperlihatkan gaya, bentuk, corak, yang saling bertentangan.


Penolakan terhadap arsitektur modern nampak jelas dalam beberapa
contoh. Misalnya, arsiterktur postmodern sengaja memberikan ornamen
(hiasan). Ini merupakan lawan dari arsitektur modern yang membuang
segala hiasan-hiasan yang tidak perlu. Contoh lain, arsitektur
postmodern menggunakan beberapa teknik dan gaya seni tradisional,
sedangkan arsitektur modern membuang segala gaya dan teknik seni
tradisional.


Penolakan oleh postmodern terhadap modern di dasarkan kepada sebuah
prinsip. Prinsip arsitektur postmodern adalah semua arsitektur
bersifat simbolik. Semua bangunan, termasuk banguan modern, sebenarnya
sedang berbahasa dengan bahasa tertentu. Karena terlalu memikirkan
fungsi banyak arsitek modern menyingkirkan dimensi tersebut. Justru
karena terlalu berfokus kepada fungsi (utility), karya seni modern
hanya, merupakan sebuah teknik membangun tanpa nuansa artistik. Dimensi
artistik telah lenyap dari karya seni modern. Padahal sebuah struktur
bangunan memerlukan dimensi artistik agar dapat menyampaikan suatu
kisah atau melambangkan suatu dunia imajiner. Karena terlalu
menekankan fungsi. keajaiban dunia seperti bangunan  Katedral masa
silam tidak lagi populer pada zaman modern. Padahal bangunan seperti
Katedral mengarahkan mata kita kepada suatu dunia lain. Ini yang
dikritik oleh kaum postmodern terhadap kaum modern.

		

    Sebuah  bangunan mempunyai kekuatan untuk menjadi apa yang
    diinginkannya, mengatakan apa yang ingin dikatakannya sehingga
    telinga kita mulai mendengar apa yang ingin disampaikan oleh
    bangunan tersebut.
	
                 Charles Moore, dalam Conversations with Architecs, ed.
                      John Cook Heeinrich dan Klotz (New York: Praeger,
                                                       1973), hal. 243.



Kaum Postmodern berusaha mengembalikan elemen "fiksi" dari sebuah
arsitektur maka mereka menambahkan ornamen-ornamen pada arsitektur.
Mereka ingin agar bidang arsitektur tidak terperangkap oleh pertanyaan
"apa fungsinya?" Arsitektur harus kembali berperan untuk menciptakan
"bangunan-bangunan yang kreatif dan imajinatif."


Kritik postmodern terhadap modern semakin menjadi-jadi. Kaum modern
menekankan adanya universalitas dan adanya nilai-nilai yang tidak
terbatas sejarah, dan ini ditolak secara tegas oleh kaum postmodern.
Selama ini kaum kodern menganggap karya-karya mereka sebagai hasil
rasio dan logika. Padahal kaum postmodern melihat dengan jelas
semuanya itu hanyalah usaha mendapatkan kekuasaan dan menguasai orang
lain. Bahasa modern adalah bahasa kekuasaan. Bangunan-bangunan modern
menggunakan bahan-bahan industri dan mereka melayani sistem industri.
Bentuk-bentuk demikian mewujudkan dunia baru yang dikuasai sains dan
teknologi.


Kaum postmodern mau melenyapkan bahasa kekuasaan tersebut. Kaum modern
menekankan konsep kesatuan dan keseragaman (uniformity) arsitektur
yang ternyata sangat tidak manusiawi. Arsitektur demikian berbicara
dengan bahasa produksi massal dan standar. Kaum postmodern menolak
secara tegas konsep dan bahasa demikian. Mereka ingin menemukan sebuah
bahasa baru yang menghargai keanekaragaman dan pluralisme.


POSTMODERN DALAM BIDANG SENI
	
Arsitektur postmodern lahir sebagai penolakan terhadap prinsip-prinsip
arsitektur modern pada abad ke-20. Kehadiran postmodern dalam bidang
seni juga menampakkan gejala penolakan yang serupa.


Arsitektur modern tidak menghargai gaya masa lalu. Pakar seni seperti
Clement Greenberg menyatakan bahwa seni modern juga menolak gaya-gaya
seni sebelumnya. Kaum modern menemukan identitas dirinya dengan
membuang segala sesuatu yang lain dari dirinya; dengan cara ini, para
seniman modern mengatakan bahwa hasil karya seni mereka bersifat
"murni" (orisinal). Kecenderungan modern dalam bidang seni sama dengan
bidang arsitektur, yaitu: "univalence". Melalui ini, kebanggaan
seniman modern hanyalah jika mereka mempunyai "stylistic integrity"
(integritas gaya).


Sebaliknya seni postmodern berangkat dengan kesadaran adanya hubungan
erat antara miliknya dan milik orang lain. Karena itulah, seni
postmodern menganut keanekaragaman gaya atau "multivalence". Kalau
modern menyukai "murni." maka postmodern menyukai "tidak murni."

		

  Pada dasarnya seni postmodern tidak eksklusif dan sempit tetapi
  berbauran (sintetis). Karya seni tersebut dengan bebas memasukkan
  berbagai macam kondisi, pengalaman, dan pengetahuan jauh melampaui
  obyek yang ada. Karya ini tidak melukiskan pengalaman tunggal dan
  utuh. Justru yang hendak dicapai adalah keadaan seperti sebuah
  ensiklopedia, yaitu: masuknya jutaan elemen, penafsiran, dan respons.
	
       Howard Fox, "Avant-Garde in the Eighties", dalam The Post-Avant-
          Garde: Painting in the Eighties, ed. Charles  Jencks (London:
                                   Academy Editions, 1987), hal. 29-30.



Banyak seniman postmodern menggabungkan keanekaragaman dengan teknik
pencampuradukan. Seperti kita ketahui, teknik yang mereka sukai adalah
"collage". Kenyataanya, Jacques Derrida (dijuluki "Aristoteles tukang
campur") menegaskan collage sebagai bentuk utama dari wacana
postmodern. Perlahan namun pasti, "collage" menarik para pecinta seni
ke dalam makna yang dihasilkan "collage" tersebut. Karena "collage"
bersifat heterogen, maka makna yang dihasilkannya tidak mungkin
tunggal dan stabil. "Collage" menarik para pecinta seni untuk selalu
memperoleh makna baru melalui aneka ragam campuran di dalamnya.


Akhirnya seni pencampuradukan menjadi sebuah "pastiche". Tujuan teknik
ini (yang digunakan oleh high-culture dan Video MTV) adalah
memperhadapkan para penonton dengan gambar-gambar yang saling
bertentangan sehingga tidak ada lagi makna objektif. Dengan pola yang
saling bertentangan, warna yang tidak selaras, dan tata huruf yang
kacau, "pastiche" menyebar dari dunia seni menuju kehidupan sehari-
hari. Ini nampak dari sampul buku, sampul majalah, dan iklan-iklan
yang ada.


Segala campuran dan keanekaragaman itu bukan hanya untuk menarik
perhatian. Daya tarik sebenarnya tidak sedangkal itu, namun jauh lebih
dalam. Ini merupakan bagian dari sikap postmodern, yaitu: menantang
kekuatan modernisme yang ada dalam berbagai lembaga, tradisi, dan
aturan. Seniman postmodern tidak suka kepada pengagung-agungan seorang
seniman modern karena kemurnian hasil karyanya. Mereka tidak suka
kepada apa yang disebut "stylistic integrity" (integritas gaya). Bagi
mereka, tidak ada hasil karya seni yang tunggal. Mereka sengaja
menggunakan metode pinjaman dari hasil karya lain, kutipan, petikan,
kumpulan, dan pengulangan dari karya-karya yang ada. bagi mereka,
"seniman tunggal yang menghasilkan karya tunggal" hanyalah dongeng
belaka.


Kritik postmodern sangat radikal. Kritik tersebut dapat ditemukan
dalam karya fotografi seorang bernama Sherrie Levine. Levine memfoto
ulang foto-foto indah hasil karya dua fotografer terkenal Walker Evans
dan Edward Weston. Setelah memfoto ulang, Levine menegaskan bahwa foto-
foto itu adalah karya pribadinya. Pembajakannya sangat jelas sehingga
orang lain tidak mudah mengecapnya sebagai plagiat (pengekor) biasa.
Memang tujuannya bukanlah menipu orang-orang dengan mengatakan bahwa
itu adalah hasil karyanya dan bukan hasil karya orang lain. Tujuan
utamanya adalah membuat orang berfikir keras untuk membedakan manakah
"yang asli" dan manakah yang "tiruan". Maka kesimpulannya: tidak ada
perbedaan antara "karya asli" dan "karya tiruan."



POSTMODERN DALAM BIDANG TEATER
	
Teater adalah wujud penolakan postmodern terhadap modern yang paling
jelas. Kaum modern melihat jelas sebuah karya seni sebagai karya yang
tidak terikat waktu dan ide-ide yang tidak dibatasi waktu. Etos
postmodern menyukai tragedi, dan tragedi selalu ada dalam setiap karya
seni. Kaum postmodern melihat hidup ini seperti sebuah kumpulan cerita
sandiwara yang terpotong-potong. Maka teater adalah sarana terbaik
untuk menggambarkan tragedi dan pertunjukan.


Tidak setiap karya teater merupakan wujud nyata etos postmodern. Karya
teater postmodern mulai timbul pada tahun 1960-an. Akarnya sudah ada
sebelum tahun 1960-an, yaitu karya seorang penulis Perancis bernama
Antonin Artaud pada tahun 1930-an.


Artaud menantang para seniman (khususnya dalam bidang drama) untuk
memprotes dan menghancurkan pemujaan kepada karya seni klasik. Ia
sangat mendukung pergantian drama tradisional dengan 'teater
keberingasan." Ia berseru agar dihapuskannya gaya kuno yang berpusat
kepada naskah. Ia mengusulkan gaya baru yang berpusat kepada simbol-
simbol teater termasuk di dalamnya adalah: pencahayaan, susunan warna,
pergerakan, gaya tubuh, dan lokasi. Artaud juga meniadakan perbedaan
antara aktor dan penonton. Ia ingin agar penonton juga mengalami
suasana dramatis seperti sang aktor. Tujuan Artaud adalah memaksa
penonton untuk berhadapan dengan momentum kenyataan hidup secara
langsung pada saat itu, yang bagaimanapun juga tidak akan terulang
melalui aturan-aturan sosial sehari-hari.


Pada tahun 1960-an, sebagian impian Artaud menjadi kenyataan. Para
ahli mulai memikirkan kembali hakikat dari teater. Maka mereka
menyerukan agar terdapat kebebasan dalam penampilan. Penampilan tidak
boleh diatur oleh otoritas apa pun.


Beberapa ahli ini menemukan bahwa naskah atau teks adalah otoritas
yang menindas kebebasan. Untuk memecahkan masalah ini, mereka
mengurangi naskah atau teks sehingga setiap penampilan menjadi spontan
dan unik. Setelah beberapa sekali ditampilkan, tidak ada lagi
pengulangan. Penampilan itu sekali saja dan akan hilang selama-lamanya
setelah itu.


Ahli lainnya menganggap sutradara adalah orang yang menindas kebebasan
penampilan. Mereka berusaha memecahkan masalah ini, dengan menekankan
improvisasi dan memakai sutradara lebih dari satu orang. Maka produksi
teater/film bukan lagi produksi tunggal dan utuh.


Teater postmodern menampilkan usulan-usulan para ahli di atas. Mereka
membuat berbagai elemen dalam teater, seperti suara, cahaya, musik,
bahasa, latar-belakang, dan gerakan saling berbenturan. Dengan
demikian, teater postmodern sedang menggunakan teori tertentu yang
disebut dengan estetika ketiadaan (berbeda dengan estetika kehadiran).
Teori estetika ketiadaan menolak adanya konsep kebenaran yang
mendasari dan mewarnai setiap penampilan. Yang ada dalam setia
penampilan adalah kekosongan ("empty presence"). Seperti etos
postmodern, makna sebuah penampilan hanya bersifat sementara,
tergantung dari situasi dan konteksnya.

		

Panggung teater tidak lagi menjadi tempat pengulangan suatu peristiwa
atau suatu obyek, entah yang ada sekarang atau sebelumnya. Teater
tetap berfungsi tanpa kehadiran Allah.
	
               Jacques Darrida, Writing and Difference, terj: Alan Bass
                   (Chicago: Chicago University Press, 1978), hal. 237.



POSTMODERN DALAM BIDANG TULISAN-TULISAN FIKSI
	
Pengaruh etos postmodern dalam literatur sulit dicari. Para ahli
sastra terus berdebat mengenai ciri utama fiksi postmodern yang
membedakannya dari fiksi-fiksi sebelumnya. Namun gaya penulisan ini
mencerminkan ciri utama yang telah kita saksikan dalam bidang-bidang
lain.


Seperti gaya postmodern umumnya, tulisan fiksi postmodern menggunakan
teknik pencampuradukan. Beberapa penulis mengambil elemen-elemen
tradisional dan mencampurkannya secara berantakan untuk menyampaikan
suatu ironi mengenai topik-topik yang biasa dibahas. Bahkan beberapa
penulis lainnnya mencampurkan kejadian nyata dan khayalan.


Pencampuradukan ini terjadi bahkan kepada tokoh-tokoh fiksi tersebut.
Beberapa penulis postmodern memusatkan perhatian kepada tokoh-tokoh
khayalan dengan segala perilakunya. Pada saat yang sama, tokoh-tokoh
khayalan itu adalah tokoh-tokoh yang nyata dalam sejarah manusia.
Dengan cara ini, sang penulis berhasil menarik perhatian dan respons
emosional dan moral para pembaca.


Beberapa penulis postmodern mencampuradukkan yang nyata dan yang
khayal dengan menyisipkan diri mereka ke dalam cerita itu. Bahkan
mereka pun turut membicarakan berbagai masalah dan proses yang
diceritakannya. Melalui ini, sang penulis mencampurkan yang nyata dan
yang fiksi. Teknik ini menekankan hubungan yang erat antara penulis
dan tulisan fiksinya.


Tulisan fiksi adalah sarana yang dipakai oleh penulis untuk berbicara
sehingga suara penulis tidak dapat dipisahkan dari kisah fiksi
tersebut. Tulisan fiksi postmodern mencampuradukan dua dunia yang
tidak ada hubungan satu sama lain. Dunia-dunia tersebut masing-masing
otonom. Tokoh-tokoh dalam tulisan fiksi itu merasa bingung di dunia
mana mereka berada, dan apa tindakan mereka berikutnya di tengah dunia-
dunia yang saling bertubrukan.


Teknik pencampuradukan ini digunakan untuk menunjukkan sikap anti-
modernisme. Tujuan para penulis modern adalah memperoleh makna
tunggal. Sebaliknya, kaum postmodern ingin mengetahui bagaimana
kenyataan-kenyataan yang amat berbeda, dapat berjalan dan saling
bercampur.


Seperti kebudayaan postmodern lainnya, tulisan-tulisan ini memusatkan
perhatian kepada kefanaan dan kesementaraan. Mereka menolak konsep
kebenaran kekal dari kaum modern. Tulisan fiksi ini sengaja
mengarahkan fokus kepada kesementaraan agar para pembaca tidak lagi
melihat dunia ini dari titik puncak yang tidak terbatas oleh waktu.
Mereka ingin agar para pembaca menyaksikan sebuah dunia yang hampa,
tanpa adanya hal-hal yang kekal dan selalu berada dalam gelombang
kesementaraan.

		

Dan perlukah kita berkata bahwa semakin jelas sang penulis menyatakan
dirinya sendiri dalam teks-teks yang dia buat, secara paradoks juga
makin tidak terelakan adanya kenyataan bahwa sang penulis tersebut,
sebagai sebuah suara, hanyalah sebuah fungsi dari fiksinya sendiri,
sebuah bangunan retorika, bukan seorang yang berotoritas tetapi
justru menjadi obyek dan sasaran penafsiran pembaca?
	
                 David Lodge,"Mimesis and Diegesis in Modern Fiction,"
                      dalam The Post-Modern Reader, ed. Charles Jencks
                     (New York: St. Martin's Press,1992), hal. 194-195.


Kadang-kadang para penulis tersebut menciptakan efek serupa dengan
memasukkan bahasa yang membongkar struktur pikiran yang sudah baku.
Mereka juga menolak rasio sebagai hakim yang memutuskan apakah sebuah
cerita mampu memaparkan kejadian nyata.


Contoh umum dari fiksi modern adalah kisah detektif. Katakanlah cerita
mengenai seorang detektif bernama Sherlock Holmes. Ia bertugas
membongkar kebenaran-kebenaran yang tersembunyi. Kisah seperti ini
hendak menunjukkan kekuatan rasio dan logika dalam memecahkan sebuah
masalah atau misteri. Maka cerita ini merupakan sebuah cerita yang
lengkap dan selesai.


Contoh dari fiksi postmodern adalah kisah mata-mata. Meskipun
terjadinya dalam dunia nyata, kisah demikian selalu mencampurkan dua
macam dunia yang berbeda. Apa yang dianggap nyata, ternyata terbukti
hanyalah khayalan. Ada suatu dunia lain di balik dunia nyata ini, yang
lebih jahat namun lebih nyata daripada dunia nyata.


Dengan mencampurkan dua macam dunia itu, kisah tersebut membuat
pembaca merasa tidak tenang dan tidak nyaman. Apakah penampilan
seseorang menunjukkan dirinya yang sesungguhnya? Manakah yang
sebenarnya dan manakah yang tipuan?


Kisah mata-mata mendorong kita mempertanyakan dunia kehidupan kita.
Apakah kita juga hidup dalam dua macam dunia? Apakah orang-orang di
sekitar kita benar-benar seperti penampilan mereka di hadapan kita?
Apakah peristiwa-peristiwa di sekitar kita benar-benar seperti yang
nampak di depan mata kita?


Novel fiksi sains adalah salah satu bentuk sastra postmodern. Novel
ini merupakan penolakan terhadap penelitian modern. Novel fiksi ini
lebih suka mencari sesuatu yang baru, dan bukan menyibak misteri alam
untuk menemukan rumus-rumus pasti. Novel ini mempertentangkan berbagai
dunia dan realitas supaya nampak perbedaan dan pertentangan di antara
mereka.


Novel fiksi sains tersebut membuat kita bertanya-tanya mengenai dunia
kita: Apakah realitas itu? Apa yang mungkin? Kekuatan apa yang sedang
bekerja sekarang?

	

            POSTMODERNISME SEBUAH FENOMENA DALAM BUDAYA POP


Kebanyakan dari kita berhubungan langsung postmodernisme melalui novel
fiksi sains dan novel mata-mata. Keduanya sangat berpengaruh dalam
budaya populer kita sekarang. Namun secara tidak sadar, kita telah
terbuka kepada etos postmodern.


Keterbukaan kepada etos postmodern melalui budaya pop adalah ciri khas
postmodern. Ciri khas lainnya adalah tidak mau menempatkan "seni
klasik tinggi" di atas budaya "pop." Postmodern unik karena ia
menjangkau bukan kelas elite tetapi kelas masyarakat biasa, masyarakat
yang terbiasa dengan budaya pop dan media massa.


Hasil karya postmodern juga bermakna ganda. Mereka berbicara dengan
sebuah bahasa dan menggunakan elemen-elemen yang dapat diterima oleh
orang-orang awam ataupun seniman dan arsitek handal. Dengan cara
demikian, postmodernisme berhasil menyatukan dua alam yang berbeda,
yaitu profesional dan populer.



PEMBUATAN FILM SEBAGAI DASAR PIJAKAN BUDAYA POSTMODERN
	
Perkembangan teknologi membantu penyebaran postmodern ke dalam sisi-
sisi penting dan budaya pop. Salah satu sisi terpenting adalah
industri film.


Teknologi pembuatan film sangat cocok dengan etos postmodern, yakni:
film menggambarkan yang tidak ada menjadi seolah-olah ada. Sekilas
lalu, film adalah sebuah cerita utuh yang ditampilkan oleh para aktor
dan aktris. Kenyataannya, film adalah rekayasa teknologi dengan
bantuan ahli-ahli spesialis dari berbagai bidang yang tidak jarang
kelihatan dalam film. Adanya kesatuan dalam sebuah film sebenarnya
adalah ilusi.


Film berbeda dengan teater. Film tidak pernah berisi penampilan
sekelompok aktor/aktris sekaligus secara utuh dan berkesinambungan.
Apa yang penonton lihat "berkesinambungan" adalah semacam sisa dari
berbagai adegan dalam proses pembuatan film itu sendiri, yang tidak
saling berhubungan baik secara waktu maupun tempat.


Alur cerita sebuah film hanyalah tipuan. Apa yang nampak "berhubungan"
atau "berkesinambungan" sebenarnya hanyalah kumpulan adegan yang
diambil pada waktu dan tempat yang berbeda-beda. Alur sebuah film yang
kita lihat, ternyata tidak seperti demikian alurnya pada waktu film
berada dalam proses pembuatan tersebut. Yang menyatukan adegan-adegan
yang terpecah-pecah itu adalah seorang editor. Dialah yang
menyambungkan adegan-adegan yang tidak ada hubungannya satu sama lain.


Kadang-kadang peran yang sama belum tentu diperankan oleh satu aktor.
Sutradara sering menggunakan peran pengganti (stunt-man) untuk adegan-
adegan berbahaya. Kemajuan teknologi memungkinkan edit untuk
menduplikasi wajah sang aktor sehingga wajahnya dalam film lama dapat
diambil dan dimasukkan dalam film yang baru. Semuanya ini adalah hasil
rekayasa komputer.


Akhirnya, film yang kita tonton adalah produk kecanggihan teknologi.
Tim-tim yang berbeda menggunakan fotografi dan metode lainnya untuk
mengumpulkan bahan-bahan. Bahan-bahan ini digabungkan oleh editor
untuk menghasilkan apa yang nampak sebagai "kesatuan" di depan mata
penonton. Berbeda dengan teater, kesatuan dan kesinambungan sebuah
film adalah jasa teknologi, dan bukan jasa aktor-aktornya.


Karena kesatuan sebuah film terletak dalam teknik pembuatannya, maka
sutradara dan editor mempunyai kebebasan untuk mengatur dan
memanipulasi jalannya cerita dengan berbagai cara. Mereka dapat
mencampurkan adegan-adegan yang tidak saling berhubungan tanpa harus
mengorbankan kesatuan film itu.


Pembuat film postmodern senang mengubah konsep tempat dan konsep waktu
menjadi di sini dan kini selamanya. Usaha mereka dalam hal ini dipacu
oleh banyaknya film yang telah diproduksi sebelumnya sehinga mereka
mempunyai bahan untuk mencampurkannya. Misalnya: adegan Humphrey
Bogart dalam film "The Last Action Hero" dan Groucho Marx dalam iklan
Diet Pepsi. Kemajuan teknologi memungkinkan penggabungan keduanya,
penggabungan "dunia nyata" dengan kenyataan lain. Contoh lain adalah
penggabungan tokoh kartun dan tokoh manusia dalam film "Who Framed
Roger Rabbit?"


Kemampuan seorang sutradara menggabungkan berbagai potongan menjadi
sebuah film yang utuh, memungkinkannya untuk melenyapkan perbedaan
antara kebenaran dan dongeng, kenyataan dan khayalan. Sutradara-
sutradara postmodern menggunakan kesempatan ini untuk mewujudnyatakan
etos postmodern. Misalnya, film-film postmodern membuat film fiksi dan
fantasi seperti layaknya kejadian nyata (film "Groundhog Day"). Mereka
menggabungkan kisah film fiksi dengan aspek dokumenter (film "The Gods
Must Be Crazy"). Mereka mencampurkan sebagian catatan sejarah dengan
spekulasi dan mencampurkan dunia-dunia yang tidak berhubungan yang
dihuni oleh tokoh-tokoh yang tidak jelas majakah yang asli (film "Blue
Velvet").


Hidup dalam era postmodern berarti hidup di dalam dunia yang
menyerupai film. Sebuah dunia dimana kebenaran dan dongeng bercampur.
Kita melihat dunia sama seperti kita melihat film, dan kita curiga
apakah yang kita lihat hanyalah sebuah ilusi. Kita dapat memahami
sesuatu dalam pikiran sang sutradara. Ia mengajak kita melihat sesuatu
yang sering terabaikan/terlupakan dalam dunia yang film itu gambarkan.
Sebaliknya ketika melihat dunia sebenarnya, kaum postmodern tidak lagi
percaya adanya sebuah Pikiran di baliknya.



TELEVISI DAN PENYEBARAN BUDAYA POSTMODERN
	
Teknologi pembuatan film memberikan dasar pijakan untuk budaya pop
postmodern. Namun televisi merupakan sarana yang lebih efisien untuk
menyebarkan etos postmodern ke seluruh lapisan masyarakat.


Dilihat dari satu sisi, televisi hanyalah saranan yang efektif untuk
menantikan turunnya film dari bioskop ke televisi. Banyak program
televisi yang isinya hanya film-film, mulai dari yang pendek sampai
miniseri. Televisi adalah sebuah sarana yang digunakan oleh film-film
untuk menyerbu kehidupan sehari-hari jutaan orang. Sejauh ini,
televisi hanyalah perpanjangangan tangan dari industri film.


Tetapi lepas dari hubungan dengan film, televisi memperlihatkan ciri
khasnya sendiri. Dalam banyak hal, televisi jauh lebih fleksibel
daripada film. Televisi melampaui film dengan menyajikan siaran
langsung. Kamera televisi dapat menayangkan gambar kejadian langsung
kepada pemirsa di seluruh belahan dunia.


Kemampuan untuk menyiarkan secara langsung membuat orang percaya bahwa
televisi menyajikan peristiwa aktual yang benar-benar terjadi, tanpa
adanya penafsiran, edit, atau komentar. Karena inilah televisi telah
menjadi kriteria untuk membedakan yang nyata dan tidak. Banyak pemirsa
tidak menganggap penting banyak hal. Tetapi jika CNN, Sixty Minutes
menayangkannya, mereka akan segera merasa hal tersebut penting. Segala
sesuatu tidak penting jika tidak ditayangkan televisi.


Televisi mampu menayangkan fakta secara langsung dan mampu menyebutkan
produksi-produksi film. Kemampuan ganda demikian membuat televisi
memiliki kekuatan yang unik. Ia mampu mencampurkan "kebenaran" (apa
yang orang banyak anggap sebagai kejadian nyata) dengan "fiksi" (apa
yang orang banyak anggap sebagai khayalan yang tidak pernah terjadi
dalam kenyataan). Film tidak dapat melakukan ini. Televisi masa kini
melakukan hal tersebut terus-menerus. Ketika ada siaran langsung, di
tengah-tengah siaran itu selalu diputus oleh "pesan dari sponsor."


Televisi melampaui film untuk mewujudkan etos postmodern. Televisi
komersil menyajikan berbagai gambar kepada permirsa. Berita sore akan
menghantam penonton dengan gambar-gambar yang tidak saling
berhubungan: perang di suatu daerah terpencil, pembunuhan di dekat
rumah, ucapan dari seorang politikus, skandal seks terbaru, penemuan
ilmiah baru, berita olahraga. Campuran-campuran ini disisipkan dengan
iklan baterai yang tahan lama, sabun mandi yang lebih bersih, makan
pagi yang lebih sehat, dan liburan yang lebih menyenangkan. Dengan
menampilkan berbagai gambar tersebut (berita dan iklan), televisi
menciptakan kesan bahwa berita dan iklan sama pentingnya.


Siaran berita diikuti oleh program-program utama yang terlalu banyak
untuk menarik dan membuat pemirsa bertahan. Maka isi program-program
tersebut adalah film laga, skandal, kekerasan, dan seks. Drama-drama
malam hari mempunyai bobot yang sama dengan berita sebelumnya. Dengan
cara ini, televisi melenyapkan perbedaan antara kebenaran dan fiksi,
antara peristiwa yang benar-benar memilukan hati dan peristiwa sepele.


Ini terjadi bukan hanya pada satu saluran televisi, tetapi berpuluh
bahkan ratusan saluran yang berbeda-beda. Hanya dengan sebuah remote
control di tangan, seseorang dapat memilih apa pun yang ia suka, mulai
dari berita terbaru, pertandingan tinju, laporan ekonomi, film kuno,
laporan cuaca, film komedi, film dokumenter, dan sebagainya.


Dengan menawarkan begitu banyak campuran gambar, secara tidak sengaja
televisi menyejajarkan hal-hal yang tidak saling cocok. Televisi
membutuhkan kejelasan waktu dan tempat. Televisi mencampuradukkan masa
lalu dan masa kini, yang jauh dan yang dekat, segala sesuatunya di-
bawa menjadi kini dan di sini, di hadapan pemirsa televisi. Dengan
cara ini, televisi memperlihatkan dua ciri khas postmodern: menghapus
batas antara masa lalu dan masa kini; dan menempatkan pemirsa dalam
ketegangan terus-menerus. Banyak pengamat sosial menganggap televisi
sebagai cermin dari kondisi psikologis dan budaya postmodern. Televisi
menyajikan begitu banyak gambar yang tidak berhubungan dengan
realitas, gambar-gambar yang saling berinteraksi terus-menerus tanpa
henti.


Film dan televisi telah di persatukan oleh sebuah alat yang lebih baru
- komputer pribadi.

		

  Lenyapnya ego adalah tanda kemenangan postmodernisme.... Sang diri
  diubahkan menjadi sebuah tampilan kosong yang berisi kebudayaan yang
  telah jenuh namun hiperteknis.
	
     Arthur Kroker, Marilouise Kroker dan David Cook, "Panic Alphabet",
      dalam Panic Encyclopedia: The Definitive Guide to the Postmodern
               Scene (Montreal: New World Perspectives, 1989), hal. 16.


Munculnya "monitor" - layar bioskop, layar kaca televisi ataupun
monitor computer, melenyapkan perbedaan antara diri sebagai subjek dan
dunia sebagai objek. "Monitor" bukan sekadar objek di luar diri kita
yang kita sedang lihat. Yang terjadi dalam monitor bukan sesuatu
kejadian di luar sana dan diri kita di sini. "Monitor" membawa kita ke
dunia luar sama seperti dunia luar masuk ke dalam diri kita. Yang
terjadi dalam televisi merupakan manifestasi diri kita, yang terjadi
dalam diri kita adalah penjelmaan televisi. Televisi telah menjadi
sebuah wujud nyata dari jiwa kita.


Hidup dalam era postmodern berarti hidup dalam dunia yang dipenuhi
oleh berbagai gambar yang bercampur-aduk. Dunia televisi memecahkan
gambar-gambar menjadi potongan-potongan dan kaum postmodern tetap
yakin bahwa itu hanyalah campuran gambar-gambar.



WUJUD-WUJUD LAIN POSTMOERNISME DALAM BUDAYA POP
	
Film telah menyajikan budaya postmodern, dan televisi menyebarkannya ,
tetapi musik rock merupakan ciri yang paling khas dari budaya pop
postmodern. Lirik lagu-lagu rock mencerminkan semboyan postmodern.
Hubungan antara music rock dan budaya postmodern lebih mendalam lagi.
Musik rock memiliki ciri utama dari postmodern, yaitu: fokus kepada
global dan lokal.


Musik rock kontemporer mendapatkan banyak penggemar dan mampu
menyatukan seluruh dunia. Tentunya kita ingat dengan tokoh-tokoh musik
rock yang melakukan tur keliling dunia. Pada saat yang sama, musik
rock mempertahankan selera lokal. Dalam penampilan grup-grup rock yang
besar maupun yang kecil (tidak terkenal), musik rock memperlihatkan
pluralitas gaya yang diambil dari gaya musik setempat (lokal dan etnis
tertentu).


Yang tidak kalah penting, musik rock juga menggunakan  sarana produksi
elektronik sebagaimana televisi dan film. Dimensi penting dari budaya
rock adalah penampilan langsung dari bintang-bintangnya. Konser musik
rock tidak seperti konser tradisional dimana sang penyanyi berusaha
berkomunikasi secara akrab dengan penonton. Yang terjadi dalam konser
musik rock adalah "kedekatan massal yang dibuat-buat."


Konser rock kini merupakan peristiwa massal, melibatkan puluhan ribu
penggemar. Kebanyakan penggemar tidak dapat melihat penampilan sang
bintang dari dekat. Namun mereka masih berusaha mengalami pengalaman
tersebut. Penampilan tersebut diperlihatkan kepada mereka melalui
banyak layar video yang menyorot wajah sang bintang dari dekat.


Tehnik ini menciptakan jarak antara sang bintang dan penonton. Penggemar 
kelompok rock Jubilant merasa dekat dengan idola mereka sekalipun hanya 
lewat layar televisi. Teknologi mengubah kedekatan dalam sebuah 
pertunjukkan langsung menjadi kumpulan ribuan penggemar yang menonton layar 
video bersama-sama sementara mereka diserbu dengan berbagai-bagai efek 
cahaya, suara dan sebagainya.


Teknologi melenyapkan perbedaan antara penampilan aslinya dan tayangannya 
di televisi. Teknologi melenyapkan perbedaan antara penampilan langsung dan 
duplikasinya dalam musik. Penampilan langsung bukan lagi realitas yang 
terdapat dalam konteks khusus. Ia adalah campuran antara apa yang sang 
bintang tampilkan dan apa yang teknologi hasilkan. Penampilan itu dibungkus 
dalam kemasan teknologi setelah itu baru disajikan kepada para penggemar.


Wujud etos postmodern yang lebih sederhana adalah cara berpakaian. Model 
pakaian postmodern mempunyai kecenderungan yang mirip dengan budaya pop 
lainnya. Kita melihat ditonjolkannya merek dan label produk. Ini 
melenyapkan perbedaan antara pakaian dan iklan pakaian.


Wajah postmodern nampak dalam "bricolage." Berbeda dengan pola pakaian 
tradisional yang menyatukan berbagai corak secara harmonis, gaya postmodern 
sengaja menggabungkan elemen-elemen yang bertentangan, misalnya: pakaian 
dan aksesoris dari 10, 20, 30 dan 40 tahun lalu dipakai bersama-sama.


Percampuran yang bertentangan tersebut dimaksudkan sebagai sebuah ironi 
atau ejekan terhadap model pakaian modern, bahkan terhadap seluruh industri 
pakaian modern.

		


Dari musik rock ke turisme ke televisi sampai ke bidang pendidikan, yang 
dipromosikan oleh iklan dan yang dicari oleh konsumen bukan lagi 
barang-barang, tetapi pengalaman.
	
         Steven Connor, Postmodernist Culture (Oxford: Basil Blackwell,
                                                        1989), hal 154.



Budaya pop zaman kita mempunyai dua ciri khas postmodern: pluralisme dan 
anti-rasionalisme. Seperti nyata dari cara mereka berpakaian dan musik yang 
mereka dengar, kaum postmodern tidak lagi percaya kalau dunia mereka 
mempunyai sebuah fokus. mereka tidak lagi percaya bahwa rasio manusia dapat 
menangkap struktur logika alam semesta. Mereka hidup dalam dunia yang tidak 
membedakan antara kebenaran dan dongeng. Akibatnya mereka menjadi pengumpul 
bermacam-macam pengalaman, gudang yang brisi berbagai hal sementara, 
jembatan yang dilintasi bermacam-macam gambar, dan dihujani dengan aneka 
ragam media dalam masyarakat postmodern.


Postmodernisme memiliki asumsi yang bermacam-macam. Ini terbukti dari 
berbagai sikap dan ekspresi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dalam 
kehidupan tersebut, kita menemukan bermacam-macam orang dalam masyarakat. 
Ekpresinya bervariasi dari cara berpakaian sampai televisi, termasuk musik 
dan film di dalamnya. Postmodernisme menjelma dalam beraneka ragam ekspresi 
budaya, termasuk arsitektur, seni, dan sastra. Lebih dari segalanya, 
postmodernisme adalah sebuah pemandangan intelektual.



Postmodernisme menolak gambaran mengenai seorang pemikir tunggal yang 
dilahirkan oleh Pencerahan. Postmodern mengejek mereka yang merasa yakin 
dapat melihat dunia dari suatu titik puncak seolah-olah mereka dapat 
berbicara demi kepentingan seluruh umat manusia. Postmodernisme telah 
menggantikan cita-cita pencerahan tersebut dengan keyakinan baru, yaitu: 
semua pernyataan mengenai kebenaran dan kebenaran itu sendiri terbatas oleh 
kondisi sosial.

Sumber:
Judul Buku : Postmodernisme; Sebuah Pengenalan
Penulis    : Stanley J. Grenz
Penterjemah: Wilson Suwanto
Penerbit   : Sekolah Tinggi Teologi Reformed Injili Indonesia

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org