Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/8

e-Reformed edisi 8 (18-8-2000)

Kecenderungan Perkembangan
Pemikiran Abad 21
(Sebuah Kajian Retrospektif dan Prospektif)

[Catatan : Tanda **(no.) dalam artikel adalah Catatan Kaki yang dapat
            ditemukan pada akhir artikel]


PENDAHULUAN

    Sebentar lagi semua umat manusia yang menetap di planet yang
pengap ini akan memasuki abad dan sekaligus millennium yang baru.
Saya katakan "sebentar lagi" karena pada saat menuliskan artikel ini
(Januari 2000) bagi sementara kalangan abad dan millennium yang baru
itu seharusnya dimulai 1 Januari 2001 (misalnya, posisi Harian Umum
Kompas). Saya kebetulan merasakan adanya logika yang sama dengan
pendapat tersebut. Alasannya sederhana saja: Kalender Masehi tidak
mengenal tahun yang dimulai dengan angka nol, sehingga tahun 2000
boleh dikategorikan termasuk dalam himpunan abad 20 dan millennium
kedua.**1 Walaupun demikian semua sudah sama-sama tahu bahwa mayoritas
penduduk globe ini menganggap bahwa sekaranglah abad dan millenium
yang baru itu.


    Sebetulnya untuk apa sih meributkan persoalan yang sepele dan
sudah hampir basi ini? Saya akui ini boleh dibilang persoalan sepele
dan provincial karena kebanyakan orang toh tidak peduli. Namun
demikian kalau boleh saya memohon sedikit kesabaran pembaca untuk
memperhatikan urusan "sepele" ini lebih jauh sedikit. Pertama,
persoalan tersebut mengingatkan bahwa untuk suatu topik yang
sedemikian obvious (mudah dimengerti), nyata dan gamblang, kebanyakan
manusia bisa dengan mudah berbeda pandangan. Tetapi masalahnya bukan
hanya itu saja, karena, kedua, manusia bukan hanya bersedia berbeda
opini. Sebagian besar manusia ternyata bersedia menerima suatu
pendapat yang less logical dan yang benar-benar keliru hanya karena
mayoritas masyarakat dunia yang menyatakannya atau, lebih tepat,
secara pelan dan pasti memaksa menyatakannya demikian. Hampir semua
media raksasa di dunia ini menyatakan 1 Januari 2000 sebagai abad dan
millennium baru. Jadi, karena media besar dan pemerintah adidaya
sudah menyatakan suatu kesalahan sebagai kebenaran, maka terciptalah
kesalahan "sepele" itu menjadi kebenaran yang sulit diganggugugat.
Kebanyakan orang menjadi tidak peduli hal itu benar atau salah,
karena "semua" orang, bahkan "seluruh" dunia mengatakan demikian.
Orang cerewet mempermasalahkannya justru orang yang dianggap aneh
sendiri.


    Dari contoh urusan "sepele" tersebut kalau boleh saya katakan
bahwa semangat dan cara pikir manusia sekarang dalam berteologi
sedikit banyak mirip dengan kecenderungan di atas. Ada kalangan dalam
gereja atau dunia kekristenan yang sepintas tidak peduli apakah suatu
pandangan atau aliran teologi itu benar atau salah asalkan sudah
cukup banyak orang yang menerimanya, atau karena yang menyatakannya
adalah tokoh atau teolog yang beken. Apalagi jikalau mayoritas
pengikut sudah mengafirmasikan demikian persis seperti beberapa ratus
nabi (palsu) Baal secara aklamasi sepakat tentang sesuatu yang
katanya dari Tuhan padahal bukan. Hanya nabi Mikha seorang diri
(sebagai minoritas absolut!) yang berani menyatakan kebenaran dan
berbeda dengan posisi yang lain (lih. 1Raj 22:1-38). Bagi sebagian
orang lain, urusan benar atau salah seakan-akan menjadi kurang
penting asalkan apa yang diajarkan itu "cocok bagi saya" dan
sekaligus berkhasiat (misalnya, bisa mendatangkan berkat, kekayaan,
kesehatan, kesembuhan, kelancaran, kedamaian, gereja bertumbuh pesat,
pengikut membludak dan seterusnya). Orang yang menyampaikan ajaran
yang benar dan berbeda dengan mayoritas akan dianggap sebagai orang
yang aneh dan perlu dijauhi.


    Persoalan yang dikemukakan di atas hanyalah sebuah contoh untuk
mengantar pembaca memasuki tema tulisan ini. Di dalam artikel ini
pembaca akan melihat berbagai kecenderungan dalam alam pemikiran
dunia teologi pada tahun-tahun mendatang. Apa yang saya paparkan
sebagian besar didasarkan apa yang pernah terjadi dalam dunia teologi
di tahun-tahun yang lampau**2 dan merupakan prakiraan tentatif yang
perlu diuji apakah tepat demikian.  Hal ini berarti penulis tidak
sedang membuat sebuah nubuat atau sebaliknya menciptakan dugaan yang
mengada-ada. Istilah "Abad 21" pada judul artikel ini juga penulis
rasakan terlalu bernada hiperbolis, karena siapa yang dapat
memastikan apa yang terjadi 10, 20 atau 50 tahun mendatang berhubung
perubahan sekarang selalu terjadi dengan begitu cepat. Sebab itu
lebih tepat bila pembaca mengartikan "Abad 21" sebagai masa permulaan
dunia memasuki suatu rentang yang baru sekali, yaitu abad 21, dan
tidak mengartikannya sebagai masa sampai 100 tahun.


KECENDERUNGAN PERTAMA: TEOLOGI AKAN SECARA RADIKAL DIBANGUN DI ATAS
LANDASAN IMMANENSI


    Yang dimaksud dengan "immanensi" (Latin: immanere, to remain in)
adalah kecenderungan manusia untuk menyimpulkan segala sesuatu dengan
bertitik tolak semata-mata dari alam dan natur manusia. Dengan
semakin bangkitnya ekonomi globlal, maraknya kemajuan teknologi dan
sains serta semakin mantapnya segala kemajuan yang berasal dari, oleh
dan untuk manusia, apa yang semakin terlihat dalam kehidupan
sehari-hari adalah memudarnya sisi yang transenden dalam berteologi
dan semakin bercahayanya sisi yang immanen, yakni alam dan manusia.
Walaupun manusia masih berbicara tentang Allah dan karya-karya-Nya,
sedemikian rupa sehingga Ia dibicarakan dengan titik tolak dari
perspektif manusia dan alam. Topik pengetahuan tentang Allah menjadi
terserap ke dalam topik yang mengacu pada manusia dan persoalan di
sekitarnya.**3


    Pendekatan teologis seperti ini akan lebih mengidentifikasikan
kehadiran Allah secara absolut di dalam dunia, seolah-olah Allah
tidak pernah terpisah jauh melampaui dunia sebagai Pribadi yang
transenden seperti yang diajarkan Alkitab.**4 Keberadaan Allah
sepertinya menyerap atau berbaur di dalam seluruh alam, peristiwa dan
kehidupan manusia. Apa akibat dari pemikiran yang berat sebelah ini?
Akibatnya, manusia mulai meragukan, meninggalkan dan sekaligus
menolak segala sesuatu yang berbau supranatural, mujizat, ajaran
tentang wahyu dan penebusan ilahi yang ajaib. Mengapa? Salah satu
alasan yang utama adalah karena batas pemisah antara wilayah yang
natural dan wilayah yang supranatural telah dihapuskan secara
perlahan-lahan, atau lebih tepat dikatakan bahwa wilayah yang natural
telah "mencaplok" atau telah "membaptis" wilayah supranatural.
Hasilnya, wilayah yang supranatural-sekalipun masih ada dan masih
disebut-sebut dalam diskusi teologi atau dunia kekristenan telah
mendapatkan arti yang baru, yaitu mendapatkan muatan interpretasi
yang berbeda yang diinfuskan ke dalamnya. Keberadaan Allah yang
personal dan hidup seperti yang disaksikan dalam Alkitab digantikan
dengan ungkapan-ungkapan tentang Allah dalam rumusan-rumusan
pengetahuan yang diciptakan manusia dan dalam keindahan moral yang
dibangun menurut standar manusia.


    Apabila kecenderungan ini berlangsung terus-menerus dan semakin
menguat, dunia teologi akan memasuki suatu suasana di mana manusia
sadar atau tidak sadar semakin kehilangan sisi transendensi, yaitu
konsep tentang adanya Allah yang berada di luar, di atas dan
melampaui keberadaan manusia. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi
jikalau kita hendak membangun teologi Kristen yang sehat dan
bertanggung jawab. Teologi yang sehat dan bertanggung jawab itu
semestinya seimbang dalam menekankan konsep transendensi dan konsep
immanensi. Tidak boleh berat sebelah, apalagi saling meniadakan. Bila
teologi kehilangan sisi berat sebelah, teologi bukan hanya
"bergerilya" dan kemudian tersesat, tetapi teologi juga akan
kehilangan relevansi dan konteks. Kehilangan relevansi, maksudnya ia
(teologi) masih dibicarakan bahkan dirumuskan di sana-sini tetapi ia
sama sekali terpisah dan tidak mengacu lagi pada realita tentang
Allah yang hidup itu seperti yang diberitakan dalam Alkitab.
Kehilangan konteks, maksudnya, sekalipun ia justru semakin mengena
dalam lingkup persoalan manusia, tetapi teologi menjadi semakin jauh
dari garis besar haluan kerajaan Allah dan kebenaran firman Allah.


KECENDERUNGAN KEDUA: TEOLOGI AKAN DIWARNAI OLEH SEMANGAT YANG SEMAKIN
KUAT UNTUK MENSINTESISKAN LINGKUP SAKRAL DAN LINGKUP SEKULAR
	
    Hampir sama dengan kecenderungan pertama, pada butir ini manusia
secara eksplisit melihat realita hanya pada satu lapisan saja yakni
dunia ini saja. Jikalau pada Karl Barth orang masih melihat adanya
perbandingan Creator-creature, eternity-time, atau infinite
quality-finite quality dengan penekanan yang kuat pada aspek
transendensi, maka yang mencuat pada kecenderungan ini adalah
sebaliknya, yaitu penekanan hanya pada aspek creature, time, finite
quality. Apa arti semua ini? Artinya sama saja dengan menolak segala
sesuatu yang berciri ilahi dan hukum moralitas yang teosentris.
Prinsip uniformitas ini mengakibatkan manusia mengesampingkan segala
yang unik dan normatif dalam kekristenan sekalipun semua fakta telah
tercatat dalam sejarah dan peristiwa yang nyata dialami manusia.


    Sebagai konsekuensinya, manusia akan memasuki suatu suasana dengan
paradigma atau model yang sama sekali baru dalam pendekatan teologi,
yaitu manusia betul-betul menampakkan ciri yang otonom dan terlepas
dari otoritas manapun.**5 Dari satu sudut dapat dikatakan paradigma ini
sudah dimulai oleh J.A.T. Robinson**6 atau  Harvey Cox**7 dan
"keponakan-keponakan "-nya dalam death-of-God theology
movement(seperti misalnya Gabriel Vahanian,Thomas Altizer,Paul van
Buren,William Hamilton). Mereka berpegang pada sejenis prinsip
naturalisme radikal yang terang-terangan menegaskan bahwa segala
sesuatu (termasuk teologi atau iman Kristen) harus berselaraskan
dengan gejala alam dan dengan demikian terbatas dalam lingkup alam.
Bukan hanya itu saja. Mereka merasa mendapatkan "darah segar" atau
dukungan bagi posisi otonom tersebut dari tulisan Dietrich
Bonhoeffer.**8 Padahal yang terjadi adalah mereka salah menafsirkan dan
bahkan mendistorsikan**9 maksud dari Bonhoeffer, karena ia memang tidak
bermaksud mengajukan dirinya sebagai perintis atau perancang teologi
Allah mati, apalagi supaya manusia menjadi otonom dan menggantikan
Allah.**10


    Semangat untuk mensistesiskan lingkup sakral dan sekuler ini
sedikit berbeda dengan semangat sekularisme. Bila sekularisme
merupakan semangat manusia yang membatasi segala realita dari dan
pada dunia ini serta dalam prosesnya cenderung menyangkali adanya
realita yang transenden diluar dunia ini,**11 maka semangat sintesis di
atas mengakui adanya realita yang transenden tersebut tetapi realita
itu dileburkan ke dalam lingkup yang sekuler. Bila dalam semangat
sekularisme segala unsur otoritas keagamaan hanya berusaha direduksi
atau "dikavling" eksistensinya, maka semangat sintesis  di atas akan
"memakan habis" untuk otoritas keagamaan tersebut sehingga
eksistensinya seolah-olah tidak ada lagi.  Sintesis seperti ini
dikata hasilnya akan lebih parah dari pada semangat lainya seperti
pragmatisme,induvidualisme, atau pun humanisme.**12


    Sebenarnya baik lingkup sakral maupun lingkup sekuler perlu
dimengerti secara benar dan seimbang. Lingkup sekuler jangan dijauhi
atau di-anathema-kan oleh orang percaya karena lingkup itu pada
mulanya adalah dunia ciptaan Allah seberapa pun bobrok keadaannya
pada saat ini. Allah yang berada pada lingkup sakral perlu dihadirkan
dalam dunia ini dalam batas tertentu melalui kesaksian iman orang
percaya. Tetapi dalam hal ini tidak berarti kedua lingkup tersebut
dapat secara mudah disatukan secara integral sehingga tidak ada lagi
ketegangan antara keduanya. Ketegangan antara keduanya tetap akan ada
selama orang percaya menyaksikan keberadaan dan keselamatan Allah
dalam dunia. Mengapa? Karena dunia akan selalu berada dan dipengaruhi
oleh sistem yang bertentangan dengan Allah; sedangkan orang percaya
harus selalu memproklamirkan keberadaan Allah yang ditentang oleh
dunia.


    Barangkali untuk memahami hal ini perlu dipinjam pola
penyelesaian yang pernah diusulkan oleh H.Richard Niebuhr. Melalui
pemaparannya tentang Kristus/Injil dan kebudayaan, Niebuhr
seakan-akan hendak mengatakan bahwa seseorang tidak boleh
mengkutubkan atau mendikotomikan kedua lingkup tersebut. Artinya,
jangan mengambil salah satu lingkup dan memusuhi yang lain. Kedua
lingkup tersebut harus dipahami dan diterima dalam satu hubungan yang
paradoks.**13 Maksudnya, sekalipun antara keduanya kelihatan seakan
berkontradiksi, orang Kristen harus mengupayakan suatu sikap
penerimaan terhadap orang Kristen harus mengupayakan suatu sikap
penerimaan terhadap dunia/kebudayaan melalui cara yang akomodatif,
korelatif dan relevan. Tetapi, sekalipun upaya penerimaan itu sudah
dilakukan, tidak berarti ketegangan antara lingkup spiritual/sakral
dan lingkup temporal/sekural akan lenyap seketika. Ketegangan
tersebut akan berlanjut terus dalam suatu suasana yang ambigu, yaitu
suasana yang paradoks di mana orang percaya mau tidak mau harus hidup
dengan seimbang antara mengabdi kepada Kristus (yang mewakili lingkup
sakral) dan menjadi garam bagi dunia (lingkup sekuler). Hanya dengan
cara demikian orang Kristen dapat mengadakan transformasi yang
kreatif dalam dunia sekaligus mengadakan introspeksi terhadap
pendirian teologinya.


KECENDERUNGAN KETIGA: TEOLOGI AKAN MELANJUTKAN SUBJEKTIVISME
EKSISTENSIALISME


    Eksistensialisme adalah usaha untuk membangun sistem filsafat
yang berangkat dari titik tolak manusia sebagai pembuat dan penentu
atas pemikiran dan segala sesuatu yang beredar dalam lingkaran
kehidupan ini. Pemeluk eksistensialisme percaya bahwa manusia
memiliki kapasitas eksistensi yang potensial dalam kehidupannya.
Melalui karya tulis berupa pemikiran filsafat, novel dan drama, pra
eksistensialis menjabarkan, menjelaskan dan menganalisis eksistensi
manusia dengan amat realitis. Mereka membedah kenyataan hidup ini
yang penuh dengan problema melalui satu penegasan yang berani, yaitu
bahwa manusia adalah pencipta dan penyembuh bagi dirinya sendiri.
Oleh sebab itu manusia modern yang hidup  dalam dunia sekular harus
berani berhadapan dan mengatasi ketakutan terhadap diri sendiri,
orang lain, maupun ketakutan terhadap kematian. Selain itu manusia
juga didorong untuk berani menghadapi setiap jenis keterbatasan,
perasaan bersalah, kekuatiran, yang kesemuanya itu hanyalah merupakan
bentuk dari inauthentic existence. Sebagai hasilnya, para
eksistensialis umumnya menolak keberadaan Allah dan ciptaan-Nya dan
menolak Alkitab sebagai firman Allah.**14


    Sepanjang berlangsungnya teologi di abad 20, eksistensialisme
telah memiliki pengaruh yang kuat pada teolog bersar seperti Barth,
Tillich dan Bultmann. Apabila kita melihat teologi neo-ortodoks yang
sedemikian kuat pada ketiga tokoh tersebut dan kelihatannya teologi
itu akan terus kuat pada ketiga tokoh tersebut dan kelihatannya
teologi itu akan terus berlanjut di abad 21, maka tidak berlebihan
bila dikatakan bahwa eksistensialisme yang menjadi fondasi teologi
tersebut juga akan terus berlanjut. Barthianisme, misalnya, yang
menekankan dengan optimal konsep wahyu yang dialektis persis seperti
yang pernah dicetuskan oleh pelopornya, Soren Abby Kierkegaard
(1813-1855),**15 akan terus berlanjut seturut dengan semakin disukainya
eksistensialisme model Kierkegaard.


    Dikatakan "disukai" karena Kierkegaard menampilkan suatu bentuk
eksistensialisme yang tidak ateistis tetapi juga tidak ortodoks.
Tidak ateistis, maksudnya, tidak seperti pendirian para
eksistensialis yang belakangan (misalnya, Sartre atau Heidegger) yang
menolak ide tentang adanya Allah Pencipta yang hidup, Kierkegaard
sebaliknya menegaskan eksistensi Allah yang berinkarnasi dalam
Kristus Yesus. Tidak ortodoks, maksudnya, tidak seperti pendirian
teologi ortodoks yang menekankan keseimbangan pengertian antara Allah
yang transenden dan imanen, Kiekegaard secara radikal hanya
menekankan ketransendenan Allah. Menurut Kierkegaard, Allah sama
sekali jauh dan berbeda dengan yang lain khususnya manusia (the
wholly other God). Ia tersembunyi dari kemampuan rasio manusia untuk
mengerti. Mengapa demikian? Karena menurutnya yang namanya kebenaran
akan selalu bersifat impersonal dan tidak dapat dijangkau oleh
pikiran yang terbatas.**16 Artinya, kebenaran tidak bersifat objektif
(yaitu, terbuka dan mudah diselidiki karena fenomenanya dapat
terobservasi oleh banyak pihak), melainkan subjektif (yakni,
tersembunyi dan berlangsung di dalam pikiran individu yang bersifat
personal). Jadi, kebenaran tentang Allah pun bersifat subjektif dan
personal, yakni dimulai dalam situasi tertentu pada kehidupan
seseorang.


    Apa akibat yang riil dari pandangan seperti di atas? Bagi saya,
posisi Kierkegaard tersebut tidak lain merupakan benih munculnya
posisi teologi pascamodern pada permulaan 1960.**17 Seperti halnya
Kierkegaard, inti dari posisi pemikiran para teolog yang terbawa pada
arus pascamodernisme adalah pada umumnya mereka menolak adanya suatu
klaim atau prinsip kebenaran yang universal sifatnya.**18 Apabila pada
zaman Pencerahan (Enlightenment) orang menyerang dan menolak
kekristenan karena dianggap berseberangan dengan penemuan-penemuan
baru di bidang sains (misalnya, teori Copernicus), maka pada periode
pascamodern orang menyerang dan menolak keristenan hanya karena klaim
kebenaran objektif yang ada di dalamnya.**19 Dengan perkataan lain,
manusia pascamodern tidak suka pada prinsip kebenaran yang universal
dan objektif sifatnya. Mengapa demikian? Jawabnya, adalah karena,
seperti Kierkegaard, pendirian teolog pascamodern adalah: truth is
subjectivity. Penekanan kebenaran yang universal dan objektif menurut
mereka bukan hanya tidak masuk di akal tetapi juga berbahaya bagi
perkembangan teologi. Pendirian seperti ini memperlihatkan bahwa
teolog pascamodernisme bahkan lebih eksistensialis dari
eksistensialisme yang dipelopori oleh Kierkegaard. Dengan demikian
semangat eksistensialisme dan pascamodernisme adalah semangat
"saudara sekandung" manusia zaman sekarang yang cenderung menolak
kebenaran yang objektif.


KECENDERUNGAN KEEMPAT:
TEOLOGI AKAN SEMAKIN GENCAR MENGADAPTASI PLURALISME


    Dalam suasana dunia yang serba semakin menyatu dewasa ini fakta
tentang pluralitas kehidupan manusia bukanlah sesuatu yang baru.
Menurut Leslie Newbigin langkah awal untuk memahami keadaan ini
adalah dengan terlebih mengakui adanya pluralitas itu sendiri.

		
    It has become a commonplace to say that we live in a pluralist
    society not merely a society which is in fact plural in the
    variety of cultures, religions and lifestyles which it embraces,
    but pluralist in the sense that this plurality is celebrate as
    things to be approved and cherished.**20


    Demikian pula ketika gereja dalam perjalanan sejarahnya harus
berhadapan dengan masyarakat yang pluralis dimana-mana, mau tak mau
realita pluralitas iman sebagai sebuah fakta kehidupan harus diakui
dan diterima. Sebagai contoh, ketika umat Kristen mula-mula melakukan
pekabaran Injil, mereka melakukannya di tengah dunia pluralis dengan
lingkaran konteks masyarakat Yudaisme, Hellenisme, paganisme Romawi,**21
bahkan sampai melebar ke daerah sebelah tenggara India dengan
didirikannya gereja Mar Thoma. Data ini memberi indikasi bahwa gereja
mula-mula telah menyadari dan mereka benar-benar berhadapan dengan
pluralitas budaya dan pluralitas keyakinan yang ada pada waktu itu.


    Namun demikian dalam konteks pembahasan subtopik ini, istilah
"pluralisme" mengandung pengertian yang lebih mendalam bagi
masyarakat dunia sekarang. Plurlisme bukan hanya diartikan sekedar
menjamurnya kepelbagaian iman, suku, ras dan nilai-nilai yang berbeda
yang harus diakui keberagamannya; pluralisme ternyata telah memiliki
muatan filsafatis di mana masyarakat dunia didorong (atau lebih tepat
terdorong) untuk meninggikan nilai toleransi dengan mengakui bahwa
masing-masing keyakinan yang berbeda-beda mempunyai nilai kebenaran
tersendiri. Akibatnya, tidak boleh ada satu keyakinan iman yang dapat
mengklaim adanya kebenaran yang absolut di tengah kepelbagaian
tersebut.**22


    Pendekatan radikal seperti di atas sebenarnya telah ada dalam
pembicaraan teologi abad 19 atau awal abad 20. Sebagai contoh, Ernst
Troeltsch**23 yang hidup di Jerman antara 1865-1923 adalah seorang teolog
yang boleh dikata sangat memberi inspirasi bagi perkembangan teologi
kekinian yang berbicara tentang pluralisme. Melalui tulisannya ia
mengembangkan intisari konsep mengenai teologi ke dalam beberapa
pendekatan. Pertama,pendekatan kritisisme, yaitu keyakinan bahwa
pertimbangan atau keputusan pada waktu seseorang memikirkan tentang
sejarah masa lalu ia harus melakukannya dengan pendekatan benar atau
salah. Maksudnya,tidak ada penelitian sejarah yang dapat menetapkan
segala sesuatu melampaui garis yang disebut garis probabilitas. Yang
dapat terjadi secara maksimal adalah suatu probabilitas yang lebih
besat atau yang lebih kecil, tetapi itu adalah tetap probabilitas
bukan keabsokutisan. Penelitian sejarah itu sendiri harus selalu
terbuka untuk mengalami kritik demi kritik,serta perubahan demi
perubahan. Dengan demikian,setiap penelitian dan interpretasi sejarah
tidak akan pernah mencapai titik persetujuan yang universal. Demikian
pula semua kesimpulan yang pernah dibuat dalam penelitian sejarah
atau yang akan dibuat,adalah bersifat tentatif atau sementara dan
harus terbuka untuk mengalami revisi di bawah penelitian-penelitian
atau bukti-bukti baru.


    Kedua, pendekatan analogi,yaitu pendekatan-pendekatan yang
berdasarkan pada keyakinan akan garis probabilitas di atas di mana ia
melihat bahwa pengalaman yang dialami sekarang inipun secara radikal
tidak berbeda dari pengalaman orang-orang di masa lampau. Alasannya,
sejarah keagamaan yang ada di mana-mana selalu berada pada saru garis
lurus yang sama. Sebagai akibatnya, semua doktrin atau ajaran yang
paling esensial dalam kekristenan pun pasti memiliki padanan atau
analoginya di dalam agama-agama lain, artinya vis-a-vis berbanding
lurus, berelasi dengan agama lain.


    Ketiga, pendekatan korelasi, yaitu keyakinan Troeltsch bahwa
fenomena dari kehidupan sejarah manusia  dapat dikatakan memiliki
relasi dan interdependensi satu dengan yang lainnya, sehingga tidak
ada perubahan radikal yang berlangsung pada titik sejarah tanpa
memberikan efek perubahan pada sejarah manusia di sekitarnya. Dengan
demikian, dalam rangka menjelaskan tentang sejarah (termasuk sejarah
iman atau keagamaan),seseorang juga harus menjelaskan tentang sejarah
yang berlangsung sebelum dan sesudahnya beserta dengan segala
terisolasi dari ruang dan waktu yang terkondisi oleh sejarah di
sekitarnya.


    Keempat, pendekatan universalisme, yaitu pendekatan yang
menekankan kasih kepada sesama manusia selain kasih kepada Allah.
Kasih kepada manusia adalah esensial karena hal itu adalah suatu
pemikiran yang mengandung unsur revolusioner dan bersifat murni
keagamaan. Yang dimaksud dengan revolusioner adalah bahwa kasih
kepada manusia akan secara universal merembes ke dalam masyarakat
serta mempengaruhi kehidupan komunitas manusia,kebudayaan,bahkan
keluarga, yaitu unit terkecil di populasi. Karena konsep universal
yang satu inilah, kekristenan menjadi satu agama yang berbeda dan
tidak terlampaui oleh misalnya  Stoisisme dalam dasar pemikirannya,
pendekatannya serta hasil yang dicapainya. Walaupun demikian
kekristenan harus mengakui adanya kemungkinan timbulnya kasih yang
universal itu di antara keyakinan iman yang lain.


    Kelima, pendekatan akomodasi,yaitu upaya adaptasi dan kompromi
yang dilakukan oleh gereja sepanjang sejarah mula-mula sampai hari
ini.  Tipologi gereja (church type) yang dimaksud adalah satu jenis
adaptasi yang selalu dilakukan oleh gereja dalam rangka menyesuaikan
keberadaan dan misinya di dalam dunia. Menurut Troektsch, tipologi
gereja yang melakukan akomodasi terindentifikasikan pada ajaran dan
misiologi dari rasul Paulus.  Gereja dalam tipologi ini walaupun
berada pada posisi konservatif dalam hal etika sosial, namun demikian
gereja yang diwakili mulai dari rasul Paulus ini senantiasa menerima
atau merangkul sebanyak mungkin strata-strata sosial yang sekuler.
Menurutnya, Gereja Roma Katolik adalah contoh dari tipologi ini,
yaitu gereja yang selalu konsisten dalam melakukan akomodasi.
Sedangkan Gereja Protestan gagal mengembangkan pola akomodasi yang
sama.**24


    Dalam konteks pemikiran Troeltsch demikian, semangat yang
mewarnai teologi di masa mendatang agaknya masih sedikit banyak
tertumpu pada dasat tersebut. Misalnya, ketika teologi Kristen
menghadirkan ajaran tentang finalitas atau inkarnasi Kristus dalam
lingkup kristologi, cukup banyak teolog di masa kini baik yang modern
atau pascamodern yang mempermasalahkannya. Sebagai contoh, menurut
Wilfred Cantwell Smith, seorang teolog terkemuka dari Harvard, ajaran
mengenai finalitas Kristus hanya dianggap benar bagi orang yang
menerimanya secara pribadi.**25 Benar bagi anda, tetapi tentu tidak
demikian bagi saya. Maka bagi Smith hanya melalui pendekatan
subjektif inilah, yaitu mengakui adanya analogi iman di antara
agama-agama, kekristenan dapat menjadi relevan dan beradaptasi dengan
keyakinan iman lainnya tanpa harus menegaskan unsur yang sifatnya
absolut yang akhirnya hanya melahirkan konflik.


    Teolog lain yang berpendirian sama seperti di atas adalah John
Hick. Selain menolah klaim yang eksklusif berkenaan dengan finalitas
Kristus, Hick mengajukan sebuah bentuk pemahaman yang baru yang
diyakininya mengena bagi semua agama, yaitu bahwa manusia harus
menerima konsep adanya "The Eternal One" atau "The Real" yang tidak
lain adalah "Allah" sebagai pusat dari semua kesadaran beragama.
Dengan membentuk dan mengakui tataran baru tersebut, semua
agama--yang walaupun berbeda pada segi gambaran dan pengenalan
ilahinya--harus melakukan refleksi dan mengacu pada "The Eternal
One."**26 Dari sini semakin jelas terjadi pergeseran paradigma dari
kristosentrisme kepada teosentrisme, dari pembicaraan yang berpusat
pada Kristus kepada "Allah" dari semua agama.**27


    Pendekatan model ini yang disukai oleh tokoh pluralisme lain yang
bernama Paul Knitter, seorang teolog dari kalangan Katolik Roma.
Menurutnya, kepercayaan akan finalitas dan normativitas Kristus yang
merupakan pemberitaan esensial orang Kristen harus ditinggalkan.**28
Alasannya, orang yang berpegang pada keyakinan pluralisme hanya dapat
bertumpu pada "a theo-centric theology of religions, based on a
theocentric, nonnormative reinterpretation of the uniqueness of Jesus
Christ."**29 Dengan perkataan lain pendirian eksklusif yang seringkali
dijumpai ada pada kalangan injili harus ditinggalkan, karena "new
perception of religious is pushing our cultural consciousness toward
the simple but profound insight that there is no one and only way."**30


    Di kalangan kaum pluralis ada satu keyakinan bahwa Yesus Kristus
sendiri tidak pernah memberikan penegasan mengenai keunikan dan
finalitas tentang diri-Nya; Ia tidak pernah mengklaim diri-Nya
sebagai Allah. Yang membesar-besarkan ajaran tersebut sebenarnya
hanyalah para rasul yang mengkotbahkan suatu jenis kristologi yang
Yesus sendiri tidak pernah ajarkan. Apa yang justru dapat dipelajari
dari Yesus adalah Ia membawakan suatu injil bukan tentang diri-Nya,
melainkan tentang Allah Bapa yang mengasihi semua manusia. Jadi,
tekanannya adalah pada suatu paradigma Kristen yang teosentris bukan
kristosentris.**31 Posisi yang demikianlah yang dengan bangga disebut
oleh John Hick sebagai sebuah "Revolusi Copernicus" dalam kristologi,
yaitu suatu pergeseran yang drastis dan berani dari pandangan Kristen
tradisional yang terfokus pada Kristus memasuki suatu jenis
perspektif yang berpusat pada Allah. Alhasil, kekristenan yang
tadinya ada di tengah lingkaran sebagai pusat dan agama lain
mengintari lingkaran, sekarang telah digeser menjadi: kekristenan
bersama-sama agama lain mengintari lingkaran di mana yang berperan
sebagai pusat adalah Allah.**32


    Dengan posisi pandangan seperti di atas, dapatkah teologi yang
dibangun oleh para tokoh pluralisme tetap dianggap sebagai teologi
yang selaras dengan dasar iman Kristen? Jawabnya adalah jelas tidak.
Menurut Alister E. McGrat,

		
    Pluralism...possesses a certain tendency to self-destruction ...
    Pluralism is fatally vulnerable to the charge that it reaches an
    accommodation between Christianity and other religions traditions
    by wilfully discarding every distinctive Christian doctrine
    traditionally regarded as identity-giving and
    identity-preserving... The "Christianity" that is declared to be
    homogeneous with all other "higher religions" would not be
    recognizable as such to most of its adherents. It would be a
    theologically, Christologically and soteriologically reduced
    version of the real thing.**33


Dengan perkataan lain, tindakan melakukan akomodasi dan reduksi
terhadap iman Kristen demi untuk dialog dan toleransi terhadap agama
lain telah menyebabkan kaum pluralis menjual murah dasar iman Kristen
serta sekaligus membentuk sejenis teologi yang asing bagi orang
Kristen sendiri. Apakah ini harga yang harus dibayar untuk yang
namanya "keterbukaan" dan "relevansi" iman? Rasanya terlalu
"dilelang" murah nilai iman Kristen itu sendiri.


PENUTUP

    Di dalam artikel ini penulis telah mencoba memberikan sedikit
gambaran peta pengaruh teologi di masa lampau (segi retrospektif)
serta kemungkinan arah bergeraknya kecenderungan perkembangan teologi
di masa mendatang (segi prospektif). Apa yang telah dipaparkan
tersebut dapat terjadi seluruhnya atau barangkali hanya sebagian
saja. Tetapi sebagai seorang pengamat teologi dan pengajar, penulis
melihat suatu kenyataan saat ini yang belum tentu terlalu enak untuk
dikatakan di sini: Gereja sepertinya belum siap menghadapi laju
perkembangan dunia yang semakin jauh dari kehendak Tuhan dan
firman-Nya. Sebagian orang Kristen justru terlihat terlalu sibuk
dengan urusan sekular, bahkan larut dan menjadi serupa dengan dunia
ini yang telah memiliki pola berpikir yang jauh berbeda dengan pola
berpikir kerajaan Allah. Sebagian lagi larut di dalam pesta pentas
kehidupan rohani yang seolah terpisah dari dunia dan sekaligus tidak
ada waktu lagi untuk memandang keluar untuk membedakan dan menguji
mana "Roh kebenaran" dan mana "roh yang menyesatkan" yang ada dalam
dunia ini (1Yoh 4:6).


    Akibatnya, orang Kristen awam akan terbawa dalam arus dan
gelombang sekular tersebut dan mulai meragukan posisi teologi
ortodoks yang telah berlangsung selama berabad-abad. Tetapi hal ini
tidak boleh berlangsung terus menerus. Kita harus menutup abad 20 ini
tidak seperti ketika teologi liberalisme memulainya, yaitu mengisi
tahun-tahun kehidupan gereja dengan kegelapan karena tidak ada firman
Tuhan di sana. Maka yang terpenting sekarang adalah gereja dan orang
Kristen harus sungguh-sungguh menjelang millenium yang baru berusaha
mengerti kecenderungan yang berkembang pada zaman ini, menyadari arah
berubahnya teologi dan menyiapkan cara-cara untuk menghadapinya agar
iman Kristen yang unik itu tetap dapat disampaikan secara efektif dan
produktif bagi zaman ini.


Catatan Kaki (**):

Abad ialah masa seratus tahun, yaitu dari tahun satu hingga
seratus, sehingga abad pertama mulai pada hari pertama tahun
1 sampai ke hari terahir tahun 100. Abad 20 Masehi berarti
dimulai pada 1 Januari 1901 dan akan berakhir pada 31 dan akan
berakhir pada 31 Desember 2000. Dengan demikian awal abad 21 baru
mulai pada 1 Januari 2001 dan tidak pada tahun 2000. Hal ini juga
berarti masa tahun 1 hingga tahun 1000 adalah masa satu millenium
atau millennium pertama, dan tahun 1001 hingga 2000 adalah masa
satu millenium atau millenium kedua, dan tahun 2001 hingga tahun
3000 nanti (kalau ada yang masih bisa hidup sampai waktu itu)
adalah juga masa satu millennium atau millenium ketiga.

Bdk. apa yang pernah terjadi dalam perkembangan pemikiran
teknologi karya: H. Berkhot, Two Hundred Years of Theology:
Report of a Personal Journey (Grand Rapids: Eerdmans, 1989), G.C.
Berkouwer, A Half Century of Theology: Movements and Motives
(Grand Rapids: Eerdmans, 1979).


Itulah sebabnya dari satu sisi C.S. Song tidak dapat terlalu
disalahkan ketika ia mengumandangkan bahasa "Theo-logy must be
anthro-pology" (Tell Us Our Names: Story Theology from an Asian
Perspective [Maryknoll: Orbis, 1984] 37). Tetapi persoalannya:
Dapatkah teologi secara radikal dikonversikan menjadi
anthropologi?


Alkitab justru secara seimbang mengajarkan keberadaan Allah yang
transenden (mis. 1Raj 8:23; Yes 6:1; Pkh 5:2) tetapi juga yang
sekaligus immanen (1Raj 8:11; Kis 17:27-28).


Bdk. Klaas Runia, "The Challenge of the Modern World to the
Chruch," Evangelical Review of Theology 18/4 (October 1994)
304-305.


Melalui karyanya yang terkenal Honest to God (Philadelphia:
Westminster, 1963).


Bukunya yang terkenal The Secular City (New York: Macmillan,
1965).


Dalam karyanya Letters and Papers from Prison (London: Collins,
Fontana Books, 1953), Bonhoeffer memang menuliskan bahwa dunia
dan manusia akan memasuki zaman yang baru di mana manusia akan
mendapatkan suatu bentuk kekristenan yang lepas dari
"cengkraman" sekat keagamaan (religionless Christianity). Bukan
itu saja, dunia juga akan memasuki masa absennya Allah (the world
without God). Kebanyakan teolog merasakan adanya hal yang belum
jelas tentang apa yang dimaksudkan oleh Bonhoeffer. Paling banter
yang dapat dikatakan adalah bahwa ia hanya menyediakan
terminologi yang rupanya amat digemari oleh teolog ekstrim waktu
itu.


Dalam bahasa Carl F.H. Henry, Bonhoeffer tidak pernah memaksudkan
tulisannya sebagai suatu "prolegomenon to religious positivism
("Where is Modern Theology Going?," Bulletin of the Evangelical
Theological Society 11/1 [Winter 1968] 4; bdk. Georg Huntemann,
The Other Bonhoeffer: An Evangelical Reasessment of Dietrich
Bonhoeffer [Grand Rapids: Baker, 1993] 161).


Majalah TIME edisi Januari 1998 dalam rubrik Science melaporkan
berita tentang seorang ahli fisika yang eksentrik, Richard Seed,
yang berniat membuka sebuah klinik khusus untuk meng-clone atau
menggandakan manusia di Chicago, Amerika Serikat. Ia berkata:
"God made man in his own image....God intended for man to become
one with God. Cloning...is the first serious step in becoming one
with God" (h. 32). Semangat otonom seperti ini lambat laun juga
akan terus merambah dunia teologi.


Lih. pandangan Wolfhart Pannenberg, "How to Think About
Secularism," First Things 64 (June-July 1996) 27-32.


Misalnya, seburuk-buruknya humanisme sekular yang dianut oleh
Julian Huxley, ia masih kadang-kadang mengakui bahwa posisinya
adalah agnostik tentang keberadaan Allah, yang artinya dia tidak
tahu ada tidaknya Allah. Ia mengaku bahwa dibutuhkan sejenis
"iman" untuk membangun kepercayaan tentang Allah yang baginya
tidak mungkin dijangkau manusia (Religion Without Revalition [New
York: Mentor 1957] 16, 18). Masalah yang utama bagi Huxley
adalah ia tidak mau percaya dan sekaligus bersikap agnostik yang
sama saja dengan menyangkali kemampuan dirinya atau orang lain
untuk mengetahui keberadaan Allah itu (h. 19).


Christ and Culture (New York: Happer Torchbooks, 1951) 149 dst.
Pada subjudul aslinya Niebuhr memberi tema "Christ and Culture in
Paradox."


Lih. F. H. Klooster, "Revelation and Scripture in existentialist
Theology" dalam Challenges to Inerrancy: A Theological Response
(ed. G. R. Lewis & B. Demarest; Chicago; Moody, 1984) 178-179.


Walaupun terdapat tokoh eksistensialis lain yang cukup terkenal
(seperti Martin Heidegger, Friedrich Nietzche, Fedor Dostoevsky,
Karl Jaspers, Albert Camus dan Jean Paul Sartre), Kierkegraad
tetap masih dianggap sebagai perintis di abad 19.


Colin brown, Philosophy and the Christian Faith (London: Tyndale,
1968) 128.


Menurut Carl F.H. Henry, istilah postmodernis pertama kali
dipergunakan oleh John Cobb pada tahun 1964; kemudian penggunaan
istilah itu diikuti oleh Jacques Derrida, Richard Rorty, Michael
Foucalt, Stanley Fish, David Tracy, George Lindbeck of
Postmodernism: An Evangelical Engagement [ed. D. S. Dockery;
Wheaton: BridgePoint, 1995] 35).


Bdk. Charles Colson dan Nancy Pearcey, "Poster Boy for
Postmodernism," Christianity Today 42/13 (November 16, 1998) 120.


Bila ada yang bertanya: Bagaimana caranya mereka menolak
kebenaran yang objektif itu, maka jawabnya adalah dengan
mengembangkan tradisi interpretasi terhadap cerita yang bersifat
lokal atau naratif. Validitas yang dibangun adalah validitas
interpretasi yang terbatas dan subjektif. Karena sifatnya yang
terbatas dan subjektif, maka interpretasi terhadap naratif yang
berasal dari manapun tidak boleh dimutlakkan, termasuk semua
cerita yang ada dalam Alkitab.


The Gospel in a Pluralist Society (Grand Rapids: Eerdmans, 1989).
1. Karena pelayanannya melayani sebagai missionaris di India
selama hampir 40 tahun, rasanya cukup tepat bagi Newbigin untuk
memaparkan sekelumit masalah perjumpaan iman Kristen ketika
berhadapan dengan masyarakat pluralis dalam konteks pelayanannya
di sana.


Untuk mempelajari bagaimana bapa-bapa gereja menghadapi peganisme
Romawi, lihat R. L. Wilken, "Religious Pluralism and Early
Christian Theology," Interpretation 40/4 (October 1986) 379-391.


D. A. Carson, "Christian Witness in an Age of Pluralism" dalam
God and Culture: Essays in Honor of Carl F. H. Henry (ed. D. A.
Carson & J. Woodbridge; Grand Rapids; Eerdmans, 1993). 33


Sebenarnya Troeltsch adalah seorang filsuf dan ahli teori ilmu
sosial. Ia pernah mengecap pendidikan di Erlangen, Berlin dan
Gottingen, ia belajar di bawah bimbingan Albrecht Titschl, salah
seorang tokoh teologi liberalisme. Dalam karirnya ia menjadi
profesor di Universitas Heidelberg pada usia yang masih amat
muda, yaitu 29 tahun. Ia juga adalah seorang ahli politik serta
memiliki pandangan teologi yang tidak jauh berbeda dari gurunya,
yaitu teologi liberalisme.


Lih. Ernst Troeltsch, The Social Teaching of the Christian
Churches (2 vols. ET; Chicago: University of Chicago, Press,
1960) 61-68, 328-343.


"A Human View of Truth" dalam Truth and Dialogue in World
Religons: Conflicting Truth-Claims (ed. J. Hick; Philadelphia:
Westminster, 1974) 35; bdk. tulisan Smith yang lain: The Meaning
and End of Religion (New York: Harper and Row, 1978) 322 dan
Questions of Religious Truth (London: V. Gollancz, 1967). 67-68.


God Has Many Names (Philadelphia: Westminster, 1982) 36. Sama
seperti Hick, menurut J. Dupuis: "If Christianity sincerely seeks
a dialogue with other religious traditions--which it can only
seek on a footing of equality--it must first of al renounce any
claim to uniqueness for the person and work  of Jesus Christ as a
universal constitutive element of salvation" (Jesus Christ at the
Encounter of World Religions [Faith Meet Faith Series; Maryknoll:
Orbis, 1991] 106).


Hal inilah yang diamati oleh John Sanders yang terjadi pada para
penganut pluralisme. Menurutnya: "Radical pluralists do not
believe that Christianity is the one true or even highest
religion in which the other major religions find their
fulfillment; they believe that all religions are valid and none
may truthfully claim supremacy. They urge Christians to move
from a Christ-centered faith that excludes other people to a
God-centered faith that includes other by claiming that all
religions are acceptable. It is not enough, say pluralists, to
say all people will be saved in the lifeboat of Christ; we need
to affirm that all people already have their own lifeboat and
don't need another one" (No Other Name: An Invetigation into the
Destiny of the Destiny of the Univangelized [Grand Rapids:
Eerdmans, 1992] 115-116).


No other Name?: A Critical Survey of Christian Attitudes Toward
the World Religions (Maryknoll: orbis, 1986) 143.


Ibid. 200.


Ibid. 5 [penegasan ada pada tulisan aslinya]. Jikalau kita
bertanya: Bagaimana bangsa-bangsa lain diselamatkan? Knitter akan
menjawab: "The universal possibility of salvation was clearly
recognized but especially during the first half of twentieth
century Catholic theologians came up with ingenious concepts to
include within the church all traces of salvation outside it;
saved non-Christians belonged to the 'soul' of the church; they
members 'imperfectially,' 'potentially (h. 123).


S. W. Ariarajah, The Bible and People of Other Faiths (Geneva:
WCC, 1985) 21-31. Lih. juga pendapat dari penulis yang sama dalam
"Religious Plurality and Its Challenge to Christian Theology,"
Perspectives 5/2 (February 1990) 9.


God and the Universe of Faith (London: Collins, 1977) 131.


"The Christian Chruch's Response to Pluralism," Journal of the
Evangelical Teological Society 35/4 (December 1992) 489.


Sumber:
Judul     : Jurnal Teologi dan Pelayanan "Veritas"
Volume    : I No. 1 (April 2000)
Halaman   : 3 - 17, 115 - 121
Penulis   : Daniel Lukas Lukito
Penerbit  : Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT)

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org