Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/54

e-Reformed edisi 54 (20-9-2004)

Disiplin atau Rutinitas?

Dear e-Reformed Netters,

Beberapa bulan terakhir ini, waktu saya habis untuk memikirkan tentang
pembangunan kantor Yayasan Lembaga SABDA <http://www.sabda.org/ylsa/>,
yayasan yang saya bersama rekan-rekan pelayan lain terlibat dalam
pelayanan. Saya menjadi sangat capai, khususnya secara mental dan
fisik. Ketika jam sudah menunjukkan saya harus tidur, karena sudah
larut, maka badan saya rasanya sudah sedikit "mati rasa". Begitu badan
terhempas ke tempat tidur, pikiran sudah tidak ingat apa-apa sampai
keesokan harinya. Karena berhari-hari demikian, maka badan "complain"
dan "menagih" untuk mendapat "proper treatment". Badan saya mulai
merasa tidak "fit" (segar), karena tenaga selalu terkuras habis,
bahkan lebih dari yang saya miliki. Mulailah saya menerapkan "disiplin
ekstra makan yang bergizi", karena saya tidak mau sakit. Hasilnya
cukup lumayan, sampai hari ini saya masih hidup dan tidak sakit
(meskipun capai terus).

Ternyata hal ini juga terjadi dengan kondisi kerohanian saya.
Kerohanian saya mulai "capai" karena terkuras oleh banyaknya hal,
khususnya kekuatiran dalam hal dana dan "accountability" terhadap
Tuhan yang harus terus saya perjuangkan. Maka saya pun mulai
menerapkan hal yang sama untuk kebutuhan rohani saya, yaitu "disiplin
ektra makan yang bergizi". Saya teringat dengan banyak nasehat dari
hamba Tuhan yang setia kepada Tuhan, "semakin sibuk dan banyak
masalah, semakin banyak waktu untuk berdoa." Nah, mulailah saya
melakukan disiplin untuk lebih banyak berdoa, berserah kepada Tuhan,
merenung dan berdiam diri dengan Dia, (bahkan suami berpuasa).
Hasilnya sangat luar biasa, secara rohani saya terus disegarkan,
sehingga saya terus memuji Tuhan (meskipun masalah masih terus datang
silih berganti).

Kisah saya di atas tentu ada hubungannya dengan artikel yang saya
bagikan pada Anda di bawah ini (meskipun terlambat mengirimkannya,
harusnya akhir bulan September, mohon dimaklumi ya). Saya membaca buku
"Disciplines of Grace" beberapa bulan yang lalu (April), dan saya
sangat terkesan dengan uraian penulis, betapa tepatnya ia
menggambarkan tentang perbedaan antara disiplin rohani dan rutinitas
rohani. Sejak itu, saya mencoba untuk terus sadar agar saya tidak
terjebak dengan rutinitas rohani. Saya mendapat banyak berkat. Oleh
karena itu, saya ingin membagikannya pada e-Reformed netters. Terima
kasih banyak untuk Sdr. Joko yang membantu saya menerjemahkan artikel
ini. Tuhan memberkati!

Artikel di bawah ini sebenarnya hanyalah cuplikan dari Bab I (tidak
saya ambil semuanya, hanya bagian yang khusus menguraikan tentang
perbedaan antara disiplin dan rutinitas). Semoga menjadi bahan
renungan yang dapat menggugah semangat Anda dan memperbarui gaya hidup
Anda.


In Christ,
Yulia Oen

======================================================================

  Orang Kristen modern tidak kurang ´relevansinya´ dengan dunia ini.
  Kekurangan mereka adalah kehidupan yang disiplin dan pikiran yang
   kritis untuk melawan pencobaan-pencobaan yang telah mengubahnya
     menjadi seperti yang orang-orang dunia pikirkan dan lakukan.
                             (Simon Chan)

  "Tetapi bertumbuhlah dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan
Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus. Bagi-Nya kemuliaan sekarang
                      dan sampai selama-lamanya.
                            (2Petrus 3:18)


                       DISIPLIN ATAU RUTINITAS?
                       ========================

Ada beberapa perbedaan yang mendasar antara rutinitas dan disiplin.
Meskipun keduanya sangat penting bagi kehidupan, namun keduanya
tidaklah sama. Karena alasan itulah, maka menjaga kedisiplinan agar
tidak berubah menjadi suatu rutinitas sangatlah penting. Hal ini juga
penting dalam kehidupan rohani kita, karena banyak sekali pengikut
Kristus yang telah mengubah anugerah disiplin, yang diberikan Allah
untuk membantu kita bertumbuh di dalam Dia, menjadi aktivitas-
aktivitas rutin yang sama sekali tidak memiliki kuasa untuk mengubah
kehidupan.

RUTINITAS DAN DISIPLIN
----------------------

Rutinitas adalah sesuatu yang kita lakukan untuk menjaga status quo,
seperti menyikat gigi dan bersiap-siap untuk berangkat bekerja,
mengganti oli mobil, mengunci pintu, mematikan lampu sebelum tidur,
mengatur tempat tidur setiap pagi, dan lain-lain. Rutinitas-rutinitas
ini menempati posisi penting dalam kehidupan kita, namun rutinitas-
rutinitas ini tidak mengubah atau meningkatkan apa pun. Rutinitas
hanya menjaga agar kita tetap berada pada tingkat tertentu, sehingga
menolong semua sistem hidup kita berfungsi dengan normal.

Rutinitas tidak membutuhkan banyak usaha keras. Kita tidak perlu
bersusah payah untuk melakukannya. Bahkan, mungkin kita melakukan
rutinitas tanpa kita sadari -- seperti menyetir mobil ke kantor atau
membuang sampah -- tanpa ada energi atau usaha tambahan sama sekali.
Selain itu, rutinitas hanya membutuhkan sedikit pemikiran. Mengerjakan
rutinitas tidak memerlukan perencanaan, tidak membutuhkan pengawasan
yang serius atau evaluasi, dan dilakukan sepanjang waktu tanpa perlu
pemikiran. Malah, ketika kita sedang melakukan rutinitas, kita
menggunakan pikiran kita untuk memikirkan hal-hal lain. Hal ini sama
seperti ketika seseorang mendengarkan radio sambil mempersiapkan diri
untuk berangkat bekerja atau sambil menyetir kendaraan ke kantor.
Rutinitas hanya membutuhkan sedikit waktu dan sedikit ketidaknyamanan,
yang mana sebenarnya kita rela memberikannya karena kita telah
mendapatkan keuntungan dari memeliharanya setiap hari. Rutinitas juga
jarang diubah. Kita setiap hari selalu berangkat kerja melewati jalan-
jalan yang sama, melakukan persiapan kerja dengan mengikuti urutan
yang sama atau membersihkan dapur setelah makan dengan cara yang sama.
Kita tidak merasa perlu untuk mengubah rutinitas, sehingga kita terus
mengikutinya tanpa banyak berpikir atau menyesuaikan diri dari hari ke
hari, dari tahun ke tahun. Rutinitas tersebut baik bagi kita, karena
membuat kita tetap berada pada posisi status quo dalam beragam bidang
kehidupan kita, namun sebenarnya rutinitas tidak membuat kita
berkembang di bidang-bidang kehidupan tersebut.

Sedangkan disiplin berbeda. Disiplin adalah sesuatu yang kita lakukan
dengan tujuan agar terjadi perubahan. Seperti yang dikatakan oleh
Dallas Willard: "Disiplin adalah setiap aktivitas yang ada di bawah
kuasa kita untuk kita lakukan, yang memampukan kita untuk melakukan
apa yang tidak dapat kita lakukan tanpa "usaha terarah". Misalnya,
menurunkan berat badan atau membentuk tubuh (sehingga kita tampil dan
merasa lebih baik dan berumur lebih panjang); atau belajar ketrampilan
baru dalam pekerjaan (sehingga kita bisa mendapatkan promosi atau naik
posisi). Kita tidak bisa membuat diri kita merasa lebih baik, dan kita
tidak bisa mendapatkan promosi atau naik posisi hanya dengan usaha
biasa. Jadi, kita harus melakukan disiplin-disiplin tertentu yang kita
percaya bisa memampukan kita untuk mencapai target yang kita inginkan
tersebut -- hal-hal yang tidak dapat segera kita peroleh hanya dengan
kekuatan biasa saja."

Kedisiplinan bisa menyedot usaha yang besar. Kita memaksa tubuh kita
untuk naik ke level yang lebih tinggi melalui latihan setiap hari;
atau kita meluaskan wawasan pikiran kita ke arah yang baru untuk
memahami prosedur-prosedur baru atau menguasai teknologi baru. Kita
memaksa otak dan tubuh kita untuk melakukan aktivitas yang terfokus
dan sungguh-sungguh untuk mempersiapkan diri menerima peran dan
tanggung jawab baru atau menjalani gaya hidup baru yang diinginkan.
Disiplin yang baik membutuhkan keterlibatan intelektual yang serius --
yaitu membuat rencana, mengawasi kemajuan, mengevaluasi tingkat-
tingkat penguasaan, dan lain sebagainya.

Lebih jauh lagi, disiplin cenderung melibatkan investasi waktu yang
sangat besar. Untuk melakukan disiplin-disiplin tersebut kita harus
mengorbankan aktivitas-aktivitas lain yang mungkin sebenarnya lebih
kita sukai dan kita sungguh-sungguh akan mengkonsentrasikan waktu dan
usaha agar bisa menguasai disiplin-disiplin tersebut karena kita yakin
usaha tersebut dapat memberikan apa yang kita inginkan. Kita harus mau
mengorbankan sesuatu yang kita senangi -- makanan, aktivitas-aktivitas
di waktu luang, atau istirahat -- agar kita dapat mencurahkan waktu
dan usaha yang diperlukan, misalnya untuk membentuk tubuh yang lebih
sehat, menjadi karyawan yang lebih baik, atau menyiapkan diri untuk
memperoleh pekerjaan baru. Disiplin cenderung perlu penyesuaian dari
waktu ke waktu. Ketika kita telah mencapai satu tingkat tertentu atau
penguasaan suatu hal, kita bisa mengubah disiplin-disiplin yang kita
targetkan untuk mendorong kita mencapai tingkat yang lebih tinggi
lagi.

Baik rutinitas maupun kedisiplinan, keduanya sangat penting dalam
hidup kita. Namun, dua hal itu jelas tidak sama. Permasalahan timbul
ketika kita mengizinkan hal yang disiplin menjadi semacam rutinitas
saja. Ketika hal itu terjadi, maka disiplin yang kita terapkan, tidak
hanya tidak menghasilkan apa yang kita inginkan tapi juga membuat
disiplin menjadi sesuatu yang berat, menjengkelkan dan membosankan.
Kita mungkin setia melakukan disiplin tersebut, namun tidak dengan
cara sebagaimana seharusnya disiplin itu dirancang dan tentu saja,
tidak banyak hasil yang diperoleh dari usaha yang kita lakukan itu.

Masalah ini menjadi hal yang serius, khususnya dalam area kehidupan
rohani, yaitu ketika mempraktikkan anugerah disiplin, kita izinkan
menjadi sesuatu yang tidak lebih dari sekedar rutinitas rohani belaka.

Allah memberikan kita anugerah disiplin (disiplin rohani) sebagai cara
untuk menolong kita bertumbuh dalam kasih kepada-Nya dan kepada sesama
kita. Sarana-sarana yang berharga ini -- doa, Firman Tuhan,
penyembahan, waktu sendiri bersama Tuhan (solitude), memberi
persembahan, berpuasa, diam di hadirat Tuhan, dan lain-lain -- membawa
kita masuk ke dalam hadirat-Nya, dengan cara yang tidak bisa
didapatkan hanya dari kegiatan sehari-hari. Disiplin-disiplin ini
akan memampukan kita untuk melihat sekilas kemuliaan-Nya dan masuk ke
dalam kuasa-Nya yang dapat memberi pembaharuan hidup setiap hari dalam
Yesus Kristus. Namun, ketika praktik disiplin rohani diizinkan berubah
menjadi aktivitas-aktivitas rutin saja -- maka disiplin rohani itu
kehilangan kuasanya untuk membawa kita bertatap muka dengan Tuhan
dalam cara-cara yang mentransformasi hidup.

Pada zaman Yesus hidup di dunia, tidak ada kelompok lain yang dikenal
lebih disiplin selain para pemimpin agama Yahudi. Semua orang zaman
itu mengenal mereka sebagai orang yang paling banyak berdoa, paling
mengenal Alkitab, paling setia berpuasa, dan paling sering memberi
sedekah kepada orang miskin. Beberapa diantara mereka sangat sungguh-
sungguh, misalnya Zakharia dan Nikodemus. Namun, sebagian besar
diantara mereka tidaklah demikian. Disiplin-disiplin rohani yang
mereka lakukan tidak mampu mempersiapkan hati mereka untuk menyambut
kedatangan Mesias dan tidak mampu membuat mereka mengenali Yesus saat
Dia muncul di tengah-tengah mereka untuk mengajar dan melakukan hal-
hal yang baik. Praktik disiplin rohani yang mereka lakukan, tidak
membantu mereka bertumbuh dalam kasih, baik kepada Tuhan maupun
sesama. Banyak diantara mereka malah menjadi sombong, serakah,
mengabaikan orang banyak dan sangat melindungi status istimewa mereka
di mata masyarakat. Mereka melihat Yesus sebagai ancaman dan setelah
tiga tahun mengawasinya, maka kemudian mereka bersekongkol
merencanakan pembunuhan terhadap Dia.

Semua disiplin rohani orang-orang Farisi tidak berguna untuk menolong
mereka mengalami kemuliaan Tuhan dan masuk ke dalam anugerah-Nya.
Mereka menjalankan praktik disiplin rohani hanya untuk menjaga status
mereka di masyarakat dan bukan supaya mereka bertumbuh dalam anugerah
dan pengetahuan akan Tuhan. Disiplin rohani mereka telah menjadi
rutinitas, yang hanya memberikan kepuasan diri yang besar dan membuat
status mereka terlindungi di mata orang banyak. Namun, kehidupan
rohani mereka kosong dan tidak mendapatkan persekutuan yang sungguh-
sungguh dengan Tuhan. Mereka telah menjadi "kuburan yang dilabur
putih", seperti yang diamati Yesus -- mereka memuaskan diri sendiri,
membenarkan diri sendiri, bangga terhadap diri sendiri, dan congkak.

Sebelum kehidupan rohani kita berubah ke arah kondisi seperti itu, dan
kita menjadi negatif dan suka menghakimi, kurang mengasihi dan tidak
memiliki semangat untuk hidup dalam iman atau melakukan misi Yesus,
maka kita perlu mempertimbangkan, apakah praktik disiplin rohani kita
benar-benar sesuai dengan yang Tuhan inginkan dan rencanakan.

KONDISI DISIPLIN ROHANI MASA KINI
---------------------------------

Melalui gereja masa kini, kita sangat diberkati dengan berlimpahnya
sumber bahan dan nasihat dan dorongan semangat yang tiada hentinya
untuk menggunakan disiplin rohani bagi kemuliaan Kristus dan kerajaan-
Nya. Tidak pernah ada kekurangan Alkitab dan bahan-bahan pemahaman
Alkitab, kelompok kecil dan persekutuan untuk bersama-sama mempelajari
Firman Tuhan, buku-buku dan konferensi doa, panduan dan juga
kesempatan untuk menyembah atau ajakan untuk berpuasa. Kebanyakan
orang yang saya kenal, yang menyatakan dirinya sebagai pengikut
Kristus, telah melakukan disiplin-disiplin rohani pada tingkat-tingkat
tertentu, meskipun banyak diantara mereka, pada saat yang sama,
mengakui akan ketidakpuasan mereka pada kehidupan rohaninya. Walaupun
demikian, secara keseluruhan, dari tampilan luar, praktik disiplin
rohani tampak hidup dan sepertinya dijalankan dengan baik oleh jemaat
gereja.

Tetapi, pertanyaan yang muncul adalah mengapa gereja kelihatan kurang
kuasa. Mengapa keyakinan alkitabiah memainkan peran yang sangat kecil
dalam membentuk budaya dan memberi arah bagi masyarakat kita? Mengapa
pamor gereja-gereja semakin menurun bila dibandingkan dengan
persentase populasi secara keseluruhan -- tanpa mengabaikan adanya
fenomena gereja-gereja berjemaat besar (megachurch)? Mengapa tingkah
laku, seperti sikap tidak sopan, kasar, dan asusila semakin berkembang
dan ditoleransi oleh masyarakat kita? Mengapa orang percaya secara
umum sangat tertutup mengenai iman mereka? Mengapa kita lebih banyak
mencurahkan tenaga untuk membahas perdebatan-perdebatan sengit tentang
masalah-masalah, seperti cara-cara tertentu dalam penyembahan, peran
wanita dalam gereja, dan tempat budaya pop Kristen dalam kehidupan
orang percaya? Mengapa kita dipandang rendah, bahkan dibenci oleh
mereka dari kalangan elit budaya dan elit sosial dalam masyarakat
kita? Dan mengapa, ketika kita berada di tengah-tengah masyarakat yang
seharusnya menjadi ragi Kerajaan Kristus bagi roti zaman yang penuh
dosa dan sedang sekarat ini, kita malah tidak menampakkan jati diri
kita sebagai warga Kerajaan Surga?

Tidak diragukan, pasti ada banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
di atas, tapi satu dari jawaban tersebut yang saya ambil berdasarkan
observasi saya secara pribadi, termasuk hasil membaca dan studi saya,
membutuhkan penelitian lebih lanjut. Jawaban itu adalah, sebagai
sebuah komunitas, orang percaya tidak mengalami apa yang Allah
inginkan terjadi dalam hidup mereka melalui praktik disiplin-disiplin
rohani yang mereka lakukan. Seperti kutipan kata-kata Simon Chan di
awal artikel ini, orang Kristen modern tidak lagi terlibat dalam
melakukan disiplin rohani atau kalaupun terlibat, keterlibatan mereka
telah menjadi tidak sungguh-sungguh dan tidak bisa menjadi sumber
anugerah dan kemuliaan yang mampu mengubah hidup mereka. Hal ini
mungkin terjadi karena banyak dari mereka yang telah membiarkan
disiplin rohaninya jatuh sebagai rutinitas saja tanpa mereka sadari.
Mereka berdoa, membaca Alkitab, dan rajin beribadah, namun tidak
terjadi apa-apa dalam kehidupan mereka sebagai warga Kerajaan Allah.
Mereka masih terus terikat dengan dosa-dosa yang sama, semakin sulit
mempersembahkan diri dalam pelayanan, menjadi cepat untuk mengkritik
dan menghakimi orang-orang yang tidak sepaham dengan hal-hal rohani
yang mereka percayai, dan enggan berbincang-bincang tentang hal-hal
rohani dengan tetangga-tetangga mereka untuk kepentingan penyebaran
Injil. Tapi pada saat yang sama mereka aktif menjalankan disiplin-
disiplin rohani mereka -- rajin saat teduh, ikut kelompok pemahaman
Alkitab, tekun menghadiri persekutuan -- namun, mereka tidak bertumbuh
dalam anugerah-Nya. Sebaliknya, mereka malah hampir tidak lagi
berusaha kecuali sekedar memelihara semacam status quo kehidupan
rohaninya di tengah-tengah tekanan pencobaan-pencobaan, kewajiban dan
pesatnya kemajuan masyarakat postmodern.

Untuk orang-orang seperti itu, bisa jadi disiplin-disiplin rohani
telah berubah menjadi sekedar rutinitas, yang tidak punya kekuatan dan
pengaruh untuk mengubah dunia ini bagi Kristus.

Disiplin-disiplin yang Allah inginkan untuk membawa kita masuk dalam
hadirat kemuliaan-Nya dan mengubah kita untuk menjadi serupa dengan
gambar Anak-Nya, bagi sebagian besar diantara kita, hanya tinggal
rutinitas saja -- tidak lagi dipikirkan, tidak lagi diusahakan, tidak
memberikan buah kecuali hanya sekedar untuk memenuhi tanggung jawab.
Jika demikian, maka kita sama sekali tidak mungkin memperlengkapi diri
untuk bisa hidup bagi Kerajaan-Nya di dunia ini.



><> ============================================================== <><

Bahan di atas diterjemahkan dari sumber:
----------------------------------------
Judul buku   : Disciplines of Grace
Judul artikel: Disiplines or Routines?
Penulis      : T.M. Moore
Penerbit     : InterVarsity Press, 2001
Halaman      : 14-18

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org