Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/5

e-Reformed edisi 5 (1-2-2000)

Bagaimana Theolog Reformed
Bertheologi Pada Masa Kini (II)

(Ditulis oleh Fred H. Klooster dari
Calvin Theological Seminary, Grand Rapids, Michigan)
	
(Artikel ini dikutip dari buku Doing Theology in Today's World,
editor John D. Woodbrige & Thomas Edward McComiskey,
Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1991.)



MENELITI NATUR THEOLOGI SEBAGAI BIDANG SAINS

	Pertanyaan penting mengenai natur theologi dan sains, yang
jarang diperhatikan sebelum periode Pencerahan, tetapi harus
dipertimbangkan terlepas dari apakah seseorang memilih theologi
Reformed dalam jalur Princeton Kuno atau Amsterdam Kuno. Pada masa
kini pertanyaan tersebut harus dihadapi walaupun tidak ada jawaban
yang disetujui bersama. Baik Warfield maupun Kuyper menganggap
theologi adalah bidang sains dan sepakat dalam presuposisi yang
tercakup di dalamnya walaupun mereka memiliki perbedaan pribadi yang
cukup penting.


	Sains jelas melibatkan aktivitas tertentu yang membedakannya
dari pengalaman sehari-hari. Kita mengalami hal-hal dalam hidup
sehari-hari secara penuh dan berelasi satu sama lain. Pada musim
gugur, misalnya, kita berjalan di antara pepohonan untuk menikmati
warna dan aromanya. Kita terpesona akan pemandangannya dan
bertanya-tanya mengapa ada daun yang merah atau kuning sedangkan yang
lain masih hijau. Pengalaman sehari-hari melibatkan refleksi atau
analisa pribadi atas pertanyaan-pertanyaan seperti itu.


	Pada saat kita mulai berusaha menemukan mengapa sebagian daun
berubah warna pada musim gugur, mengapa warnanya berlainan dan
mengapa waktunya berlainan, kita mulai melakukan aktifitas sains.
Berbeda dari pengalaman sehari-hari, sains memerlukan analisa
sekunder dan penelitian mendalam. Kita harus mengambil contoh daun
dan membawanya ke laboratorium. Kita harus melakukan test dan
eksperimen dengan menggunakan mikroskop atau peralatan khusus lainnya.
Kita mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan bagaimana, kapan dan
mengapa melalui analisa sains.


	Aktivitas serupa diperlukan dalam bertheologi. Kadang-kadang
istilah theologi digunakan dalam arti populer, yaitu pembicaraan
mengenai Allah, Alkitab atau hal-hal religi, tetapi sebenarnya itu
hanya arti di permukaan. Theologi melibatkan lebih dari sekedar
aktivitas atau pembicaraan religi. Orang Kristen membaca Alkitab dan
berdoa kepada Tuhan secara individu. Mereka bersekutu, membaca
Alkitab, mengakui iman dan mendiskusikan khotbah secara persekutuan.
Keterlibatan dalam aktivitas tersebut memerlukan perhatian, refleksi,
dan analisa primer. Tetapi sains sebagai aktivitas pendidikan
memerlukan analisa sekunder. Laboratorium dan peralatan khusus tidak
diperlukan dalam bertheologi, tetapi analisa masalah harus bersifat
mikroskopis dan pembahasan dalam terang sejarah harus bersifat
teleskopik. Natur Alkitab, karakteristik doa, kualitas pengakuan iman
gereja dan arti mutlak suatu teks adalah topik-topik yang menjadi
obyek investigasi theologi. Karena memiliki karakterisitik yang
terdapat dalam sains, theologi haruslah dilihat sebagai bidang sains.


	Keberadaan presuposisi dalam setiap bidang sains masih
menjadi bahan perdebatan, tetapi keberadaannya lebih banyak diterima
dalam dekade terakhir ini karena runtuhnya positivisme. Saya pribadi
yakin bahwa sains tanpa presuposisi adalah mustahil, tetapi tidak
perlu di bahas di sini. Bagaimanapun keberadaan presuposisi dalam
theologi hampir tidak perlu diperdebatkan. Schleiermacher mungkin
berfikir bahwa sainsnya memenuhi persyaratan objektivitas Pencerahan,
tetapi kita dapat mengenal presuposisinya sekarang. Barth mengakui
bahwa penekanannya terhadap wahyu tidak memungkinkan ia memenuhi
kriteria positivisme yang digariskan H. Scholz Bultmann untuk
menyatakan bahwa kebangkitan tidak mungkin terjadi. Kita bahkan dapat
mengatakan bahwa Reformasi terjadi ketika Luther dipaksa untuk
mengganti presuposisi theologisnya. Analisanya yang teliti terhadap
Roma 1 menyebabkan ia menolak presuposisi dualisme iman dan usaha,
dan dengan demikian menemukan dan meyakini bahwa keselamatan hanya
oleh anugerah melalui iman.


	Sebagai kesimpulan, kita berpendapat bahwa bidang sains,
termasuk sains theologi, melibatkan seorang manusia -- kita sebut
`knower' -- yang selalu mulai dari presuposisi religi tertentu,
diakui atau tidak. Secara positif atau negatif, presuposisi ini
selalu berkaitan dengan Tuhan, Alkitab dan pengakuan iman tertentu.
Presuposisi ini dapat berupa presuposisi Kristen, atau presuposisi
non-Kristen. Untuk Kristen, presuposisi ini mungkin Katholik Roma,
Lutheran atau Reformed. Berpijak pada presuposisi ini, `knower'
mengarahkan kemampuan analitisnya terhadap suatu aspek untuk
dipelajari secara detail dan hati-hati. Knower melakukan analisa
sekunder terhadap aspek tsb. Semua ini adalah ciri umum semua bidang
sains, termasuk theologi. Seorang theolog harus menyadari
karakteristik sains karena karakteristik ini dapat menjadi cobaan
unik atau kesempatan indah.


	Apa yang membedakan antara bidang sains? Pertanyaan ini
merupakan pembahasan berikut, investigasi theologi, khususnya theologi
Reformed.


MENGENALI WILAYAH INVESTIGASI

	Bidang sains dibedakan satu sama lain oleh wilayah
investigasinya. Untuk theologi apa wilayahnya? Sebagian mengatakan
Tuhan, wahyu, Alkitab atau pengalaman religi. Jawaban kontemporer
merujuk pada berbagai sumber atau faktor pembentukan dalam theologi
sistematis. Jika kita tidak ingin jawaban tak berbobot, maka
pertanyaan ini sulit di jawab.


	Dunia ciptaan Tuhan ini memperlihatkan berbagai aspek berbeda
sehingga sains dasar yang serupa ada di seluruh dunia. Contohnya,
biologi yang menyelidiki aspek biotik dan memfokuskan analisa
sekundernya pada kehidupan tumbuhan, satwa dan manusia. Sains
sejarah, sosiologi dan ekonomi memiliki wilayah investigasi yang
jelas. Natur wilayah investigasi yang menyebabkan adanya perbedaan
antara sains natural dengan kemanusiaan dalam hal test, eksperimen
dan objektivitas. Tetapi setiap disiplin ilmu ini menunjukkan
karakteristik sains, atau dalam bahasa Jerman "Wissenschaft". Dalam
studi sains ada juga analisa sekunder sebuah aspek realita yang
diabstraksikan secara teoritis dari keseluruhan konteks agar dapat
diteliti secara mendalam. Lagipula orang yang melakukan aktivitas
sains melakukannya dari perspektif keyakinan pribadi atau presuposisi
pribadi. Sains dibedakan satu sama lain oleh wilayah investigasinya.


	Apakah wilayah investigasi theologi? Definisi umum theologi
adalah "sains Allah". A. Kuyper menantang definisi tersebut dengan
mengatakan bahwa Allah tidak dapat ditaruh di bawah miskroskop; Allah
hanya dapat dikenal sejauh Ia membuka Diri-Nya untuk dikenal. Dalam
pandangan itu, definisi theologi yang lebih umum menjadi "sains
wahyu" atau "sains Alkitab." Di bawah pengaruh Schleiermacher istilah
ini diganti dengan "sains agama". Pandangan Barth mengenai wahyu
membuatnya menganggap "khotbah Hari Minggu sebagai bahan baku dogma".
Paul Tillich menganggap "pandangan Alkitab Neo-ortodoks" terlalu
sempit dan menyebut "sumber-sumber theologi sistematis" adalah
Alkitab, sejarah gereja, sejarah agama, dan kebudayaan. John
Macquarrie menyebut bahwa "faktor-faktor pembentukan dalam theologi"
adalah pengalaman, wahyu Alkitab, tradisi, kebudayaan, dan rasio.
Seorang theolog berkulit hitam, James Cone, mengadaptasikan hal-hal
tersebut dengan perspektifnya, menjadi pengalaman kulit hitam,
sejarah kulit hitam, kebudayaan kulit hitam, wahyu, Alkitab dan
tradisi. Walaupun theolog liberal berasal dari beberapa gereja
berbeda, mereka bersama-sama menekankan "pengalaman penderitaan"
sebagai sumber penting dan mengadaptasikannya terhadap hal-hal
tersebut di atas.


	Buku-buku theologi Reformed yang terbit sebelum munculnya
Neo-ortodoks memberikan jawaban yang sama terhadap pertanyaan
mengenai wilayah investigasi theologi. Untuk theologi Katholik Roma,
wilayah investigasinya adalah Alkitab dan tradisi. Untuk theologi
Protestan, khususnya Reformed, wilayah tersebut hanya Alkitab. Untuk
theologi liberal, wilayah tersebut adalah pengalaman religi manusia.
Itulah yang kupelajari dan merupakan jawaban awalku ketika mulai
mengajar theologi sistematis pada awal tahun 1950-an.


	Setelah beberapa tahun mengajar theologi, saya menemukan
bahwa semua elemen tersebut di atas masuk ke dalam wilayah
investigasi saya sebagai seorang theolog Reformed. Alkitab memang
yang terutama, tetapi saya harus juga meletakkan pengakuan iman
gereja, termasuk yang kuyakini secara pribadi, ke bawah analisa
sekunder. Sebenarnya seluruh tradisi Reformed dan juga tradisi
seluruh gereja Kristen adalah bagian wilayah investigasiku. Saya harus
juga meneliti berbagai tipe theologi dan menyelidiki sumber dan
faktor formatifnya, termasuk semua hal yang relevan dalam bidang
filsafat, psikologi, sosiologi dan lainnya. Bahkan pengalaman, yang
sulit didefinisikan dan selalu dicurigai sejak masa Schleiermacher,
mempunyai peranan tertentu, walapun pengalaman kulit hitam atau
pengalaman penderitaan bukan bagian sejarah pribadiku. Bagi saya
sebagai theolog Reformed, semua faktor ini harus dipertimbangkan dan
dapat menjadi obyek analisa sekunder.


	Hal yang penting adalah: dalam seluruh keragaman wilayah
investigasi theologi ini, tetapi ada kriteria atau norma untuk
mengambil keputusan akhir. Apa yang berfungsi sebagai norma dalam
wilayah studi yang beragam ini? Mungkin itulah yang sebenarnya
dimaksudkan dalam buku-buku Reformed lama ketika memfokuskan pada
Alkitab dan tradisi, hanya Alkitab atau pengalaman religi manusia.
Seorang theolog Reformed harus berusaha menilai semua sumbernya
berdasarkan otoritas Alkitab. Tradisi, pengalaman religi,
theologi-theologi lain dan semua hal lain dalam wilayah investigasi
harus tunduk kepada norma Alkitab. Sulit untuk menemukan istilah
khusus untuk wilayah investigasi ini. H. Dooyeweerd menyebutnya
"aspek pistic" atau "aspek iman", dengan Alkitab sebagai normanya dan
gereja sebagai subyek atau agen primer dalam aspek pistis tsb.
Mungkin itu cara yang cukup baik dalam mengenali wilayah investigasi,
tetapi pembahasan terdahulu diperlukan untuk mengkonkritkan
istilah apapun yang menjadi kesimpulan. Keutamaan Alkitab sebagai
norma theologi Reformed perlu dibahas lebih lanjut.


MENERIMA KEUTAMAAN ALKITAB

	Theolog Reformed harus memperhatikan semua hal yang merupakan
bagian wilayah investigasi theologi, termasuk semua tipe theologi.
Dalam semua segi investigasi, Alkitab harus diprioritaskan oleh
theolog Reformed. Alkitab adalah sumber utama dan otoritas tertinggi
untuk menilai apapun. Apa yang disebut "proof texts" dalam theologi
sistematik (dogma) lebih tepat disebut "source texts" kunci. Hampir
tidak perlu diperdebatkan lagi apa yang merupakan hal paling dasar
dalam theologi Reformed, yaitu prioritas dan normativitas Alkitab
dalam bertheologi. Saya akan membahas singkat hal-hal berikut:
perhatian terhadap seluruh Alkitab (tota Scriptura), sejarah Alkitab,
theologi Alkitabiah, exegese yang berhati-hati dan masalah
hermeneutika.


	Theolog Protestan setuju bahwa hanya Alkitab (sola Scriptura)
yang menjadi otoritas atas semua aktivitas theologi. Keyakinan ini
tetap mendasari theolog Reformed dan theolog Injili lainnya pada masa
kini. Alkitab adalah norma mutlak dan otoritas tertinggi untuk
menilai apapun yang diamati oleh theolog, mulai dari pengakuan
gereja, dogma atau tradisi, pengalaman religi manusia, pegalaman
penderitaan, sampai pada karya theolog lain --- termasuk mereka yang
berada dalam tradisi yang sama. Hanya Alkitablah Firman Allah yang
diwahyukan dan memiliki otoritas. Seluruh aktivitas manusia, termasuk
theologi, dapat salah dan harus dinilai oleh hukum iman dan praktek
yang tak mungkin bersalah.


	Namun demikian di antara kaum Reformed terdapat
perbedaan-perbedaan penting. Perbedaan tersebut sampai kini terdapat
di antara theolog Protestan klasik. Sampai belum lama ini doktrin
perjanjian masih merupakan perhatian eksklusif theolog Reformed
walaupun Alkitab mempertahankan referensi-referensi perjanjian.
Perjanjian dalam Alkitab sangat banyak diperhatikan dalam theologi
Reformed sehingga "theologi perjanjian" menjadi label yang umum
dipakai banyak theolog, terutama theolog dispensasi. Contoh lain
adalah penekanan theologi Reformed terhadap kerajaan Allah sebagai
alat penyelamatan dalam sejarah yang dipakai Allah untuk menyatakan
kedaulatan-Nya dalam sejarah. Perspektif kerajaan ini berakar pada
tulisan Agustinus "City of God" dan pada tulisan Calvin dan praktek
Jenewa, lalu dikembangkan terutama oleh A. Kuyper dan theolog
Reformed Belanda, dan sekarang menjadi tanda resmi theologi Reformed.
Saya yakin bahwa berbagai perjanjian dalam Alkitab semuanya merupakan
instrumen atau pelaku administrasi kerajaan Allah dalam sejarah.
Kerajaan Allah berkaitan erat dengan kedaulatan Allah dan pandangan
hidup dan dunia yang merupakan karakteristik Calvinisme.


	Apa yang menyebabkan perbedaan dalam tipe-tipe theologi
Protestan klasik? Bagaimana penjelasan mengenai perhatian unik
Reformed terhadap perjanjian dan kerajaan? Hal-hal ini tentu penting
dalam seluruh Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan harus
diperhatikan oleh semua yang menganut sola Scriptura. Saya yakin
bahwa penekanan Reformed ini berasal dari perhatian seimbang terhadap
sola Scriptura dan tota Scriptura. Walaupun tota Scriptura tidak
pernah menjadi slogan populer, perhatian terhadap keseluruhan berita
Alkitab merupakan karakteristik unik theologi Reformed. Keunikan
theologi Reformed tidak hanya ditandai oleh pandangan terhadap
sakramen atau penekanan terhadap kedaulatan Allah atau pembelaan yang
bersemangat terhadap predestinasi atau "lima butir Calvinisme",
tetapi keunikan tersebut harus dilihat dari tujuannya untuk setia
terhadap seluruh Alkitab. Inti theologi Calvin adalah dorongan untuk
berbicara mengenai hal-hal yang dibicarakan Alkitab dan berdiam diri
mengenai hal-hal yang tidak dibicarakan Alkitab. Tujuan ini harus
menjadi tujuan semua theolog Reformed pada masa kini. Theolog harus
bertujuan untuk bertheologi dalam seluruh kanon Alkitab dan
menghindari godaan untuk bertahan pada hanya satu kanon. Memang
theologi Reformed belum (dan mungkin tidak akan pernah) mencapai
tujuan tsb. Belum ada seorang theolog Reformed pun yang berhasil
menggali seluruh kedalaman dan kekayaan tambang emas Alkitab. Masih
banyak yang dapat dikerjakan oleh siapapun yang ingin bertheologi
Reformed pada masa kini!


SEJARAH ALKITAB

	Alkitab tidak memiliki koleksi "teks bukti" yang dapat
dipilih dan dikutip seperti memilih ilustrasi dari Bartlett's
Familiar Quotations. Wahyu Alkitab diberikan kepada kita dalam
konteks sejarah dan dalam periode yang panjang. Perjanjian Lama
ditulis dalam lebih dari 1000 tahun dan periode sejarah yang lebih
panjang lagi. Perjanjian Baru ditulis dalam kurang dari 100 tahun dan
dalam satu generasi. Periode sejarah tersebut harus selalu diingat
ketika menginterpretasikan bagian Alkitab.


	Sejarah Alkitab terbagi dalam beberapa epik yang sangat
berbeda. Pada saat merenungkan bagian tertentu, kita harus
memperhatikan buku yang di dalamnya bagian tersebut berada dan
kerangka waktu bagian tersebut dituliskan. Hal ini harus
diperhatikan baik oleh theolog sistematika maupun oleh
pelajar-pelajar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Periode-periode
utama dimulai pada nama-nama berikut: Kejadian, Kejatuhan, Air Bah,
Babel, Abraham, Musa, Yosua, Hakim-hakim, kerajaan, perpecahan
kerajaan, kerajaan Yehuda saja (periode antara), inkarnasi Yesus,
pelayanan-Nya, kenaikan-Nya, dan Pentakosta. Dalam hal ini kita perlu
mengingat konteks sejarah dari kitab-kitab nubuat selama 5 abad,
mulai dari perpecahan kerajaan sampai akhir kanon Perjanjian Lama.
Untuk dapat mengerti bagian-bagian Alkitab tertentu dan menerapkan
theologi sistematika, kita harus mengenali kapan dan kepada siapa
kalimat-kalimat tersebut dituliskan dan ditujukan. Memahami seluruh
sejarah Alkitab dan situasi sejarah dalam bagian yang direnungkan
adalah sangat penting jika kita ingin bersikap benar terhadap seluruh
Alkitab, tota Scriptura.


THEOLOGI ALKITABIAH

	Theologi sistematika atau dogma mengarah kepada ringkasan
atau ikhtisar menyeluruh dari pengajaran Alkitab. Cara paling umum
menyusun bahan tersebut adalah dengan bekerja secara berturutan atas
doktrin-doktrin wahyu (prolegomena), Allah, kemanusiaan
(antropologi), Kristus  (Kristologi), keselamatan (soteriologi),
gereja (eklesiologi), dan masa depan (eskatologi). Theolog
sistematika menemukan bahwa disiplin theologi lain, yaitu theologi
Alkitabiah, ternyata sangat menolong untuk mengerti dan
mempersentasikan seluruh berita Alkitab. Theologi Alkitabiah tidak
terlihat sebagai disiplin yang berbeda sebelum akhir abad 18.
Theologi Alkitabiah sebelumnya merupakan produk penolakan rasional
periode Pencerahan terhadap Alkitab yang diwahyukan dan berotoritas.
Theologi tersebut lalu dikembangkan oleh Geerhadus Vos (1862-1949)
dalam theologi Reformed.


	Theologi alkitabiah mengikuti pendekatan penyelamatan-sejarah
dan menaruh perhatian pada berbagai tahap dalam sejarah wahyu khusus.
Vos berpendapat bahwa theologi Alkitabiah menarik garis, sedangkan
theologi sistematis membentuk lingkaran. Theologi Alkitabiah
memperhatikan proses sejarah dalam menarik garis tersebut dan
menggunakan korelasi dan sistematisasi dalam kerangka waktu yang
diperhatikannya. Dengan demikian theologi Alkitabiah dapat saja
membatasi diri pada kelima Kitab Musa dan menggambarkan perkembangan
doktrin yang terjadi dalam periode tersebut. Demikian juga theologi
Alkitabiah dapat bekerja terhadap salah satu kitab nabi atau beberapa
kitab yang kontemporer. Theologi Alkitabiah juga dapat membatasi diri
pada seluruh Perjanjian Baru saja, juga dapat membatasi diri pada
perjanjian dalam kelima kitab Musa atau pada kerajaan dalam Injil
Sinoptik.


	Karena berkonsentrasi pada struktur sejarah dalam proses
pewahyuan, theologi Alkitabiah menjadi sangat penting untuk melakukan
theologi sistematika Reformed. Memperhatikan wahyu tertentu pada
suatu subyek dalam periode sejarah tertentu bukan hanya mempertajam
perhatian kita pada hal baru dalam tahap berikutnya, tetapi juga
menolong kita memperoleh berita Alkitab secara keseluruhan sampai
masa konsumsi pada kedatangan Kristus dan Perjanjian Baru. Kontak
teratur dengan theologi Alkitabiah menolong orang yang melakukan
theologi sistematika untuk menghindari bahaya mendistorsikan Alkitab
dan menolong mengerti abstraksi dan formulasi tanpa waktu yang muncul
dalam pendapat theolog Protestan abad 17 yang berpaling kepada
Aristoteles atau Descartes untuk mencari pertolongan filsafat ketika
menulis theologi dogmatik.


	Jika kita ingin bagian-bagian Alkitab berfungsi sebagai
sumber teks asli untuk theologi sistematika, maka kita tidak dapat
mengabaikan konteks sejarah Alkitab dan juga karakter organik dari
kesatuan berita Alkitab. Theologi Alkitabiah sangat menolong untuk
mengembangkan theologi sistematika yang vital dan hidup, terutama
jika dikembangkan dalam perspektif Reformed.


EXSEGESE ALKITABIAH

	Bagi theolog Reformed yang ingin setia kepada seluruh
Alkitab, interpretasi Alkitab menjadi tanggung jawab terberat yang
harus dipenuhi. Setiap orang percaya harus terlibat interpretasi
Alkitab agar dapat mengerti beritanya. Jika interpretasi tersebut
dilakukan dalam suatu disiplin ilmu, sebagai pelajaran atau secara
ilmiah, hal itu disebut exegese. Tidak ada cara mudah untuk
menunaikan tugas ini.


	Berlawanan dengan Katholik Roma, kaum Reformasi menekankan
bahwa berita keselamatan sangat jelas untuk setiap orang percaya yang
awam. Namun demikian hal itu tidak membuat mereka mengabaikan
pendidikan formal yang dibutuhkan oleh para pengajar dan pendeta
mereka agar dapat mengexegese Alkitab dengan bertanggung jawab.
Mereka menerima perkataan Petrus mengenai tulisan Paulus: "Dalam
suratnya ada hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang
tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya
menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat
dengan tulisan-tulisan yang lain." (2Petrus 3:16). Dan theolog
sistematika mungkin akan menemukan juga surat-surat Petrus yang
bahkan lebih sulit dari tulisan Paulus! Tentu saja Roh yang sama yang
menginspirasikan Alkitab harus juga mengiluminasikan orang percaya
agar dapat menginterpretasikan Alkitab dengan tepat. Namun hal ini
tidak dapat diharapkan terjadi tanpa kerja keras manusia yang
menginterprestasikan. Kerja keras tersebut memerlukan perhatian
terhadap bagian-bagian dalam bahasa asli, yaitu Ibrani atau Yunani,
dalam terang seluruh berita Alkitab.


	Metode exsegese tokoh-tokoh Reformasi, terutama Calvin dan
penerus-penerusnya, disebut metode interprestasi
theologi-sejarah-tatabahasa. Secara sederhana hal tersebut berarti
analisa tulisan Alkitab harus mempertimbangkan sejarah Alkitab dan
juga theologi Alkitabiah seperti disebutkan di atas. Pada masa kini
metode tersebut mungkin lebih tepat disebut metode exegese
kanon-theologi-sejarah-literal-tatabahasa. Tugas exegese dasar yang
kompleks ini perlu dijelaskan secara singkat.


	Alkitab adalah Firman Allah yang tertulis; wahyu Alkitab
adalah dalam bentuk bahasa verbal. Karena itu exegese harus berusaha
memahami dan menginterpretasikan kata-kata dalam kalimat dan kalimat
dalam konteks. Kalimat-kalimat tersebut adalah bagian komposisi
literal. Dalam Alkitab terdapat beragam tipe literal atau genre.
Theolog harus memperhatikan karakteristik genre dalam
menginterprestasikan teks tertentu. Jadi exsegese literal-tatabahasa
diperlukan dalam theologi Reformed. Ini tentu termasuk pengetahuan
akan bahasa asli Alkitab.


	Perkataan dalam Alkitab melaporkan, menginterprestasikan,
mewahyukan dan memproklamasikan hal-hal yang Allah kerjakan dalam
sejarah. Alkitab mempresentasikan hal-hal yang diwahyukan mengenai
kejadian dan penyelamatan, termasuk tindakan dan kata-kata Allah.
Alkitab mewahyukan kabar baik, kabar tentang hal-hal yang benar-benar
terjadi dalam sejarah --- peristiwa sejarah yang nyata. Lebih lanjut,
penuturan Alkitab tentang peristiwa penyelamatan historis ini
dilakukan dalam konteks sejarah. Interpretasi tepat tentang peristiwa
dan perkataan sejarah ini memerlukan pemahaman Alkitab dalam konteks
sejarah. Jadi exegese sejarah diperlukan dalam theologi Reformed.


	Alkitab mempresentasikan berita dari Allah dan tentang Allah
dan tentang karya keselamatan-Nya dalam sejarah. Exegese harus
berusaha untuk memahami berita "theologi" Alkitab ini. Seluruh
ekspresi bahasa tentang wahyu bersifat parsial dan terpotong-potong.
Tetapi orang yang menginterpretasikan harus berusaha mengerti
keseluruhan berita melalui bagian-bagiannya. Berita seluruh kanon
harus dicapai dari kontribusi setiap buku secara individual. Jadi
exegese Alkitabiah secara kanon-theologi diperlukan dalam theologi
Reformed. Walaupun hal ini adalah segi-segi exegese yang saling
berbeda, theolog Reformed yang menginterpretasikan Alkitab harus
berusaha memperoleh kesatuan berita melalui segi-segi yang saling
berbeda tetapi saling berkaitan dalam exegese
kanon-theologi-sejarah-literal-tata bahasa.


	Jadi selain terlibat dalam analisa mikroskopis teks Alkitab,
theolog Reformed harus juga mengejar pandangan teleskopik dengan
meneliti spesimen-spesimen dalam sejarah interpretasi. Penelitian
interpretasi dengan kontemporari dari beberapa tradisi theologi lain
dapat menantang theolog untuk melihat perspektif teks yang mungkin
dapat luput dari perhatian. Semua hasil valid dari exegese demikian
kemudian harus dirangkum dalam theologi sistematis Reformed yang
sungguh-sungguh merefleksikan seluruh berita Alkitab.


HERMENEUTIKA

	Sebelum Schleiermacher hermeneutika umumnya dianggap hanya
merupakan aturan exegese. Schleiermacher menyadari bahwa theologi
barunya memerlukan hermeneutika baru. Sejak itu masalah hermeneutika
berkembang menjadi lebih luas dan semakin penting. Beberapa pengikut
R. Bultmann mengklaim bahwa hermeneutika mencakup seluruh theologi.
Walaupun hal itu mungkin berlebihan, masalah hermeneutika memerlukan
perhatian khusus pada masa kini.


	Perbedaan hasil exegese tidak selalu dapat dijelaskan karena
perbedaan kompentensi pelakunya atau karena kesalahan satu atau
beberapa pelakunya. Interpretasi yang bertujuan mencapai pemahaman
sebuah bagian Alkitab merupakan hal yang sangat kompleks seperti
tampak melalui studi exegese. Hal-hal seperti yang dibahas di atas
--- natur sains theologi dan peranan presuposisi atau pra-pemahaman
seseorang --- sekarang dikenal sebagai masalah hermeneutika.
Perbedaan antara theolog Lutheran dan Reformed mengenai sakramen
mungkin hanya mengenai pertanyaan apakah kata kerja "adalah" dalam
perkataan Yesus, "Ini adalah tubuh-Ku" harus dimengerti secara
literal atau secara figuratif dan spriritual. Tetapi
perbedaan-perbedaan lain dalam theologi Lutheran timbul dari
perbedaan hukum-Injil yang berfungsi hermeneutika dalam karya exegese
Lutheran. Perbedaan hermeneutika yang bahkan lebih besar telah
membedakan theologi Reformed dari Katholik Roma, Liberal,
Neo-ortodoks, dan theologi setelah Bultman.


	Dimensi-dimensi masalah hermeneutika tidak dapat dibahas di
sini tetapi refleksi mengenai masalah yang dibahas sebelumnya akan
membawa kita makin dalam kepada wilayah yang kompleks ini. Semakin
secara sadar seseorang terlibat dalam interpretasi Alkitab dalam
bertheologi, semakin terkesan orang tersebut akan masalah-masalah
hermeneutika. Dan seseorang yang terlibat dalam studi dan melakukan
theologi Reformed akan bertambah sadar akan pentingnya hal tersebut
walaupun masalah-masalahnya tidak dibahas secara eksplisit.


MENYIMPULKAN IMPLIKASI TERHADAP IMAN DAN KEHIDUPAN

	Pendalaman theologi memiliki konsekuensi terhadap iman dan
kehidupan. Memang masalah-masalahnya tentang hidup dan mati!
Melakukan theologi Reformed dapat dan seharusnya menjadi pengalaman
yang menyenangkan. Dengan menggunakan analisa sekunder dan refleksi
terhadap bagian-bagian kunci dalam Alkitab seseorang dapat bertumbuh
secara pribadi dalam iman maupun kehidupan. Melakukan theologi
Reformed adalah pengalaman yang memperkaya diri, karena tidak seperti
bidang sains lainnya, theologi Reformed menawarkan relasi akrab antara
presuposisi religi seseorang dengan wilayah investigasi. Pada saat
hasil aktivitas theologi yang baik dituangkan kembali ke dalam
pengalaman hidup seseorang, akan terjadi pertumbuhan pribadi yang
mengejutkan.


	Jika seseorang sungguh-sungguh berusaha memahami Alkitab dan
wilayah investigasinya, sesuatu yang lebih dari sekedar kemajuan
intelektual terjadi. Memahami sesungguhnya melibatkan hati,
mempengaruhi keseluruhan pribadi, intelektual, kemauan dan emosi.
Pemahaman hati menjangkau iman dan kehidupan: mempercayai Allah dan
melakukan kehendak-Nya. Aktivitas theologi demikian bertujuan bukan
mencapai dominasi, tetapi pelayanan terhadap Allah dan sesama manusia
melalui pembangunan gereja Kristus dan pengembangan kerajaan Allah.
Proses mendengarkan perkataan Allah, menginterpretasikannya ketika
melakukan sains theologi, seharusnya memberi sumbangsih kepada
semakin dekatnya seorang percaya dengan Allah dan firman-Nya,
sehingga hidup ini dijalani menurut pimpinan Allah yang diwahyukan
dalam Alkitab. Pemberian Allah (Gabe) memberikan tugas kepada kita
(Aufgabe) untuk hidup dalam masa kini bagi kemuliaan-Nya.


	Saya menyimpulkan ini dengan deskripsi doxologi tentang
kemuliaan tugas tersebut, seperti yang dituliskan sesorang theolog
Reformed yang berdedikasi sbb:


Pada saat kita mempertimbangkan dengan tepat proposisi
	bahwa Alkitab adalah deposito wahyu khusus
	bahwa Alkitab adalah orakel Allah
	bahwa di dalamnya Allah menemui dan berbicara kepada kita,
	menyatakan kemuliaan-Nya yang tak terpahami
	memanggil kita ke dalam pengenalan dan pemenuhan kehendak-Nya
	menyingkapkan kepada kita misteri pimpinan-Nya,
	dan membukakan maksud-maksud anugerah-Nya,
	maka theologi sistematika, daripada semua sains dan disiplin
	ilmu,
	tampak sebagai yang paling mulia,
	bukan refleksi dingin tanpa perasaan,
	tetapi sesuatu yang membangkitkan kekaguman
	dan mengklaim, penggunaan kemampuan kita yang paling suci.
	Theologi sistematika adalah yang paling mulia dari semua
	studi
		karena berusaha memahami seluruh pimpinan Allah
	dan berusaha, tidak seperti disiplin ilmu lain,
	menegakkan kekayaan wahyu Allah
	dalam cara yang teratur dan hormat
	yang merupakan metode dan fungsinya yang khusus
	Semua bagian lain disiplin theologi
	mengkontribusikan penemuannya kepada theologi sistematika
	dan membawa semua kekayaan pengetahuan
	yang diperoleh dari semua disiplin tersebut
	untuk diberikan kepada sistematisasi yang lebih inklusif
		yang dilakukannya. (hs)

Sumber:
Majalah Momentum; No. 32/IV/1996, hal. 44-50,
yang diterbitkan oleh Lembaga Reformed Injili Indonesia.

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org