Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/43

e-Reformed edisi 43 (9-10-2003)

Calvin dan Tuduhan Skisma dari Katolik Roma terhadap Para Reformator: Sebuah Studi tentang Kesatuan Gereja (Bag. 1)

      CALVIN DAN TUDUHAN SKISMA DARI KATOLIK ROMA TERHADAP PARA
           REFORMATOR: SEBUAH STUDI TENTANG KESATUAN GEREJA
                               (Bag. 1)

                          HIDALGO B. GARCIA

Calvin bisa dianggap sebagai seorang pemimpin gereja yang ekumenikal.
Namun, dalam kebanyakan studi tentang sikap ekumenikal Calvin, mau
tidak mau kita merasakan adanya prasuposisi yang tidak semestinya,
yang tidak berhubungan dengan situasi aktual abad keenam belas dan
tujuh belas. Mungkin sulit diperlihatkan sampai sejauh mana sikap
seseorang terhadap gerakan ekumenikal saat ini mempengaruhi
kesimpulannya tentang ekumenisme para Reformator. Studi-studi
ekumenikal merupakan subjek persoalan yang sensitif dan melibatkan
loyalitas subjektif yang tidak selalu diakui secara terbuka.

Masalah subjektivitas ini merupakan problem metodologis dalam studi
mengenai ekumenisme Calvin. Sebelum melakukan pendekatan secara
objektif mengenai posisinya terhadap gereja Katolik Roma, pertama-
tama kita harus menyadari prasuposisinya yang mendasar dan harus
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat. Menurut saya, dari
perspektif para Reformator, terutama Calvin, pertanyaannya bukanlah
apakah seharusnya ada reuni dengan gereja Roma, tetapi, dengan cara
bagaimana gereja itu bisa direformasi ke dalam keadaannya yang lebih
murni. Ia tidak ragu-ragu mengatakan bahwa gereja Roma telah
kehilangan status privilesenya sebagai gereja sejati.

Richard Stauffer, menurut hemat saya, melakukan pendekatan yang
tepat terhadap posisi Calvin berkenaan dengan gereja Roma. Ia
mengatakan bahwa kita harus kembali ke latar belakang polemik-polemik
abad ke-16 untuk memahami pemosisian Calvin tentang Reformasi
berkaitan dengan gereja Roma. "Dalam pandangan Reformator Jenewa itu,
sesungguhnya hal itu merupakan masalah pembedaan antara gereja yang
sejati dan yang palsu.".[1] Ia bersikeras bahwa hanya ada satu gereja
yang katolik dan kudus dan bahwa para Reformator tidak sedang
menciptakan gereja yang lain. Baginya, maksud dari Reformasi adalah
untuk mereformasi gereja Roma, bukannya membentuk gereja yang lain. Ia
mengakui bahwa jemaat-jemaat Protestan memang telah muncul sebagai
akibat dari Reformasi, namun semuanya ini merupakan bagian atau
ekspresi dari gereja katolik yang satu dan kudus, dan itu tidak dapat
menghalangi seseorang dari persekutuan dengan orang-orang Kristen dari
komunitas persekutuan lainnya. Dengan kata lain, bagi Calvin,
denominasionalisme sebagaimana yang kita kenal sekarang merupakan
sebuah anomali. Seharusnya ada partisipasi penuh dan pengakuan mutual
serta penerimaan terhadap orang-orang Kristen dari jemaat manapun.
Calvin bahkan akan mengingkari gagasan tentang "Calvinisme." Dalam
kesemuanya ini, baik pendiriannya terhadap gereja Roma maupun
relasinya dengan gereja-gereja Protestan, ia memperlihatkan bahwa
maksud dari Reformasi adalah untuk merestorasi gereja katolik yang
satu dan kudus itu ke dalam keadaan yang lebih murni. Menurut saya,
setiap studi tentang sikap ekumenisme Calvin seharusnya bertolak dari
maksud Reformasi ini.

Para sarjana baru-baru ini cenderung terfokus pada pertanyaan
tentang apakah Calvin melakukan separasi atau mengupayakan kesatuan
dengan gereja Roma. Jean Cadier[2] dan Martin Klauber[3], misalnya,
yakin bahwa posisi Calvin adalah separasi dengan gereja Roma. Menurut
saya, "separasi" bukanlah kategori yang tepat karena mengandung
ambiguitas tertentu di dalamnya. Sebagaimana akan kita lihat yang
terlibat adalah soal-soal yang lebih dalam daripada separasi dan
Calvin bersikeras bahwa para Reformator bukanlah skismatik. Cadier
menyebut konferensi-konferensi dengan Katolik Roma di mana Calvin
berpartisipasi dengan begitu aktif. Jika pendirian Calvin terhadap
gereja Roma pada intinya adalah separasi, satu pertanyaan perlu
diajukan, biar bagaimanapun mengapa ia mau berpartisipasi dalam
pertemuan-pertemuan seperti itu? Di sisi lain, pengakuan iman
fundamental yang dipresentasikan Klauber, dapat, dan seharusnya,
dilihat dengan cara berbeda, bukan hanya "sebagai basis untuk usaha
persatuan eklesiastikal di antara berbagai kubu Protestan,"[4] namun
juga sebagai dasar untuk diskusi dengan orang-orang Katolik.

Ada sekelompok sarjana lain[5] yang lebih positif memandang relasi
Calvin dengan gereja Roma, dan mereka percaya bahwa meski Calvin
bersikap nonkompromis dalam keyakinan teologisnya, namun ia tetap
mengharapkan kesatuan gereja-gereja, termasuk gereja Roma. John T.
McNeil memberikan analisa historis yang baik mengenai usaha-usaha
ekumenikal Calvin dan menyimpulkan bahwa ia tidak akan mengalah untuk
apa yang ia anggap sebagai kebenaran hakiki, demi memperoleh kedamaian
di antara gereja dan menegakkan kebersamaan di antara mereka. Namun
McNeil juga setuju dengan kebanyakan sarjana Calvin bahwa ia akan
menyambut dengan senang hati setiap kesempatan berunding guna
membentuk relasi maksimum dengan setiap gereja, termasuk gereja
Roma.[6] I. John Hesselink tiba pada kesimpulan serupa dengan McNeill,
meskipun melalui pendekatan berbeda.

Menurut Robert M. Kingdon, posisi Calvin bersifat terbuka dan sikap
ini bisa ia pakai sebagai pendekatan ekumenikal. Kingdon mengakui
adanya kesepakatan antara Katolikisme Tridentine dan Protestantisme
Ortodoks dan ini dapat dipelajari oleh semua orang yang berusaha
memahami kepedulian Protestan yang dalam, agar semua doktrin Kristen
terkokoh berdasar pada Alkitab.[7] Theodore W. Casteel melihat reaksi
Calvin terhadap konsili Trent dalam konteks pemikiran konsiliar sang
Reformator. Ia menyimpulkan, "Reformator Jenewa itu melihat harapan
terbaik akan adanya rekonsiliasi dalam sebuah konsili yang benar-benar
ekumenikal--sebuah proyek yang ia perjuangkan hingga akhir
hidupnya.[8]

Pada dasarnya saya mengikuti kelompok kedua yang berpendapat bahwa
Calvin bersikap nonkompromi dalam keyakinannya, kendati demikian ia
tetap mengharapkan reformasi gereja Roma yang akan mengarah pada
kesatuan. Saya akan mencoba menunjukkan hal ini dengan cara yang belum
pernah ditempuh sebelumnya, yakni, menganalisa jawaban Calvin terhadap
tuduhan Katolik Roma bahwa para Reformator adalah skismatik. Artikel
ini berisi sebagai berikut: tuduhan skismatik dari Katolik Roma
terhadap para Reformator, pemahaman Katolik Roma tentang kesatuan,
respons Calvin atas tuduhan skisma, dan akhirnya, pada bagian
kesimpulan, pengertian Calvin tentang kesatuan gereja, yang
diintisarikan dari responsnya terhadap tuduhan skisma dan dari
Institutes. Yang pertama dari tiga bagian ini akan diambil terutama
dari traktat-traktat dan risalah-risalah yang berhubungan langsung
dengan polemik-polemik Calvin-Roma Katolik.[9] Semua isu yang
dipresentasikan dalam artikel ini, tentu saja, terdapat dalam
Institutes, dan dengan demikian, saya akan mengutip bagian-bagian
Institutes yang paralel dan relevan pada catatan kaki.

TUDUHAN SKISMA ROMA KATOLIK

Tuduhan skisma yang paling menonjol terdapat dalam surat yang ditulis
oleh uskup Roma, Sadoleto, kepada senat dan masyarakat Jenewa (1539).
Melalui surat ini, ia memanfaatkan kesempatan dalam peristiwa
pengusiran Calvin dari Jenewa untuk membujuk penduduk Jenewa agar
kembali ke sisi gereja Roma. Ia menggambarkan para Reformator sebagai
musuh-musuh kesatuan dan kedamaian Kristen, yang menabur benih-benih
perselisihan, dan membuat jemaat Kristus yang setia berbalik dari
jalan bapa-bapa dan para leluhur mereka.[10] Ia membandingkan mereka
seperti abses, "by which some corrupted flesh being torn off, is
separated from the spirit which animates the body, and no longer
belongs in substance to the body Ecclesiastic."[11] Paus Paulus III
dalam suratnya kepada kaisar Charles V (1544) melukiskan para
Reformator sebagai pengacau yang senang dengan pertikaian: "Nay, they
rather entirely deprive the Church of all discipline, and of all
order, without which no human society can be governed."[12]

Sadoleto, dalam surat yang sama, meragukan ajaran-ajaran para
Reformator sebab ajaran itu merupakan inovasi yang baru tercipta, yang
usianya baru 25 tahun. Ia mengagungkan kemuliaan usia gereja Katolik
Roma yang menurutnya telah hadir selama lebih dari 1500 tahun dan
mengklaim bahwa bapa-bapa leluhur gereja berada di pihaknya. Klaim
atas otoritas bapa-bapa leluhur gereja merupakan salah satu pokok
persengketaan dalam polemik Calvin-gereja Roma. Bagi Sadoleto, yang
menjadi soal perdebatan adalah apakah ia harus mengikuti gereja
Katolik Roma kuno ataukah membenarkan para pendatang baru yang
skismatik itu. "Inilah tempatnya, saudara yang terkasih, inilah jalan
raya di mana jalan itu terbagi ke dua arah, yang satu mengarah pada
kehidupan, dan yang lain pada kematian abadi."[13] Ini merupakan
seruan kepada orang Katolik untuk memisahkan diri dari para
Reformator, sebuah seruan yang semata-mata dibuat berdasar pada
otoritas gereja dan tradisi yang diwarisi dari para orang tua. Dasar
seruan ini dibuat menjadi lebih eksplisit melalui gambaran Sadoleto
tentang dua pilihan atau dua cara, dengan menghadirkan dua orang yang
diuji di hadapan Allah. Orang pertama, anggap saja seorang Katolik
yang setia, akan mengakui imannya berdasar otoritas gereja Katolik
dengan semua hukum, nasihat dan dekritnya. Ia tampil di hadapan Allah
berdasar pada ketaatannya pada gereja bapa-bapanya dan bapa-bapa
leluhurnya. Dalam pengakuannya itu terefleksikan tuduhan tanpa bukti
terhadap para Reformator:

    And though new men had come with the Scripture much in their
    mouths and hands, who attempted to stir some novelties, to pull
    down what was ancient, to argue against the Church, to snatch away
    and wrest from us the obedience which we all yielded to it, I was
    still desirous to adhere firmly to that which had been delivered
    to me by my parents, and observed from antiquity, with the consent
    of most holy and most learned Fathers.[14]

Kesetiaan kepada gereja merupakan definisi dari hierarki Katolik
tentang orang Kristen yang baik, karena di dalam gerejalah keselamatan
kekal seseorang yang setia paling terjamin. Paulus III dalam surat
tersebut di atas menasihati kaisar Charles V untuk tidak memberi
kelonggaran pada kelompok Protestan dan tetap berpegang pada otoritas
gereja:

    But, dear son, everything depends on this, that you do not allow
    yourself to be withdrawn from the unity of the Church, that you do
    not backslide from the custom of the most religious Princes, your
    forefathers, but in everything pertaining to the discipline,
    order, and institutions of the Church, pursue the course by which
    you have, for many years, given the strongest proofs of heart-felt
    piety.[15]

Selanjutnya, Sadoleto menggambarkan orang yang lain, anggaplah
mewakili para Reformator, sebagai seorang yang iri dan dengki pada
kekuasaan dan privilese hierarki Roma. Kegagalan para Reformator untuk
berbagi kekayaan eklesiastikal telah menggerakkan mereka untuk
menyerang gereja dan, "induced a great part of the people to contemn
those rights of the Church, which had long before been ratified and
inviolate."[16] Ia menuduh mereka semata-mata memberontak pada
otoritas konsili, bapa-bapa gereja, para Paus Roma dan tradisi-
tradisi.[17] Impresi yang ingin ia bentuk ialah bahwa pemberontak
Reformed itu mengklaim mereka tahu lebih banyak dari ajaran-ajaran
kuno. Tetapi rasa frustasi karena gagal untuk mengubah gereja akhirnya
membuat mereka memecah-belahnya. Pernyataan terakhir sang Reformator
yang merasa tidak puas itu, seperti digambarkan oleh Sadoleto,
mengatakan demikian:

    Having thus by repute for learning and genius acquired fame and
    estimation among the people, though, indeed, I was not able to
    overturn the whole authority of the Church, I was, however, the
    author of great seditions and schisms in it.[18]

Di samping itu, tuduh Sadoleto, para Reformator bukan saja memecah
gereja tetapi juga mengoyak-ngoyaknya. Ia mengamati bahwa sejak masa
Reformasi sekte-sekte berkembang biak. "Sects not agreeing with them,
and yet disagreeing with each other--a manifest indication of
falsehood, as all doctrine declares."[19]. Pemecahan dan pengoyakan
gereja yang kudus itu, menurutnya, sepatutnya adalah pekerjaan setan,
bukan pekerjaan Allah.

PEMAHAMAN KATOLIK ROMA MENGENAI KESATUAN

Tuduhan skisma yang sama dilakukan dalam Adultero-German Interim
(1548),[20] meskipun tidak langsung seperti dalam surat-surat Sadoleto
dan Paulus III. Menurut dekrit imperial ini ada dua tanda yang
membedakan gereja dari kawanan skismatik dan bidat, yaitu kesatuan dan
katolisitas. Di sini kesatuan dijabarkan sebagai ikatan kasih dan
damai yang mempersatukan anggota-anggota gereja bersama-sama.[21]
Perhatikan bahwa dalam kesatuan tersebut tidak disebutkan adanya
fondasi doktrinal dan spiritual, kecuali ketaatan yang mutlak terhadap
ajaran dan disiplin gereja. Lebih jauh lagi, gereja Roma menyombongkan
diri sebagai katolik melalui klaimnya atas ekspansi geografis dan
temporal serta suksesi apostolik: "diffused through all times and
places, and through means of the Apostles and their successors,
continued even to us, being propagated by succession even to the ends
of the earth, according to the promises of God."[22] Skismatik dan
bidat-bidat, sebagaimana dituduhkan kepada para Reformator, "break the
bond of peace, and to their own destruction deprive themselves of
Catholic union, while they prefer their own party to the whole
universal Church."[23]. Untuk memelihara kesatuan dan integritas
gereja Katolik seseorang harus tunduk pada otoritasnya dengan
kerendahan dan ketaatan. Sadoleto mengungkapkan sikap demikian:

    For we do not arrogate to ourselves anything beyond the opinion
    and authority of the Church; we do not persuade ourselves that we
    are wise above what we ought to be; we do not show our pride in
    contemning the decrees of the Church; we do not make a display
    among the people of towering intellect or ingenuity, or some new
    wisdom; but (I speak of true and honest Christians) we proceed in
    humility and in obedience, and the things delivered to us, and
    fixed by the authority of our ancestors, (men of the greatest
    wisdom and holiness) we receive with all faith, as truly dictated
    and enjoined by the Holy Spirit.[24]

Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa bagi gereja Roma makna
kesatuan tidak lain dari sikap tunduk, yang menjadi dasar klaim
infalibilitas dan otoritas gereja. Terhadap dasar inilah sekarang kita
beralih.

Kesatuan gereja, menurut Katolik Roma, bertumpu pada
infalibilitasnya. Hal ini terungkap jelas dalam Articles Agreed Upon
by the Faculty of the Sacred Theology of Paris (1542).[25] Artikel
XVIII menyatakan:

    Every Christian is bound firmly to believe, that there is on earth
    one universal visible Church, incapable of erring in faith and
    manners, and which, in things which relate to faith and manners,
    all the faithful are bound to obey.[26]

Dari artikel ini jelas terbukti bahwa otoritas gereja merupakan
otoritas hierarki. Hierarki disamakan dengan gereja yang visibel dan
infalibel. Karena visibilitas gereja didasarkan atas visibilitas
hierarki, maka yang belakangan juga dianggap infalibel. Bukti kedua
untuk infalibilitas hierarki (dan karena itu, otoritasnya juga) ialah
suksesi yang terus-menerus dari Petrus. Karena doktrin inilah apapun
yang telah ditentukan gereja Roma bersifat otoritatif. Hal ini juga
didukung oleh klaim bahwa gereja dipimpin langsung oleh Roh Kudus,
karena Roh Kudus tidak bisa salah, maka gereja pun demikian.[27]

Infalibilitas gereja merupakan dasar otoritas gereja, dan menjadi
perisai yang tak terkalahkan yang melindungi gereja dari serangan
musuh-musuhnya, seperti dinyatakan oleh artikel XVII. Di atas dasar
inilah bertumpu doktrin-doktrin dan kekuatan gereja. Artikel-artikel
berikut[28] memperlihatkan otoritas infalibel gereja yang berakar dari
artikel XVIII yang mendahuluinya:

    Article XIX: That to the visible Church belongs definitions in
    doctrine. If any controversy or doubt arises with regard to any
    thing in the Scriptures, it belongs to the foresaid Church to
    define and determine.

    Article XX: It is certain that many things are to be which are not
    expressly and specially delivered in the sacred Scriptures, but
    which are necessarily to be received from the Church by tradition.

    Article XXI: With the same full conviction of its truth ought it
    to be received, that the power of excommunicating is immediately
    and of divine right granted to the Church of Christ, and that, on
    that account, ecclesiastical censures are to be greatly feared.

    Article XXII: It is certain that a General Council, lawfully
    convened, representing the whole Church, cannot err in its
    determination of faith and practice

    Article XXIII: Nor is it less certain that in the Church militant
    there is, by divine right, a Supreme Pontiff whom all christians
    are bound to obey, and who, indeed, has the power of granting
    indulgences.

Semua artikel iman ini dimaksudkan untuk memelihara kesatuan gereja,
yang menurut pemahaman hierarki gereja Roma, berdasar pada
infalibilitas dan otoritasnya. Calvin menolak semua ini dalam polemik-
polemiknya dengan gereja Roma. Sebelum kita melihat penolakannya
terhadap artikel-artikel iman Paris ini, kita akan menganalisa
responsnya atas tuduhan skisma dari hierarki Katolik Roma.

FIRMAN ALLAH DAN GEREJA: RESPONS CALVIN TERHADAP TUDUHAN SKISMA

Isu mendasar berkaitan dengan tuduhan skisma ialah pemahaman tentang
gereja. Pada prinsipnya Calvin sependapat dengan Sadoleto bahwa tidak
ada yang lebih membahayakan bagi keselamatan kita daripada ibadah yang
sia-sia dan menentang aturan Allah. Ia menganggap prinsip ini sebagai
batu loncatan bagi pembelaannya atas tuduhan Sadoleto. Namun
pertanyaannya, menurut Calvin, dari dua pihak ini manakah yang
memelihara ibadah yang benar pada Allah? Bagi Sadoleto, tulis Calvin,
ibadah yang benar adalah seperti yang ditentukan oleh gereja. Namun,
ia mengajukan sebuah pertanyaan serius sehubungan dengan penggunaan
kata "gereja" oleh Sadoleto dan para pengikut Paus. Ia menuduh
Sadoleto memiliki delusi tentang istilah "gereja," atau paling tidak,
secara sadar ia memberikan keterangan yang tampaknya mengesankan
tetapi palsu. Dalam the Necessity of Reforming the Church, ia mendesak
audiensinya untuk tidak merasa takut terhadap penggunaan kata "gereja"
oleh para pengikut Paus.[29] Para nabi dan rasul telah berjuang
melawan "gereja pura-pura" pada masa mereka. Mereka juga dituduh telah
menghina kesatuan gereja. Namun pertanyaannya, gereja yang mana? Bagi
Calvin tidaklah cukup hanya menggunakan nama gereja seperti yang
dilakukan para pengikut Paus yang berusaha mengejutkan orang-orang
dengan memutarbalikkan istilah gereja. "Penilaian harus dilakukan
untuk memastikan yang mana gereja sejati, dan apa natur
kesatuannya."[30]

Menurutnya, ada dua tanda gereja yang sejati, yakni pemberitaan
firman yang setia dan pelaksanaan sakramen yang tepat. Berkaitan
dengan kesatuan gereja maka hal yang pertama-tama perlu diperhatikan
adalah berhati-hati supaya gereja tidak terpisah dari Kristus,
Kepalanya.[31] Ia menjabarkan apa yang ia maksud dengan Kristus,
"Ketika saya mengatakan Kristus, maka termasuk dalam pengertiannya
adalah doktrin-Nya yang Ia meteraikan dengan darah-Nya."[32] Melalui
kesatuan antara gereja dan Kristus inilah Calvin menyangkal tuduhan
bahwa ia dan para Reformator tidak sependapat dengan gereja.[33]
Tuduhan skisma harus dianggap sebagai ketaatan kepada Kristus lebih
dari ketaatan kepada gereja Roma. Dalam The Method of Giving Peace to
Christendom and Reforming the Church, Calvin, mengutip Hilary,
berkeyakinan bahwa satu-satunya kedamaian gereja ialah yang berasal
dari Kristus. Ikatan kedamaian adalah kebenaran Injil.[34] Implikasi
kesatuan itu diekspresikan demikian: "Wherefore, if we would unite in
holding a unity of the Church, let it be by a common consent only to
the truth of Christ."[35] Selanjutnya, dalam Remarks on the Letter of
Pope Paul III (to the Emperor Charles V), ia mengusulkan sebuah
pembedaan antara gereja yang sejati dan yang palsu berdasar pada
kesetiaan kepada Kristus, yang merupakan dasar kesatuan.

    Let Farnese (Pope) then show that Christ is on his side, and he
    will prove that unity of the Church is with him. But seeing it is
    impossible to adhere to him without denying Christ, he who turns
    aside from him makes no departure from the Church, but
    discriminates between the true Church and a church adulterous and
    false.[36]

Calvin menekankan firman Allah dalam pemahamannya tentang gereja.
Yang ia maksud dengan gereja ialah, "from incorruptible seed begets
children for immortality, and, when begotten, nourishes them with
spiritual food (the seed and food being the Word of God)."[37] Tempat
bagi firman Allah adalah sesuatu yang hilang dalam pengertian gereja
Roma. Kepada Sadoleto ia menyatakan,

    In defining the term, you omit what would have helped you, is no
    small degree, to the right understanding of it. When you describe
    it as that which in all parts, as well as at the present time, in
    every region of the earth, being united and consenting in Christ,
    has been always and every where directed by the one Spirit of
    Christ, what comes of the Word of the Lord, that clearest of all
    marks, and which the Lord himself, in pointing out the Church, so
    often recommends to us? For seeing how dangerous it would be to
    boast of the Spirit without the Word, he declared that the Church
    is indeed governed by the Holy Spirit, but in order that that
    government might be not be vague and unstable, he annexed it to
    the Word of God.[38]

Bagi Calvin, Roh dan firman tidak dapat dipisahkan. "Learn, then by
your own experience, that it is no less unreasonable to boast of the
Spirit without the Word, than it would be absurd to bring forward the
Word itself without the Spirit."[39] Dengan prinsip ini, ia memberikan
definisi yang lebih tepat tentang gereja, yaitu "sebuah kumpulan dari
semua orang kudus, sebuah kumpulan yang menyebar ke seluruh dunia dan
hadir di sepanjang zaman, namun terikat bersama- sama oleh satu
doktrin, dan satu Roh Kristus, yang mempererat dan memelihara kesatuan
iman dan harmoni persaudaraan."[40] Dari definisi ini ia kemudian
membuat klaim yang pasti tentang kesatuan: "With this Church we deny
that we have any disagreement. Nay, rather, as we revere her as our
mother, so we desire to remain in her bosom."[41] Calvin menyatakan
bahwa para Reformator menganggap kesatuan gereja sebagai sesuatu yang
kudus dan mereka menyampaikan kutuk terhadap semua orang yang dengan
cara apapun melanggarnya.[42] Ia memahami kesatuan gereja sebagai
sesuatu yang berakar dari prinsip Kitab Suci, "satu Tuhan, satu iman,
satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua." Ia mencirikan iman
dengan mengatakan, "Lebih jauh, kita harus ingat apa yang dikatakan
dalam perikop lain, 'bahwa iman datang dari firman Allah.' Karena itu,
biarlah itu menjadi poin yang pasti bahwa kesatuan yang kudus hadir di
antara kita, ketika kita sepakat dalam doktrin yang murni kita
dipersatukan dalam Kristus saja."[43] Syarat kedamaian adalah
"Kebenaran Allah yang murni, suara dari Sang Gembala semata,"
sedangkan "terhadap suara orang-orang asing penjaga menentang dan
menolaknya."[44] Melalui hal ini ia menekankan kesepakatan doktrinal
lebih dari sekadar ketaatan eksternal kepada gereja. Ia memberikan
komentar terhadap perkataan Paulus di Efesus 4:12-15:

    Could he [Paul] more plainly comprise the whole unity of the
    Church in a holy agreement in a true doctrine, than when he calls
    us back to Christ and to faith, which is included in the knowledge
    of him, and to obedience to the truth?[45]


[Bersambung -- ke Publikasi e-Reformed yang akan terbit pada akhir
Oktober 2003.]

Bahan di atas dikutip dari sumber:
----------------------------------
Judul Majalah : Veritas  Vol. 3/1 (April 2002)
Judul Artikel : Calvin dan Tuduhan Skisma Dari Katolik Roma Terhadap
                Para Reformator: Sebuah Studi Tentang Kesatuan Gereja
Penulis       : Hidalgo B. Garcia
Penerbit      : SAAT, Malang (2002)
Halaman       : 37-59

=====================================================================

Catatan Kaki (Bag. 1):
----------------------
1.  The Quest for Church Unity from John Calvin to Isaac d'Huisseau
    (Allison Park: Pickwick, 1986) 3. Pendirian ini dan yang saya anut
    mirip dengan pendirian Daniel Lucas Lukito dalam artikelnya,
    "Esensi dan Relevansi Teologi Reformasi," Veritas 2/2 (Oktober
    2001) 149-157. Bdk. G. C. Berkouwer, "Calvin and Rome" dalam John
    Calvin: Contemporary Prophet, A. Symposium (ed. Jacob T. Hoogstra;
    Grand Rapids: Baker, 1959) 185. Untuk pengertian Calvin mengenai
    kebenaran, lih. Charles Partee, "Calvin's Polemic: Foundational
    Convictions in the Service of God's Truth" dalam Calvinus
    Sincerioris: Calvin as Protector of the Purer Religion (Sixteenth
    Century Essays and Studies vol. XXXVI; ed. Wilhelm Neuser & Brian
    G. Armstrong; Kirksville: Sixteenth Century Journal) 97-122.
2.  "Calvin and the Union of the Churches" dalam John Calvin (ed. G.
    E. Duffield; Grand Rapids: Eerdmans, 1966) 118.
3.  "Calvin on Fundamental Articles and Ecclesiastical Union,"
    Westminster Theological Journal 54 (1992) 342-343.
4.  Ibid. 341
5.  John T. McNeill, "Calvin as an Ecumenical Churchman," Church
    History 32 (1963) 379 dst. Robert M. Kingdon, "Some French
    Reactions to the Council of Trent," Church History 33 (1964) 149
    dst.; I. John Hesselink, "Calvinus Oecumenicus: Calvin's Vision of
    the Unity and Catholicity of the Church," Reformed World XXX;
    Theodore W. Casteel, "Calvin and Trent: Calvin's Reaction to the
    Council of Trent in the Context of His Conciliar Thought," Harvard
    Theological Review 63 (1970) 91 dst.
6.  "Calvin as an Ecumenical Churchman", 390-391.
7.  "Some French Reactions", 151.
8.  "Calvin and Trent", 117. Untuk pendapat kontra lih. Robert E.
    McNally, "The Council of Trent and the German Protestants,"
    Theological Studies 25 (1964) 1-22.
9.  H. Beveridge memberikan introduksi yang baik untuk The Tracts and
    Treatises on the Reformation of the Church by John Calvin (3 vol.;
    tr. Henry Beveridge; Grand Rapids: Eerdmans, 1958) v-xli.
    Referensi selanjutnya bersumber dari buku ini, kecuali jika saya
    sebutkan lain. Untuk diskusi tentang risalah polemik Calvin, lih.
    Francis Higman, "I Came Not to Send Peace, But a Sword" dalam
    Calvinus Sincerioris 123-135.
10. Tracts and Treatises 1.4,5.
11. Ibid. 14.
12. Ibid. 240. Surat Paus Paulus III kepada Charles V (1544) adalah
    teguran kepada sang kaisar yang memberi kelonggaran, meskipun
    hanya berupa sedikit keringanan dari tuduhan yang tidak adil
    kepada kaum Protestan, dan yang telah mengambil yurisdiksi dalam
    masalah-masalah agama yang berada di luar lingkup jabatannya.
    Paulus III mengeluh, "the Emperor, in claming illegal
    jurisdiction, had committed two sins: first, he had presumed,
    without consulting him, to promise a Council: and secondly, he had
    not hesitated to undertake an investigation alien to his office"
    (ibid. 238). Calvin memberi tanggapan yang tajam mengenai surat
    ini (1544). Ia mengekspos hipokrisi Paus dengan menunjukkan fakta
    bahwa semua konsili besar gereja pada masa-masa awal diputuskan
    bukan oleh para Paus atau uskup, tetapi oleh kaisar.
13. Ibid. 16.
14. Ibid. 16, 17.
15. Ibid. 239.
16. Ibid. 17, bdk. h.5.
17. Ibid.
18. Ibid. 18.
19. Ibid. 19.
20. Diumumkan secara resmi oleh kaisar Charles V, Interim diduga
    sebagai rencana kompromis antara orang-orang Katolik dan Protestan
    selama menunggu keputusan konsili umum. Kecuali artikel-artikel
    tentang Communion mengenai jenis dan pernikahan para imam,
    konstitusi imperial itu condong ke arah Katolik Roma. Apa yang
    dinamakan Common States (negeri-negeri Katolik) yang tetap setia
    kepada gereja Roma harus terus memelihara ordonansi-ordonansi dan
    anggaran dasar gereja yang universal, yakni, Katolik Roma, dan
    States (negeri-negeri protestan) yang telah memeluk apa yang
    disebut inovasi-inovasi itu diperingatkan untuk menghubungkan
    diri mereka kembali dengan Common States, dan sepakat dalam
    memelihara anggaran dasar dan upacara-upacara gereja Katolik yang
    universal (Tracts and Treatises 3.192).
21. Ibid. 205.
22. Ibid.
23. Ibid.
24. Tracts and Treatises 1.11.
25. Sorbonne Theological Faculty pada tahun 1543, dengan otoritas dari
    Francis I, menyusun dan menerbitkan 25 artikel yang menolak ajaran
    Reformasi. Calvin menyangkal dan menerbitkan artikel-artikel
    tersebut pada tahun 1544. Di dalamnya ia memberikan teks dari
    setiap artikel diikuti dengan komentarnya terhadap artikel
    tersebut. Dengan status magisterial, artikel-artikel tersebut
    menentukan bahwa doktrin-doktrin itu mengikat dan harus diajar
    oleh para doktor dan pendeta dan dipercayai oleh orang-orang yang
    setia. Bahwa gereja adalah ekuivalen atau di atas Alkitab,
    terungkap secara eksplisit dalam dokumen ini. "The place ought to
    have very great authority in the Church; and although our masters
    are deficient in proofs from Scripture, they compensate the defect
    by another authority which they have, viz., that of the Church,
    which is equivalent to Scripture, or even (according to the
    Doctors) surpassed it in certainty" (ibid. 71, 72).
26. Ibid. 101.
27. Ibid. 102.
28. Ibid. 103-112.
29. Tracts and Treatises 1.212. "The Necessity of Reforming the
    Church" dipresentasikan di hadapan Imperial Diet di Spires tahun
    1544, menyampaikan sebuah "Supplicatory Remonstrance" kepada
    kaisar Charles V, sehubungan dengan konsili umum gereja menurut
    cara gereja mula-mula. Bdk. Institutes IV.ii.2, 4.
30. Ibid. 213.
31. Ibid. Dalam Institutes IV.i.2-7, Calvin mengacu pada gereja bukan
    hanya gereja yang terlihat tetapi juga orang-orang pilihan Allah.
    Pemilihan sebagai dasar kesatuan gereja bukanlah tema umum dalam
    polemik-polemiknya dengan gereja Roma. Bdk. Arthur C. Cochrane,
    "The Mystery of the Continuity of the Church: A Study in Reformed
    Symbolics," Journal of Ecumenical Studies 2 (1965) 81-96. Cochrane
    mencatat bahwa menurut pengajaran Reformed misteri kontinuitas
    gereja terdapat dalam pilihan dan panggilannya, di dalam dan oleh
    Yesus Kristus.
32. Ibid.
33. Bdk. Institutes IV.ii.2.
34. Tracts and Treaties 3.240. Salah satu traktat terpenting dan
    serupa isinya dengan "The Necessity of Reforming the Church," "The
    True Method of Giving Peace to Christendom and of Reforming the
    Church" (1547), adalah penolakan Calvin terhadap "The Adultero-
    German Interim.",
35. Ibid. 266.
36. Tracts anda Treatises 1.259.
37. Ibid. 214.
38. Tracts and Treatises 1.35.
39. Ibid. 37.
40. Ibid.
41. Ibid. Bdk. Institutes IV.i.1.
42. Ibid. 214
43. Ibid. 215. Bdk. Institutes IV.ii.5.
44. "The True Method of Giving Peace" dalam Tracts and Treatises
    3.242.
45. Ibid.

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org