Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/42

e-Reformed edisi 42 (10-9-2003)

Gereja; Mau Kemana? Konservatif dan Radikal


              GEREJA; MAU KEMANA? KONSERVATIF DAN RADIKAL

Di dalam gereja kontemporer ada dua ekstrim yang tidak seharusnya ada,
yaitu aliran konservatif dan aliran radikal. Sebaiknya kita memberikan
definisi untuk kedua istilah ini terlebih dahulu. Yang disebut aliran
konservatif ditunjukkan kepada sebagian orang yang bertekad untuk
memelihara hal-hal yang sudah lewat dan meneruskannya, sehingga
menolak perubahan apapun. Sedangkan aliran radikal ditunjukkan kepada
sebagian manusia yang melawan tradisi-tradisi yang sudah lampau
sehingga senantiasa mencari perubahan di dalam kegelisahan.

Pada tahun 1968 saya mengikuti Sidang Raya IV dari Dewan Gereja
Sedunia yang diadakan di Upsala, Swedia sebagai penasehat. Setiba di
sana saya mendapatkan bahwa kami semua secara serentak sudah
diklasifikasikan, khususnya di dalam surat kabar pada hari itu. Jika
bukan dihina dan digolongkan sebagai aliran tradisionil yang
konservatif, anti perombakan, pemelihara kondisi sekarang atau aliran
tradisionil yang tidak menginginkan kemajuan, maka akan langsung
digolongkan dan diterima secara hangat ke dalam aliran radikal yang
bersifat perubahan dan revolusionir. Bukankah ini semua merupakan
klasifikasi yang tidak berarti sama sekali? Sebenarnya setiap orang
Kristen yang seimbang harus berjejak di atas kedua wilayah itu
sekaligus. Ijinkan saya memberi penjelasan lebih mendetail mengapa
setiap orang Kristen harus sekaligus menjadi konservatif dan juga
radikal, khususnya di dalam pengertian tertentu.

Setiap orang Kristen seharusnya bersifat konservatif karena seluruh
gereja dipanggil oleh Tuhan untuk memelihara Wahyu-Nya, sehingga boleh
memelihara mandat yang diberikan serta mempertahankan kebenaran yang
satu kali sudah diberikan kepada orang suci. (Yudas 17: "Ingatlah akan
apa yang dahulu telah dikatakan kepada kamu oleh rasul-rasul Tuhan
kita, Yesus Kristus"). Tugas gereja bukan menemukan Injil yang baru
secara terus menerus atau menemukan teologi baru atau moral baru atau
kekristenan yang baru, melainkan menjadi pemelihara yang setia bagi
satu-satunya Injil yang bersifat kekal. Wahyu yang diberikan Allah
sendiri sudah sempurna di dalam AnakNya Yesus Kristus dan kesaksian-
kesaksian rasul-rasulNya terhadap Kristus yang sudah dicatat di dalam
seluruh Kitab Suci. Pewahyuan dari diri Allah tidak boleh diubah
dengan bentuk dan cara apapun - tidak perduli ditambahkan atau
dikurangi- kebenaran dan otoritas Kitab Suci tidak boleh diubah.

Penulis dari buku "Pertumbuhan Dan Persatuan" mengutarakan konsep ini
dengan dinamis: "Tugas gereja yang utama adalah memelihara keutuhan
Injil. Untuk membicarakan kebiasaan mental ini dengan maksud
mengatakan, barang itu memang kuno serta penentang segala pikiran
baru, sama sekali bukan maksud kita. Penggemar hal-hal kuno dan
penentang pencerahan merupakan kebiasaan buruk orang Kristen,
sedangkan konservatifisme merupakan kebajikan orang Kristen."

Namun disesalkan ada sebagian orang Kristen yang tidak hanya membatasi
konservatifisme mereka di dalam teologi Alkitabiahnya, tetapi juga
dalam hal-hal lain. Bahkan mereka memiliki kepribadian yang
konservatif, sehingga mereka selalu bersifat konservatif di dalam
pandangannya tentang politik dan sosial, di dalam bentuk hidupnya,
pakaiannya, model rambutnya bahkan mode jenggotnya dan segala bentuk
hidup yang bisa kita bayangkan. Mereka semua sangat kuno adanya. Bukan
saja mereka telah menjerumuskan diri ke dalam lumpur saja, melainkan
lumpur yang sudah membeku sebagai semen. Mereka membenci segala macam
perubahan. Mereka mirip dengan seorang guru besar yang pernah
berbicara di dalam universitas Cambridge pada masa mahasiswanya:
"Perubahan macam apa saja di dalam waktu apa saja dengan alasan apa
saja, semuanya harus disesalkan"! Motto yang paling digemari adalah
"Sebagaimana permulaan dunia ini tetaplah sekarang dan selama-lamanya
seperti itu juga sampai selama-lamanya, Amin!"

Di pihak lain aliran radikal adalah mereka yang bertanya-tanya tentang
agama negara. Mereka menganggap tidak ada tradisi kebiasaan atau
organisasi yang begitu suci sehingga tidak boleh diganggu atau diubah;
juga menganggap tidak ada pribadi manusia yang begitu suci sehingga
tidak boleh dikritik. Sebaliknya mereka bersedia untuk mengadakan
penghakiman dan pengritikan terhadap segala sesuatu yang diwarisi dari
masa lampau. Bukan saja demikian, penghakiman semacam ini senantiasa
memimpinnya menuju perombakan yang tuntas, jika perlu menuju revolusi
(sebagai seorang Kristen mungkin ia tidak memakai kekuatan yang
rusuh).

Dilihat sepintas lalu aliran konservatif berlawanan dengan aliran
radikal sehingga kita tidak mungkin menghindarkan diri dari
keekstriman di dalam masalah ini, tetapi faktanya tidak demikian. Ini
semua disebabkan oleh kurangnya pengertian kita bahwa Tuhan kita Yesus
Kristus adalah sekaligus konservatif dan radikal, tetapi di dalam
segi-
segi yang berbeda.

Sikap Tuhan terhadap Alkitab bersifat konservatif - kitab Suci tidak
bisa digugurkan. Ia berkata, "Aku datang bukan untuk meniadakan hukum
Taurat atau kitab para nabi melainkan untuk menggenapinya."(Matius
5:17). Juga berkata, "Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi
ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum
Taurat sebelum semuanya terjadi." (Matius 5:18). Teguran utama Yesus
terhadap pemimpin Yahudi sejamannya adalah mereka tidak menghormati
kitab Suci Perjanjian Lama serta kekurangan ketaatan yang sejati
terhadap otoritas kitab Suci yang kudus.

Tetapi Yesus juga sebenarnya harus disebut sebagai radikalis, Dia
merupakan pengeritik yang tajam terhadap aliran penguasa Yahudi yang
tajam, tanpa ketakutan apapun, bukan hanya karena mereka tidak setia
kepada firman Allah secara sempurna, juga karena mereka terlampau
setia kepada tradisi mereka sendiri. Yesus pernah secara tegas
menghapuskan tradisi yang sudah diturunkan secara berabad-abad demi
supaya firman Allah boleh dilihat kembali dengan jelas serta
terpelihara.

Yesus sangat berani di dalam mendobrak segala kebiasaan sosial. Ia
menegaskan pentingnya memperhatikan lapisan masyarakat yang rendah
yang selalu dihina dan diabaikan. Ia berbicara dengan perempuan di
hadapan umum, yang tidak diijinkan dalam jaman itu, Ia mengundang anak
kecil datang kepadaNya, sedangkan di dalam masyarakat orang Romawi
anak-anak buangan selalu terlantar dan sangat kotor sehingga umumnya
manusia menganggap lumrah jika tidak mau diganggu oleh anak-anak
kecil. Ia mengijinkan para pelacur mendekatiNya (umumnya orang Farisi
menghindarkan diri dari perempuan macam ini karena membencinya),
sedangkan Yesus sendiri sungguh-sungguh menjamah orang berpenyakit
kusta yang sebenarnya dilarang untuk dijamah (orang Farisi umumnya
melempar batu kepada mereka supaya memelihara diri dari mereka dalam
jarak tertentu) di dalam cara-cara seperti ini dan sebagainya. Yesus
menolak untuk diikat oleh kebiasaan dan adat manusia, hati nurani dan
jiwaNya hanyalah diikat oleh firman Allah. Sebab itu Yesus merupakan
sesuatu kombinasi yang unik dari sifat konservatif dan radikal. Ia
bersifat konservatif terhadap Kitab Suci tetapi jika diperhatikan
secara saksama Ia bersifat radikal terhadap hal-hal lain yang Ia
temukan.

"Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, atau seorang hamba dari
pada tuannya." (Matius 10:24) demikianlah perkataan Kristus yang
pernah diucapkanNya. Maka jika Yesus dapat mengkombinasikan semangat
radikal dan semangat konservatif, kita yang menyebut diri sebagai
pengikutNya juga dapat meneladaniNya. Secara fakta jika kita hendak
setia kepadaNya kita haruslah demikian. Pada masa ini kita sangat
memerlukan lebih banyak orang-orang radikal konservatif sehingga orang
Kristen Injili memperkembangkan daya penelitian yang lebih bersifat
kritis untuk membedakan apakah yang boleh dan harus diubah serta apa
yang tidak perlu dan tidak boleh diubah.

Yang lebih patut kita perhatikan adalah kita perlu lebih jelas di
dalam membedakan Kitab Suci dan kebudayaan. Karena Kitab Suci
merupakan firman Allah yang tidak berubah untuk selama-lamanya.
Sedangkan kebudayaan dibentuk oleh tradisi gereja, kebiasaan dan adat
masyarakat serta daya kreatif manusia. Segala otoritas yang dimiliki
kebudayaan adalah diwarisi oleh masyarakat dan gereja[1]. Sebaliknya
kebudayaan berubah sesuai jaman dan tempat. Lebih dari itu kita orang
Kristen menyatakan kerelaan kita hidup di bawah otoritas firman Allah,
maka seharusnya kita menaklukkan kebudayaan jaman kita di bawah
penghakiman Alkitab yang terus menerus tanpa henti sehingga sama
sekali tidak merasa bosan atau menentang perubahan kebudayaan. Kita
seharusnya berpihak dan berdiri di front mereka yang mengusulkan serta
merombak kebudayaan, sehingga kebudayaan boleh menyatakan dengan
sungguh-sungguh kehormatan sifat manusia serta menyenangkan Allah
Pencipta kita.

Pada suatu kunjungan saya ke sekolah teologi Trinitas di Deerfield,
Illinois di Amerika Serikat, mahasiswa sekolah ini memberi kesan yang
dalam bagi saya. Meskipun mereka berasal dari latar belakang yang
berbeda, namun mereka menemukan bersama bahwa di dalam pengabdian
mereka terhadap Kekristenan yang Alkitabiah. Mereka bersatu untuk
melepaskan diri dari agama Kristen Amerika kontemporer serta bertekad
bulat untuk menerapkan Kitab Suci di dalam segala masalah besar hari
ini. Maka mereka bersama-sama membentuk satu persekutuan doa dan studi
yang bersifat gabungan. Organisasi tersebut bertumbuh menjadi kesatuan
Kekristenan rakyat, sedangkan jurnal mereka adalah "Manusia Amerika
yang berlalu". Cover edisi perdananya melukiskan Kristus yang sedang
memakai mahkota duri, tangan yang terbelenggu sedang menudungi bendera
yang bergaris dan berbintang. Ada yang menganggap gambaran ini
bersifat menghujat tetapi saya tidak berpikir demikian. Lukisan ini
merupakan pernyataan jenius yang memperhatikan kemuliaan Kristus.
Jimmy Wallace di dalam tajuk rencananya mengumumkan: "Serangan
terhadap agama yang ada berupa berita yang menjelekkan kekristenan
yang bersifat melepaskan agama dari kebudayaan. Lembek dan tanpa daya
hidup sehingga dengan sendirinya ditolak oleh generasi kita ini secara
gampang... . Kita menemukan bahwa gereja Amerika sangat diikat oleh
nilai kebudayaan kita dan bentuk kehidupan kita..."

Ikatan terhadap gereja yang bersifat Amerika ini mengakibatkan hal
yang sangat disesalkan yaitu mempersamakan gaya hidup Amerika dengan
gaya hidup Kekristenan. Di dalam tempat-tempat lain di dunia penyataan
kebudayaan kekristenan juga demikian. Di dalam dunia ketiga dan bagi
banyak gereja ini merupakan masalah utama. Kekristenan dicangkokkan
oleh misionari dan Eropa dan Amerika Utara, sedangkan gereja sekarang
sedang mencari identitas mereka dengan kebudayaan yang ada. Mereka
menemukan masalah dalam menghadapi dua kebudayaan.

Pertama mengenai kebudayaan setempat atau suku mereka, khususnya di
Afrika, pemimpin Kristen setempat menyadari meskipun banyak kebiasaan
tradisional Afrika - yang berfungsi merefleksikan sumber kebudayaan
mereka yang kafir tetapi bukan saja tidak merugikan iman, kasih,
keadilan, dan hal-hal baik lainnya di dalam kemoralan dan kerohanian,
secara faktual mereka harus menaati kedaulatan Kristus yang
memungkinkan hidup secara kelimpahan.

Kedua adalah mengenai kebudayaan kafir (tidak perduli Eropa atau
Amerika) yaitu masalah setelah Injil dikabarkan di dunia ketiga.
Masalah ini sebagian disebabkan seolah-olah Injil, yang mengakibatkan
kebudayaan kekristenan, merupakan penghinaan terhadap kehormatan
kebudayaan bangsa mereka, sehingga seruan: "Usirlah agama orang
putih!" timbul di sana sini. Padahal seruan ini salah adanya. Karena
agama Kristen bukan milik orang putih atau organisasi yang lain. Yesus
Kristus merupakan Tuhan dari setiap bangsa, negara dan segala usia,
tanpa perbedaan. Tetapi untuk orang Asia, Afrika maupun Amerika Latin
yang menemukan serta memperkembangkan cara untuk mengutarakan
penerapan kebenaran Kristus dan kehidupan kekristenan melalui
kebudayaan yang ada pada mereka merupakan hal yang tepat. R. Peddila
di dalam kongres Penginjilan Sedunia di Lausanne pada tahun 1974 telah
memperdebatkan lagi dengan semangat yang menggebu-gebu tentang masalah
kebudayaan Kekristenan.

Itu sebabnya para pemimpin Kristen dari gereja-gereja Gerakan Baru
bukan hanya memerlukan hikmat untuk membedakan kebudayaan bangsa dan
kebudayaan impor, juga harus dapat membedakan kebudayaan yang bernilai
dan kebudayaan yang tidak bernilai. Mereka juga harus memiliki
keberanian untuk memelihara yang satu dan menolak yang lain.

Kekristenan di Eropa juga harus demikian, sebab sumbernya boleh
ditelusuri sampai 2000 tahun yang lalu. Kekristenan di daerah ini juga
terpendam di bawah kebudayaan Spanyol pada abad-abad tersebut. Pada
saat kita membicarakan gereja Lutheran, Anglican, Presbyterian atau
Brethern kita perlu membedakan secara saksama. Karena setiap aliran
mengandung bentuk, tradisi atau kebudayaan Kekeristenan. Warna bentuk
kebudayaan tradisionil bukan hanya ditemukan di dalam pengutaraan
dotrinal, tetapi juga tidak luput dari liturgi dan musik, arsitektur
dan gaya serta pandangan peranan ulama dan kaum awam, juga metode
penggembalaan dan pemberitaan Injil. Pada faktanya setiap hal dalam
gereja kita adalah demikian dan setiap hal harus ditaklukkan ke bawah
penelitian Alkitab yang bersifat ketat dan kritis.

Maka pada saat kita menolak perubahan tidak perduli di dalam gereja
atau masyarakat, kita perlu instrospeksi sendiri apakah ini sesuai
dengan kitab Suci yang kita pertahankan (bila kebiasaan kita adalah
mempertahankan secara ketat), atau hanya terbatas di dalam tradisi
yang dihargai oleh sebagian tua-tua gereja atau tradisi kebudayaan
saja. Ini tidak berarti semua tradisi harus dibuang hanya karena semua
adalah tradisi. Aliran anti adat tanpa sifat kritis sama bodohnya
dengan aliran konservatif tanpa kekritisan, bahkan kadang-kadang
lebih berbahaya. Yang mau saya tegaskan adalah tidak ada tradisi yang
berhak meloloskan diri dari penelitian ulang dan tidak ada hak
istimewa pada tradisi tertentu.

Di lain pihak pada waktu kita tergesa-gesa di dalam perubahan, kita
harus mengerti dengan jelas Alkitab tidak melawan hal-hal yang ingin
kita ubah. Sebaliknya ada tradisi-tradisi yang tidak Alkitabiah
sebenarnya boleh diteruskan serta memerlukan perubahan untuk
membenarkannya. Jikalau ada yang tidak Alkitabiah dan nyata-nyata
melawan prinsip Alkitab, kita harus berani mendongkel serta
menghentikannya sekuat tenaga. Jika tradisi yang tidak Alkitabiah
seolah-olah tidak relevan dengan Alkitab, minimalnya kita harus
mempertimbangkannya dengan kritis.

Pada umumnya kita mengetahui dan mengakui sifat otoritas dari pikiran,
kebudayaan yang kita bayangkan, namun kebenaran dan kekekalan hanya
dimiliki Kitab Suci. Kebudayaan telah menjadi sebagian perasaan
keamanan kita. Bila hal-hal ini diancam, kita juga merasakan ancaman
itu sehingga kita selalu menghindari bahaya dan berusaha
mempertahankannya.

Kadang-kadang kita kurang menaruh perhatian terhadap otoritas Alkitab.
Kita memperlakukan Firman Allah sama dengan cara kita memperlakukan
tradisi dan konsep manusia, sehingga gampang melalaikannya. Dengan ini
membuktikan kita masih orang Kristen duniawi, yang secara tuntas sudah
menerima sikap anti otoritas yang dimiliki oleh orang dunia, sehingga
tidak bersedia hidup di bawah otoritas Allah serta otoritas
pemerintahanNya terhadap umatNya.

Orang Kristen jaman ini dipanggil untuk menjalankan tali keseimbangan
ini. Kita tidak menolak segala perubahan, juga tidak mengubahnya
secara total secepat mungkin, lebih dari itu terhadap hal-hal yang
diperbolehkan oleh Alkitab dan yang dapat diubah juga kita serang
dengan serampangan. Setiap orang Kristen yang percaya Allah di dalam
sejarah dan pekerjaan Roh Kudus sepanjang sejarah gereja tidak mungkin
merasa senang untuk mengubah sesuatu hanya disebabkan ingin
mengubahnya. Kadang-kadang yang lama ada juga baiknya, karena telah
bertahan dalam ujian waktu. Kita perlu sikap peka terhadap orang
Kristen tua yang beraliran konservatisme. Mereka tidak mudah
membiasakan diri terhadap perubahan tetapi lebih gampang merugikan dan
menghambat perubahan. Dari pandangan Alkitab kita mengetahui yang kita
butuhkan adalah daya membedakan yang bijaksana. Maka kita harus bisa
menikmati tradisi yang lampau serta berdaya responsif terhadap aliran-
aliran baru. Hanya dengan demikian baru kita dapat mempergunakan
penghakiman dari Kitab Suci yang radikal di dalam segala macam
kebudayaan, serta di bawah pimpinan Tuhan baru mungkin mencapai
perubahan yang lebih baik.

Kiranya Tuhan memberikan kebijaksanaan yang sama kepada kita saat ini.
Kiranya Dia juga memberikan keberanian kepada kita sehingga
mempergunakan kebijaksanaan ini bukan hanya untuk urusan gerejani,
tetapi dapat juga diterapkan ke dalam wilayah sosial, etika, dan
politik.

Mungkin saya boleh mempergunakan terminologi biologis untuk
mengutarakan maksud saya. Yaitu kita memerlukan kutu sapi Kristen
(orang yang membenci kita) untuk mengganggu dan menusuk kita sehingga
kita melangsungkan perubahan. Pada saat yang sama kita juga memerlukan
anjing penjaga Kristen (pengawal) pada saat kita menyatakan tanda-
tanda mengkompromikan kebenaran Alkitab. Di dalam keadaan
bagaimanapun, pengawal itu dapat menggonggong dengan suara keras yang
bertahan lama. Tidak perduli yang menusuk orang atau menggonggong
orang, kedua macam pribadi ini sulit kita ajak kerja sama. Mereka pun
tidak gampang menemukan minat persamaan antara mereka sendiri. Namun
yang menusuk harus tidak menggigit yang menggonggong dan yang
menggonggong harus tidak menelan yang menusuk. Mereka harus belajar
hidup rukun dalam gereja Kristus serta mengkonsentrasikan perhatian
terhadap umat Tuhan yang begitu banyak, guna melaksanakan tugas mereka
masing-masing. Kita sebenarnya sangat membutuhkan kedua macam hamba
Tuhan ini.

Setelah peringatan tentang bahaya dari perubahan yang terlalu banyak
dan perubahan yang terlalu sedikit, sekarang marilah kita mengambil
kesimpulan, yaitu bahaya yang lebih besar (paling sedikit di dalam
aliran Injili) adalah salah menanggapi unsur kebudayaan sebagai unsur
Alkitabiah sampai akhirnya menjadi terlampau konservatif dan terlampau
terikat oleh tradisi. Sehingga tidak bisa melihat hal-hal gerejawi dan
sosial yang tidak berkenan kepada Tuhan. Konsekuensinya kita menjadi
terlalu kolot di dalam ikatan kondisi sekarang serta menolak
pengalaman yang paling tidak enak yaitu perubahan.

                         BENTUK DAN KEBEBASAN

Dari membicarakan ekstrim konservatif dan radikal mari kita beralih
kepada ekstrim berorganisasi dan tidak berorganisasi. Organisasi
sekuler sedang mengalami perpecahbelahan di sana sini. Secara global
manusia melawan bentuk dan struktur yang kaku serta mengejar kebebasan
dan fleksibilitas. Gereja Kristen telah diakui di seluruh dunia
sebagai satu struktur organisasi yang menonjol dan mantap. Sehingga
kita tidak mungkin luput dari tantangan jaman yang satu ini. Kita
harus ingat tantangan ini berasal dari sudut internal maupun
eksternal. Banyak orang Kristen yang muda sedang menuntut sesuatu
agama Kristen tanpa organisasi untuk menanggalkan beban gereja Kristen
yang harus ditanggungnya. Mari kita menganalisa gerakan ini di dalam 3
pernyataannya yang utama.

Pertama orang sedang mencari gereja yang tidak memiliki bentuk yang
tetap. Kelompok-kelompok Kekristenan seluruh dunia sedang menerobos
tradisi dan mengerjakan segala hal menurut caranya sendiri.

Kedua, orang Kristen sedang mencari macam penyembahan yang tidak
terikat peraturan. Pendeta tidak lagi memimpin setiap upacara
melainkan mendorong jemaat untuk berpartisipasi, organ sudah diganti
oleh gitar, liturgi yang kuno sudah diganti oleh bahasa sehari-hari.
Makin banyaknya kebebasan berarti makin sedikitnya upacara. Makin
banyaknya inisiatif berarti makin sedikit hal-hal yang statis.

Ketiga, melawan denominasionalisme dan suatu hal yang ditekankan yaitu
kebebasan. Rupanya generasi yang baru ini sangat puas dengan membuang
segala sesuatu yang lampau. Bahkan semua ikatan gereja-gereja lain
pada saat ini. Mereka suka menyebut diri sebagai Kristen dan tidak mau
panji denominasi apapun.

Kita tidak perlu ragu bahwa ketiga tuntutan ini mempunyai kekuatan
yang meyakinkan. Mereka memiliki perasaan yang berkobar-kobar dan
mereka berbicara secara dinamis. Kita tidak bisa mengabaikannya atau
menganggapnya sebagai gila, maupun menganggap mereka adalah kaum
pemuda yang tidak bertanggung jawab. Karena ini merupakan sesuatu
gejala global yang menuntut kebebasan, fleksibilitas, kemandirian dan
non-organisasi. Orang Kristen generasi tua dan yang agak bersifat
tradisionil perlu mengerti hal ini. Kita harus bisa bersimpati dan
sebisa mungkin berjalan bersama dengan mereka. Kita harus mengakui
bersama bahwa Roh Kudus mungkin dan kadang-kadang sudah dibelenggu di
dalam struktur organisasi kita[2]. Dan terbatas di dalam bentuk yang
ada pada kita.

Namun saya masih ingin sampaikan bahwa kebebasan dan kacau balau tidak
mempunyai arti yang sama, apakah sebabnya kita memerlukan semacam
bentuk dan organisasi tertentu.

Pertama, gereja yang berorganisasi. Orang Kristen berasal dari latar
belakang gereja yang berbeda-beda dan mengasihi serta menghargai
tradisi yang berbeda-beda. Meskipun tidak semuanya, tapi paling tidak
mayoritas menyetujui bahwa pendiri gereja yang asli, yaitu Kristus,
menghendaki gerejaNya mempunyai organisasi yang tampak. Gereja juga
mempunyai aspek yang tidak bisa dilihat, ini merupakan satu fakta. Di
situ hanya ada "orang-orang" yang diketahui sebagai milikNya sendiri.
Tetapi tidak boleh kita memakai alasan bahwa gereja sejati adalah yang
tidak kelihatan untuk menyangkal bahwa Yesus Kristus mengharapkan
umatNya boleh dilihat dan diketahui oleh dunia, Dia sendirilah yang
telah menetapkan sakramen pembaptisan sebagai upacara masuk ke dalam
gereja, dan baptisan merupakan sesuatu yang terbuka dan bisa dilihat.
Dia juga mendirikan sakramen perjamuan suci bagi persekutuan orang
Kristen, yang melaluinya gereja boleh dipersatukan dan dengan ini pun
mengeksklusifkan orang-orang yang bukan anggota. Sehingga boleh
melaksanakan disiplin di dalam anggota-anggota gerejanya. Bukan saja
demikian, Dia juga mengutus gembala-gembala untuk memelihara kaum
dombaNya. Maka tidak perduli di mana pun, jika ada baptisan, perjamuan
suci, pendeta atau istilah-istilah tradisionil, penginjil, sakramen,
maka di sana ada organisasi. Mungkin organisasi ini bersifat lebih
sederhana dari denominasi-denominasi historis. Mungkin lebih fleksibel
tetapi tetap ada sesuatu organisasi yang jelas dan tegas. Lebih dari
ini seseorang boleh menyatakan perlawanan yang keras terhadap nilai
pemberitaan firman dan nilai sakramen namun pemberitaan firman dan
sakramen tetap diakui bersama oleh gereja-gereja yang berbeda.

Kedua, penyembahan yang resmi. Secara pribadi saya sama sekali
menyetujui penyembahan kaum muda yang timbul dari dalam hati yang
melimpah dengan sukacita dan ramai-ramai. Meskipun kadang-kadang saya
merasakan kepahitan di dalamnya seperti pengalaman saya satu kali di
suatu tempat. Telinga saya hanya berjarak beberapa inchi dari loud
speaker yang keras sekali.

Kadang-kadang penyembahan kita terlalu formil, terlalu tinggi dan
monoton. Bahkan di dalam kebaktian modern boleh dikatakan sama sekali
sudah kehilangan ibadat sehingga sangat merisaukan. Sebagian orang
Kristen seolah-olah menganggap bukti utama penyertaan Roh Kudus adalah
keramaian dan inspirasi inisiatif. Bukankah ini mengisyaratkan bahwa
kita sudah melupakan bahwa merpati, angin, dan api sama-sama adalah
tanda Roh Kudus? Pada saat Roh Kudus hadir dengan kuasa-Nya di tengah-
tengah umat, kadang-kadang Ia mendatangkan ketenangan, kesejahteraan,
keagungan dan mengakibatkan perasaan takut kepada Tuhan. Suara
kecilNya boleh didengar. Di dalam ketakutan terhadap Roh, manusia
berlutut di hadapan kuasa Allah yang hidup dan sejati. Menyembah
dengan "hanya Tuhan ada di dalam BaitNya yang suci, manusia seluruh
bumi sepatutnya berdiam diri dan hormat di hadapanNya". Saya tidak
bermaksud untuk mengatakan ibadat dan bentuk pasti bersatu. Karena
kebaktian yang tidak resmipun kadang-kadang bersifat ibadat. Sedang
penyembahan resmi yang memakai upacara yang agung kadang-kadang tidak
memiliki ibadat yang bersifat rohani. Namun di mana terjadi persatuan
antara keagungan lahiriah dan ibadat batiniah, di sana penyembahan
yang dipersembahkan paling memuliakan Allah.

Ketiga, prinsip yang berelasi. Mayoritas kita menegaskan gereja lokal
paling sedikit harus memiliki sifat kemerdekaan tertentu. Sedangkan
menurut Kitab Suci gereja lokal adalah penyataan yang nampak di dalam
satu tempat yang bersifat gereja global. Sedangkan gereja lokal bukan
saja adalah gereja global, juga disebut sebagai Bait Allah dan tubuh
Kristus. (Gereja lokal: 1Korintus 3:16, 12:27, gereja global: Efesus
2:19-22, 4:4, 16). Namun gereja lokal mungkin terlalu menekankan
prinsip otonomi gereja lokal ini sehingga melalaikan orang Kristen
dari jaman lampau dan jaman sekarang. Pada saat terjadinya kondisi
semacam ini gereja lokal akan menjadi terlampau memuaskan diri
sehingga menekan gereja Tuhan baik secara waktu dan ruang.

Maka kita perlu mengingatkan diri tentang kebenaran-kebenaran Alkitab
yang senantiasa mudah dilupakan oleh kaum muda. Apakah anda hanya
tertarik dengan keadaan sekarang, apakah generasi ini khusus
menggemari kalimat Henry Ford yang menganggap sejarah itu hampa
adanya? Kadang-kadang seolah-olah ini benar. Namun Allah macam apakah
yang anda percaya? Allah di dalam Kitab Suci adalah Allah sejati,
Allah Abraham, Ishak, Yakub, Allah Musa dan nabi-nabi, Allah Yesus
Kristus dan rasul-rasulNya, Allah gereja abad permulaan, Dialah yang
melampaui segala abad untuk merealisasikan kehendakNya. Jika Allah
memang adalah Tuhan sejarah, bagaimana kita boleh melalaikan sejarah
atau tidak tertarik kepadanya? Ia adalah juga Allah dari seluruh
gereja. Persatuan gereja berasal dari persatuan sifat ilahi karena
hanya ada satu Bapa, satu keluarga, karena hanya ada satu Tuhan, satu
iman, satu pengharapan, satu baptisan dan hanya karena ada satu Roh
Kudus maka hanya ada satu tubuh (gereja).

Jikalau kita tidak boleh melalaikan masa lampau, maka kita juga tidak
boleh melalaikan masa sekarang. Seluruh masalah yang berelasi dengan
orang Kristen yang lain adalah sangat kompleks dan mudah menimbulkan
perselisihan. Alkitab tidak memberikan jaminan untuk menemukan atau
memelihara persatuan tanpa kebenaran, tetapi Alkitabpun juga tidak
memberikan jaminan bahwa kita boleh menemukan kebenaran tanpa
persatuan. Ini benar adanya namun persekutuan di dalam kepercayaan
pengakuan bersama itu pun benar adanya.

Sekali lagi saya menyerukan di dalam masalah ini janganlah kita terus
menempuh cara ekstrim. Di dalam gereja Kristus berorganisasi atau
tanpa organisasi, formil atau tidak formil, suasana khidmat atau
inspirasi inisiatif, independen atau bersekutu, kita harus memberikan
tempat kepada keduanya.

Gereja masa permulaan telah memberikan teladan yang sempurna kepada
kita di dalam masalah ini. Bukankah kita membaca setelah hari
Pentakosta orang Kristen yang baru dipenuhi Roh Kudus berbakti ke
dalam rumah sembahyang dan memecahkan roti di dalam rumah mereka
sendiri. Maka mereka tidak langsung menolak gereja orang Yahudi,
tetapi memperbaikinya berdasarkan Injil yang diterimanya, bahkan
mereka memakai kebaktian di rumah mereka untuk mengisi penyembahan dan
permintaan yang formal di dalam Bait Allah. Apa yang saya lihat di
sini setiap gereja lokal seolah-olah harus menampung baik ibadah yang
formal di dalam gereja dan persekutuan tidak formal di dalam rumah ke
dalam pengaturan programnya. Sedangkan generasi tua dan anggota gereja
tradisionil yang senang kepada penyembahan formal memerlukan
pengalaman kebebasan dalam penyembahan keluarga. Sedangkan anggota
gereja yang muda, yang gemar kepada keramaian dan inspirasi inisiatif
memerlukan pengalaman penyembahan gerejani yang bersifat khidmat dan
formil. Karena kombinasi semacam ini adalah sangat sehat.

======================================================================
Catatan dari Pdt. Dr. Stephen Tong:

   [1] Hal ini merupakan refleksi masyarakat Barat di mana gereja
   mempunyai peranan penting dalam masyarakat, bukan refleksi
   masyarakat Timur di mana gereja merupakan minoritas masyarakat.

   [2] Sebenarnya Roh Kudus yang membebaskan tidak mungkin dibelenggu
   oleh kita. Kalimat ini harus dimengerti sebagai berikut, yaitu: Jika
   kita mementingkan organisasi dan struktur kita, kita akan mengikat
   diri di dalam keterbatasan kita sendiri sehingga tidak mengalami
   berkat dan kuasa Roh Kudus yang melampaui keterbatasan kita, maka
   kitalah yang menjadi terbelenggu, bukan Roh Kudus.

======================================================================
Catatan tentang penulis:

   Pendeta John Stott adalah pendeta emiritus dari gereja Segala Orang
   Suci di London. Seorang teolog Injili yang terkenal di seluruh
   dunia. Otak utama dari Lausanne Covenant. Beliau menulis banyak buku
   termasuk Keseimbangan Agama Kristen, Seni Berkhotbah Abad XX, Agama
   Kristen, Ajaran Khotbah di Bukit dll.

======================================================================

Bahan dikutip dari sumber:
--------------------------
Judul Majalah     : Momentum 7
Judul Artikel     : Gereja; Mau Kemana? Konservatif dan Radikal
Pengarang         : John RW Stott
Penerbit          : Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1989
Halaman           : 6-11

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org