Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/41

e-Reformed edisi 41 (31-7-2003)

Pemimpin dan Arogansi


                        PEMIMPIN DAN AROGANSI
                          (oleh: Sendjaya)

       "Setelah raja Uzia menjadi kuat, ia menjadi tinggi hati
                sehingga ia melakukan hal yang merusak."
                           (2Tawarikh 26:16)
           < http://www.sabda.org/sabdaweb/?p=2Taw+26:16 >

Kesombongan bagaikan penyakit yang aneh. Yang menderita bukanlah orang
yang mengidap penyakit tersebut, namun orang lain di sekilingnya.
Orang yang menderita penyakit ini pada umumnya tidak merasakan gejala
apa-apa, namun orang lain yang berinteraksi dengannya merasa mual dan
muak.

Penyakit arogansi ini menjangkiti semua orang: kaya dan miskin, bodoh
dan pandai, jahat dan baik, ateis dan teis, Injili dan Liberal,
Republican dan Democrat, Arminian dan Calvinist, dan seterusnya.
Pendek kata, semua orang. Tidak ada yang imun dari penyakit ini.

Yang menarik, penyakit ini dapat menjadi ganas dan menular apabila itu
diderita oleh pemimpin, karena pengaruh yang dimiliki oleh pemimpin.
Semakin besar pengaruh yang dimiliki seorang pemimpin, karena peran
atau posisinya, semakin berbahaya apabila ia menjadi sombong.

Pemimpin Tinggi Hati
--------------------
Percaya atau tidak, jenis manusia yang sangat rentan dan mudah
terjangkiti penyakit ini adalah pemimpin. Paling tidak ada tiga hal
yang dapat menjelaskan hal ini: (1) kuasa, (2) persepsi umum dan
perlakuan khusus, dan (3) keberhasilan.

Banyak pemimpin yang pada awal proses kepemimpinannya rendah hati
berubah menjadi tinggi hati. Hal ini seringkali terjadi karena kuasa
yang dilekatkan pada diri para pemimpin tersebut tatkala mereka diberi
kepercayaan untuk memimpin orang lain (mempengaruhi, mengajar,
memotivasi, memberdayakan, dan sebagainya).

Kuasa sangat ampuh dalam membentuk dan mengubah karakter pemimpin.
Abraham Lincoln, presiden Amerika ke-16 dan seorang pemimpin besar
dalam sejarah, pernah mengatakan:
   "Nearly all men can stand adversity, but if you want to test
   a man's character, give him power."

Disadari atau tidak, sebutan "hamba Tuhan" mengimplikasikan sebuah
persepsi kuasa yang dapat menjebak pemimpin Kristen. "Memang saya
hamba, tapi tunggu dulu, saya bukan hamba sembarangan. Saya hamba-nya
TUHAN." Konsep diri seperti ini seringkali membuat pemimpin Kristen
berlaku seperti Tuhan ketimbang seperti hamba. Karena hamba-nya Tuhan,
maka ia merasa statusnya lebih superior dari orang lain dan berhak
menjadi tuan atas mereka. Pertanyaannya bagi pemimpin Kristen: mana
yang lebih cocok menggambarkan dirinya: hamba atau Tuhan?

Kedua, saat seorang pemimpin menerima legitimasi dari orang lain dan
diterima kepemimpinannya, itu berarti ia dipersepsi oleh publik
sebagai seorang yang lebih superior ketimbang yang lain, minimal dalam
satu hal (kompetensi atau pengalaman, misalnya). Yang menarik,
persepsi ini kemudian tidak berlaku hanya dalam satu hal tersebut,
namun perlahan-lahan diterapkan dalam berbagai hal. Sehingga yang
muncul adalah persepsi bahwa pemimpin memang berstatus lebih superior
dibanding orang lain dalam semua hal. Hal ini mudah terjadi khususnya
dalam kultur yang paternalistis.

Persepsi ini seringkali disertai dengan perlakuan-perlakuan yang
lebih istimewa terhadap pemimpin dibanding non-pemimpin. Kebutuhannya
didahulukan dan keinginanannya dinomorsatukan. Orang sangat ingin
mendengar pandangan dan pendapat pemimpin, sehingga apa yang ia
katakan jauh lebih penting daripada perkataan orang lain.

Persepsi dan perlakuan khusus terhadap pemimpin seringkali tidak
dapat dihindari karena terjadi dengan natural. Yang dapat dihindari
adalah reaksi atau respon pemimpin terhadapnya. Apabila tidak mawas
diri, maka persepsi dan perlakuan istimewa ini menjadi sebuah jebakan
yang menjerumuskan karakter pemimpin. Dari rendah hati ke tinggi hati.
Kalau hari ini banyak pemimpin yang menderita superiority complex, itu
menunjukkan betapa mereka memilih untuk hidup dalam persepsi, bukan
realita. Dan memilih untuk terlena dengan berbagai perlakuan khusus
tadi.

Hal ketiga yang barangkali paling fatal adalah keberhasilan seorang
pemimpin. Banyak pemimpin yang efektif menjadi gagal karena
keberhasilannya. Kutipan ayat di awal tulisan ini menceritakan tentang
raja Uzia yang jatuh justru karena karir politiknya yang sukses. Ada
motto yang mengatakan "Success breeds success". Namun realitanya,
"Success also breeds failure". Karena kesuksesan dapat menjelma
menjadi penjara yang membelenggu dan membesarkan ego pemimpin.

Dalam 2Tawarikh 26, kita membaca bagaimana raja Uzia memulai peran dan
posisinya sebagai pemimpin dengan sangat baik. Ia melakukan apa yang
benar di mata Tuhan (ay. 4), dan Allah menyertainya dalam berbagai
usahanya. Namanya menjadi terkenal sampai ke negeri jauh. Meskipun
bukan karena kehebatannya sendiri melainkan karena ia "ditolong dengan
ajaib" (ay. 15). Inilah klimaks dari pelayanannya sebagai pemimpin,
karena setelah itu ia lupa diri.

Ia menganggap dirinya hebat dan merasa tidak lagi perlu tunduk kepada
Tuhan. Ia lupa ia hanyalah hamba-Nya, alat-Nya. Ia malah mencoba
menjadi allah kecil. Alhasil, bukan saja kepemimpinannya hancur, namun
hidupnya berakhir dengan tragis. Ia terkena penyakit kusta secara
instan di dalam bait Tuhan (ay. 19-21) dan diasingkan seumur hidup
sampai saat kematiannya.

Natur Kesombongan
-----------------
Kesombongan adalah dosa yang sangat serius dan sentral. C.S. Lewis
menguraikan hal ini dengan menggarisbawahi natur dari kesombongan,
yaitu kompetisi.

Kita umumnya berpikir bahwa seseorang menjadi sombong karena ia kaya,
pandai, cantik/tampan, berpengalaman, atau berkuasa. Persepsi ini
keliru. Yang membuat seseorang sombong adalah perbandingan yang ia
lakukan terhadap orang lain. Seseorang menjadi sombong karena ia lebih
kaya, lebih pandai, lebih cantik/tampan, lebih berpengalaman, atau
lebih berkuasa dibanding orang lain. Karena jika semua orang lain
menjadi sama kaya, sama pandai, sama cantik/tampan, sama
berpengalaman, sama berkuasa, maka tidak ada lagi hal yang ia dapat
sombongkan.

Kesombongan mengalami kepuasan bukan karena memiliki sesuatu, namun
karena memiliki sesuatu yang lebih dari orang lain. Hal ini dilukiskan
Yesus secara gamblang dalam diri orang Farisi yang bersama-sama
seorang pemungut cukai berdoa di Bait Allah. Orang Farisi itu
mengucapkan doa demikian dalam hatinya:
   "Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu karena aku tidak sama
   seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan
   pezinah, dan bukan juga seperti pemungut cukai ini." (Lukas 18:11)
Orang Farisi tersebut arogan karena ia membandingkan dirinya dengan
orang lain, khususnya dengan si pemungut cukai yang berada didekatnya.
Ia merasa lebih superior dan memiliki hak untuk bermegah dalam dirinya
sendiri.

Yang menarik untuk dicermati adalah frase "dalam hatinya". Inilah
yang menyebabkan kesombongan itu menjadi dosa yang "subtle", begitu
sulit terdeteksi. Karena dosa tersebut tidak perlu terungkap keluar
secara verbal. Cukup berada dalam hati. Tanpa refleksi yang sungguh-
sungguh, sulit untuk memeriksa, menerima, apalagi mengakui bahwa kita
sombong.

Superioritas Pemimpin
---------------------
Setelah menggumuli hal-hal di atas, terlintas sebuah pertanyaan di 
benak saya. Bukankah memang seorang pemimpin itu lebih superior 
dibanding orang yang dipimpin, minimal dalam satu hal? Kalaupun ia 
tidak lebih superior dalam kompetensi atau pengalaman, ia superior 
karena ia mendapat panggilan Allah sementara yang lain tidak (lihat 
para pemimpin di Alkitab yang Allah panggil). Jadi bagaimana menjaga 
agar seorang pemimpin tidak berubah sombong dalam superioritas-nya?

Salah satu kuncinya saya pikir adalah menaruh superioritas itu pada
konteks yang tepat. Superioritas di sini harus dimengerti bukan
sebagai status, namun sebagai fungsi. Pemimpin lebih superior
dibanding non-pemimpin dalam menjalankan beberapa fungsi tertentu,
seperti menangkap visi, memotivasi, menangani konflik, dan seterusnya.
Namun itu tidak lalu berarti ia memiliki status lebih superior
dibanding orang lain. Karena pemimpin tetap orang berdosa dan hidup
dalam tubuh yang fana, sehingga bisa salah atau jatuh.

Pemimpin menjadi pemimpin karena Allah yang mengijinkan, karena Allah
yang memberi panggilan, karena Allah yang memberi kemampuan. Dengan
kata lain, karena anugerah. Jadi tidak ada alasan untuk menjadi tinggi
hati.

Saat pemimpin sadar bahwa ia adalah bukan siapa-siapa di hadapan Tuhan
yang adalah segalanya, di sana ia memiliki kerendahan hati. Kerendahan
hati hanya dapat dimiliki apabila seorang pemimpin tahu jelas siapa
Allah dan siapa dirinya di hadapan-Nya.

Tapi bolehkah pemimpin menerima pujian dari orang lain dan bersenang
hati karenanya? Saya kira sah-sah saja, karena itu adalah buah dari
apa yang sudah ia kerjakan dalam rangka menjalankan peran dan tugasnya
sebagai pemimpin. Masalahnya datang tatkala dalam menikmati pujian
tersebut, si pemimpin lalu mulai berpikir, "Hmm, ternyata jelek-jelek
begini saya hebat juga." Pergeseran tersebut mencuri kredit dari Allah
dan merancukan konsep diri pemimpin.

Allah dan Manusia Sombong
-------------------------
Jika saya seorang yang sombong, maka selama ada satu orang saja di
dunia yang lebih berkuasa, lebih kaya, lebih pandai, maka dia adalah
saingan saya, musuh saya. Jadi arogansi yang ada dalam diri saya
selalu berkompetisi dengan arogansi yang ada dalam diri orang lain.
Itu sebab mengapa semakin saya sombong, semakin saya membenci orang
yang sombong. Orang yang suka mencari perhatian akan segera merasa
tersaingi apabila ada orang yang juga suka mencari perhatian di
dekatnya.

Ketika seseorang berhadapan dengan Allah, maka ia berhadapan dengan 
sesuatu yang jauh lebih superior dibanding dirinya dalam aspek apapun. 
Tanpa kesadaran dan pengakuan ini, tidak mungkin ia dapat mengalami 
perjumpaan yang sejati dengan Allah. Di sinilah orang sombong, 
khususnya pemimpin yang congkak, mengalami masalah. Jika ia menganggap 
orang yang lebih superior adalah saingan dan musuhnya, maka ia akan 
kesulitan untuk benar-benar menaklukkan diri di bawah Allah. Dalam 
kalimat C.S. Lewis, "A proud man is always looking down on things and 
people, and, of course, as long as you are looking down, you cannot 
see something that is above you."

Yang paling menakutkan dari kesombongan adalah bahwa Allah bukan saja
membenci dosa tersebut, namun secara aktif menentangnya. Ia tidak
berdiam diri terhadap orang sombong, namun berinisiatif melawannya.
   "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang
    yang rendah hati." (1Petrus 5:5)

   "Setiap orang yang tinggi hati adalah kekejian bagi Tuhan,
    sungguh ia tidak akan luput dari hukuman." (Amsal 16:5)

Saya pikir hal yang paling mengerikan yang dapat dialami oleh orang
Kristen adalah berhadapan dengan Allah sebagai musuh-Nya. Tidak ada
lagi yang lebih menakutkan.

Yang menarik dari tulisan-tulisan C.S. Lewis, Andrew Murray, dan
Jeremy Taylor tentang kesombongan hati adalah mereka secara harmonis
menyuarakan dengan keras bahwa kesombongan adalah dosa yang terbesar
dan tersulit dikalahkan. Dan semakin saya merefleksikan mengapa
demikian, semakin saya setuju dengan mereka. Contohnya sederhana saja.

Dengan mencantumkan ketiga nama terkenal tersebut, saya bisa saja
ingin menunjukkan kepada pembaca tulisan ini bahwa saya sudah membaca
dan mengerti topik ini dengan baik, paling tidak dibanding dengan
banyak orang lain. Atau saya mungkin ingin membuktikan bahwa saya
membaca banyak buku yang berbobot. Percikan kesombongan ini belum
tentu tertangkap oleh orang lain, namun hati nurani saya tidak bisa
tutup mulut tentang hal ini.

Bahkan yang lebih subtle lagi adalah proses berikut. Karena telah
mengerti bahaya kesombongan, maka saya merasa ditegur dan mulai
berubah untuk rendah hati. Lalu saya bercerita kepada orang lain bahwa
saya telah belajar dan berhasil menjadi orang rendah hati. Orang
tersebut menjadi kagum terhadap perubahan yang fantastis tersebut.
Sementara hati kecil saya berteriak mengatakan bahwa saya telah
menyombongkan kerendah-hatian saya. Sungguh sebuah skandal internal
yang canggih!

Itu sebab langkah pertama untuk mengalahkan kesombongan adalah
mengakui bahwa kita adalah orang sombong! Entah apa langkah yang
terakhir, saya tidak tahu. Yang penting jangan sampai kita harus
berhadapan dengan Allah sebagai musuh gara-gara masalah ini.

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org