Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/4

e-Reformed edisi 4 (23-1-2000)

Bagaimana Theolog Reformed
Bertheologi Pada Masa Kini (I)


(Ditulis oleh Fred H. Klooster dari
Calvin Theological Seminary, Grand Rapids, Michigan)


	Kata "Reformed" dan "Reformasi" sebenarnya satu rumpun.
Gerakan Reformasi abad 16 menolak atau memodifikasikan beberapa
doktrin dan praktek Katolik Roma. Tokoh-tokoh Reformasi mengakui
Alkitab sebagai satu-satunya otoritas. Karena itu, dengan kembali
kepada keyakinan gereja mula-mula mereka mendirikan gereja Protestan,
membuat pengakuan iman baru, dan mengembangkan theologi baru. Dalam
kamus Webster, kata "reformed" berarti "berubah menjadi lebih baik."
Kata "Reformed" pada mulanya adalah sinonim untuk "Protestan", yang
meliputi Lutheran, Zwinglian dan Calvinian. Secara bertahap istilah
tersebut akhirnya hanya dipakai untuk gereja Calvinis di benua
Eropa, sedangkan di Inggris gereja Calvinis disebut Presbyterian.


	Sebagai nama gereja, istilah Reformed dan Presbyterian sering
dipakai bergantian. Contohnya adalah nama 3 organisasi oikumene yang
mencakup kedua gereja tersebut, yaitu "World Alliance of Reformed
Churches (WARC) yang merupakan organisasi internasional tertua,
"Reformed Ecumenical Council" (REC) yang secara organisasi lebih
kecil, dan "National Association of Presbyterian and Reformed
Churches" (NapaRC) yang berada di Amerika Serikat. Secara gamblang,
"Reformed" merujuk kepada tipe doktrin, pengakuan iman atau aliran
theologi, sedangkan "Presbyterian" merupakan bentuk pemerintahan
gereja. Hal ini terlihat dalam nama lengkap WARC waktu dibentuk,
yaitu "Alliance of the Reformed Churches throughout the world holding
the Presbyterian system" (Perserikatan Gereja-gereja Reformed di
seluruh dunia yang berpegang pada sistem Presbyterian). Bab ini
bertujuan menggambarkan bagaimana theolog Reformed dalam tradisi
Reformed dan Presbyterian bertheologi.


	Biasanya theolog tidak menjelaskan bagaimana cara mereka
bertheologi; pokoknya mereka bertheologi. Apa dan bagaimana cara
melakukan sesuatu pekerjaan sering sulit dijelaskan, terutama jika
pekerjaan itu sesuatu yang sangat lumrah. Saya sering merasa senang
dengan pertanyaan yang diajukan anak tetangga saya jika saya sedang
memotong rumput, mencuci mobil atau mencat rumah. "Apa yang sedang
anda kerjakan, Pak Klooster?" Biasanya saya memberi jawaban yang
konyol sehingga ia berkata "Tidak, bukan itu yang sedang anda
kerjakan." Cara demikian tentu tidak tepat di sini. Saya harus
berusaha menjawab pertanyaan yang biasanya diabaikan atau tidak
diperhatikan theolog Reformed. Saya terpaksa berusaha menggambarkan
apa yang saya pikir mereka kerjakan. Akibatnya saya harus
menggambarkan bagaimana saya, sebagai seorang theolog Reformed,
bertheologi dan bagaimana seharusnya bertheologi. Walaupun tidak
semua theolog Reformed akan setuju, saya berharap gambaran saya ini
valid secara umum.


	Theologi Reformed merupakan satu spesies dalam genus
theologi, maka theologi Reformed tentu memiliki karakteristik dasar
yang sama dengan tipe theologi lainnya. Saya akan memfokuskan pada
yang biasa disebut theologi sistematik atau theologi dogmatik atau
theologi saja. Tetapi pembahasan saya akan melibatkan juga
cabang-cabang theologi lainnya. Bab ini terutama akan membahas kata
"Reformed? Bagaimana theolog Reformed melakukan pekerjaan mereka? Apa
yang penting dari beragam hasil aktivitas bertheologi?
Pertanyaan-pertanyaan sulit ini yang akan kita bahas.


	Bekerja dalam bidang sains memerlukan kesabaran karena
melibatkan proses yang lambat dan sangat teliti. Begitu juga
bertheologi. Membahas cara bertheologi juga dapat membosankan. Tetapi
menyadari apa yang kita lakukan itu berguna, dan jika kita melakukan
pekerjaan dengan sadar maka kita akan semakin menyadari pekerjaan
kita ketika sedang mengerjakannya. Contohnya, kita harus dapat
membuktikan rasa dari puding jika kita memakannya. Pembahasan saya
mengenai cara theolog Reformed bertheologi pada masa kini meliputi 7
langkah berikut: (1) melakukan survey pustaka dan sejarah bertheologi
sistematik; (2) membedakan tipe tipe-tipe utama theologi dan mencatat
karakteristik utamanya; (3) menyadari dua pilihan utama ketika mulai
bertheologi dalam bidang Reformed; (4) mengamati natur aktivitas
sains agar bisa memahami natur theologi sebagai sains; (5) mengenali
wilayah investigasi theologi dan norma-normanya; (6) mengakui Alkitab
sebagai norma tertinggi, berusaha untuk mengerti seluruh Alkitab
dalam terang sejarah Alkitab, theologi Alkitabiah, eksegese yang
cermat dan perhatian terhadap masalah hermeneutika; akhirnya, (7)
menarik implikasi theologi Reformed untuk iman dan kehidupan baik
pribadi maupun kelompok.


MELAKUKAN SURVEY SEJARAH THEOLOGI
	
	Theolog Reformed menyadari bahwa mereka membangun theologinya
di atas dasar yang sudah diletakkan oleh generasi sebelumnya. Tidak
seorangpun dapat membangun theologi tanpa dasar. Seorang theolog
harus memahami sejarah masa lalu dan situasi masa kini. Theologi
melakukan pekerjaannya dalam persekutuan dengan theolog dari segala
abad, termasuk mereka yang tidak sealiran, dan dengan demikian harus
mengetahui theolog-theolog besar dalam sejarah dam membaca
tulsan-tulisan mereka. Masalah utama apa yang dihadapi oleh theolog
besar ini? Terhadap hal-hal apa mereka bereaksi dan apa yang mereka
berusaha capai? Sumbangsih apa yang mereka berikan dan mengapa mereka
penting bagi theologi Reformed masa kini? Apa yang dapat dipelajari
dari mereka, baik hal-hal positif maupun negatif? Menjawab semua
pertanyaan tersebut dengan melakukan survey awal terhadap sejarah
theologi merupakan langkah yang baik untuk mulai bertheologi. Pada
umumnya membaca sebuah buku tipis cukup sebagai orientasih.


	Pembagian periode dalam sejarah selalu agak sembarang. Dari
perspektif theologi sistematis, sejarah dibagi menjadi enam periode
sbb: periode kuno atau patristik (tahun 90-800), Abad Pertengahan
(800-1500), era Reformasi (1500-1650), periode Pencerahan
(1650-1800), periode setelah Pencerahan, (1800-1920), periode antara
dua Perang Dunia (1920-1939), dan periode kontemporer
(1939-sekarang). Kejadian-kejadian dalam semua periode ini penting
diketahui secara detail untuk bertheologi Reformed secara bertanggung
jawab. Seluruh periode Reformasi pasti menarik perhatian theolog
Protestan. Pengetahuan tentang Abad Pertengahan sangat membantu
untuk memahami perkembangan Katholik Roma pada periode tersebut
--- perkembangan ini pada umumnya ditolak oleh kaum Reformasi.


	Sejarah theologi gereja permulaan juga penting. Pada abad ke
2 gereja berjuang keras melawan aliran Gnostik yang liberal.
Berlawanan dengan pendapat umum, theologi tidak dimulai dari menara
gading akademis, tetapi justru bangkit dalam konteks misi gereja yang
membawa Injil Keselamatan Yesus Kristus kepada dunia kafir. Dalam
melakukan misi ini, beberapa pertanyaan theologi terpenting harus
dihadapi --- pertanyaan mengenai Tritunggal, kemanusiaan Yesus
Kristus, dosa manusia, dan anugerah Allah. Keputusan 6 konsili
Oikumene yang pertama (tahun 325-680) memberikan perspektif dan
formulasi yang menjadi dasar theologi Reformed dan harus diperhatikan
oleh semua tipe theologi.


	Survey singkat terhadap seluruh sejarah theologi dan
literarturnya mungkin membingungkan seorang pemula, namun tetap harus
dilakukan agar lambat laun merasa nyaman dalam arena theologi.
Seorang theolog pemula harus akrab dengan perpustakaan yang berisi
tulisan-tulisan utama theolog penting dan harus memiliki perpustakaan
sendiri yang berisi yang selektif dan terus berkembang. Peta yang
baik, kamus theologi dan ensiklopedia harus tersedia jika sedang
belajar theologi, terutama bagi pemula. Irenaeus dan Tertullian,
Athanasius dan Agustine, Anselm dan Aquinas, dan banyak lagi segera
menjadi nama-nama yang sering terdengar dalam percakapan antar
theolog.


MEMBEDAKAN TIPE-TIPE THEOLOGI
	
	Survey terhadap sejarah dan literatur theologi memperlihatkan
beberapa tipe theologi. Kita terlibat dalam theologi Reformed dengan
menyadari keberadaan theologi lain yang berkompetisi. Dalam periode
patristik sudah ada theolog yang muncul tetapi belum tampak jelas
tipenya. Kecenderungan Barat dan Timur mencapai puncakknya dalam masa
Agustinus dan John dari Damaskus.


	Tipe theologi utama yang pertama muncul dalam Katholik Roma
pada Abad Pertengahan. Theologi ini terutama dibangun di atas Summa
Thomas Aquinas dan merefleksikan pendekatan "both-and". Keristenan
dikombinasikan oleh Aristoteles sehingga menghasilkan dualisme antara
natural dan supra-natural, rasio dan iman, theologi natural dan
supra-natural. Alkitab dan tradisi sama-sama diakui otoritasnya
dalam dualisme "both-and" ini. Iman dan usaha sama-sama menghasilkan
keselamatan, dan banyak kombinasi serupa lainnya. Tantangan kaum
Reformasi menyebabkan Roma meneguhkan posisinya dalam persetujuan
Trent (1545-1563) dan memperjelas dan mengembangkan beberapa dogmanya
dalam Konsili Vatican I (1869-1870). Walaupun ada semangat baru dalam
Konsili Vatican II (1962-1965), pendekatan dualisme ini tetap
merupakan pegangan resmi gereja Katolik Roma.


	Slogan Reformasi menggambarkan kontras mendasar antara
dualisme Katholik Roma dengan sola (hanya) theologi Protestan. Sola
scriptura menekankan otoritas tunggal. Alkitab yang berlawanan dengan
dualisme Alkitab dan tradisi. Ketaatan pada berita Alkitab membawa
kepada sola fide dan sola gratia karena keselamatan hanya dari
Kristus, hanya oleh anugerah melalui iman, bukan oleh iman dan usaha.
Lutheran, Zwinglian dan Calvinian sepakat dalam hal-hal dasar, tetapi
berbeda dalam sakramen dan aspek-aspek Kristologi. Munculnya aliran
Zwinglian dan Calvinian dalam Persetujuan Zurich pada tahun 1549
menimbulkan 2 cabang theologi utama Protestan, yaitu Lutheran dan
Calvinistic. Siapapun yang ingin bertheologi Reformed pada masa kini
akan berada dalam tradisi Calvinistik namun tetap memperhatikan tipe
aliran Lutheran dan Anabaptis.


	Pada masa bangkitnya filsuf Imanuel Kant dan masa Pencerahan,
sebuah tipe theologi baru berkembang, yaitu liberalisme atau
modernisme yang muncul dari gereja Reformed (F. Schleiermacher) dan
Lutheran (A. Ritschl) di Jerman. Aliran baru ini menolak ajaran
pengakuan iman Protestan serta keputusan-keputusan doktrin patristik,
dan menggambungkan ajaran bidat mengenai Tritunggal, Kristologi dan
antropologi ke dalam struktur sistematisnya. Karena berpijak pada
otonomi manusia, theolog liberal menolak otoritas Alkitab dan
memfokuskan perhatian theologi pada pengalaman religi manusia dalam
fenomena yang dapat dijelaskan secara rasional. Alkitab hanya
dianggap sebagai catatan pengalaman-pengalaman religi suku Semit
kuno. Pertanyaan mengenai hal yang baru dan salah dalam agama dan
theologi digantikan dengan kategori-kategori evolusi. Gereja-gereja
Protestan di seluruh dunia sangat terpengaruh oleh theologi baru yang
radikal ini. Meskipun kaum Lutheran dan Calvinistik ortodoks masih
ada dalam jumlah kecil di gereja-gereja besar, pemisahan gereja
dianggap perlu terutama di Belanda dan Amerika Utara.


	Karena dorongan Karl Barth sebuah theologi baru, yaitu
Neo-ortodoks, muncul dari keruntuhan liberalisme dalam masa Perang
Dunia I. Neo-ortodoks, yang mengetahui bahwa doktrin liberalisme
Pelagian hancur karena perang, mengklaim kembali kepada Alkitab, kaum
Reformasi dan theolog Patristik. Kalangan theolog di Amerika masih
memperdebatkan apakah Neo-ortodoks sebenarnya merupakan langkah
kembali kepada prinsip Reformed. Saya sendiri yakin bahwa
Neo-ortodoks adalah sebuah theologi baru karena Neo-ortodoks
menganggap bahwa Alkitab hanya sebagai saksi wahyu dan bukan wahyu
itu sendiri dan karena Neo-ortodoks memiliki posisi doktrinal baru.
Reaksi aliran ini terhadap liberalisme, dikontraskan dengan theologi
Reformed klasik, bersifat docetik secara historis. Pewahyuan tidak
berakar pada kejadian-kejadian nyata dan historis tetapi melibatkan
kejadian misterius dan transeden pada masa kini dalam konteks kotbah.
Neo-ortodoks adalah tipe theologi yang sangat kompleks dan
merefleksikan pengaruh filsafat eksistansialisme.


	Situasi periode kontemporer juga kompleks dan beragam.
Theologi kuno sering dimodifikasikan dan dikombinasikan dengan yang
lebih baru. Hal ini terutama nyata dalam perkembangan Katolik Roma.
Theologi yang mengikuti mode seperti theologi "kematian Allah"
digemari pada tahun 1960-an. Variasi Neo-liberalisme juga sedang
bangkit. Tetapi W. Pannenberg dan J. Moltmann bereaksi terhadap
theolog Barth dan Bultman dengan mengembangkan theologi yang lebih
berakar pada sejarah. Theologi proses memiliki beberapa pengikut di
Amerika Utara. Beberapa variasi theologi liberal, termasuk theologi
kulit hitam dan theologi feminin, telah menjadi fenomena yang
mendunia sejak tahun 1970an. Theolog pemula harus waspada terhadap
semua variasi theologi dalam periode kontemporer ini, tetapi
sebelumnya harus lebih dahulu berusaha memahami 4 theologi utama,
yaitu Katholik Roma, Protestan (Reformed dan Lutheran), Liberal dan
Neo-Ortodoks.


MENYADARI PILIHAN AWAL
	
	Setelah menyelesaikan 2 tahap survey sejarah mungkin kita
ingin segera mulai bertheologi. Tetapi pertanyaan pernting segera
muncul: Bagaimana cara memulainya? Ada 2 cara yang berbeda dalam
theologi Reformed. Seorang theolog pemula harus mengambil keputusan
penting mengenai posisinya secara rasional atau haruskah presuposisi
ini diterima hanya dengan iman?


	Nama kedua posisi tersebut merefleksikan tempat asal mereka.
Posisi Princeton Kuno dikembangkan dalam gereja Presbyterian yang
berakar di Inggris dan diwakili oleh B.B. Warfield (1851-1921).
Posisi Amterdam Kuno dikembangkan di Eropa, terutama di Belanda, dan
diwakili oleh A. Kuyper (1837-1920). Kedua posisi Reformed ini
dikembangkan dalam masa dominasi liberalisme dan ketika sains modern
telah muncul. C. Hodge adalah penerus Schleiermacher, sedangkan Warfield
dan Kuyper adalah penerus Ritschl dan khususnya Harnack, Hermann dan
Troeltsch. Baik Kuyper maupun Warfield berakar pada Calvin, tetapi
mereka menginterprestasikan bagian-bagian tertentu secara berbeda.
Perdebatan mengenai kedua cara ini, terutama dalam kaitannya
apolotegika, sering cukup sengit dalam kalangan Injili.


	Pendekatan Princeton Kuno (Old Princeton) sangat dipengaruhi
oleh filsafat Scottish Common Sense dan tradisi empiris. Warfield
berpendapat bahwa sains mereduksi bagian pengetahuan kita menjadi
orde dan harmoni dan selalu mempresuposisikan 3 hal dasar. Sains
theologi mempresuposisikan eksistensi Allah, natur religi manusia
yang mampu mengetahui adanya Allah, dan wahyu yang menyatakan Allah
ada. Sains yang bertanggung jawab adalah disiplin ilmu yang secara
rasional membangun presuposisi ini, dan karena itu apologetika adalah
titik awalnya. Presuposisi ini harus dibangun di atas dasar argumen
rasional dan tanpa mengarah pada Alkitab atau iman. Dengan cara ini
apologetika meletakkan fakta mengenai Allah, agama (Kekristenan) dan
wahyu (Alkitab) di dalam tangan kita. Setelah presuposisi ini
dibangun secara rasional oleh apoligetika, barulah kita dapat
bertheologi dalam 4 cabang aliran utama.


	A. Kuyper yang mewakili posisi Amsterdam Kuno menggunakan
ketiga presuposisi dasar tersebut dalam aktivitas theologinya. Tetapi
ia berpendapat bahwa presuposisi ini diberi oleh Alkitab dan
seharusnya diterima dengan iman. usaha membangun presuposisi secara
rasional bukan hanya mustahil, tetapi juga berlawanan dengan
perspektif iman Reformed. Tidak seorangpun dapat menempatkan diri
lebih tinggi dari Allah atau lebih tinggi dari Alkitab atau di luar
iman. Kejatuhan Adam mempengaruhi rasio manusia. Akibatnya manusia
mustahil dapat membangun presuposisi secara rasional. Posisi seorang
Kristen jelas dan berlimpah, tetapi pikiran manusia yang sudah
dicemari dosa tidak mampu berespons secara tepat tanpa iman kepada
Alkitab. Manusia perlu `kaca-mata' Alkitab agar dapat menerima wahyu
umum secara tepat. Menurut Kuyper, apologetika merupakan subdivisi
theologi sistematis yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap
serangan-serangan filsafat non-Kristen, bidat dan agama-agama lain.
Tetapi apologetika harus bekerja sama dengan presuposisi-iman yang
diperlukan untuk semua sains theologi. Kuyper tidak bekerja mulai
dari posisi filfafat yang didefinisikan dengan jelas, tetapi filsafat
yang sejalan dengan Kuyper dikembangkan kemudian oleh filsuf Belanda,
H. Dooyeweerd dan DH Vollenhoven; C. Van til juga kemudian mengikuti
jejak Kuyper dalam pengembangan apologetika yang berbeda dengan
pendekatan Warfield dan Princeton Kuno.


	Keputusan yang diambil antara 2 pilihan utama theologia
Reformed ini tentu dipengaruhi oleh latar belakang gereja dan
pendidikan seseorang. Keputusan ini cukup mendasar karena melibatkan
bagian-bagian Alkitab seperti Mazmur 19, Roma 1:18 dst, Kisah 14 dan
17; 1Korintus 2, dan Ibrani 11. Hal-hal dasar seperti wahyu umum,
pengaruh dosa dan kemungkinan theologi natural menjadi bahan
perdebatan, bahkan mungkin lebih lagi. Warfield berpendapat bahwa
seluruh Kekristenan dibangun oleh ketiga presuposisi tsb.
Keberatannya atas "rasionalisme vulgar" bukan pada rasionalismenya
tetapi karena aliran itu berusaha membangun sampah Kekristenan
melalui perdebatan jangka panjang.


	Pemahaman saya mengenai hal-hal dan tulisan-tulisan tersebut
di atas membuat saya memegang posisi Amsterdam Kuno pada saat mulai
bertheologi. Seorang theolog pemula tidak boleh mengambil keputusan,
agar kita dapat memahami tulisan-tulisan theologi. Pilihan pribadi
memang tidak terelakkan dan sebaiknya dilakukan sedini mungkin dan
secara bertanggung jawab. (hs).


(bersambung ke edisi berikutnya)

Sumber:
Majalah Momentum; Edisi: 31 Triwulan III/1996, hal. 44-50,
yang diterbitkan oleh Lembaga Reformed Injili Indonesia.

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org