Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/38 |
|
e-Reformed edisi 38 (27-6-2003)
|
|
PRINSIP DASAR ETIKA KRISTEN TENTANG PERANG: SEBUAH TINJAUAN TERHADAP PACIFISM DAN JUST WAR THEORY Adakah perang yang dapat dibenarkan ('justified')? Pertanyaan ini bukan sedang diarahkan kepada perang tertentu, entah yang pernah atau sedang terjadi, tetapi lebih sebagai pertanyaan yang bersifat prinsip. Artinya, berdasarkan prinsip etika Kristen, adakah dasar-dasar pertimbangan untuk membenarkan perang atau penggunaan kekerasan demi mencapai suatu sasaran kemanusiaan yang lebih mulia? Sebagai orang Kristen yang lekat dengan prinsip kasih, tentu kita bukanlah orang- orang yang terpanggil untuk mengobarkan semangat perang. Namun demikian, di tengah dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa di mana kekerasan merupakan isu moral yang tidak pernah dapat dihindari, sering kali kita harus mengakui bahwa perang atau penggunaan kekerasan demi alasan kemanusiaan dengan segala etika yang terkandung di dalamnya, adalah pilihan yang harus kita pertimbangkan. Barangkali contoh sederhana adalah dari Francis Schaeffer: I am walking down the street and I come upon a big, burly man beating a tiny tot to death-beating this little girl...I plead with him to stop. Suppose he refuses? What does love mean now? Love means that I stop him in any way I can, including hitting him.[1] Isu etika tentang perang memang tidak harus selalu berarti kekerasan. Di dalamnya terkandung pertanyaan-pertanyaan etika lainnya seperti: bagaimana jika seorang Kristen terpanggil sebagai polisi atau tentara? Apakah kita harus memandang profesi semacam itu sebagai 'anomali' bagi kekristenan? Bagaimana dengan keterlibatan orang Kristen dalam politik atau bernegara? Bagaimana pula seandainya keutuhan negara kita terancam oleh kekuatan politik atau senjata, baik dari negara lain ataupun dari dalam negeri? Serangkaian pertanyaan ini bisa terus kita kembangkan, tetapi pada intinya isu ini menuntut setiap orang Kristen untuk dengan serius mempertimbangkan tanggung jawab dan panggilannya sebagai warga negara. Atau menurut istilah Agustinus, salah seorang bapa gereja, meskipun pengharapan utama setiap orang percaya adalah digenapinya secara penuh 'City of God' di dalam langit dan bumi yang baru, tetapi selama masih tinggal di bumi ini kita tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab di dalam 'civitas terrena' (kota duniawi) yang kita tinggali.[2] Gereja memang pernah dinodai oleh deklarasi "perang suci" dari pihak kekristenan. Namun jikalau kita meneliti sejarah gereja, sebenarnya ada dua posisi lain yang kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan menurut firman Tuhan serta patut kita pertimbangkan, yaitu 'pacifism'[3] dan 'just war theory'.[4] 'Pacifism' pada hakikatnya adalah pandangan yang berpendapat bahwa berdasarkan prinsip iman Kristen, tidak ada satu pun perang atau penggunaan kekerasan yang dapat dibenarkan, sekalipun dengan alasan kemanusiaan. Setiap orang Kristen harus secara mutlak menolak isu tentang perang, bahkan sebagian pendukung kelompok ini menegaskan bahwa penolakan tersebut termasuk dalam profesi sebagai prajurit. Sebaliknya, setiap orang yang sudah ditebus oleh Kristus harus sanggup memancarkan kasih Kristus di dalam situasi dan kondisi apa pun. Sedangkan pandangan kedua, 'just war theory', percaya ada perang atau penggunaan kekerasan demi alasan kemanusiaan yang dapat dibenarkan. Sekalipun karakter utama setiap orang Kristen adalah kasih, namun menurut pendukung teori ini pelaksanaan kasih di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa ini tidak dapat dilepaskan dari keadilan (justice) yang adakalanya mengandung aspek kekerasan. Artikel ini merupakan sebuah usaha untuk memberikan landasan biblika dan teologis dalam mengambil posisi etika antara kedua paham tersebut. Untuk itu pada bagian berikut akan dibahas terlebih dahulu pandangan masing-masing posisi. Selanjutnya, dengan menggunakan pendekatan hermeneutik dan teologis, pada bagian akhir, kita akan mencoba menyimpulkan posisi etika yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Penulis menyadari bahwa semua kategori pembahasan dalam artikel ini adalah topik-topik diskusi yang sangat luas, karena itu melalui artikel yang tidak terlalu panjang ini, rasanya berlebihan jika seseorang mengharapkan pembahasan secara detail dan menyeluruh. Penulis hanya berharap artikel ini dapat memberikan sedikit sumbangsih bagi pergumulan etika, khususnya isu tentang perang. PACIFISM -------- Posisi ini berangkat dari suatu kesadaran akan adanya pertentangan yang tajam antara penggunaan kekerasan dalam PL dan PB. Kita dapat membaca misalnya tentang "Hukum Perang" di Ulangan 20, di mana salah satu ayatnya mengatakan ketika bangsa Israel memasuki sebuah kota yang menolak tawaran perdamaian, maka Tuhan berkata, "Haruslah engkau membunuh seluruh penduduknya yang laki-laki dengan mata pedang" (ay. 13). Pada bagian selanjutnya dikatakan bahwa dari kota-kota bangsa- bangsa lain yang diberikan kepada Israel, Tuhan berkata, "janganlah kaubiarkan hidup apa pun yang bernafas, melainkan kautumpas sama sekali, yakni orang Het, orang Amori, orang Kanaan, orang Feris, orang Hewi, dan orang Yebus, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu" (ay. 16-17). Tetapi jika kita membaca PB, khususnya Khotbah di Bukit, kita akan mendapati nuansa yang sama sekali berbeda. Tuhan Yesus berkata, Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil... Kamu telah mendengar fiman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu (Mat 5:38-41, 43- 44). Berangkat dari ayat-ayat PB seperti di atas, tradisi 'pacifism' dengan tegas menyatakan bahwa hukum perang di PL sudah tidak berlaku lagi. Tanpa terjebak kepada bidat Marcion yang memisahkan dan membedakan Allah di PL dari Allah PB, Tertullian, seorang bapa gereja abad ketiga, mengatakan bahwa berita yang Kristus sampaikan melalui Khotbah di Bukit, bila dibandingkan dengan hukum di PL merupakan penyingkapan maksud Allah sebenarnya, yaitu bahwa pembalasan dan murka adalah hak Allah. Panggilan utama hidup Kristen adalah untuk setiap saat siap sedia "memberikan pipi kiri jika pipi kanan kita ditampar" atau dengan kata lain, rela menderita bagi Kristus dalam situasi apa pun.[5] Hippolytus, seorang bapa gereja yang hidup sezaman dengan Tertullian, lebih jauh berkata, "If a catechumen or a baptized Christian wishes to become a soldier, let him be cast out. For he has despised God."[6] Dalam tulisannya yang lain, "The Soldier's Chaplet", Tertullian juga menegaskan bahwa berdasarkan prinsip kasih yang Kristus telah ajarkan, maka profesi militer adalah sebuah jabatan yang sifatnya "offending God." Baginya, kisah seperti prajurit-prajurit yang datang kepada Yohanes Pembaptis untuk dibaptiskan ataupun perwira pasukan yang mengundang Petrus ke rumahnya adalah "sebelum" iman Kristen sungguh- sungguh berakar dalam diri mereka. Tetapi begitu iman yang sejati telah tumbuh maka profesi semacam itu harus ditinggalkan.[7] Pada abad ke-16, tradisi Tertullian tersebut diteruskan oleh kelompok Anabaptist yang dengan tegas menyatakan: "Christ is now our Lord, not the Old Testament."[8] Akibatnya, mereka percaya bahwa setiap murid Kristus terpanggil untuk hidup dalam kasih, ketaatan dan kesetiaan yang radikal terhadap segala perkataan Kristus. Salah satu contoh ekstrem dari Anabaptist adalah kasus Michael Sattler. Pada abad ke-16 ketika Eropa Barat diserang oleh orang-orang Turks, di hadapan publik Sattler berseru, "We should not resist any of our persecutors with the sword, but with prayer cling to God that He might resist and defend."[9] Lebih jauh ia menegur orang-orang Kristen yang turut berperang, "The Turks knows nothing about the Christian faith, he is a 'Turk according to the flesh.' But you want to be considered Christians, boast of being Christ's and still persecute His pious witnesses, you are Turks according to the spirit."[10] Dengan kata lain, mereka percaya bahwa dalam prinsip pewahyuan secara progresif, PB telah menggantikan PL. Ajaran Yesus dan para rasul harus dilihat lebih superior daripada tulisan Musa, Yosua dan para nabi lain. Bagi kelompok ini, etika PB jelas mengajarkan prinsip pacifism. Panggilan perang dan penggunaan kekerasan apa pun alasannya adalah hal yang sepenuhnya bertentangan dengan panggilan sebagai murid Kristus. Setiap orang yang telah ditebus harus mengenakan senjata rohani dan hidup di dalam kasih yang sifatnya 'defenseless' (tanpa pembelaan). Etika PL yang menekankan perang, penggunaan kekerasan dan pembalasan sekarang telah digantikan oleh model hamba yang menderita yang telah dicontohkan oleh Kristus sendiri.[11] Pada masa sekarang tradisi pacifism terus dikumandangkan oleh kelompok Neo-Augustinian.[12] Salah seorang di antaranya yang sangat menonjol ialah Richard B. Hays, seorang pengajar PB di Duke University. Ia menegaskan tradisi Tertullian maupun Anabaptist tentang 'pacifism' dengan berkata bahwa salib dan kebangkitan telah merumuskan prinsip dasar hidup Kristiani yang semestinya, yaitu kasih dan damai. ...the New Testament's witness is finally normative. If irreconcilable tensions exist between the moral vision of the New Testament and that of particular Old Testament texts, the New Testament vision trumps the Old Testament... So also Jesus' explicit teaching and example of nonviolence reshapes our understanding of God and of the covenant community in such a way that killing enemies is no longer a justifiable option... Once that word has been spoken to us and perfectly embodied in the story of Jesus' life and death, we cannot appeal back to Samuel as a counterexample to Jesus. Everything is changed by the cross and resurrection.[13] Sedikit berbeda dengan Anabaptist, Hays tidak menegaskan bahwa PB telah menggantikan PL. Yang hendak ia ajarkan adalah, jika ada prinsip moral PL yang bertentangan dengan PB, maka prinsip moral di PB sifatnya 'normatif' sehingga harus dipandang lebih superior ketimbang PL. Isu tentang perang adalah salah satu contoh di mana kita harus melihat prinsip kasih di PB sebagai yang lebih normatif daripada hukum perang di PL. Di dalam konteks tentang perang, bagi Hays, setiap orang Kristen terpanggil untuk hidup di dalam prinsip moral yang sama sekali berbeda dengan dunia. Ia melihat, misalnya, ketika Tuhan Yesus menyampaikan Khotbah di Bukit, khotbah ini diberikan dalam sebuah situasi di mana kekristenan bukan sebagai penguasa politik pada masa tersebut, tetapi sebagai kelompok marginal yang berada di luar lingkaran politik. Hal ini mengandung pengertian bahwa jika orang Kristen ingin sungguh- sungguh hidup menurut ajaran dan teladan Tuhan Yesus, maka ia harus memiliki standar moral yang berbeda secara radikal dari komunitas duniawi. Dengan demikian, tugas dan panggilan gereja adalah "to tell an alternative story" dan "to resist the seductions of violence" di tengah-tengah mayoritas komunitas dunia yang sejak Adam jatuh dalam dosa terus terikat oleh kekerasan dan peperangan.[14] Ia menegaskan jika gereja ingin sungguh-sungguh menjadi komunitas yang dibangun atas dasar Alkitab maka gereja harus mau terus-menerus meneladani "nonviolent countercultural community" sebagaimana telah dicontohkan melalui Khotbah di Bukit.[15] Ia merasa heran sekarang ini gereja ingin memberi pengaruh kepada dunia dengan cara menjadi serupa dengan dunia (appearing reasonable in the eyes of the world), dengan cara mereduksi sedapat mungkin prinsip-prinsip inti iman Kristen. Ini bukanlah panggilan murid Kristus; baginya, justru komunitas Kristen akan memberikan dampak yang besar seandainya orang-orang percaya "less concerned about appearing reasonable in the eyes of the world and more concerned about faithfully embodying the New Testament's teaching against violence."[16] Dengan kata lain, kasih Kristus baru dapat terpancar dengan terang ketika kita tidak mengikuti pola hidup dunia yang sudah terjebak oleh kekerasan. Hal ini tidak perlu diartikan bahwa orang-orang pacifist bukanlah warga negara yang baik. Yang hendak mereka tekankan adalah, sebagai orang Kristen mereka harus hidup sebagai warga negara yang baik dengan cara menyaksikan prinsip- prinsip moral yang secara eksklusif dibangun atas dasar Alkitab, yang sama sekali tidak dikompromikan dengan prinsip moral apa pun yang ada di dunia ini. Strategi pacifism Hays jelas mengandung risiko dan bahaya. Di satu pihak, dengan hidup berbeda secara radikal dari dunia umat Kristen harus selalu siap untuk terus menjadi kelompok marginal. Di lain pihak, prinsip semacam ini barangkali hanya berbeda selangkah dari bunuh diri, sebab apa pun yang terjadi orang Kristen tidak boleh memilih jalur politik atau penggunaan kekerasan demi membela diri ataupun orang lain. Hays bukan tidak menyadari hal ini. Menurutnya, prinsip hidup yang meneladani kasih Kristus, "in calculable terms, this way is sheer folly. Why do we choose the way of nonviolent love of enemies?"[17] Namun dengan indah ia mengkalimatkan jawaban untuk pertanyaan retorik ini sebagai berikut. If our reasons for that choice are shaped by the New Testament, we are motivated not by the sheer horror of war, not by the desire for saving our own skins and the skins of our children (if we are trying to save our skins, pacifism is a very poor strategy), not by some general feeling of reverence for human life, not by the naive hope that all people are really nice and will be friendly if we are friendly first. No, if our reasons for choosing nonviolence are shaped by the New Testament witness, we act in simple obedience to the God who willed that his own Son should give himself up to death on a cross. We make this choice in the hope and anticipation that God's love will finally prevail through the way of the cross, despite our inability to see how this is posibble.... When the church as a community is faithful to that calling, it prefigures the peaceable kingdom of God in a world wracked by violence.[18] Dengan demikian, bukan kekuatan manusia yang diandalkan dalam prinsip pacifism, tetapi kekuatan Allah sendiri untuk bekerja di dalam dunia yang sudah terjebak oleh peperangan dan kekerasan. Kita hanyalah lilin-lilin kecil yang tak berdaya yang dipakai untuk memancarkan terang kasih Kristus yang penuh kuasa. JUST WAR THEORY --------------- Agustinus umumnya dipandang sebagai pemikir Kristen pertama yang mencetuskan ide 'just war theory' (teori tentang adanya perang yang dapat dibenarkan). Meskipun ia sendiri tidak pernah merumuskan secara sistematis - pembahasannya tentang perang bersifat menyebar dalam berbagai tulisannya dan dalam konteks pembelaan iman Kristen - banyak ahli telah mencoba memformulasikan secara sistematis konsep politik dan perang melalui tulisannya. Tidak heran bila di kemudian hari banyak perbedaan di antara penganut 'just war theory', sekalipun mereka sama-sama mengklaim berdiri di dalam tradisi Agustinus.[19] Dalam salah satu bukunya yang sangat terkenal, 'The City of God', yang ditulis antara 413 dan 427, Agustinus memberikan pembelaan terhadap umat Kristen yang saat itu oleh kekaisaran Romawi dituduh sebagai penyebab melemahnya kekuatan kerajaan sehingga membuka peluang bagi serangan dari suku barbar (Alaric dan Goths). Hal ini dapat terjadi sebab, di mata orang-orang Romawi, doktrin Kristen tentang kasih persaudaraan, kasih terhadap orang yang memusuhi, kerendahan hati, kesabaran dan yang sejenisnya, telah melemahkan semangat untuk berjuang bagi negara.[20] Menghadapi tuduhan itu, Agustinus menulis bahwa kekristenan sama sekali tidak meniadakan patriotisme, melainkan justru mengangkat semangat itu hingga kepada level sebagai ketaatan iman (religious obligation).[21] Berbeda dengan Tertullian, Agustinus yang hidup kurang lebih satu abad sesudahnya (354-430), dapat melihat patriotisme dalam bernegara sebagai bentuk ketaatan rohani adalah karena ia tidak mempertentangkan PL dan PB secara tajam. Ia melihat bahwa perang yang dilaksanakan oleh perintah Allah di PL harus dipandang di dalam konteks sebagai "just and righteous retribution" terhadap dosa bangsa tertentu, termasuk Israel. Baginya, perang yang didasarkan bukan pada motivasi kenikmatan terhadap kekerasan itu sendiri, tetapi karena ketaatan kepada Allah dan penghukuman terhadap pelaku kejahatan demi mencegah dosa yang lebih besar, merupakan "an act of love."[22] Perintah agar kita "tidak membalas kejahatan dengan kejahatan" (Mat 5:39), menurutnya bukanlah larangan secara mutlak bagi perang itu sendiri, tetapi bagi kebencian (malice) yang merupakan bahaya sebenarnya di dalam hubungan antara sesama. Demikian pula perintah agar kita "memberikan pipi kiri jika pipi kanan ditampar" lebih ditujukan kepada motivasi kasih dan kesabaran, ketimbang perilaku secara harafiah. Dengan membedakan antara motivasi dan perbuatan, Agustinus sanggup mengatakan bahwa kasih tidak selalu bertentangan dengan penggunaan kekerasan, sebab, misalnya "when Moses killed sinners [di dalam perangnya dengan bangsa-bangsa lain] he was motivated by charity, not cruelty. Love for one's enemies did not prevent a 'benevolent severity' toward them."[23] Pandangan Agustinus juga berbeda dengan tradisi Tertullian mengenai profesi sebagai prajurit. Baginya, PB tidak pernah memerintahkan prajurit-prajurit yang disebutkan dalam Alkitab untuk meninggalkan jabatan mereka. Hal ini diakui oleh Hays, seorang pacifist, bahwa beberapa perikop yang menyinggung profesi prajurit, seperti Lukas 3:14- 15; Matius 8:5-13; Kisah Para Rasul 10:1-11:18, dapat menjadi dasar yang sah bahwa menjadi murid Kristus sama sekali tidak berarti menjauhkan diri dari penggunaan kekerasan demi mempertahankan kesejahteraan sosial atau keadilan.[24] Tetapi yang lebih menjadi fokus dan perhatian Agustinus adalah hati yang sudah diperbaharui, bukan profesi atau tindakan perang itu sendiri. Artinya, kalaupun seseorang memutuskan untuk pergi berperang, hal itu harus dilaksanakan di dalam "benevolent design and without undue harshness."[25] Ia mengakui bahwa dalam situasi tertentu kondisi damai dapat dicapai melalui pengampunan tanpa harus menggunakan kekerasan. Tetapi dalam situasi-situasi lain, membiarkan kejahatan tanpa adanya usaha untuk mencegahnya dengan segala daya upaya, termasuk menggunakan kekerasan, sama saja dengan membiarkan kejahatan menindas keadilan. Dengan demikian, perang adalah suatu tindakan yang sifatnya "permissible", tetapi hanya dan jika hanya "undertaken out of necessity and for the sake of peace."[26] Namun demikian, di bagian lain, ia menyangkal adanya perang yang dibenarkan jika alasannya adalah untuk kepentingan pribadi. Ia menegaskan bahwa penggunaan kekerasan untuk kepentingan pribadi akan selalu merupakan ekspresi kebencian. Apa yang hendak ia katakan adalah perang atau penggunaan kekerasan hanya mungkin dibenarkan jika yang mengambil keputusan adalah pemerintah yang sah atau "public officials." Ringkasnya, mereka yang berada dalam tradisi Agustinus umumnya sepakat bahwa bagi Agustinus sebuah perang dapat dibenarkan jikalau memenuhi tiga kriteria berikut: dilaksanakan oleh legitimate authority (penguasa yang sah), just cause of avenging injuries (alasan yang dapat dibenarkan dalam melaksanakan hukuman) dan righteous intention (motivasi yang benar).[27] Sekalipun pada hakikatnya bagi Agustinus perang adalah sesuatu yang sifatnya permissible atau occasionally necessary, ia tidak pernah mengatakan bahwa perang adalah sesuatu yang baik. Kalaupun sebuah perang dapat dibenarkan ia tetap melihat hal itu cenderung akan memberi peluang bagi kejahatan dan penderitaan umat manusia.[28] Karena itu dalam memahami konsepnya tentang 'just war theory', lebih tepat bila kita menyimpulkan bahwa baginya perang bukanlah cara positif untuk meraih keadilan dan kedamaian, melainkan sebuah "cara negatif untuk mencegah ketidakadilan" sehingga sifatnya "always to be regretted."[29] Itu sebabnya, ada kesengajaan dari pihak Agustinus sendiri untuk tidak membahas secara detail ketiga kriteria perang - kalaupun ia memang memberikan ketiga hal tersebut. Ia memang jelas berpendapat bahwa berdasarkan PL, otoritas yang paling sah dalam memutuskan sebuah perang adalah Allah sendiri. Jika demikian pertanyaannya adalah: pada masa kini siapa yang dapat berkata, sekalipun ia adalah pemerintah yang resmi, bahwa ketika ia memutuskan untuk berperang, ia sedang mewakili kehendak Allah? Ia juga mengatakan satu-satunya alasan yang dapat dibenarkan untuk penggunaan kekerasan adalah untuk memelihara kedamaian sosial yang terancam. Kendati demikian hal ini pun masih dapat dipertanyakan, yaitu bagaimana kita dapat yakin bahwa perang tersebut akan menimbulkan kedamaian, bukan kebencian lainnya, mengingat hakikat manusia yang berdosa? Ia jelas pula berkata bahwa motivasi yang benar dalam sebuah peperangan adalah demi kepentingan mempertahankan negara sehingga perang adalah pilihan terakhir dalam penyelesaian sebuah konflik, bukan sesuatu yang secara aktif kita adakan. Tetapi bagaimana kita tahu bahwa kita sudah cukup bertahan sehingga perang boleh menjadi pilihan kita? Apa batasan untuk "bertahan" sehingga itu tidak merupakan "serangan" bagi pihak lain? Dengan kata lain, pada hakikatnya 'just war theory' adalah sebuah teori yang menegaskan perlunya kesadaran untuk secara terus-menerus dan serius mengevaluasi berbagai aspek yang terkandung dalam masing- masing kriteria. TINJAUAN SECARA HERMENEUTIK DAN TEOLOGIS ---------------------------------------- Jika kita perhatikan masing-masing pandangan di atas, maka tanpa bermaksud mengabaikan aspek-aspek pertimbangan lainnya, tinjauan teologis ini dapat kita fokuskan ke dalam dua kategori permasalahan, yaitu permasalahan hermeneutik hubungan antara PL dan PB, serta permasalahan teologis antara kasih dan keadilan. Permasalahan pertama ditujukan untuk menjawab pertanyaan seperti: bagaimana seharusnya kita memandang adanya pernyataan-pernyataan tentang perang yang secara harafiah bertentangan antara PL dan PB? Sedangkan kategori kedua ditujukan untuk menjawab pertanyaan seperti: apakah kasih yang sifatnya nonkekerasan dalam pelaksanaannya dapat dipisahkan dari keadilan yang sering kali mengandung unsur penggunaan kekerasan? Pendekatan Hermeneutik: Problema Relasi PL dan PB ------------------------------------------------- Hays benar ketika ia menyatakan bahwa salib dan kebangkitan Kristus adalah kunci untuk memahami PL. Sejak Kristus menggenapi nubuat- nubuat di PL ada suatu perubahan prinsip moral yang radikal yang harus disadari oleh setiap murid-Nya. Namun demikian, dalam prinsip hermeneutiknya ada aspek lain yang dilupakan atau kurang diberi tekanan oleh Hays dan juga tradisi Tertullian atau Anabaptist, yaitu kontinuitas atau kesinambungan antara kedua perjanjian.[30] Yang dimaksud kontinuitas bukan dalam arti "menggantikan" atau "memperbaharui untuk meniadakan yang lama," tetapi kontinuitas dalam pengertian melihat PL dan PB sebagai satu kesatuan pewahyuan Allah yang sifatnya progresif. Namun bukan pula progresivitas pewahyuan seperti yang dimengerti oleh Anabaptist yang percaya bahwa wahyu di PB telah menggantikan PL, melainkan progresivitas dalam pengertian bahwa baik PL maupun PB, keduanya sama-sama berbicara tentang Kristus, tetapi di dalam bentuk, wujud atau cara yang berbeda. Jika PL berbicara secara simbolik dan samar-samar tentang Kristus, maka di PB Kristus hadir dalam wujud yang tampak oleh mata jasmani. Sebaliknya, ada hukum-hukum di PL yang sifatnya lahiriah tetapi berita sebenarnya adalah prinsip rohani atau moral yang terkandung di dalamnya, seperti yang banyak ditekankan di PB melalui kehadiran Kristus. Artinya, baik PL maupun PB sama-sama berbicara tentang rencana penebusan Allah melalui kedatangan sang Mesias, yaitu Yesus Kristus, tetapi dalam cara yang berbeda. Kebenaran prinsip hermeneutik di atas dapat kita lihat melalui kata- kata Tuhan Yesus sendiri. Dalam Matius 5:17-20 Ia menyatakan tiga macam sikap terhadap hukum Taurat sebagai akibat dari kedatangan-Nya. Pertama, di ayat 17 Ia menyatakan bahwa kedatangan-Nya bukan untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi, melainkan untuk menggenapinya. Kalimat ini mengandung pengertian bahwa di satu pihak, berkaitan dengan nubuat para nabi, realita yang mereka nubuatkan telah terwujud melalui kedatangan Tuhan Yesus. Di lain pihak, berkaitan dengan hukum Taurat, kedatangan Kristus merupakan "a realization in history of the righteousness articulated in the law."[31] Artinya, kehadiran Kristus menyingkapkan maksud asali (original intention) dari kehendak Allah, yang di PL diwakili oleh hukum-hukum yang tertulis dalam Taurat maupun tulisan para nabi. Sehingga dengan kata lain, kebenaran yang Kristus ajarkan pada hakikatnya merupakan kontinuitas dari kebenaran yang dituntut melalui hukum Taurat dalam PL.[32] Dengan demikian, sebagai contoh, ketika di bagian selanjutnya Kristus mengkontraskan apa yang orang-orang pernah dengar tentang "mengasihi sesama dan membenci musuh" dengan "kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu" (Mat 5:43), di sini Ia sedang mengungkapkan kehendak Allah yang sebenarnya, yang sudah dinyatakan dari sejak PL namun baru tersingkap dengan jelas ketika Ia sudah datang dengan membawa prinsip hidup kerajaan Allah di dalam dunia ini. Kedua, dalam Matius 5:18 Tuhan Yesus mengatakan, "selama belum lenyap langit dan bumi ini" dan "sebelum semuanya terjadi atau tergenapi (genetai)," satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat. Kalimat ini lebih jauh lagi menegaskan bahwa hukum di PL tetap berlaku bagi orang-orang percaya, bahkan bagian yang tampaknya tidak terlalu berarti (satu iota atau satu titik), sehingga kita tidak dapat berkata tentang hukum-hukum tertentu di PL, "This is rescinded, this is cancelled."[33] Namun demikian, untuk memahami kalimat ini dengan benar kita tidak boleh melepaskannya dari pengertian pertama di atas. Sudah tentu maksud Tuhan Yesus bukan tulisan secara harafiah yang lebih dipentingkan, tetapi agar kita dapat memahami maksud Allah melalui PL maka seluruh hukum yang sudah dinyatakan harus kita terima secara utuh. Di pihak lain, kita harus mencermati dua kategori penggenapan yang Kristus sebutkan di ayat ini, yaitu "selama belum lenyap langit dan bumi ini" serta "sebelum semuanya tergenapi." Kategori pertama menyatakan bahwa sampai pada kesudahan dunia, hukum Taurat harus tetap kita terima secara utuh. Kategori kedua bersangkut-paut dengan kedatangan Kristus; kedatangan- Nya yang menggenapi hukum Taurat telah menyebabkan kita "mengalami" hukum Taurat secara berbeda. Maksudnya, ...even though Jesus affirms the ongoing validity of the law until the close of the age, the Christian has no direct access to that validity apart from the fulfillment in Christ. The fact that something is required by a specific Old Testament commandment does not directly dictate the shape of Christian obedience. The shape of that obedience is understood only by following the teachings and actions of Jesus Christ... Only as fulfilled and radicalized in the teaching and life of Jesus does the Old Testament law retain its validity until the close of the age.[34] Sikap ketiga terhadap hukum Taurat sebagai akibat kedatangan Kristus adalah hidup keagamaan yang lebih tinggi daripada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (Mat 5:20). D.A. Carson percaya bahwa dengan kalimat ini Kristus sedang memperkenalkan pembenaran melalui iman dan kelahiran baru melalui karya Roh Kudus,[35] suatu hal yang tidak mungkin diraih sekalipun kita menaati seluruh hukum Taurat. Sedikit berbeda, J.M. Boice menegaskan bahwa apa yang Kristus tuntut di sini adalah ketaatan melalui perubahan hati, bukan secara lahiriah.[36] Sudah tentu sikap semacam ini Allah telah kehendaki bahkan sejak PL. Dengan kata lain, jika kita kembali kepada perkataan Tuhan Yesus yang pertama (Mat 5:17), maka sikap ketiga terhadap hukum Taurat ini menyingkapkan kehendak Allah sejak semula. Ketiga sikap terhadap hukum Taurat yang Kristus ajarkan menyatakan bahwa "Jesus does not conceive of his life and ministry in terms of opposition to the Old Testament, but in terms of bringing to fruition that toward which it points."[37] Bagaimanakah kita memakai prinsip kontinuitas ini untuk memahami hukum perang di PL? Apakah original intention dari kehendak Allah dalam pernyataan-Nya tentang perang yang sangat eksplisit di PL, namun sama sekali tidak dinyatakan dalam PB? Jika kita berdiri pada posisi pacifist, kita dapat mengabaikan hukum perang di PL begitu saja dan menganggapnya sebagai prinsip moral yang sudah tidak berlaku lagi. Kesulitan dari keyakinan semacam ini adalah kita harus membuang sebagian besar isi PL, yang harus diakui sangat penuh dengan pernyataan tentang perang, apa pun pengertiannya (simbolik, rohani, maupun harafiah). Namun tidak berarti bahwa jika kita menerima prinsip 'just war theory' maka kita tidak akan mengalami kesulitan. Seperti yang dikatakan John H. Yoder, secara struktural perang yang Allah canangkan di PL sifatnya sangat berbeda dengan perang-perang yang manusia jalani di sepanjang zaman.[38] Akibatnya, penganut 'just war theory' tidak dapat dengan serta-merta menarik garis paralel antara perang di PL dengan perang-perang yang dilaksanakan dengan prinsip 'just war theory' pada masa kini. Ada prinsip teologis tentang maksud dan rencana Allah yang harus kita mengerti terlebih dahulu sebelum kita memutuskan untuk menolak atau memasukkannya ke dalam prinsip moral tentang perang untuk masa sekarang ini. Paul Hanson berkata bahwa perang di PL adalah sebuah isu yang sangat kompleks. Seseorang harus memahami adanya struktur rohani, nilai dan tujuan di dalam setiap perang yang dikehendaki oleh Allah.[39] John Wood memberikan lima perspektif tentang hubungan antara Allah dengan perang di dalam PL:[40] pertama, tradisi perang di PL bersifat "revelatory," artinya bukan perang itu sendiri yang menjadi berita utama para penulis PL, melainkan kebesaran dan kemuliaan Allah dibandingkan kuasa-kuasa lainnya atau kesombongan manusia. Kedua, Allah adalah Allah yang memelihara keteraturan alam semesta (universal order), sehingga sekalipun kuasa dosa dan kejahatan ada di bawah kontrol Allah, namun kuasa-kuasa itu harus diperangi. Kehidupan umat manusia, dengan demikian, adalah sebuah "medan peperangan" di mana Allah akan tampil sebagai pemenangnya. Ketiga, perang di PL senantiasa berkaitan dengan konsep kosmologi dunia kuno di mana orang-orang pada zaman itu selalu kuatir terhadap timbulnya 'chaos' yaitu suatu kekacauan atau ketidakharmonisan di dalam tatanan dunia ciptaan. Hanya Allah yang sanggup memerangi dan mengalahkan kuasa-kuasa penyebab chaos yang patut disembah. Relasi perjanjian Allah dengan umat-Nya adalah bentuk keharmonisan yang harus dijaga bahkan dengan jalan perang. Keempat, perang dalam PL bersangkut- paut dengan pembuktian iman bangsa Israel bahwa Allah yang mereka sembah adalah Allah yang bertindak di dalam sejarah, yang membedakan Israel dari agama-agama lain pada masa itu. Umat Allah saat itu percaya bahwa Allah adalah Allah yang hadir di dalam setiap aspek sejarah, termasuk dalam perang. Kelima, sekalipun Allah adalah Allah yang mengizinkan perang sebagai salah satu sarana untuk menyatakan kebesaran-Nya, namun ini bukan sebuah legitimasi bagi Israel untuk memutuskan perang. Ada tujuan lain yang Allah hendak capai yaitu ditegakkannya keadilan dan kebenaran di tengah-tengah umat-Nya - sehingga adakalanya Allah bahkan mendisiplin umat-Nya sendiri dengan jalan perang - serta terwujudnya rencana penebusan-Nya di bumi (Yes 2:2-4; Mi 4:1-4). Dari penjelasan Wood dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya hubungan antara Allah dan perang di PL berada di dalam kompleksitas konteks: dosa, keadilan ('justice') dan keteraturan ('order'). Allah memakai perang untuk mencegah atau menghukum dosa, menegakkan keadilan-Nya dan mencegah 'chaos', atau untuk mencapai damai dan keteraturan bagi umat- Nya maupun bumi ciptaan-Nya (lih. a.l. Kej 6:7, 15:13-16; Kel 12:12, 15:3-4; Bil 33:50-56; Yos 1:1-9; 1Sam 17:1- 54; Mzm 9:9; Yes 13:11; Am 1, 2). Perlu diingat bahwa apa yang ditekankan di sini bukanlah "perang" itu sendiri, tetapi sikap hati Allah terhadap dosa, ketidakadilan dan chaos. Hanya dengan memahami konteks ini baru kita dapat melihat kontinuitas kehadiran Kristus dengan hukum perang di PL. Secara rohani kita dapat berkata bahwa kedatangan Kristus adalah untuk "berperang" dengan dosa, ketidakadilan dan chaos. Secara sosial, apakah perang masih merupakan sarana yang dapat dibenarkan? Ada indikasi yang kuat di PB bahwa perang tetap merupakan sarana sosial yang dapat dipakai untuk berurusan dengan dosa, ketidakadilan dan kekacauan. Pertama, melalui wewenang yang Allah "titipkan" kepada pemerintah (Rm 13:1-7 bdk. Ams 8:15-16; Yer 27:6-12); kedua, melalui penerimaan jabatan prajurit di dalam komunitas orang-orang percaya (Mat 8:5-13; Luk 3:12-14; Kis 10:22). Pendekatan Teologis: Hubungan antara Kasih dan Keadilan ------------------------------------------------------- Perdebatan antara 'pacifism' dan 'just war theory' juga berkisar di sekitar kategori hubungan antara kasih dan keadilan. Kelompok pertama percaya bahwa panggilan utama murid Kristus adalah untuk menyatakan kasih Kristus secara radikal dengan menolak segala bentuk kekerasan apa pun alasannya, bahkan termasuk konsistensi jabatan prajurit dengan iman Kristen. Kelompok kedua, walaupun tidak menyangkali proklamasi kasih Kristus sebagai panggilan utama, namun di dalam dunia yang sudah jatuh di dalam dosa, perwujudan kasih tidak dapat dilepaskan dari keadilan yang sering kali mengandung unsur penghukuman atau penggunaan kekerasan. Pemahaman secara teologis terhadap hubungan antara kasih dan keadilan akan memberikan kita satu lagi prinsip dasar etika Kristen dalam mengevaluasi paham 'pacifism' dan 'just war theory'. Henry Stob dalam salah satu tulisannya mencoba memetakan hubungan antara kasih dan keadilan ke dalam tiga kategori: (1) dalam karya penebusan Allah; (2) aktivitas manusia dalam arena sosial; (3) aktivitas manusia dalam relasi pribadi dengan sesama.[41] Dalam ketiga kategori ini Stob mendapati adanya hubungan dialektik antara kasih dan keadilan yang tidak mungkin dapat dipisahkan. Dalam karya penebusan Allah misalnya, kita melihat bahwa ketika Allah menyatakan kasih-Nya, Ia bukan meniadakan keadilan tetapi justru menanggungnya. Demikian pula dalam relasi pribadi dengan sesama (kategori ketiga), salah satu pengertian "mengasihi" ialah "never acts unjustly."[42] Karena isu yang sedang kita bicarakan adalah isu sosial, maka kita akan memfokuskan pembahasan hanya pada kategori kedua. Di dalam kategori hubungan yang kedua, Stob memaparkan adanya lima macam hubungan antara kasih dan keadilan yang bisa diringkas sebagai berikut:[43] pertama, kasih di dalam konteks sosial menuntut agar masyarakat ('society') menjalankan keadilan kepada setiap anggotanya. Kesadaran akan kasih mengharuskan kita untuk menegakkan keadilan sosial di masyarakat, sehingga setiap anggota di dalamnya dapat memperoleh kebebasan dan kebutuhan sesuai dengan hak-haknya. Memberitakan Injil memang adalah bentuk pernyataan kasih, tetapi jika kita berhenti sampai di sana maka kita belum cukup mengasihi. Ia berkata, "One does not love the neighbor enough if one does not also sponsor and defend his earthly right to be treated in the public arena as an image bearer of God with his own vocation."[44] Artinya, kasih baru benar-benar terwujud di dalam masyarakat jika dalam pelaksanaannya ia memberi ruang bagi terwujudnya keadilan. Lebih jauh, supaya keadilan dapat langgeng selama kurun waktu yang cukup lama maka ia harus distrukturkan di dalam lembaga atau hukum-hukum yang dampak baliknya ialah memberikan kesempatan lebih luas bagi pelaksanaan kasih di dalam masyarakat. Jadi ada hubungan timbal balik antara kasih dan keadilan. Di satu pihak, masyarakat yang mengasihi adalah masyarakat yang mewujudkan keadilan sosial, dan di lain pihak, keadilan sosial yang terstruktur dengan baik ialah sarana yang kondusif bagi pelaksanaan kasih. Kedua, berangkat dari prinsip kerajaan Allah yang sifatnya telah digenapi meskipun masih belum sepenuhnya, menurut Stob kita harus dapat membedakan antara berita kasih dalam PB yang sifatnya 'justitia evangelica' dengan kasih di dalam dunia yang sifatnya 'justicia civilis' (mewujudkan keadilan sosial berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan).[45] Baginya, kasih seperti yang diajarkan dalam Khotbah di Bukit adalah kasih yang sifatnya sempurna dan yang baru dapat diwujudkan secara penuh pada waktu kedatangan Kristus yang kedua kali, yaitu ketika janji langit dan bumi yang baru digenapi. Dengan kata lain, kasih yang Kristus wartakan sekalipun di dalamnya mengandung aspek keadilan yang dibutuhkan masyarakat, sifat utamanya adalah sebagai "kabar baik" ('evangelica'), sehingga kita tidak perlu frustasi ketika prinsip yang ideal itu tidak tercapai di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa ini. Selama kita masih menantikan tergenapinya langit dan bumi yang baru kita harus waspada agar tidak jatuh ke dalam prinsip hidup di dalam kasih yang ideal yang mengabaikan sama sekali 'justicia civil', atau sebaliknya, kita hidup semata-mata dalam 'justicia civil' dengan mengabaikan kasih yang Kristus sudah wartakan. Ketegangan ini akan terus mewarnai perwujudan etika Kristen di dalam dunia ini. Jika kita menarik prinsip ini ke dalam lingkup yang lebih luas, yaitu seluruh dunia, jelas bahwa panggilan setiap umat manusia, khususnya orang-orang percaya, adalah menegakkan kasih dan keadilan di dalam proporsi yang semestinya. Hal ini didasarkan atas sikap Allah sendiri kepada umat manusia; sekalipun Allah adalah Allah yang mahakasih, Ia juga mahaadil dan merupakan "api yang menghanguskan" bagi mereka yang terus hidup di dalam kefasikan (bdk. Ul 4:24; Ibr 12:29). Menekankan kasih Allah secara berlebihan dan mengabaikan keadilan-Nya sama bahayanya dengan menekankan keadilan Allah secara berlebihan dan mengabaikan kasih-Nya. Membiarkan dosa dan ketidakadilan tanpa usaha mencegahnya, sama saja dengan kita menyetujui perbuatan dosa yang mendukakan hati Allah. Demikian pula, penekanan yang berlebihan pada hukum-hukum keadilan tanpa mengenal prinsip kasih akan menyebabkan kita jatuh pada legalisme mutlak yang menghambat hubungan yang harmonis antarsesama. Prinsip kasih dan keadilan, dengan kata lain, memberi peluang bagi adanya kemungkinan perang yang bisa dibenarkan. Namun demikian, pada saat yang bersamaan, kompleksitas hubungan yang paradoks antara kasih dan keadilan menyingkapkan bahwa untuk sampai pada suatu keyakinan bahwa perang adalah pilihan yang adil merupakan hal yang sangat sulit, kalau bukan mustahil. Akan tetapi, paling tidak melalui pertimbangan ini umat Kristen memiliki dasar kebenaran untuk, misalnya, menjawab panggilan sebagai seorang prajurit atau terlibat dalam masalah sosial politik. KESIMPULAN Sekalipun pada dasarnya posisi 'just war theory' lebih dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara hermeneutik dan teologis, saya tetap melihat bahwa mestinya kedua posisi ini tidak dipertentangkan secara tajam. Umat Kristen yang menerima paham 'pacifism' adalah orang-orang yang secara aktif mengusahakan kedamaian dunia dengan cara menolak sama sekali aspek "violence" termasuk profesi-profesi tertentu, seperti prajurit, yang sifatnya membuka peluang bagi penggunaan kekerasan. Hal yang terakhir memang harus diakui sangat berlebihan. Namun sejauh mereka adalah orang-orang yang berangkat dari asumsi "damai", maka pada hakikatnya 'pacifism' tidak bertentangan dengan 'just war theory'. Orang-orang yang mempercayai adanya perang yang dapat dibenarkan, asumsi dasarnya bukan "kekerasan" atau "peperangan," tetapi juga "kedamaian." Seseorang yang menerima panggilan sebagai seorang prajurit, motivasi utamanya bukanlah "perang," tetapi kedamaian dan keteraturan. Richard Neuhaus dalam dialognya dengan Stanley Hauerwas berkata, The presumption of 'just war theory' is against the use of military force. The theory erects an obstacle course of moral testings aimed at preventing the unjust resort to war... The goal is "to secure just order in an essentially disordered world." The question is not violence vs. nonviolence but legitimate vs. illegitimate uses of force. Violence is better understood as the illegitimate use of force, and just war theory is designed to restrain that as much as possible in a history that will always be marked by violence short of the End Time.[46] Demikian pula, jikalau 'pacifism' menekankan pentingnya hidup sesuai dengan jati diri kita sebagai murid Kristus, maka orang Kristen yang menerima 'just war theory' juga menyadari panggilan ini. Kembali mengutip kata-kata Neuhaus, ia berkata, "I believe that Christians are alien citizens whose primary loyalty is to the heavenly polis and whose obedience to Christ the King entails responsibility for the earthly polis."[47] Hanya saja jika 'pacifism' memandang perlunya menjadi warga negara di dalam 'earthly polis' dengan cara mengusahakan kehadiran kerajaan Kristus secara nyata sekarang ini dan di bumi ini, maka 'just war theory' lebih melihat kerajaan Allah sebagai paradoks antara yang sudah digenapi oleh Kristus dan yang belum sepenuhnya terwujud. Sehingga, Neuhaus melanjutkan, I will continue to caution that no world order will be free from the radical disorder of sin, and no hope for earthly peace should be confused with the saving peace that is ours in Christ. God willing, there will be something like a "new world order" that will restrain the violence... To be sure, it will be partial and it will be only for a time, but I would like to think that you join me in prayer that it will be.[48] ---------------------------------------------------------------------- Sumber: Judul Majalah : VERITAS 4/1 (April 2003) Judul Artikel : Prinsip Dasar Etika Kristen Tentang Perang: Sebuah Tinjauan Terhadap Pacifism Dan Just War Theory Penulis : Kalvin S. Budiman Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara ---------------------------------------------------------------------- CATATAN ======= Di dalam tulisan di atas terdapat nomor-nomor yang tertulis dalam tanda [ ], hal itu berarti penulis artikel memberikan catatan kaki. Untuk itu mohon lihat daftar catatan kaki di bawah ini: Footnote (Catatan Kaki): ------------------------ 1. Francis Schaeffer, et al., Who is for Peace? (Nashville: Thomas Nelson, 1983) 23-24 [garis bawah adalah penekanan penulis]. 2. Agustinus tidak menggunakan istilah "cities" hanya kepada lokasi atau zaman tertentu, melainkan kepada dua macam sikap kepada Allah - antara orang percaya dan tidak - yang akan terus bersitegang di dalam dunia ini, "Two cities, then, have been created by two loves: that is, the earthly by love of self extending even to contempt of God, and the heavenly by love of God extending to contempt of self" (lih. The City of God against the Pagans [ed. & tr. R.W. Dyson; Cambridge: Cambridge University Press, 1998] 632.XIV.28). 3. Ada sebagian orang yang keliru memahami pacifism sebagai passivism (pasif-isme). Pacifism berasal dari pacifist (bukan passivist), artinya "peace lover." Dengan kata lain, orang-orang pacifist ialah mereka yang secara aktif mempromosikan ajaran cinta damai. 4. Variasi kedua pandangan ini memang sangat banyak, tetapi tanpa harus masuk ke dalam detail perbedaan pandangan di dalamnya, pada artikel ini penulis berusaha untuk tidak mengorbankan esensi keduanya. Beberapa buku yang dengan baik menjelaskan variasi pandangan tersebut adalah John Howard Yoder, Nevertheless: The Varieties and Shortcomings of Religious Pacifism (Scottdale: Herald, 1992); Albert Marrin, ed., War and the Christian Conscience (Chicago: Henry Regnery, 1971). 5. The Five Books against Marcion (The Ages Digital Library Collections ver.2.0: The Ante-Nicene Fathers Vol. III; eds. A. Roberts & J. Donaldson; tr. Dr. Holmes, IV. 16; Albany: Books for the Ages, 1997) 666-667. 6. Gregory Dix, The Treatise on the Apostolic Tradition of St. Hippolytus of Rome (London: Alban, 1937) 27. 7. Pemahaman ini merupakan tafsiran Tertullian yang tidak ditegaskan secara harafiah dalam Alkitab (Lih. "The Soldier Chaplet" dalam War and the Christian Conscience [ed. Albert Marrin; Chicago: Henry Regney, 1971] 29-30). 8. Harold Bender, "The Pacifism of Sixteenth Century Anabaptists," Mennonite Quarterly Review (1956) 17. 9. Ibid. 11-12. 10. Ibid. Sattler ditangkap dan diadili karena pernyataannya ini. 11. Ibid. 17. 12. Orang-orang yang dimasukkan ke dalam kelompok ini antara lain: George Lindbeck, Stanley Hauerwas, John Milbank, David Yeago, Reinhard Hutter, Richard Hays dan N.T. Wright (lih. Robert Benne, "The Neo-Agustinian Temptation," First Thing 81 [March 1998] 14). 13. The Moral Vision of the New Testament (New York: HarperCollins, 1996) 336-337. 14. Ibid. 342. 15. Ibid. 342-343. 16. Ibid. 343 [garis bawah dari penulis]. 17. Ibid. 18. Ibid. [garis bawah dari penulis]. 19. Lihat misalnya kata-kata R.W. Dyson dalam bagian "Introduction" (The City of God xiv dst.). Yang unik adalah bahkan ada sekelompok penganut pacifism yang juga menyatakan telah mewarisi tradisi Agustinus. Contohnya, Stanley Hauerwas, seorang pacifist, memandang sekelompok 'just war theory' telah salah membaca tulisan Agustinus. Dalam salah satu suratnya kepada Richard John Neuhaus, seorang pengikut 'just war theory', ia berkata bahwa Agustinus senantiasa memisahkan komunitas orang percaya dari dunia. Sehingga sekalipun Agustinus berbicara tentang 'two cities' dalam 'The City of God', pada hakikatnya ia lebih menekankan komunitas gereja yang ciri utamanya adalah kerajaan Allah yang diwujudkan melalui Kristus (lih. Stanley Hauerwas & Richard John Neuhaus, "Pacifism, Just War & the Gulf," First Thing 13 [May 1991] 41). 20. Ernest L. Fortin, "Civitate Dei, De" (The City of God) dalam: Augustine Through the Ages (ed. Allan D. Fitzgerald; Grand Rapids: Eerdmans, 1999) 197. Perlu diingat bahwa 'The City of God' ditulis oleh Agustinus jauh sesudah Edict of Milan dicanangkan (313 M), yaitu pengakuan agama Kristen sebagai agama resmi kekaisaran pada masa itu. 21. Ibid. 22. Frederick H. Russell, "War" dalam Augustine Through the Ages 875. 23. Ibid. 24. The Moral Vision 335-336. 25. Fortin, "Civitate Dei, De", 198. 26. Ibid. 27. Agustinus sendiri tidak pernah memformulasikan ketiga kriteria ini; ketiganya merupakan kesimpulan yang ditarik dari tulisannya (lih. William R. Stevenson, Jr., Christian Love and Just War [Macon: Mercer University Press, 1987] 4). 28. The City of God XIX. 7. 29. Stevenson, Christian Love 39, 41. 30. Khususnya dalam isu tentang perang. Penulis tidak bermaksud menerapkan evaluasi ini secara general terhadap prinsip hermeneutik Hays; dalam banyak aspek, penulis sangat menghormati ajaran Hays. 31. David E. Holwerda, Jesus and Israel: One Covenant or Two? (Grand Rapids: Eerdmans, 1995) 132. 32. Ibid. 131. 33. Ibid. 132. 34. Ibid. 132-133. 35. The Sermon on the Mount (Grand Rapids: Baker, 1978) 39. 36. The Sermon on the Mount (Grand Rapids: Zondervan, 1972) 100 s. 37. Carson, The Sermon 37. 38. Lih. Millard Lind, Yahweh is Warrior (Scottdale: Herald, 1980) 18 (Introduction). 39. "War, Peace, and Justice in Early Israel," Bible Review (Fall 1987) 45. 40. Perspective on War in the Bible (Macon: Mercer University Press, 1998) 163-172. 41. Ethical Reflections: Essays on Moral Themes (Grand Rapids: Eerdmans, 1978) 135. 42. Ibid. 141. 43. Bdk. pandangan Stob dengan Lewis B. Smedes yang juga mengupas hubungan antara kasih dan keadilan dengan sangat baik di dalam bukunya Mere Morality: What God Expects from Ordinary People (Grand Rapids: Eerdmans, 1999), perhatikan khususnya bab 2 dan 3. 44. Ethical Reflections 137. 45. Ibid. 139. 46. "Pacifism, Just War", 43 [garis bawah dari penulis]. 47. Ibid. 48. Ibid. 44-45.
|
|
© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org |