Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/31

e-Reformed edisi 31 (2-8-2002)

Doktrin Sola Scriptura

PENDAHULUAN

"Unless I am convinced by Sacred Scriptura or by evident reason, I
will not recant. My consience is held captive by the Word of God and
to act against conscience is neither right nor safe." Kata-kata ini
diucapkan oleh Martin Luther pada 18 April 1521 ketika ia diajukan
pada sidang kekaisaran di kota Worms di hadapan kaisar Charles V yang
menjadi penguasa Jerman (dan beberapa bagian Eropa lainnya) pada saat
itu, serta di hadapan para pemimpin gerejawi. Luther dipanggil ke kota
ini dengan tujuan supaya ia menarik kembali perkataan dan
pengajarannya. Ia diminta mengaku salah di depan publik untuk apa yang
ia tuliskan dan ajarkan tentang Injil, keselamatan melalui iman, dan
hakikat gereja. Tetapi ia tidak bersedia melakukannya.1

Mengapa Luther tidak bersedia? Sebab hati nuraninya dikuasai
sepenuhnya oleh firman Tuhan. Ia yakin sepenuhnya bahwa Alkitab dengan
jelas mengajarkan kebenaran tentang manusia, jalan keselamatan, dan
kehidupan Kristen. Ia melihat bahwa kebenaran-kebenaran yang penting
ini sudah dikaburkan dan diselewengkan oleh gereja-gereja pada saat
itu, yang seharusnya justru menjadi pembela yang setia. Di mata
Luther, dasar penyelewengan gereja pada saat itu adalah pengajaran
yang tidak sesuai dengan Alkitab.2 Ia tidak dapat tahan lagi melihat
kerusakan gereja yang telah melawan Alkitab, yang juga sudah mencemari
aspek-aspek kehidupan gereja lainnya.

Di sinilah kita melihat sikap Reformasi terhadap Alkitab. Prinsip
penting yang ditegakkan dalam gerakan Reformasi adalah Sola Scriptura
(hanya percaya kepada apa yang dikatakan oleh Alkitab yang adalah
firman Tuhan, karena hanya Alkitab yang memiliki otoritas tertinggi).
Kita mengetahui dua ungkapan yang mewakili gerakan Reformasi yaitu
Sola Fide dan Sola Scriptura. Sering dikatakan bahwa Sola Fide adalah
prinsip material dari pengajaran Reformasi, sedangkan Sola Scriptura
adalah prinsip formalnya.3 Kalau ditelusuri lebih dalam lagi maka
jelaslah bahwa prinsip Sola Scriptura ada di balik semua perdebatan
mengenai pembenaran melalui iman, karena Luther yakin sekali bahwa
kebenaran ini diajarkan di dalam Alkitab.4

SOLA SCRIPTURA DAN KEWIBAWAAN ALKITAB

Para Reformator tidak pernah berusaha menegakkan doktrin yang baru
atau berminat mendirikan gereja yang lain, yang mereka inginkan ialah
mereformasi gereja,5 dalam pengertian mereka ingin menghidupkan
kembali kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek gerejawi yang
murni berdasarkan Alkitab. John R. de Witt mengatakan, "The
Reformation rediscovered and accentuated afresh the authority of the
Bible."6 Para Reformator memiliki semangat untuk mengembalikan iman
orang Kristen dan kekristenan kepada otoritas Alkitab. John Calvin
mengemukakan,

  Biarlah hal ini kemudian menjadi suatu aksioma yang pasti: bahwa
  tidak ada yang lain yang harus diakui di dalam gereja sebagai firman
  Allah kecuali apa yang termuat, pertama dalam Torah dan Kitab Nabi-
  nabi, dan kedua dalam tulisan-tulisan para Rasul; dan bahwa tidak
  ada metode pengajaran lain di dalam gereja yang berlainan dari apa
  yang sesuai dengan ketentuan dan aturan dari firman-Nya.7

Prinsip Sola Scriptura dengan jelas mendobrak tirani dari suatu
hierarki gerejawi yang sudah "corrupt" karena gereja menempatkan
dirinya lebih tinggi dari firman Tuhan. Padahal, berdasarkan Efesus
2:20 dapat dikatakan bahwa otoritas Alkitab sudah lebih dulu ada
sebelum gereja berdiri karena gereja didirikan di atas dasar
pengajaran para rasul dan para nabi. Pengajaran para rasul dan nabi
adalah pengajaran firman Tuhan, yang jelas bukan hanya lebih tua
tetapi juga lebih tinggi dari pengajaran gereja. Alkitab mampu
memberikan penilaian atas gereja sekaligus memberikan model bagi
gereja yang benar.

Para Reformator memiliki pendapat yang tegas bahwa wewenang gereja dan
para penjabatnya (para Paus, dewan-dewan dan teolog-teolog) berada di
bawah Alkitab. Ini tidak berarti mereka tidak memiliki wewenang.
Namun, sebagaimana diungkapkan Alister McGrath, wewenang tersebut
berasal dari Alkitab dan berada di bawah Alkitab.8 Kewibawaan mereka
dilandaskan pada kesetiaan mereka pada firman Allah. Selanjutnya
McGrath mengatakan, "Bila orang-orang Katolik menekankan pentingnya
kesinambungan historis, para Reformator dengan bobot yang sama
menekankan makna penting dari kesinambungan ajaran.9

Jadi, prinsip Sola Scriptura menolak otoritas tradisi gereja yang
disetarakan dengan otoritas Alkitab. Sebuah catatan perlu diberikan di
sini guna menghindari kesalahpahaman yang sudah cukup umum. Banyak
orang berpikir bahwa para Reformator percaya kepada otoritas Alkitab
yang tanpa salah, sedangkan gereja Roma Katolik percaya hanya kepada
otoritas gereja dan tradisinya yang tanpa salah. Ini suatu kekeliruan.
Pada masa Reformasi, kedua pihak sama-sama mengakui otoritas
Alkitab.10 Contohnya, bagi sebagian besar teolog abad pertengahan,
Alkitab merupakan sumber yang mencukupi untuk ajaran Kristen.11 Yang
menjadi pertanyaan dan perdebatan ialah: "Is the Bible the only
infallible source of special revelation?"12

Gereja Roma Katolik mengajarkan ada dua sumber wahyu khusus, yaitu
Alkitab dan tradisi. Tradisi di sini dimengerti sebagai satu sumber
yang berbeda, di samping Alkitab. Alkitab tidak berkata apa-apa
mengenai sejumlah pokok masalah atau doktrin, dan Allah telah
menetapkan suatu sumber wahyu kedua untuk melengkapi kekurangan ini.
Ini adalah suatu tradisi yang tidak tertulis. Jikalau ditelusuri lebih
mendalam, tradisi yang diturunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya di dalam gereja, itu dianggap berasal dari para rasul. Jadi
tradisi yang dimaksud di sini adalah "a separate, unwritten source
handed down by apostolic succession."13 Dengan demikian, suatu
kepercayaan yang tidak ditemukan dalam Alkitab, dapat dibenarkan
dengan mengacu pada tradisi yang tidak tertulis tersebut.

Gereja Roma Katolik memberikan otoritas kepada tradisi ini, karena itu
mereka tidak mengizinkan siapapun menafsir Alkitab dengan cara yang
bertentangan dengan tradisi tersebut. Jelas mereka meninggikan tradisi
melebihi Alkitab, bahkan menganggap bahwa Alkitab hanya bisa
ditafsirkan dan diajarkan dengan perantaraan Paus atau konsili
gerejawi. Para Reformator dengan tegas melawan konsep ini. Dalam
perdebatan dengan teolog-teolog Roma Katolik, Luther dengan berani
menegaskan bahwa adalah mungkin bagi Paus dan konsili gerejawi untuk
melakukan kesalahan.

Prinsip Sola Scriptura juga tidak dapat dilepaskan dari masalah kanon
Alkitab. Istilah "kanon" (aturan, norma) digunakan untuk merujuk pada
kitab-kitab yang oleh gereja dianggap otentik. Bagi teolog-teolog abad
pertengahan dan gereja Roma Katolik, yang dimaksud dengan Alkitab
ialah karya-karya yang tercakup dalam Vulgata. Di dalamnya terdapat
tambahan kitab-kitab yang sering disebut kitab-kitab Apokrifa, yang
tidak terdapat dalam PL bahasa Ibrani. Para Reformator tidak setuju
dengan adanya tambahan tersebut, dan mereka merasa berwenang untuk
mempersoalkan penilaian ini. Menurut mereka, tulisan-tulisan PL yang
dapat diakui untuk masuk ke dalam kanon Alkitab hanyalah yang asli
terdapat di dalam Alkitab Ibrani.14 Kitab-kitab Apokrifa memang
merupakan bacaan yang berguna, tetapi tidak bisa digunakan sebagai
dasar ajaran.15 Penegasan Sola Scriptura mengakibatkan mereka
menyingkirkan semua kitab di luar keenam puluh enam kitab dalam
Alkitab. Perbedaan ini tetap ada sampai sekarang.16

Mengapa para Reformator sangat menjunjung tinggi otoritas Alkitab?
Jawabannya sederhana sekali: karena Alkitab adalah firman Tuhan, maka
Alkitab dengan sendirinya memiliki kewibawaan atau otoritas. Luther
berkata, "The Scriptures, although they also were written by men, are
not of men nor from men, but from God."17 Sedangkan menurut Calvin,

  The Scriptures are the only records in which God has been pleased to
  consign his truth to perpetual rememberance, the full authority
  which they ought to possess with faithful is not recognized, unless
  they are believed to have come from heaven, as directly as if God
  had been heard giving utterance to them.18

Jadi ada konsensus bahwa Alkitab harus diterima seakan-akan Allah
sendirilah yang sedang berbicara.

Otoritas Alkitab berakar dan berdasarkan pada fakta bahwa Alkitab
diberikan melalui inspirasi Allah sendiri (2Tim. 3:16). Inspirasi
adalah cara di mana Allah memampukan penulis-penulis manusia dari
Alkitab untuk menulis semua perkataan di bawah pengawasan Allah
sendiri. Kepribadian dan kemanusiawian para penulis Alkitab diakui
aktif dalam proses di mana Roh Allah memimpin mereka dalam proses
inspirasi tersebut. Karena itu apa yang ditulis bukan semata-mata
tulisan mereka sendiri tetapi firman Allah yang sejati. Calvin memberi
komentar mengenai 2 Timotius 3:16,

  This is the principles that distinguishes our religion from all
  others, that we know that God hath spoken to us and are fully
  convinced that the prophets did not speak of themselves, but as
  organs of the Holy Spirit uttered only that which they had been
  commissioned from heaven to declare. All those who wish to profit
  from the Scriptures must first accept this as a settled principle,
  that the Law and the prophets are not teachings handed on at the
  pleasure of men, or produced by men's minds as their source, but are
  dictated by the Holly Spirit.19

Bagaimana sebenarnya cara atau metode mengenai inspirasi ilahi ini
tidak dipaparkan secara jelas dalam Alkitab.20 Butir yang lebih
krusial adalah fakta bahwa "the Scriptures are the direct result of
the breathing out of God."21 B.B. Warfield memberikan komentar yang
sangat baik mengenai kata Yunani theopneustos:

  The Greek term has...nothing to say inspiring or of inspiration: it
  speaks only of a "spiring" or "spiration." What it says of Scripture
  is, not that it is "breathed into by God" or that it is the product
  of the Divine "inbreathing" into its human authors, but that it is
  breathed out by God...when Paul declares, then, that "every
  scripture," or "all scripture" is the product of the Divine breath,
  "is God-breathed," he asserts with as much energy as he could employ
  that Scripture is the product of a specifically Divine operation.22

Ini berarti semua yang ditulis para penulis Alkitab itu berasal dari
Allah. Jadi, Alkitab berotoritas adalah karena kenyataan dirinya
sebagai penyataan ilahi yang diberikan melalui inspirasi ilahi.

Pertanyaan penting berkaitan dengan otoritas Alkitab ialah:
Berdasarkan apa kita menerima otoritas Alkitab tersebut? Bagaimana
kita tahu dan yakin bahwa yang kita tegaskan tentang otoritas Alkitab
itu benar adanya? Apakah melalui gereja kita mengerti dan diyakinkan
akan otoritas Alkitab sebagai firman Allah (pandangan gereja Roma
Katolik yang tradisional)? Di dalam sejarah gereja kita melihat ada
banyak orang berusaha memberikan argumen-argumen yang rasional guna
mendukung klaim bahwa Alkitab adalah firman Tuhan. Tetapi kita pun
tahu bahwa sering argumen-argumen itu, meskipun perlu dan penting,
tidak sepenuhnya "convincing."

Di sini kita melihat satu pokok pikiran Calvin yang sangat penting
berkaitan dengan masalah ini. Ia dengan tidak henti-hentinya
menegaskan bahwa dasar satu-satunya yang meyakinkan mengapa kita
percaya otoritas Alkitab adalah kesaksian Roh Kudus sendiri. Kita
percaya bahwa Alkitab adalah firman Allah karena kesaksian Roh Kudus.
Ia mengatakan:

  The testimony of the Spirit is more excellent than all reason. For
  as God alone is a fit witness of himself in his Word, so also the
  Word will not find acceptance in men's hearts before it is sealed by
  the inward testimony of the Spirit. The same Spirit, therefore, who
  has spoken through the mouths of the prophets must penetrate into
  our hearts to persuade us that they faithfully proclaimed what had
  been divinely commanded.23

Jadi, otoritas Alkitab tidak tergantung pada bukti-bukti kehebatan dan
kesempurnaannya, tetapi oleh karena iman yang Roh Kudus sudah kerjakan
dalam hidup orang-orang percaya sehingga mereka mempercayai kebenaran
Alkitab dan menaklukkan diri di bawah otoritas tersebut. James M.
Boice mengutarakan bahwa kesaksian Roh Kudus ini adalah "the
subjective or internal counterpart of the objective or external
revelation."24

Apa yang Calvin ajarkan di sini sesuai dengan perkataan Paulus di 1
Korintus 2:13-14. Jadi, jelas sekali bahwa terlepas dari karya Roh
Kudus seseorang tidak akan menerima kebenaran-kebenaran rohani dan
secara khusus tidak akan menerima kebenaran bahwa perkataan-perkataan
Alkitab adalah firman Allah. Calvin juga mengatakan, "But it is
foolish to attempt to prove to infidels that the Scripture is the Word
of God. This it cannot be known to be, except by faith."25

Keyakinan yang datangnya dari kesaksian Roh Kudus adalah keyakinan
yang muncul ketika kita membaca firman Tuhan dan mendengar suara Tuhan
berbicara melalui perkataan-perkataan Alkitab tersebut serta menyadari
bahwa ini bukanlah kitab biasa. Roh Kudus berbicara di dalam (in) dan
melalui (through) perkataan-perkataan Alkitab dalam memberikan
keyakinan ini.26 Tepatlah apa yang dikatakan oleh seorang pastor, "If
you have the Bible without the Spirit, you will dry up. If you have
the Spirit without the Bible, you will blow up. But if you have both
the Bible and the Spirit together, you will grow up."

Setelah zaman Reformasi, pandangan ortodoks mengenai Alkitab mendapat
serangan demi serangan. Gereja Roma Katolik bahkan secara resmi pada
tahun 1546 (konsili Trent) menempatkan tradisi gereja berdampingan dan
setara dengan Alkitab sebagai sumber penyataan. Serangan lain datang
dari golongan rasionalis pada abad 18 dan 19. Alkitab bukanlah "God
word to man" tetapi "man's word about God and man." Alkitab hanya
berisi kesaksian atau catatan manusia tentang karya penyataan dan
keselamatan Allah dalam sejarah. Sifat ilahi yang unik dari Alkitab
ditolak, sehingga otoritasnya pun ditolak. Otoritas tertinggi ialah
rasio manusia. Rasio menusia memiliki kebebasan mutlak yang harus
terlepas dari klaim-klaim teologis.27

Bagaimana dengan sikap gereja-gereja Tuhan terhadap Alkitab? Sola
Scriptura adalah doktrin yang menegaskan bahwa Alkitab, dan hanya
Alkitab, yang memiliki kata akhir untuk semua pengajaran dan kehidupan
kita. Seluruh aspek pemikiran dan kehidupan kita harus tunduk pada
firman Allah. Benarkah demikian? David Well, dalam bukunya, No Place
for Truth,28 memberikan kritik tajam kepada golongan injili yang sudah
jatuh ke dalam berbagai pencobaan zaman modern, sehingga akhirnya
kebenaran Allah sudah tidak lagi mengatur gereja-gereja. Hal-hal apa
sajakah yang menjadi mentalitas zaman ini? Menurut Well ada beberapa,
yakni:

1. Subjectivism: basing one's life upon human experience rather than
   upon objective truth
2. Psychological therapy as the way to deal with human needs
3. A preoccupation with "professionalism," especially business
   management and marketing techniques as the model for achievement
   any kind of common enterprise
4. Consumerism: the notion that we must always give people what they
   want or what they can be induced to buy
5. Pragmatism: the view that results are the ultimate justification
   for any idea or action

Akibatnya, masih menurut Wells, Allah tidak lagi menjadi sesuatu yang
penting dalam hidup manusia. Kebenaran tidak lagi menguasai gereja.
Teologi tidak memberikan daya tarik. Khotbah-khotbah hanya berpusatkan
pada "felt needs." Teori-teori marketing dan manajemen dalam
pertumbuhan gereja menggantikan prinsip-prinsip Alkitab. Hal ini perlu
menjadi pemikiran serius bagi gereja-gereja Tuhan.

Bagaimana sikap para hamba Tuhan terhadap Alkitab? Panggilan hamba
Tuhan ialah panggilan untuk mempelajari dan menguraikan firman Tuhan
(bdk. Kis 20:27, dimana Paulus mengajarkan "the whole counsel of God"
selama pelayanannya di Efesus). Menurut de Witt, salah satu ciri khas
teologi Reformed ialah pandangan mengenai berkhotbah (preaching) yang
distingtif. Ia menulis, "It is by preaching that God confronts people
and draws them to himself, conforming them to the pattern of his Son;
indeed, it is by preaching that Jesus addresses himself to the hearts
and consciences of men (Rom. 10:14)."29 Berdasarkan apa yang
dinyatakan di dalam Alkitab, preaching adalah eksposisi dan aplikasi
firman Tuhan. Tugas ini dipercayakan kepada para hamba Tuhan (bdk.
Kis. 6:1 dst.). John Stott dengan keras berkata, "Sehat tidaknya
keadaan jemaat-jemaat kita lebih banyak tergantung pada mutu pelayanan
pemberitaan firman Tuhan daripada hal-hal lainnya...apa yang terjadi
di bangku jemaat memancarkan apa yang terjadi di mimbar."30 Apakah
tugas ini sudah kita jalankan dengan penuh kesungguhan dan keseriusan
karena kita memberitakan firman yang memiliki otoritas dari Allah?

SOLA SCRIPTURA DAN PENAFSIRAN ALKITAB

Elemen baru di dalam pengajaran Sola Scriptura dari para Reformator
sebenarnya bukanlah permasalahan otoritas Alkitab, karena gereja Roma
Katolik juga berpegang pada hal itu. Elemen yang baru berkaitan dengan
masalah penafsiran Alkitab. Bukanlah hal yang berlebihan kalau
dikatakan bahwa Reformasi pada abad 16 tersebut pada dasarnya adalah
suatu revolusi hermeneutik.31 Gerakan Reformasi menolak penafsiran
otoritatif terhadap Alkitab, khususnya dari gereja Roma Katolik yang
menekankan bahwa Paus atau konsili gerejawilah yang memiliki otoritas
untuk menafsirkan Alkitab. Sampai zaman Reformasi Alkitab masih
dianggap oleh kebanyakan orang sebagai kitab yang "obscure." Orang
awan biasa tidak dapat diharapkan untuk mengertinya, sehingga mereka
tidak didorong untuk membacanya. Bahkan Alkitab tidak tersedia dalam
bahasa yang mereka mengerti. Mereka jelas bergantung sepenuhnya pada
penafsiran gereja yang bersifat otoritatif. Pengajaran Alkitab
dikomunikasikan kepada orang-orang Kristen hanya melalui perantaraan
Paul, konsili, atau pastor.

Para Reformator sangat menekankan prinsip "private interpretation,"
yakni hak untuk menafsirkan Alkitab secara pribadi. Dengan demikian
setiap orang Kristen memiliki hak untuk membaca dan menafsirkan
Alkitab untuk dirinya sendiri.32 Tetapi ini bukan berarti kepada
setiap individu diberikan hak untuk menyelewengkan atau mendistorsi
Alkitab. Ini adalah prinsip yang berasumsi bahwa Allah yang hidup
berbicara kepada umat-Nya secara langsung dan otoritatif melalui
Alkitab. Karena itu orang Kristen harus didorong untuk membaca
Alkitab. Alkitab harus diterjemahkan kedalam bahasa umum. Luther,
contohnya, sangat menekankan hal ini, sehingga ia menerjemahkan
Alkitab ke dalam bahasa Jerman.

Para tokoh Reformator sendiri tampaknya menekankan pengertian mereka
terhadap Alkitab dengan tidak mempedulikan apakah pengajaran mereka
bertentangan dengan keputusan-keputusan konsili atau penafsir-penafsir
gerejawi lainnya. Bagi mereka gereja bukanlah penentu arti Alkitab,
justru Alkitablah yang harus mengoreksi dan menghakimi gereja. Tetapi
pertanyaannya: apakah memang tidak ada peranan pengajaran (tradisi)
gereja sama sekali dalam hal ini? Reformasi sering kali dilihat
mempunyai ciri khas yaitu suatu "massive break" dengan tradisi gereja.
Yang benar adalah, para Reformator menentang otoritas tradisi dan
otoritas gereja, hanya sejauh otoritas tersebut mengungguli otoritas
Alkitab.33

Para Reformator tidak pernah menolak tradisi eksegetis dan teologis
dari gereja yang didasarkan dan tunduk pada kebenaran Alkitab. Mereka
menghormati tradisi, khususnya yang diajarkan oleh bapa-bapa gereja
(terutama Agustinus). Luther berkata, "The teachings of the Fathers
are useful only to lead us to the Scriptures as they were led, and
then we must hold to the Scriptures alone."34 Calvin, sebagai contoh,
menulis edisi Institutes pertama pada tahun 1536 ketika ia masih
berusia dua puluhan. Buku ini mengalami revisi beberapa kali, dan
edisi akhir adalah tahun 1559. Selama masa dua dekade tersebut ia
berkecimpung dan sibuk memberikan eksposisi Alkitab dan berkhotbah.
Dalam hal ini ia berinteraksi banyak dengan penafsiran
penafsir-penafsir sebelumnya. T. H. L. Parker berkata tentang Calvin:

  As his understanding of the Bible broadened and deepened, so
  the subject matter of the bible demanded ever new understanding
  in its interrelation within itself, in its relations with
  secular philosophy, in its interpretation by previous
  commentators.35

Maka jelaslah, seperti yang Silva katakan, "the reformation marked a
break with the abuse of tradition but not with the tradition
itself."36 Kritik yang diberikan adalah terhadap ajaran dan praktek
yang sudah menyeleweng dari, atau bertentangan dengan, Alkitab. Para
Reformator masih mempertahankan ajaran-ajaran gereja yang paling
tradisional (seperti keilahian Kristus, Trinitas, baptisan anak, dan
sebagainya) karena ajaran-ajaran tersebut sesuai dengan Alkitab.
Mereka menghargai tulisan-tulisan bapa-bapa gereja yang adalah
pembela-
pembela kebenaran Alkitab.

Hak "private interpretation" haruslah disertai dengan tanggung jawab
untuk memakai dan menafsirkan Alkitab dengan hati-hati dan akurat.
Karena itu dalam hal ini kebutuhan akan penafsir dan guru sangat
diperlukan. Memang Alkitab dapat dibaca dan dimengerti oleh
orang-orang percaya (doktrin the clarity or perspicuity of Scripture),
tetapi masih ada hal-hal tertentu yang masih belum jelas dan sulit
bagi banyak orang yang sudah tentu membutuhkan suatu penyelidikan dan
penelitian akademik. Ketidakjelasan atau kekaburan tersebut lebih
banyak disebabkan oleh ketidaktahuan akan bahasa, tata bahasa, dan
budaya dari penulis Alkitab, daripada dikarenakan isi pengajaran atau
subject-matter-nya. Oleh sebab itu, "biblical scholarship" sangat
penting dan diperlukan.

Kontribusi penting dari para Reformator terhadap penafsiran Alkitab
ialah penegasan mereka mengenai "plain meaning" (arti yang alamiah
atau wajar) dari Alkitab. Secara khusus kepedulian mereka adalah
menyelamatkan Alkitab dari penafsiran alegoris yang masih terus ada
saat itu.37 Luther mengungkapkan, "The Holy Spirit is the plainest
writer and speaker in heaven and earth and therefore His words cannot
have more than one, and that the very simplest sense, which we call
the literal, ordinary, natural sense." Apa yang ditekankan di sini
bukanlah penafsiran harafiah yang kaku. Prinsip ini menegaskan bahwa
"the Bible must be interpreted according to the manner in which it is
written."39 Arti yang "plain" dari Alkitab adalah arti yang
dimaksudkan oleh penulis manusia, dan hal itu hanya dapat dimengerti
melalui analisa konteks sastra dan sejarah. Jadi jelaslah ada aturan-
aturan dalam penafsiran yang harus diikuti untuk menghindari
penafsiran yang subjektif dan aneh-aneh. Pengaruh dari semangat
Renaissance dalam hal ini tidak bisa dipungkiri. Kita melihat adanya
suatu ketertarikan baru terhadap sifat historis dari tulisan-tulisan
kuno, di mana Alkitab termasuk di dalamnya.40

Ada yang mengatakan, "It is almost a truism to say that modern
historical study of the Bible could not have come into existence
without the Reformation."41 Prinsip Reformasi ini terkait erat dengan
apa yang kita sebut metode penafsiran "Grammatical-Historical," yang
berfokus pada "historical setting" dan "grammatical structure" dari
bagian-bagian Alkitab. Dalam hal ini para Reformator berfokus pada
sifat manusiawi dari Alkitab itu sendiri. Ekses negatif dari
pendekatan ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa Alkitab harus
dimengerti dan ditafsirkan seperti buku biasa lainnya. Inilah yang
membuka jalan untuk pendekatan "Historical-Critical" yang berkembang
pada abad 18-19. Bedanya dengan pendekatan Reformasi adalah, iman atau
komitmen teologi tidak diperbolehkan mempengaruhi penafsiran.42 Mereka
berusaha untuk netral, tetapi sebenarnya tidak dapat netral karena
mereka sudah berpegang pada "teologi" (iman) mereka sendiri yaitu
teologi yang tidak percaya adanya intervensi Allah dalam dunia ini.
Sumbangsih gerakan Reformasi dalam hal penafsiran Alkitab sangat
penting, di mana prasuposisi iman tidak mungkin dilepaskan dari
penafsiran Alkitab.

Pemikiran Reformasi mengenai penafsiran Alkitab juga menolong kita
untuk berhati-hati di dalam merespons segala bentuk pendekatan atau
metode penafsiran posmodernisme, yang secara khusus memberikan
penekanan pada respons dari pembaca masa kini (reader-response
approach). Pendekatan ini beranggapan bahwa tidak ada "meaning" yang
pasti dan benar, yang ada hanyalah "meanings" yang muncul atau
dihasilkan dari pembaca sendiri. Bahaya subjektivisme dan relativisme
sangat terlihat di sini. Memang betul penafsiran Alkitab tidak hanya
berhenti pada interpretasi, tetapi aplikasi. Kendati demikian ini
bukan berarti aplikasi yang tidak terkontrol dan sembarangan di mana
seolah-olah pembacanya yang menentukan arti dan aplikasinya.43

Gerakan Reformasi juga menetapkan suatu prinsip penting dalam
penafsiran yaitu "Scripture is to interpret itself" (Sacra Scriptura
sui interpres). Kita menafsirkan Alkitab dengan Alkitab. Oleh sebab
itu, kita tidak mempertentangkan satu bagian Alkitab dengan bagian
lainnya. Apa yang tidak jelas di suatu bagian mungkin dapat dijelaskan
oleh bagian lain. Di balik prinsip ini ada sebuah keyakinan bahwa
jikalau Alkitab ialah firman Allah maka ia bersifat koheren dan
konsisten pada dirinya sendiri. Allah tidak mungkin berkontradiksi
dengan diri-Nya sendiri. Memang benar Alkitab dituliskan oleh
orang-orang yang berbeda, yang hidup pada zaman yang berbeda pula.
Tetapi kita juga menyadari bahwa Allah adalah Penulis aslinya,
sehingga jelas ada kesatuan dan koherensi. Ini tidak sama artinya
dengan uniformitas (keseragaman). Para penulis manusia menunjukan
tulisan mereka pada situasi yang nyata, tetapi Allah dalam
kedaulatan-Nya menuntun mereka dan situasi mereka, bahkan secara
langsung mempengaruhi dan mengajar mereka (bdk. 2Ptr. 1:21), sehingga
kita melihat kesatuan pikiran di balik semua itu. Untuk mengetahui
maksud Allah tidak mungkin kita memperhatikan "bits" dan "pieces"
saja. Kita harus melihat Alkitab secara keseluruhan, sama seperti
ketika kita bermaksud mengetahui maksud penulis manusia, yaitu dengan
membaca hasil akhir karyanya.

Jelaskan bahwa Alkitab menyajikan tujuan ilahi. Concern Alkitab adalah
memberitahukan kepada kita suatu "story," yaitu cerita mengenai karya
penebusan Allah bagi umat-Nya melalui Yesus Kristus. Alkitab
menyajikan kepada kita "Redemptive History." Oleh sebab itu ayat-ayat
dalam Alkitab tidak pernah dapat ditafsirkan lepas dari konteks
kesatuan keseluruhan Alkitab. Setiap bagian Alkitab berkaitan erat dan
tidak boleh ditafsirkan di luar konteks rencana dan aktivitas Allah
yang bersifat "redemptive-historical" dan "covenantal" (relasi antara
Allah dan umat-Nya).

PENUTUP

Apakah doktrin Sola Scriptura masih relevan untuk dipertahankan?
Melihat situasi yang kita hadapi saat ini maka penegasan doktrin yang
mendasar ini masih sangat penting. Kita sekarang hidup pada zaman yang
sering kali disebut sebagai zaman pascamodernisme. Apa yang menjadi
mentalitas zaman ini? William Edgar mengemukakan, "at the heart of the
postmodern mentalily is a culture of extreme skepticism... According
to many postmodernists, knowledge is no longer objective-nor even
useful-and ethics is not universal."44 Inilah dunia yang tidak
kompatibel dengan kebenaran injil, dan di dalam dunia yang seperti ini
Tuhan memanggil kita untuk mempertahankan kebenaran firman-Nya.

---------------------------------------------------------------------

DAFTAR CATATAN KAKI

1 Earle E. Cairns, Christianity Through the Centuries (Edisi ketiga;
  GrandRapids: Zondervan, 1996) 284.

2 Stephen Tong, Reformasi & Teologi Reformed (Jakarta: LRII, 1991) 13.

3 Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi (Jakarta: Gunung
  Mulia, 1999) 174.

4 R. C. Sproul, Grace Unknown: The Heart of Reformed Theology (Grand
  Rapids: Baker, 1997) 42.

5 Tony Lane, The Lion Concise Book of Christian Thought (Tring: Lion,
  1984) 110-111.

6 What is the Reformed Faith? (Edinburgh: Banner of Truth, 1981) 5.

7 McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi 182.

8 Ibid. 185. McGrath juga mengutip Calvin yang mengatakan, "... kita
  berpegang bahwa....bapa-bapa gereja dan dewan-dewan hanya berwibawa
  sejauh mereka sesuai dengan aturan dari firman itu, kita masih
  memberikan kepada dewan-dewan dan bapa-bapa gereja kehormatan dan
  kedudukan seperti yang sesuai untuk mereka miliki di bawah Kristus"
  (Sejarah Pemikiran Reformasi 186).

9 Ibid. 186.

10 J.M. Boice, Foundations of the Christian Faith (Downers Grove: IVP,
   1986) 48.

11 Alister McGrath, The Intellectual Origins the European Reformation
   (Oxford: Oxford University Press, 1987) 140-151.

12 Sproul, Grace Unknown 42.

13 J. Van Engen, "Tradition" dalam Evangelical Dictionary of Theology
   (ed. Walter Elwell; Grand Rapids: Baker, 1984) 1105.

14 McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi 182-183.

15 Contohnya, pengajaran Roma Katolik mengenai doa untuk orang mati
   didasarkan pada 2 Makabe 12:40-46. Bagi para Reformator, kebiasaan
   ini tidak mempunyai dasar alkitabiah, karena kitab tersebut adalah
   kitab Apokrifa.

16 Konsili Trent 1546 tetap mendifinisikan kanon sesuai dengan apa
   yang ada di dalam Alkitab Vulgata.

17 "That Doctrines of Men Are to Be Rejected" dalam What Luther Says:
   An Anthology (ed. Elwald M. Plass; St. Louis:Concordia, 1959) 1.63.

18 Institutes of the Cristian Relegion (tr. H. Beveridge; London:
   James Clarke, 1953) I.vii.1.

19 Calvin's New Testament Commentaries (tr. T. A. Small; Grand Rapids:
   Eerdmands, 1964) 10.330.

20 Luther sendiri juga tidak pernah mengembangkan teologi tentang
   inspirasi Alkitab.

21 Boice, Foundations 39.

22 The Inspiration and Authority of the Bible (ed. Samuel G. Craig
   London: Marshall & Scott, 1959) 133.

23 Institutes I. vii. 4.

24 Foundation 49.

25 Institutes I.viii. 13.

26 Dalam hal inilah kita berbeda dengan pandangan Neo-Ortodoksi
   mengenai Alkitab. Kita percaya bahwa tulisan-tulisan dalam Alkitab
   adalah perkataan Allah kepada kita, terlepas dari apakah kita
   membacanya, mengerti, menerimanya atau tidak. Status Alkitab tidak
   ditentukan oleh respons manusia. Neo-Ortodoksi menekankan bahwa
   Alkitab menjadi firman Allah pada saat ada "encounter." Ketika
   tidak ada encounter, maka Alkitab hanyalah kata-kata manusia belaka
   yang menuliskannya. Sebenarnya pengertian wahyu sebagai suatu
   "encounter" tersebut adalah apa yang kita mengerti sebagai
   iluminasi. Pada saat seseorang diyakinkan akan suatu kebenaran
   tertentu, itu berarti illuminasi sedang terjadi.

27 Robert M. Grant dan David Tracy, A Short History of the
   Interpretation of the Bible (Edisi kedua; Minneapolis: Fortress,
   1984) 100-109. Tepatlah apa yang dikatakan Boice, "The Catholic
   Church weakened the orthodox view of the Bible by exalting human
   traditions to the stature of Scripture. Protestans weakened the
   orthodox view of Scripture by lowering the Bible to the level of
   traditions" (Foundations 70)

28 Atau Whatever Happened to Evangelical Theology? (Grand Rapids:
   Eerdmans,1993).

29 What is the Reformed Faith? 17-18

30 Alkitab: Buku Untuk Masa Kini (tr. Paul Hidayat; Jakarta: PPA,
   1987)60-61.

31 Moises Silva, Has the Church Misread the Bible? (Grand
   Rapids:Zondervan, 1987)77.

32 Sproul, Grace Unknown 55.

33 Silva, Has the Church 95.

34 Dikutip dari Dan McCartney dan Charles Clayton, Let the Reader
   Understand: A Guide to Interpreting and Applying the Bible
   (Wheathon: Bridgepoint, 1994) 93.

35 John Calvin: A Biography (Philadelphia: Westminster, 1975) 132.

36 Silva, Has the Church 96.

37 Ibid. 77-78.

38 Works of Martin kLuther (Philadelpia: Holman, 1930) 3.350

39 Sproul, Grace Unknown 56.

40 Edgar Krentz, The Historical-Critical Method (Philadelphia:
   Fortress, 1975) 7-10.

41 Grant and Tracy, A Short History 92.

42 Krentz, The Historical 16-30.

43 Lihat ulasan yang menarik oleh Kevn J. Vanhoozer, Is There A
   Meaning in the Text? The Bible the Reader, and the Morality of
   Literary Knowledge (Grand Rapids: Zondervan, 1998) khususnya pasal
   4 & 7.

44 Reasons of the Heart: Recovering Christian Persuasion (Grand
   Rapids: Baker, 1996) 25.


Kiriman artikel bulan Juli ini diambil dari Majalah Veritas (Vol. 3,
Nomor 1 - April 2002). Judul dan isi artikel ini saya yakin sangat
menarik dan penting, yaitu "Doktrin Sola Scriptura", yang ditulis oleh
Sdr. Yohanes Adrie Hartopo. Artikel sebelumnya telah disampaikan dalam
Retreat Pembinaan Doktrinal yang diselenggarakan oleh Seminari Alkitab
Asia Tenggara dalam rangka Hari Reformasi ke-484, di Hotel Kusuma
Agrowisata, Batu, pada 29-31 Oktober 2001.

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org