Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/30

e-Reformed edisi 30 (2-7-2002)

Kita Percaya bahwa Kita adalah, dan
Selalu akan Menjadi Pakar dalam
Berbuat Dosa


    "Dosa adalah sifatku, satu-satunya hal yang aku tahu bagaimana
                   melakukannya." (Brother Lawrence)


Dalam sebuah percakapan pribadi antara ibu saya dan istri saya, ibu
saya mengatakan bahwa saya tidak pernah berbuat dosa. Istri dan saya
sudah 10 tahun hidup bersama jadi tentu saja ia mempunyai pendapat
yang berbeda tentang masalah ada atau tidaknya dosa pada saya. Saya
sendiri kaget mendengar tanggapan ibu saya bahwa saya sempurna, dan
meskipun saya ingin seperti yang dikatakan ibu saya, saya takut bahwa
istri saya tahu lebih baik. Sekalipun kami sekarang sering berkelakar
mengenai hal itu, saya bertanya-tanya apa yang membuat ibu saya
berpendapat yang tidak masuk akal seperti itu. Selain dari mitos
"anak-saya-tidak-dapat-berbuat-salah" milik para ibu, adakah hal lain
yang lebih diungkapan dalam penilaian ini? Saya percaya mungkin ada.

Banyak penginjil salah mengerti bahwa kerohanian dan kedekatan
seseorang dengan Tuhan dapat menunjukkan jumlah dosa yang ada di dalam
diri orang itu. Banyak dosa, kurang dekat dengan Tuhan. Dekat Tuhan,
sedikit, tujuan terakhir adalah untuk menjadi tidak berdosa -- suatu
keadaan yang tak seorang pun di dunia ini telah benar-benar meraihnya,
tetapi secara teori ini sepertinya masuk akal. Mungkin ibu saya
berpikir karena saya dekat dengan Tuhan maka saya tidak mempunyai
dosa.

Kenyataan ini memang didukung oleh kesaksian yang menakjubkan dan
reputasi mendekati-sempurna dari mereka yang dekat dengan Tuhan.
Pendeta-pendeta dan mereka yang berada dalam "pelayanan Kristen
purnawaktu" lebih dekat Tuhan daripada siapa pun dan oleh karenanya
paling jauh dari dosa. Inilah sebabnya begitu menghancurkan gereja
bila orang-orang mendekati-sempurna ini menjadi mangsa kegagalan moral
yang mengerikan. Hasilnya, keterkejutan dan ketidakpercayaan. Mereka
begitu rohani; bagaimana ini bisa terjadi?

Kebohonongan Besar Orang Kristen


Dalam novelnya yang menarik untuk zamannya yang berjudul "Portofino",
Frank Schaeffer, putra Francis dan Edith Schaeffer, dua orang pemikir
Kristen yang penting dalam tiga abad terakhir ini mengikis lapisan
pengertian peradaban dari apa yang dianggap banyak orang sebagai
keluarga Kristen ideal.


Frank -- dahulunya Franky -- menceritakan tentang keluarga penginjil
yang tengah berlibur di Itali selama dua musim panas. Kesamaan antara
cerita itu dengan kejadian sebenarnya yang dialami Frank sewaktu kecil
ditemukan pada banyak bagian dari novel itu. Di dalam cerita itu kita
mendapatkan gambaran seorang ayah yang pendiam, yang di luar terlihat
mempertahankan kekolotan yang secara budaya cocok dengan Alkitab,
tetapi di rumah cenderung tidak stabil dan berperangai keras. Lalu
seorang istri yang bertengkar dengan suaminya mengenai siapa di antara
mereka yang lebih rohani, dan anak-anak yang dipaksa untuk menjadi
lebih "alkitabiah" sebelum mereka tahu apa pun mengenai artinya.
Kendati sejumlah situasi itu lucu dan menarik, sisanya terlalu
menyakitkan untuk ditertawakan. Karena bertumbuh dalam keluarga injili
yang serupa dan standar ganda, baik di rumah maupun di luar rumah,
saya memandang "Portofino" ini setidaknya bisa dianggap sebagai obat
pencuci perut.


Dalam mencermati buku ini, saya mempunyai dua reaksi terhadap keluarga
Kristen ini. Yang pertama, saya senang melihat kekurangan mereka
karena saya merasa lebih baik. Reaksi kedua, saya kecewa karena hati
kecil saya berharap bahwa seharusnya Frank tidak menelanjangi potret
keluarga yang tidak sempurna ini sehingga saya kemudian bisa tetap
percaya bahwa setidaknya orang yang saya hormati, seperti Francis dan
Edith Schaeffer, telah menjadi orang benar.


Terlintas dalam pikiran saya bahwa reaksi kedua ini bisa dianggap
sebagai kebohongan besar yang dilakukan orang Kristen. Artinya,
kepercayaan bahwa seseorang, entah di mana, bisa menjadi benar.
Bukankah kita selalu berkumpul dengan pembicara dan penyanyi yang
berada di depan dan penting karena mereka sudah menjadi benar, dan
bukankah mereka berada di atas mimbar sana karena kita berharap bahwa
mereka benar? Bila dengan menyakitkan kita tahu jelas bahwa mereka
tidak benar dalam sejumlah segi kehidupan, bukankah mereka langsung
disingkirkan dari kedudukan mereka? Bukankah semua orang yang tengah
tersenyum di kulit muka buku-buku Kristen memberi tahu kita bagaimana
kita, juga, dapat menjadi benar jika mengikuti saran mereka?


Tetapi jangan khawatir, para pengusaha Kristen, pasaran buku Kristen
tidak sedang goyah, karena imbauan ini telah tertanam sejak Musa turun
dari gunung Sinai dengan Sepuluh Perintah Allah untuk menjadi benar.
Dan kita terus membawa kebohongan ini.


Daya Pikat dari "Hampir"


Ternyata bukan menjadi benar yang merupakan persoalannya. Bila kita
semua menghadapi dosa dengan lebih realistis, kita tidak akan begitu
terkejut ketika muncul dosa dalam kehidupan seorang pemimpin rohani.
(Saya takut apa yang akan ditulis anak-anak saya tentang saya nanti.)
Bila kita jujur pada diri sendiri tentang siapa kita -- semua di
antara kita -- kita akan tahu bahwa pemimpin kita juga manusia biasa,
sama seperti kita.


Kadang-kadang saya ingin tahu apakah kita ingin para pemimpin rohani
kita menjadi sempurna agar kita tidak perlu sempurna. Selama kita
percaya ada orang yang sempurna, kita bisa terus mengabadikan mitos
bahwa kesempurnaan itu mungkin dan kita terus membungkus dosa kita
sendiri dengan baik di balik dusta dari "hampir". Kita hampir berada
di sana. Kita hampir tiba di sana. Kita hampir kudus. Satu buku lagi,
satu seminar lagi, satu pelayanan kebangunan rohani lagi, dan kita
akan persis seperti orang yang ada di kulit muka buku itu atau brosur
itu. Tiba-tiba saja, kehidupan rohani yang kita coba miliki ini makin
jauh daripada yang kita inginkan. "Hampir" bahkan belum dekat. Pendeta
saja jatuh, bagaimana dengan kesempatan untuk kita jatuh?


Bila kita jujur kepada diri sendiri, kita tahu bahwa pertanyaan
riilnya bukanlah bagaimana orang yang begitu tinggi dapat jatuh begitu
dalam, tetapi kenapa terjadinya tidak lebih awal di dalam atmosfer
yang tidak mustahil? Apa yang dilakukan orang-orang ini di atas sana,
dan mengapa kita tempatkan mereka di sana? Persoalan riilnya dalam hal
ini bukanlah dengan dosa, tetapi dengan pengertian kita yang salah
mengenai siapa diri kita menurut kita. Kita perlu mengerti bahwa bila
seseorang jatuh, itu bukan akhir dari segalanya; itu baru kebenaran
yang akhirnya terungkap. Sebetulnya baik bila kita semua kembali pada
Injil, di mana seharusnya kita sudah sejak dahulu berada di sana
(kejatuhan).


Saya sering bertanya-tanya bagaimana Injil yang hanya didasarkan pada
jasa-jasa seseorang yang sudah mati untuk menghapus dosa dapat
diabadikan pada jasa-jasa mereka yang kelihatannya tidak
memerlukannya. Bila seluruh maksud dari Injil adalah pengampunan dosa,
mengapa kita selalu memaksa untuk memamerkan kehidupan yang "hampir
sempurna" di depan sesama kita? Bagaimana orang yang menyatakan tidak
mempunyai dosa untuk diampuni? Bagaimana sebuah gereja yang dahulunya
bahagia dan terdiri atas nelayan, pelacur, dan pemungut cukai sekarang
berubah menjadi tempat kaum elit rohani? Tak pelak lagi, banyak
jawaban rumit atas pertanyaan-pertanyaan ini, tetapi saya percaya pada
akar dari semua pertanyaan itu sedang tersembunyi masalah orang
Farisi.


PANGGILAN ORANG FARISI ZAMAN DAHULU


Dosa hanya muncul ke permukaan pada bagian awal dari keselamatan.
Orang-orang berdosa adalah mereka yang perlu diselamatkan, tetapi
begitu mereka diselamatkan, kita jarang mendengar tentang dosa lagi.
Benar, dosa masih muncul dalam pengertian pada semua orang berdosa
yang ada "di luar sana" yang memerlukan Kristus, tetapi bukankah kita
yang "di sini" memerlukan Yesus sebanyak ketika kita telah
diselamatkan?


Seakan-akan kita percaya ada suatu standar lain yang terjadi begitu
kita menjadi orang Kristen. Orang yang tidak percaya perlu menerima
pengampunan dosa, akan tetapi orang percaya hanya perlu berhenti
berdosa. Darah Yesus menutup dosa saya ketika saya menjadi orang
Kristen, tetapi bahwa sekarang saya sudah diselamatkan, saya harus
berbenah diri dan menjadi benar. Keselamatan dimaksudkan bagi mereka
yang perlu diselamatkan, bukan bagi mereka yang sudah diselamatkan.
Dan apabila "tidak berdosa" harus lebih diutamakan daripada
"pengampunan dosa" ,... berhati-hatilah hai orang Farisi.


"Siapa di antara kamu yang tidak berdosa?" itu adalah pertanyaan keras
yang Yesus ajukan kepada orang-orang Farisi. Kita seharusnya
mengajukan kepada diri kita pertanyaan yang sama. Yohanes
mengatakannya demikian, "Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa,
maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam
kita" (1Yohanes 1:8). Walaupun demikian, kita ingin terus ditipu
-- untuk mengabadikan mitos tentang diri kita sendiri dan
pemimpin-pemimpin kita yang membuat dosa kita tersembunyi karena
alternatifnya --menjadi bersih -- begitu menakutkan. Kendati tidak
berdosa bukannya tidak mungkin, kita lebih suka untuk mengabadikan
keyakinan palsu bahwa ia memang palsu, bukannya menghadapi kenyataan.
Kita menciptakan pendeta dan pemimpin terutama untuk membuktikan bahwa
tidak berdosa itu dapat dilakukan; tetapi orang-orang itu menjalani
kehidupan di luar nilai-nilai rohani. Jika penilaian saya benar, ini
sebetulnya karena kasih karunia Tuhan yang diwahyukan sehingga kita
semua bisa menghadapi kondisi yang sebenarnya.


Saya bertumbuh dewasa berdasarkan lirik lagu pujian berikut ini:
"Siapa yang dapat membasuh dosaku? Tak seorang pun kecuali darah
Yesus." Saya perhatikan bahwa penulisnya menggunakan keterangan waktu
sekarang, yang berarti bahwa dosa adalah sebuah realitas yang terjadi
setiap hari dalam kehidupan orang percaya. Tetapi banyak orang
menyanyikannya seakan-akan itu sudah terjadi di masa lalu, "apa yang
telah menghapus dosaku?" Seolah-olah dosa kini berada di belakang kita
-- sisa dari dosa kita sebelum menjadi orang Kristen.


Orang dapat melihat bagaimana dengan tidak kelihatan kita dapat
menjadi calon utama untuk masuk dalam kelompok Farisi. Ketika menjadi
sempurna lebih penting daripada diselamatkan -- ketika tidak berdosa
lebih diutamakan daripada menangani dosa dengan jujur -- semua
kekuatan yang menggoda Saulus dari Tarsus, sekarang siap untuk memberi
kita kekuatan yang palsu. Yang dianggap kesempurnaan, susunan standar
untuk membuat penghancurannya nyaris tidak mungkin dilakukan,
penghakiman atas orang lain, persembunyian, dan tentu saja,
kemunafikan, semata-amta terlalu menggoda untuk ditolak.


ORANG GALATIA YANG BODOH


"Hai orang-orang Galatia yang bodoh, siapakah yang telah mempesona
kamu?" tulis Paulus. "Adakah kamu sebodoh itu? Kamu telah mulai dengan
Roh maukah kamu sekarang mengakhirinya di dalam daging?"
(Galatia 3:1,3).


Agaknya, ini bukan persoalan baru. Kita memulai dengan Roh; kita mulai
dengan keselamatan; dengan kasih karunia Tuhan yang tidak patut kita
terima, tetapi kemudian upaya manusia merayap kembali masuk ke dalam
kehidupan kita seperti tanaman liar di kebun. Kita mulai melihat ke
dalam diri kita sendiri sambil berpikir bahwa kita harus menemukan apa
yang kita perlukan untuk menjadi orang Kristen yang baik, dan pada
detik kita mulai melihat diri kita sendiri, kita mulai menutupi dan
melindungi dan membandingkan diri kita dengan orang lain, sama seperti
orang-orang Farisi. Ini tidak dapat dihindari. Di mana ada perpaduan
rohani dengan upaya manusia, di situlah akan ada kejatuhan dari
orang-orang Farisi yang menggeliat seperti ular berbisa sedang
menunggu ada orang terjerat jatuh.


Jika diperlukan Roh untuk menyelamatkan kita, Paulus berkata, maka
dengan Rohlah kita tetap selamat. Mulailah dengan Roh, tetaplah dengan
Roh; mulailah dengan keselamatan, tetaplah dengan keselamatan;
mulailah dengan kasih karunia, tetaplah dengan kasih karunia.
Bagaimana kita dapat menambahkan sesuatu pada apa yang telah Kristus
lakukan? Kita diselamatkan setiap kalinya. Kita menyerahkan hidup kita
yang penuh dosa kepada-Nya, dengan berbalik dari ketergantungan pada
diri sendiri lalu berserah kepada-Nya, dengan berbalik dari
ketergantungan pada diri sendiri lalu berserah kepada-Nya, dan
menerima hidup-Nya sebagai ganti hidup kita. Kini tidak ada bedanya.
Ini adalah transaksi detik-demi-detik.


Orang-orang Galatia mencoba untuk menyempurnakan lewat upaya sendiri
apa yang telah dimulai oleh Roh, sementara itu mereka mengingkari Roh
yang benar bagi hidup mereka. Masalah mereka sama seperti masalah
orang Farisi: ingin menguasai proses itu. Mereka ingin mengembalikan
apa yang telah mereka hentikan. Agaknya, mereka merasa terlalu tidak
nyaman kalau tidak menguasai. siapa lagi yang mau menolak kasih
karunia Tuhan kecuali orang yang tidak ingin mendapat kasih karunia
itu? Tragis sekali bahwa sementara ada kasih karunia untuk menutup
semua dosa kita, masih ada orang-orang berdosa yang tidak tahu tentang
itu dan orang-orang Farisi yang tidak ingin tahu.


KESELAMATAN: DAHULU, SEKARANG, DAN KEMUDIAN


Pengakuan dosa dalam kebanyakan gereja kita berasal dari mereka yang
baru saja diselamatkan. Kita mendengar kisah-kisah mereka sebagai
gambaran-gambaran "masa lalu" seperti dalam iklan penyedotan lemak
dengan semua gelambir lemak yang menjijikkan dan bergantungan ke luar
dari baju renang yang tidak pas. Anggapannya adalah, banyak di antara
kita telah membuat semua dosa tersedot ke luar dari perut dan bagian
belakang tubuh kita, dan sekarang kita sedang menikmati tubuh langsing
"sesudah" lemak disedot. Jika dosa dapat mencuat di kemudian hari
dalam hidup orang percaya, ini adalah hasil dari kebiasaan kembali ke
hidup lama untuk sekian waktu. Kadang kala ini kebetulan menjadi yang
terbaik dari kita. Ini dapat "dipecahkan" dengan penyerahan kembali
hidup kita kepada Tuhan -- semacam "penyegaran keselamatan". Dosa
jarang, seandainya pernah, disebut sebagai bagian yang normal dari
pengalaman orang percaya setiap hari.


Apakah keselamatan terjadi satu kali dalam hidup kita atau sesuatu
yang kita perlukan setiap hari dalam hidup kita? Jawabannya ya dan ya.
Ini sebenarnya dua aspek dari sebuah proses tiga cabang dari
keselamatan -- masa yang lalu, sekarang, dan kemudian. Nama teologinya
adalah dibenarkan, dikuduskan, dan dimuliakan. Dibenarkan adalah apa
yang terjadi terhadap kita dalam kaitannya dengan dosa kita, sekali
dan selamanya, di kayu salib. Kematian Yesus sebagai ganti kita telah
membenarkan kita selamanya di hadapan Allah sehingga kita dapat
bersatu dengan Allah.


Tetapi ini bukan berarti bahwa kita tidak mempunyai dosa. Paulus
menyebutnya sebagai "tubuh kematian" yang masih harus kita bawa dalam
kehidupan, meskipun kita sudah menerima buah sulung Roh, di dalam hati
(Roma 8:23). Kita sering kali terperangkap antara kemuliaan abadi bagi
kita ketika kita menerima tubuh yang sudah dibangkitkan seperti
Kristus, dan pembenaran kita di masa lalu yang sudah dilakukan oleh
Yesus di salib. Segala sesuatu di antara itu adalah pengalaman masa
kini dari proses pengudusan.


Orang percaya tidak selalu kembali ke hidup lama yang tercela. Juga
tidak selalu tidak taat dengan sengaja. Sering kali, bentuknya hanya
dinyatakan atau diperlihatkan karena karya Roh Kudus dalam mengelupasi
sifat dosa kita seperti lapisan-lapisan bawang bombay. Kadang kala
diungkapkan karena kerja Roh Kudus yang mengupas kita seperti bawang.
Makin lama kita mengikut Kristus, makin kita tahu betapa dalam dosa
itu berakar, dan betapa dalam dan lebarnya kemurahan dan kasih-Nya.
Menyadari dosa, mengaku dosa, dan meminta pengampunan berlangsung
sementara kita makin mengenali diri sendiri. Ini menyakitkan, karena
kita terus menemukan seberapa jauh kita masih harus pergi, tetapi
bermanfaat karena kita terus menemukan, juga, seberapa banyak Kristus
telah lakukan untuk kita. Itulah sebabnya mengapa orang percaya yang
lebih lama selalu merasa mempunyai pertalian dengan orang percaya
baru. Ini adalah proses yang sama. Orang percaya baru mungkin
mengalami pengampunan Allah untuk pertama kali, tetapi pengalaman ini
langsung, nyata dan perlu bagi keduanya.


Ini juga yang menjadi alasan mengapa orang percaya baru dan orang
percaya lama dapat menyanyikan lagu yang sama, menceritakan kisah
Injil yang sama, membicarakan pengampunan yang sama yang langsung dari
pengalaman masing-masing yang paling mutakhir. Perhatikan lagu ini:


[diterjemahkan bebas dari lagu "At the Cross"]
        Disalib, disalib, pertama kulihat t'rang,
        Dan beban hatiku lenyap;
        Dengan iman kudicelikkan
        Kini, kusenang selamanya.


Apakah orang yang sudah 20 tahun percaya menyanyikan lagu ini sambil
mengingat ke masa 20 tahun yang lalu ketika ia menerima pengampunan?
Apakah ia mengingat dan mengalami sendiri pengampunannya itu melalui
tangisan seorang petobat baru? Ataukah air matanya tergenang sementara
menyanyikan lagu ini untuk kesekian kalinya, karena ia menyadari
maknanya jauh lebih dalam dibandingkan ketika ia menyanyikannya karena
dosanya baru saja diampuni?


"Tell Me the Old, Old Story" adalah lagu lain yang sering dinyanyikan
sewaktu saya kecil. Tetapi lagu lama bisa menjadi lagu baru bila kita
mengerti dan mengalami proses pengudusan yang menyakitkan tetapi
memuliakan.


MAKIN BANYAK DOSA, MAKIN BANYAK DARI TUHAN


"Tetapi hukum Taurat ditambahkan, supaya pelanggaran menjadi semakin
banyak; dan di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia
menjadi berlimpah-limpah" (Roma 5:20).


Pada permulaan bab ini, saya membicarakan tentang persamaan yang
salah: makin banyak dosa, kurang dari Tuhan; makin banyak dari Tuhan,
sedikit dosa. Sekarang saya ingin memberi persamaan yang berbeda. Saya
ingin memberitahukan bahwa lebih banyak dosa di sini artinya lebih
sadar bahwa dosa saya banyak. Jadi, orang yang dekat Tuhan menjadi
makin sadar akan dosa daripada yang jauh, dan oleh karenanya, orang
itu akan mempunyai lebih banyak pengalaman terkait dengan Tuhan
sementara imannya bertumbuh.


Inilah sebabnya mengapa orang-orang Kristen yang dewasa terus menjadi
lebih rendah hati sementara mereka semakin tua. Mereka terus menemukan
betapa berdosanya mereka dan betapa sabarnya Tuhan terhadap mereka.


Paulus menyatakannya demikian. "Perkataan ini benar dan patut diterima
sepenuhnya: 'Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang
berdosa,' dan di antara mereka akulah yang paling berdosa. Tetapi
justru karena itu aku dikasihani, agar dalam diriku ini, sebagai orang
yang paling berdosa, Yesus Kristus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya.
Dengan demikian, aku menjadi contoh bagi mereka yang kemudian percaya
kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal" (1Timotius 1:15-16).


Di sini Paulus membuatnya pernyataan yang benar-benar menantang. Orang
akan berpikir bahwa pemimpin besar seperti Paulus dapat menyatakan
dirinya sebagai teladan untuk orang benar dan orang kudus, tetapi
Paulus tidak melakukannya. Ia menyatakan kebalikannya; ia membanggakan
diri sebagai orang yang paling hina di antara orang berdosa. Ia lebih
suka menjadikan dirinya contoh dengan cara ini sehingga orang-orang
lain bisa mempunyai harapan. Jika Kristus masih bisa bersabar terhadap
Paulus -- orang berdosa terbesar -- tidak ada orang berdosa yang tidak
bisa dijangkau oleh kasih Tuhan.


Inilah hak membanggakan yang benar-benar tidak biasa. Pada hakikatnya,
Paulus berkata ia lebih berdosa dibandingkan orang lain, jadi tidak
seorangpun dapat mempunyai alasan yang sah untuk tidak diampuni Tuhan.
Bila ada harapan untuk Paulus, pasti ada buat yang lain. "Karena aku
adalah yang paling hina dari semua rasul, sebab aku telah menganiaya
Jemaat Allah. Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana
aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku
tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras daripada
mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang
menyertai aku" (1Korintus 15:9-10).


Untuk memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan dalam pernyataan Paulus,
saya menyodorkan alinea berikut:

   Apakah engkau pikir dosamu terlalu besar sehingga Tuhan tidak
   mungkin mengampunimu? Nah, pikirkan sekali lagi. Aku membunuh
   orang-orang Kristen karena iman mereka. Aku menghakimi orang-orang
   yang Tuhan panggil untuk melaksanakan pekerjaan-Nya. Jubah yang
   dipakai ketika membunuh teronggok di kakiku. Hal-hal menjijikkan
   telah dilaksanakan, atas perintahku, terhadap lebih banyak orang
   yang, dibandingkan yang dapat kuhitung, dahulu dan sekarang adalah
   saudaraku; dan tanggung jawab untuk ini semua ada dipundakku.
    	
Lebih banyak dari Tuhan, lebih peka terhadap dosa. Semakin saya
mencari Tuhan, semakin saya sadar bahwa yang ada di dalam saya bukan
berasal dari Tuhan. Itulah sebabnya mengapa pernyataan Paulus di sini
menggunakan keterangan waktu sekarang. "Yesus datang ke dunia untuk
menyelamatkan orang berdosa -- di mana akulah yang paling berdosa.
Kenyataan bahwa ia berdosa semutakhir dan sesegar kenyataan kasih
karunia Tuhan. Ia tahu bahwa ia tidak benar-benar mengenal kasih
karunia Tuhan tanpa mengetahui dosanya dan betapa ia kurang layak
untuk mendapat apa yang sedang ia terima. Jika layak, maka itu bukan
lagi kasih karunia.


Bila kita ingin sembuh dari kepalsuan Farisi ini, kita harus sadar
dosa-dosa kita sekarang. Kita perlu menjadi ahli dalam menemukan dan
menggali dosa-dosa kita sendiri -- bukan dosa orang lain. Kita punya
banyak dosa yang harus dibereskan dengan segenap hati tanpa harus
mengurus dosa orang lain untuk dikaji. Saya tahu saya adalah orang
berdosa paling besar, semata-mata karena saya lebih mengenal diri saya
dibandingkan orang lain. Dosa saya adalah yang terburuk karena itu
adalah dosa saya. Saya sangat terlibat dalam dosa itu. Saya tahu semua
nuansanya yang tak kelihatan, pandangannya yang menyesatkan, pencarian
dalihnya dan bagaimana dosa itu ditutup-tutupi. Tentang dosa saya,
sayalah pakarnya. Dosa orang lain bukan urusan saya.


Dan ikutilah ini: Yeremia mengatakan bahwa pengetahuan kita "yang
canggih" dalam hal dosa masih terbatas. Lebih dalam dari apa yang kita
ketahui tentang dosa kita terletak dari apa yang tidak kita ketahui.
"Betapa liciknya hati, lebih licik daripada segala sesuatu, hatinya
sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya" (17:9). Ini suatu
sarana pengingat bahwa, bagaimanapun banyaknya kita ketahui mengenai
dosa kita, kita masih tidak tahu sama sekali.


Paulus menggunakan tema ini dalam 1Korintus 4:4, "Sebab memang aku
tidak sadar akan sesuatu, tetapi bukan karena itulah aku dibenarkan.
Dia, yang menghakimi aku, ialah Tuhan." Dosa yang Paulus sadari telah
ia bawa kepada Tuhan dan ia sudah menerima pengampunan; apa yang tidak
ia ketahui telah diketahui oleh Tuhan dan akan dinyatakan pada
waktunya.


Maka, sebuah hati nurani yang bersih tidak berarti kita tidak berdosa.
Sebaliknya, ini berarti bahwa kita ditutup oleh darah Yesus untuk apa
yang kita ketahui dan apa yang tidak kita ketahui. Ini harus membuat
kita rendah hati sampai Dia datang kembali. "Sebab Allah yang telah
berfirman: 'Dari dalam gelap akan terbit terang!', Ia juga yang
membuat terang-Nya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh
terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang tampak pada wajah
Kristus" (2 Korintus 4:6).


PERNYATAAN IMAN ORANG FARISI YANG INGIN SEMBUH


Bila saya berbicara tentang dosa, saya tidak lagi membicarakannya
sebagai sesuatu yang terjadi dahulu sekali. Bila saya membicarakan
pengampunan, maksud saya bukan pengampunan yang saya terima pertama
kali ketika saya menjadi orang Kristen. Saya akan membicarakan dosa
dan pengampunan yang saya alami setiap hari -- yang saya alami
sekarang ini -- yang memungkinkan saya menjadi manusiawi, riil dan
jujur tentang siapa saya sekarang dan siapa saya kelak. Dan, bila
percakapan berubah membahas tentang orang berdosa, saya sadar bahwa
percakapan itu benar-benar tentang saya. Saya akan selalu tahu bahwa
saya adalah orang yang paling hina dari semua orang berdosa. Saya
menempatkan Yesus di salib; dosa saya memaku-Nya di sana. Dan, jika
saya pernah sengaja merenungkan bahwa ada orang berdosa yang lebih
buruk daripada saya di dunia ini, apa pun kadar kejahatannya, maka
pada saat itu saya telah melangkahi batas kemunafikan dan saya sedang
membicarakan sesuatu yang saya sendiri tidak tahu apa-apa. Mengenai
dosa, saya hanya bisa berbicara tentang diri sendiri tanpa kepastian
yang mutlak, dan dalam kaitan dengan diri saya dan dosa, saya yakin
mengenai yang satu ini: bahwa saya ahli dalam dosa dan pengampunan.
Dosa mendatangkan kesedihan dan pengampunan mendatangkan kebahagiaan.
Yang luar biasa bukanlah bahwa saya berdosa, tetapi bahwa, sekalipun
saya berdosa, saya masih bisa bersekutu dengan Tuhan dan dipakai oleh
Dia untuk rencana-rencana-Nya di dunia ini.


"Sebab itu siapa yang menyangka bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah
supaya ia jangan jatuh!" (1Korintus 10:12).


ORANG FARISI TANPA NAMA


Penyembuhan dari kecanduan, baik alkohol, obat-obatan, seks, atau apa
saja, tidak pernah sempurna. Tidak pernah selesai. Itulah sebabnya
mengapa selalu ada kelompok penyembuhan. Kelompok ini dibentuk bukan
saja untuk membantu melepaskan seseorang dari kecanduannya. Pencandu
yang berpengalaman tahu bahwa mereka tidak pernah benar-benar
"sembuh", artinya bahwa mereka tidak pernah sepenuhnya tidak berisiko
untuk kembali pada kecanduan. Peminum tidak berhenti jadi peminum, ia
hanya berhenti minum, dan keputusan ini dibuat setiap hari.


Dosa sama saja. Kita tidak menghentikan perjuangan kita untuk
mengalahkan dosa setelah kita selamat, seakan-akan tidak lagi bisa
berdosa, tetapi kita berupaya dengan kuasa Roh Kudus yang ada di dalam
kita agar berhenti berdosa. Bahkan upaya menutupi dosa juga sama.
Peminum yang tidak berani menghadapi kebiasaan minumnya, tetapi
berpura-pura menjalani kehidupan normal di dalam masyarakat
seakan-akan tidak ada yang tidak beres, bagaimanapun juga akan
mencuri-curi untuk minum. Dengan cara-cara yang sama, orang Kristen
yang berpura-pura menang atas dosa sedang menyembunyikan sesuatu.
Orang Farisi selalu pandai menyamar.


Cara penyembuhan ini sama persis dengan orang berdosa yang sudah
diselamatkan. Walaupun menyakitkan untuk masuk ke dalam ruang itu dan
mengakui siapa kita sebenarnya, tetapi amat menenteramkan dan
melegakan untuk menghadapi kebenaran dan tidak melarikan diri dari
diri kita sendiri lagi. "Hai, saya John. Saya orang berdosa,"
tiba-tiba saja tidak lagi menjadi suatu kutukan, melainkan cara
memperkenalkan diri kepada kelompok orang yang tahu dan sedang melihat
bersama saya apa artinya. Inilah proses penyucian diri yang dibawa ke
dalam masyrakat. Setelah bertahun-tahun mencoba dan gagal melawan dosa
dengan cara sendiri, kita bisa mendapatkan bantuan, dukungan, dan
pertanggungjawaban dari diri orang lain. Dan, orang-orang ini tidak
menolak Anda. Tidak pernah. Tidak ada yang lebih buruk daripada yang
lain di dalam kelompok ini. Ceritakan kisah Anda di situ dan itu tidak
akan membuat satu orang pun terkejut.


Cobalah dan rasakan hasilnya. "Hai, saya ----, dan saya orang
berdosa." Dalam kelompok penyembuhan yang sejati ini seruan itu akan
segera dibalas dengan "Hai, -----!" yang tulus dari yang berada di
kelompok tersebut. Dengan cara itu, mereka sebetulnya menyatakan bahwa
mereka mengerti bagaimna rasanya menjadi orang berdosa. Bukan karena
dosa atau mabuk-mabukkan itu dianggap benar tetapi bahwa itu tidak
masalah karena kita sama-sama di dalam pertempuran ini dan ada
harapan. Ada pengampunan. Orang lain mengatakan mereka berdosa juga;
mereka ingin melakukan sesuatu seperti kita, dan itulah sebabnya kita
semua ada di situ. Bukankah senang rasanya kalau berada di antara
sesama teman? Bukankah enak rasanya kalau tidak perlu berbohong lagi?
Tidakkah Anda ingin bahwa gereja bisa menjadi lebih daripada sekadar
seperti sekarang?


Seperti gereja, dalam setiap kelompok ini, orang ada di dalam bermacam
tingkatan dan tahapan dalam pertumbuhan mereka. Beberapa orang sudah
ada di sana selama bertahun-tahun dan sekarang sedang mensponsori
orang lain dengan membantunya agar sanggup melewati satu hari lagi,
bersedia ditelepon atau siap ditemui di kantor bila ada yang jatuh dan
perlu ditolong segera. Ada yang baru tiba dan masuk dengan gelisah dan
tidak tahu apa yang harus mereka harapkan. Mereka semua berada di sana
untuk mendapatkan kasih dan pengertian, dan yang paling utama --
pertolongan.


Di sinilah sebenarnya gereja bisa lebih berperan daripada kelompok
A.A. atau kelompok penyembuhan lain apa pun namanya. "Alcoholiscs
Anonymous", yang menjadi pencetus penyembuhan ini, dengan tujuan
menjaga dua sikap bertentangan yang agamawi, hanya dapat menuntun para
pecandu pada satu "Kuasa yang Lebih Tinggi". Gereja menawarkan kepada
semua orang sebuah persekutuan yang akrab dengan Yesus Kristus, yang
telah mati untuk membebaskan kita dari dosa. Ini sukar ditandingi.


Jadi, sekarang saya menghadapi dosa-dosa saya dan saya telah diampuni
dan disokong oleh orang berdosa lain yang sudah mendapat pengampunan
juga. Saya hanya berharap bahwa ada sesuatu yang dapat saya lakukan
sehubungan dengan kecenderungan membenarkan diri sendiri setelah saya
sudah menjadi orang Kristen. Mungkin ada caranya ....


"Hai, saya John, dan saya orang Farisi."


Sumber:
Judul Buku   : 12 Langkah Penyembuhan bagi Orang Farisi
Penulis      : John Fischer
Penerbit     : Yayasan Pekabaran Injil IMMANUEL
Halaman      : 86-98

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org