Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/23

e-Reformed edisi 23 (5-1-2002)

Pentingkan Relasi Kekinian,
Bukan Berkat Masa Lalu

(Ditulis oleh Martus A. Maleachi)


                          (1 Samuel 4:1b-22)


    Kehidupan orang percaya tidak dapat dipisahkan dari penyertaan
Tuhan. Kita percaya bahwa segala yang dilakukan hanya dapat
terlaksana dengan pertolongan dan pimpinan-Nya. Walaupun demikian,
seringkali terjadi dalam kehidupan kita lebih bersandar kepada berkat
masa lalu daripada kepada Tuhan. Berkat masa lalu sering kita anggap
sebagai simbol dari penyertaan Tuhan. Tidak salah jika kita
mengatakan bahwa gedung gereja yang megah, keberhasilan pelayanan,
atau berkat materi yang didapatkan adalah bukti penyertaan-Nya.
Tetapi alangkah menyedihkan jika segala berkat itu membuat kita lupa
kepada Tuhan, Sang Pemberinya. Karena itu relasi pribadi dengan Dia
adalah sangat penting, lebih penting dari berkat masa lalu.

   Firman Tuhan dalam 1 Samuel 4 mengingatkan kita akan hal ini.
Waktu itu Israel sedang berperang melawan Filistin, dan dalam
peperangan itu ternyata Israel kalah dan kehilangan 4000 orang.
Kekalahan itu membuat mereka berpikir tentang apa yang harus
dilakukan supaya menang. Akhirnya timbul pikiran untuk mengambil
tabut perjanjian TUHAN dari Silo dan membawanya ke medan pertempuran.
Harapan mereka adalah supaya memenangkan peperangan (ay. 3). Tentu
kita bertanya: Apa gunanya tabut itu dibawa ke medan pertempuran?
Mengapa timbul ide seperti itu? Apakah tabut itu mampu melepaskan
mereka dari musuh?

   Sejarah Israel mencatat bahwa tabut itu sering memimpin mereka.
Tabut TUHAN berjalan di depan, memimpin dan menuntun Israel di padang
gurun (Bil. 10:33). Ketika masuk ke Kanaan di bawah pimpinan Yosua,
mereka menyeberangi sungai Yordan dan tabut berjalan di depan mereka,
dan sungai itu terbelah (Yos. 3:14-16). Pada penaklukan Yerikho,
bukankah tabut itu yang ada di depan ketika tembok itu dikelilingi
(Yos. 6)?

   Ketika mengalami kekalahan dari Filistin, mereka berpikir jika ada
tabut di tengah peperangan mereka akan menang. Reaksi yang
ditimbulkan oleh hadirnya tabut di tengah peperangan sangat besar.
Ketika tabut itu sampai ke perkemahan mereka bersorak dengan nyaring,
karena sungguh yakin akan keampuhan tabut itu (ay. 4-5). Sebaliknya
orang Filistin yang mendengar sorakan itu menjadi takut karena
mengatahui ada tabut di perkemahan Israel dan tahu akan ada kuasa
besar di tengah Israel. Sebab itu mereka berkata, "Celakalah kita!
Siapakah yang menolong kita dari tangan Allah yang maha dahsyat ini?
Inilah juga Allah, yang telah menghajar orang Mesir dengan 
berbagai-bagai tulah di padang gurun" (ay. 7-8).

   Kedatangan tabut pada satu pihak memberikan keyakinan kepada
Israel tentang kemenangan, pada pihak lain bagi Filistin mendatangkan
ketakutan. Tetapi, bagaimana kenyataannya di medan pertempuran?
Apakah Israel menang dan Filistin kalah? Pada ayat 10 tercatat bahwa
Israel justru mengalami kekalahan besar. Kekalahan yang ditimbulkan
ketika membawa tabut itu jauh lebih besar dari kekalahan pertama.
Mereka kehilangan 30000 orang, jauh lebih banyak dari peperangan
pertama, yaitu 4000 orang (ay. 2,10), bahkan tabut itu dirampas.

   Apakah tabut tidak memiliki kuasa lagi? Apakah Allah Israel tidak
berkuasa lagi? Tabut memang menandakan kehadiran Allah dan 
penyertaan-Nya di tengah umat. Secara manusiawi kehadiran tabut seharusnya
memberi kemenangan, tetapi ternyata tidak. Tabut ada di sana tetapi
penyertaan Tuhan tidak. Allah Sang Pemberi kemenangan tidak
memberikan hal itu kepada Israel. Hal ini tidak berarti Allah tidak
berkuasa lagi. Kalau kita membaca pasal lima, terlihat kuasa Allah
dinyatakan. Bukankah Dagon, dewa Filistin jatuh di hadapan tabut
Tuhan? Kuasa Allah sungguh nyata dan ada. Tetapi mengapa mereka
kalah? Jawabannya terletak pada keadaan mereka yang tidak memiliki
hubungan dengan Allah. Itu sebabnya pada akhir pasal ini dicatat
bahwa cucu Eli yang lahir pada masa itu diberi nama Ikabod karena
"Telah lenyap kemuliaan dari Israel," sebab tabut Allah telah
dirampas.

   Waktu itu Israel mengalami krisis rohani sehingga mereka tidak
lagi memiliki relasi dengan Tuhan. Ironisnya, hal itu terjadi di
rumah Tuhan di Silo. Pemimpin mereka, imam Eli, ternyata tidak
membawa umat lebih dekat kepada-Nya. Allah menegur Eli karena ia
lebih menghormati anak-anaknya daripada Tuhan (2:29). Lebih lagi
dalam 1 Samuel 3:1, ketika Samuel dipanggil, Alkitab mencatat pada
masa itu firman TUHAN jarang; penglihatan pun tidak sering. Bukankah
itu menunjukkan mereka jarang berkomunikasi dengan Tuhan? Tidak
mengherankan ketika Samuel dipanggil ia tidak mengerti suara Tuhan.
Samuel tidak mengerti karena mungkin tidak pernah diajar akan hal
itu. Bahkan Eli pun baru sadar setelah Tuhan memanggil Samuel
beberapa kali. Sungguh ironis hal itu terjadi di pusat kerohanian
Israel.

   Keadaan menyedihkan ini merupakan teguran bagi Israel waktu itu.
Dalam bagian ini terdapat hal-hal yang menarik untuk diperhatikan.
Israel yang memiliki tabut mengalami kekalahan, sedang Filistin yang
ketakutan justru menang. Pada pasal 7 keadaan menjadi terbalik;
Filistin kalah. Apakah karena tabut ada di Filistin? Tidak! Tabut
telah dikembalikan kepada Israel. Kuncinya ada di 1 Samuel 7:3, yaitu
pertobatan. Ketika Israel, bertobat, Tuhan memberi kemenangan. Yang
menarik adalah kondisi mental mereka yang terbalik. Orang Israel
dalam keadaan ketakutan, sedang Filistin dengan gagah maju mendatangi
mereka (ay. 7). Namun justru di tengah ketakutan itulah Allah bekerja
luar biasa dan mereka mememenangkan peperangan.

   Dalam kitab ini kehidupan Samuel merupakan sentral. Dialah yang
memimpin Israel untuk taat pada Tuhan. Hal itu bisa terlihat pada
pasal 3:21, "Dan TUHAN selanjutnya menampakkan diri di Silo, sebab Ia
menyatakan diri di Silo kepada Samuel dengan perantaraan 
firman-Nya." Suatu keadaan yang kontras dengan ayat 1 dimana firman Tuhan
jarang dan penglihatan pun tidak sering. Samuel dekat dan mendengar
suara Tuhan. Dia mengajar Israel taat kepada Tuhan, karena itu mereka
menang.

   Apa kepentingan tabut bagi Israel? Apa sebetulnya yang ada dalam
tabut? Di dalam tabut ada dua loh batu, yang menunjukkan perjanjian
Allah-Israel, yang berarti Ia akan memimpin Israel; Dialah Allah
mereka dan Israel umat-Nya (Kel. 19-20; Bil. 5). Perjanjian ini juga
berarti tuntutan agar Israel setia dan menaati perintah-Nya. Meskipun
demikian Allah setia dan walau mereka pernah tidak taat pada-Nya,
tetapi waktu mereka bertobat dan taat, Tuhan kembali memimpin dan
menolong.

   Kebenaran pengalaman Israel seharusnya mengingatkan kita untuk
mengoreksi diri. Sering sebagai orang Kristen kita lebih mementingkan
berkat masa lalu yang sebenarnya bukan jaminan. Allah lebih
menghendaki ketaatan dan kesetiaan sebagai respons atas anugerah-Nya
dalam Kristus. Allah memberikan perjanjian yang baru yang terpatri di
dalam hati kita (2 Kor. 3) Kesanggupan kita melayani juga adalah
anugerah semata. Oleh karena itu, baiklah kita tetap waspada,
mengarahkan hati pada-Nya, dan dalam menikmati segala berkat, jangan
lupa kepada Tuhan Sang Pemberi berkat itu sendiri.


Dikutip dari:
Bulletin Seminari Alkitab Asia Tenggara, Edisi Oktober 2001

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org