ARTIKEL
John Calvin dan Inerrancy (I)
Jika ada sesorang yang layak untuk menerima sebutan "manusia Alkitabiah" (a man of the Bible), maka John Calvin adalah orang yang memenuhi seluruh persyaratannya. Pengabdiannya kepada otoritas Firman Allah sangat jelas dalam karyanya Institutes I.vi-ix dan IV.viii, tanpa menyebutkan sejumlah halaman lainnya di dalam karyanya tersebut. Hal ini didukung dengan tujuannya yang jelas dalam bukunya, yaitu dari awal hingga akhir tidak menguraikan apapun secara terperinci, kecuali apa yang ada di dalam Alkitab. Penyusunan Institutes itu sistematis, di dalam natur isinya bertujuan untuk menjadikan karya tersebut Alkitabiah dan banyak mengacu pada Alkitab. Indeks buku ini di dalam terjemahan Beveridge ada 14 halaman yang masing-masing mempunyai 3 kolom (dengan tiap kutipan dihubungkan lebih dari satu kali) dengan kurang lebih 60 baris di setiap kolomnya. Jumlah ini mencapai lebih dari 2500 referensi. Calvin juga berusaha mengkhotbahkan seluruh Alkitab, namun batas hidupnya tidak memberikannya kesempatan untuk menyelesaikan seluruh rencana tersebut secara sempurna. Untuk memberikan gambaran tentang lingkup pekerjaan yang dilakukannya, dapat dicatat bahwa ia telah memberikan 200 khotbah dari kitab Ulangan, 159 khotbah dari kitab Ayub. Di dalam ke 22 khotbahnya dari kitab Mazmur 199, seluruh tema khotbah itu berpusat pada pentingnya Alkitab dan manfaat pengajaran Alkitab. Selain itu, Calvin mempersiapkan dan menerbitkan tafsiran yang luas dari kitab Kejadian hingga Yosua, Mazmur, dan seluruh kitab-kitab nabi Perjanjian Lama, kecuali Yehezkiel 21-48, demikian juga dengan Perjanjian Baru, kecuali 3 kitab ( 2 Yohanes, 3 Yohanes, dan Wahyu). Di dalam risalah dan surat-surat Calvin, kita menemukan lebih banyak lagi bukti mengenai minat dan ketaatannya kepada Kitab Suci.
Seluruh tulisan ini banyak pertanyaan langsung yang memberikan indikasi bahwa Allah adalah pengarang Alkitab, bahwa penulis-penulis kudus merupakan mata pena atau mulut Allah, bahwa Allah mendiktekan Alkitab kepada mereka, dan bahwa otoritas Alkitab didasarkan pada fakta dari keilahian pengarang-Nya. Secara harafiah, ada beberapa referensi yang dapat dan telah dikutip untuk mendukung pendapat ini. Tafsiran 2 Timotius 3:16 dari Calvin yang sangat terkenal, dapat dipakai sebagai contoh suatu pandangan yang menggambarkan Calvin.
Inilah prinsip yang membedakan kepercayaan kita dari kepercayaan lainnya, yaitu kita tahu bahwa Allah telah berbicara kepada kita dan kita yakin sepenuhnya bahwa para nabi tidak berbicara dari dirinya sendiri, tetapi sebagai alat Roh Kudus. Mereka hanya mengungkapkan apa yang ditugaskan dari Surga. Setiap orang yang rindu untuk menerima pengajaran Alkitab, harus terlebih dahulu menerima hal ini sebagai prinsip dasar yang telah tegak berdiri, yaitu bahwa Taurat dan kitab para nabi tidak memberikan pengajaran untuk menyenangkan manusia atau bersumber dari pikiran manusia, tetapi yang didiktekan oleh Roh Kudus. Jika seseorang menolak dan bertanya bagaimana hal ini dapat diketahui, jawaban saya adalah bahwa hal ini dapat terjadi melalui wahyu dari Roh yang sama, yang dicurahkan baik kepada yang belajar maupun kepada pengajar-pengajar, yang akan mengungkapkan bahwa Allah adalah pengarang Alkitab. Musa dan para nabi tidak mengucapkannya secara gegabah maupun tidak teratur tentang apa yang telah kita terima dari mereka, tetapi berbicara berdasarkan dorongan dari Allah, sehingga dengan berani dan tanpa takut, mereka menyaksikan kebenaran, sebagaimana mulut Tuhan sendiri yang berbicara melalui mereka. Roh yang sama, yang telah meyakinkan Musa dan para nabi tentang pekerjaan mereka, kini bekerja juga di dalam hati kita, sehingga Dia berkenan memakai mereka sebagai pelayan-pelayan Firman untuk mengajarkan kepada kita. Inilah arti dari uraian pertama bahwa kita berhutang pada Alkitab, yaitu hutang kemuliaan yang sama seperti hutang kemuliaan kita kepada Allah, karena Alkitab bersumber dari Dia dan tidak bercampur dengan sumber dari manusia.
Di dalam menggunakan kata "dikte" yang akan sering kita jumpai di dalam karya Calvin, rupanya Calvin tidak bermaksud untuk mengindikasikan tentang metode tertentu yang mungkin digunakan Allah untuk mengomunikasikan isi Alkitab ke dalam pikiran para pengarangnya, manusia. Fokusnya adalah pada hasil akhirnya - yaitu pada fakta bahwa teks yang dihasilkan dari tangan penulis-penulis kudus tersebut, sesungguhnya adalah karya sejati Allah sendiri, kelihatannya seolah-olah Alkitab itu didiktekan langsung kata demi kata oleh Dia. Bagaimana Allah bekerja untuk mencapai tujuan ini, tanpa menggunakan metode khusus yang akan mengurangi sifat kemanusiaan pengarangnya dan merubahnya menjadi robot, tidak dijelaskan. Permasalahan seperti ini, yang terus menerus dihadapi oleh pemegang doktrin inspirasi plenary, memang muncul di dalam tulisan Calvin, tetapi di sini kita tidak menemukan suatu usaha rasional yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan tersebut.
Pengakuan Calvin atas otoritas Alkitab dengan sangat jelas terlihat di dalam penyerangannya kepada teologi Roma Katolik di satu pihak, dan kepada kelompok yang hanya berdasarkan emosi atau semangat saja di lain pihak. Dalam serangannya kepada teologi Roma Katolik, harus diperhatikan bahwa ia tidak pernah mencaci mereka, karena kepatuhannya yang berlebihan kepada Alkitab. Sebaliknya, dengan penuh kerelaan dan tanpa syarat, ia menerima otoritas Alkitab yang kanon yang diterimanya melalui gereja Katolik. Batas-batas kanolikal tersebutlah yang perlu diselidiki, sehingga dalam hal ini pandangan Roma Katolik yang berkenan dengan hal ini harus diperbaiki. Tetapi, ketika yang berkenan dengan kitab yang diakui sehingga kitab kanon, tidak pernah Calvin berkeberatan dengan otoritas kitab-kitab tersebut.
Dalam hubungannya dengan golongan yang hanya berdasarkan emosi atau semangat di satu pihak, Calvin dengan keras menekankan bahwa pengetahuan manusia tentang Allah hanya bersumber dari Alkitab semata dan bahwa manusia tidak dapat memiliki wahyu-wahyu yang diterima pribadi yang setara dengan Alkitab, sehingga dapat menggantikannya atau bahkan dapat menambahkan ajaran-ajarannya. Dia menekankan pandangan yang sama ini ke dalam perbedaan dengan konsep Roma Katolik tentang tradisi dan meminta dengan tegas untuk menahan diri dari spekulasi, bahkan dari daya tarik yang besar yang mengarah kepada arah yang bertujuan untuk menjaga ketenangan hati seseorang. Kita dapat sekali lagi mengutip tafsiran 2 Timotius 3:16 kembali.
Dengan tidak langsung, dia menegur orang-orang yang suka melakukan hal yang sia-sia, yang memberikan makan orang-orang dengan spekulasi kosong seperti angin. Dengan alasan yang sama, saat ini kita mungkin menghukum setiap orang yang tidak peduli kepada pengajaran-pengajaran rohani dan yang dengan licik selalu mengganggu dengan pertanyaan yang tidak berguna. Setiap kali kelicikan seperti ini di bicarakan, mereka harus ditangkis dengan perisai, yakni frasa yang mengatakan, "Alkitab itu bermanfaat". Berdasarkan hal ini, maka menggunakan Alkitab secara sia-sia itu adalah salah.
Berdasarkan hal ini, terlihat aneh jika natur dari doktrin inspirasi Calvin yang setepat-tepatnya menjadi pokok pertengkaran yang luar begitu gencar dan secara terbuka. Karena doktrin ini merupakan poros bagi seluruh stuktur iman yang Calvin pahami, sehingga normal saja jika berharap bahwa Calvin menyatakan posisinya di dalam topik ini secara jelas. Inilah tujuan dari penulisan ini, bahwa Calvin secara fakta, melakukan hal itu dan pernyataan-pernyataan para sarjana Alkitab lainnya yang memberikan kesan bahwa Calvin mengakui tentang banyaknya limitasi tajam di dalam doktrin otoritas Alkitab adalah sangat mengaburkan permasalahan, itu hanya bertujuan untuk membuktikan bahwa kepercayaan Calvin sesuai dengan mereka dan/atau untuk menunjukan keraguan atau pertanyaan, yang secara sederhana mencerminkan adanya keraguan atau ketidakpastian sebagaimana yang telah diajukan sebelumnya oleh reformator Jenewa ini.
Kenyataan ini sangat jelas sehingga telah banyak tulisan diterbitkan berkenan dengan masalah tersebut. Di dalam 1900 bibliography Ericshon, telah ada 6 judul penulisan yang relevan, tanpa memperhitungkan lebih dari 16 karya yang berhubungan dengan Calvin sebagai seorang pengeksegese. Di dalam karya Niesel, yang diterbitkan tahun 1959 menambahkan jumlahnya menjadi 52 judul, dan D. Kempff menambahkan 70 lagi sampai tahun 1974. Hingga akhir tahun 1982, banyak sumbangan-sumbangan pemikiran yang lebih matang telah diterbitkan. Tentu saja, di dalam kerangka pikir satu makalah saja sangat sulit untuk menguraikan seluruh pokok-pokok permasalahan ini secara terperinci. Appendix bibliophical menyajikan hasil survey dari pekerjaan -pekerjaan tersebut yang diberikan kepada saya dengan evaluasi singkat mengenai hubungan mereka dengan sikap inerrancy Calvin. Dalam bagian ini, hanya disebutkan secara kronologis nama-nama penulis yang berpendapat bahwa Calvin menyetujui inspirasi verbal dan inerrancy, dan yang menolaknya, sehingga menyatakan bahwa mereka tidak layak diterima sebagai anggota dalam Evangelical Theological Society.
Penulis-penulis buku yang menyatakan bahwa Calvin memegang doktrin inerrancy (untuk pekerjaanya yang terperinci, lihat lembar appendix. Nama-nama mereka yang tidak memegang doktrin inerrancy ditandai dengan bintang, dan dukungan mereka sangat berarti karena mereka tidak bertujuan untuk mengasimilasikan/mencocokkan doktrin Calvin agar sesuai dengan doktrin mereka) termasuk L.Bost (1883). C.D.Moore (1893), *R.Seeberg (1905,1920), *O.Ritschl (1908), *P.Lobstein (1909), *J.orr (1909), B.B.Warfield (1909), *P.Wernle (1919), *A.M.Hunter (1902), *Herman Bauke (1922), D.J.de.Groot (1931), C.Edward (1931), T.C.Johnson (1932), A.Christie (1940), *R.Davies (1946), K.Kantzer (1950,1957), *E.Dowey (1952), *B.A.Gerrish (1957), *R.C.Johnson (1959), J.K.Mickelsen (1959), A.D.R.Polman (1959), L.Praamsma (1959), J.Murray (1960), P.Hughes (1961), *H.J.Forstman (1962), J.I.Packer (1974,1984), J.Gerstner (1978), R.A.Muller (1979), L.J.Mitchell (1981), J.Woodbridge (1982).
Penulis-penulis buku yang menyatakan bahwa Calvin menolak inspirasi verbal dan inerrancy Alkitab, adalah H.Heppe (1861), P.Menthonnex (1873), J.Cramer (1881), C.A.Briggs (1883, 1890, 1892), E.Rabaud (1883), A.Benezech (1890), J.Pannier (1893, 1906), E.Gauteron (1902), J.Chapuis (1909), E.Doumerge (1910), J.A.Cramer (1926), H.Clavier (1936), W.Niesel (1938), P.Lehmann (1946), F.Wemndel (1950), T.H.L.Parker (1952), H.Noltensmeier (1953), R.S.Wallace (1953), W.Kreck (1957), J.K.S.Reid (1957), J.T.McNeill (1959), L.deKoster (1959,1964), R.C.Prust (1967), F.L.Battles (1977), R.Stauffer (1967), J.Rogers and D.McKim (1979), D.W.Jellema (1980).
Di antara jumlah tersebut ada beberapa orang yang memegang pandangan yang agung (high view) tentang Alkitab, yang berusaha menyatakan bahwa Calvin mendukung pendapat mereka. Kasus yang berkenaan dengan hal ini ditemukan buku terbaru karya Rogers dan McKim, yang berjudul The Authority and Interpretation of the Bible (Otoritas dan penafsiran Alkitab). Mereka berpendapat bahwa dengan kecakapan kesarjanaannya yang luar biasa, Calvin membebaskan diri dari belenggu sistem Skolastisisme dan dari dominasi gereja Roma Katolik. Calvin benar-benar mendasarkan teologinya pada otoritas Alkitab, memandang Alkitab sebagai norma iman dan praktis diberikan oleh Allah secara khusus hanya untuk tujuan religius. Karena itu, jika mengembangkan materi yang menyangkut iman dan etika itu lebih jauh akan berbahaya. Allah menyatakan bahwa Alkitab secara keseluruhan dapat dipercaya, namun pengawasan Ilahi ini tidak meluas hingga sampai kepermasalahan yang tidak relevan dengan iman, seperti sejarah, geografi atau ilmu pengetahuan secara mendetail. Di dalam bidang ini Rogers dan McKim percaya, Calvin berpendapat bahwa para penulis Alkitab diizinkan untuk dipakai dalam keterbatasan pengetahuannya, sehingga mencampurkan ke dalam Alkitab catatan-catatan data yang salah. Hal ini ditekankan, khususnya di dalam tafsirannya, Calvin sendiri mengakui terlihat banyak ketidaksesuaian yang disebabkan oleh keterbatasan manusia. Kebebasan dalam pengutipan Perjanjian Lama yang dimasukkan ke dalam Perjanjian Baru, misalnya, adalah suatu bentuk kebebasan yang Calvin sering temui di banyak tempat di Perjanjian Baru, yang juga dipakai untuk mendukung pendapat ini.
Sebagai jawaban dari seluruh pendekatan permasalahan ini terdapat 2 arah kesimpulan yang berbeda. Seorang dapat mempelajari secara terperinci contoh-contoh yang ditemukan untuk membuktikan bahwa Calvin mengakui adanya kesalahan di dalam teks asli Alkitab. Tentu saja hal ini harus diteliti karena jika ada pernyataan yang mengekspresikan adanya kesalahan tersebut, walaupun pada fakta hanya ada satu saja yang mengekspresikan hal itu, telah merupakan dasar yang kokoh untuk mengatakan bahwa doktrin Calvin tentang otoritas Alkitab tidak meliputi atau tidak berimplikasi kepada suatu penegasan doktrin inerrancy. Presuposisi yang diambil dari sini adalah bahwa Calvin konsisten dengan dirinya sendiri, sehingga ia tidak akan menegaskan sesuatu di satu tempat apa yang ia sangkal di tempat lainnya. Mereka yang mengenal karya Calvin akan langsung menyetujui presuposisi ini, karena asumsi ini bukan tidak beralasan. Penelitian-penelitian seperti ini telah sering dilakukan, namun maafkanlah saya, jika dalam penulisan ini saya tidak berusaha untuk mengulang kembali seluruh pernyataan tentang kesalahan-kesalahan yang tidak dapat dibuktikan ini.
Diambil dari: |
Nama buku |
: |
Majalah Momentum |
Judul artikel |
: |
John Calvin dan Inerrancy (I) |
Penulis artikel |
: |
Roger Nicole |
Penerbit |
: |
LRII, Jakarta, 1996 |
Halaman |
: |
22-33 |
|